Rabu, 28 Oktober 2009

Sejarah Sisingamangaraja


image
Lembah Bakkara yang indah di tepi Danau Toba.

Raja Si Singamangaraja I
Raja Manghuntal


Raja Si Singamangaraja I adalah anak dari Raja Bonanionan Sinambela, yaitu anak dari Raja Bonanionan Sinambela, yaitu putra ke tiga dan bungsu dari Raja Sinambela. Raja Bonanionan menikah dengan boru Pasaribu. Walaupun mereka sudah lama menikah, tetapi mereka belum mempunyai turunan. Karena itu boru Pasaribu pergi ke “Tombak Sulu-sulu” untuk marpangir (keramas dengan jeruk purut). Setiap kali selesai marpangir, boru Pasaribu berdoa kepada “Ompunta” yang di atas, mohon belas kasihan agar dikaruniai keturunan. Pada suatu hari , datanglah cahaya terbang ke Tombak Sulu-sulu dan hinggap di tempat ketinggian yang dihormati di tempat itu. Yang datang itu memperkenalkan diri, rupanya seperti kilat bercahaya-cahaya dan yang datang itu adalah Ompunta Batara Guru Doli. Ompunta Tuan Batara Guru Doli berkata bahwa boru Pasaribu akan melahirkan anak. Katanya: “Percayalah bahwa engkau akan melahirkan seorang anak dan beri namanya Singamangaraja”. Kalau anakmu itu sudah dewasa, suruh dia mengambil tanda-tanda kerajaan dari Raja Uti, berupa:
1. Piso gaja Dompak
2. Pungga Haomasan
3. Lage Haomasan
4. Hujur Siringis
5. Podang Halasan
6. Tabu-tabu Sitarapullang
Tidak lama kemudian boru Pasaribupun mulai mengandung. Setelah mengandung selama 19 bulan boru Pasaribu melahirkan seorang putera. Sang Putra ini lahir dengan gigi yang telah tumbuh dan lidah yang berbulu.
Semasa remajanya Singamangaraja banyak berbuat atau bertingkah yang ganjil terutama pada orang yang tidak pemaaf, yang ingkar janji, melupakan kawan sekampung yang lemah, membebaskan mereka yang tarbeang kalah berjudi.
Si Singamangarajapun pernah menunjukkan keheranan orang-orang yang berpesta dimana gondangnya tidak berbunyi dan tanaman padi dan jagung akarnya berbalik keatas mengikuti Si Singamangaraja saat jungkir balik dihariara parjuragatan. Hal ini terjadi karena mereka itu melupakannya.
Setelah Singamangaraja meningkat dewasa maka ibunya boru Pasaribu menyampaikan pesan dari Ompunta Batara Guru Doli bahwa Singamangaraja harus mengambil tanda-tanda kerajaan dari Raja Uti. Dia tidak tahu di mana kampung keramat Raja Uti demikian juga ibunya. Dia berangkat dengan berbekal doa yang menunjukkan dan menuntun langkahnya ke tempat keramat tersebut.
Dalam perjalanan banyak hambatan demikian juga setiba di keramat kampung Raja Uti yang ternyata ada di daerah Barus. Di sana juga dia dicoba tetapi semua bisa diatasi dengan baik. Sisingamangaraja bertemu dengan Raja Uti dan mereka makan bersama dan katanya: “Sudah benar ini adalah Raja dari orang Batak”. Setelah selesai makan merekapun menanyakan silsilah (martarombo) dan Si Singamangarajapun menyampaikan maksudnya dan disamping itu Sisingamangaraja meminta beberapa ekor gajah. Atas maksud Si Singamangaraja itu, Raja uti mengatakan akan memberikannya seperti pesan yang disampaikan Ompunta itu dengan syarat Si Singamangaraja harus dapat menyerahkan daun lalang selebar daun pisang, burung puyuh berekor dan tali yang terbuat dari pasir. Syarat-syarat yang diminta Raja Uti untuk mendapat tanda-tanda harajaon itu dapat dipenuhi semua oleh Singamangaraja. Sedang mengenai permintaan akan gajah itu, Raja Uti memberikannya asal Si Singamangaraja bisa menangkap sendiri. Si Singamangarajapun memanggil gajah itu maka heranlah Raja Uti melihatnya. Dan setelah itu dibawanya tanda-tanda harajaon itu pulang ke Bakara termasuk gajah itu.
Dengan tanda-tanda harajaon itu, jadilah dia menjadi Raja Singamangaraja, singa mangalompoi, Singa naso halompoan.
Raja Si Singamangaraja berikutnya
Raja Sisingamangaraja I sampai Raja Si Singamangaraja IX tidak diketahui kapan wafatnya dan dimana makamnya. Raja-raja ini setelah mempunyai keturunan dan merasa sudah ada penggantinya pergi merantau dan Piso Gaja Dompak tidak dibawanya. Mereka dipastikan telah wafat adalah melalui tanda-tanda alam yaitu ada cabang dari Hariara Namarmutiha yang patah. Kalau ada cabang Hariara ini yang patah berarti ada anggota keluarga yang meninggal dan kalau cabang utama yang patah berarti Raja Si Singamangaraja telah tiada. Hariara Namarmutiha ini dikenal juga sebagai Hariara Tanda dan sampai sekarang masih tumbuh di Bakara.
Biasanya keadaan ini diikuti dengan cuaca musim kemarau, sehingga masyarakat mengharapkan turunnya hujan melalui tonggo-tonggo Raja Sisingamangaraja. Si Onom Ompu (Bakara, Sinambela, Sihite, Simanullang, Marbun dan Simamora) dari Bakara mempersiapkan upacara margondang lalu meminta kesediaan putera Raja Si Singamangaraja untuk mereka gondangi.
Dengan memakai pakaian ulos batak Jogia Sopipot dan mengangkat pinggan pasu berisi beras sakti beralaskan ulos Sande Huliman sebagai syarat-syarat martonggo, putera raja inipun dipersilahkan memulai acara. Iapun meminta gondang dan menyampaikan tonggo-tonggo (berdoa) kepada Ompunta yang di atas untuk meminta turunnya hujan, kemudian manortorlah putera raja ini. Pada saat manortor itu langitpun mendung dan akhirnya turun hujan lebat dan masyarakat Si Onom Ompupun menyambutnya dengan kata HORAS HORAS HORAS. Kemudian piso Gaja Dompak pun diserahkan kepadanya dan dicabut/dihunusnya dengan sempurna dari sarangnya serta diangkatnya ke atas sambil manortor. Siapa di antara putera raja itu yang bisa melakukan hal-hal di atas dialah yang menjadi Raja Si Singamangaraja yang berikutnya, jadi tidak harus putera tertua.
Secara berturut-turut yang menjadi Raja Si Singamangaraja berikutnya dan perkiraan tahun pemerintahannya adalah Sebagai berikut:
 Singamangaraja II, Ompu Raja Tinaruan
 Singamangaraja III, Raja Itubungna.
 Singamangaraja IV, Tuan Sorimangaraja.
 Singamangaraja V, Raja Pallongos.
 Singamangaraja VI, Raja Pangolbuk,
 Singamangaraja VII, Ompu Tuan Lumbut,
 Singamangaraja VIII, Ompu Sotaronggal
 Singamangaraja IX, Ompu Sohalompoan,
 Singamangaraja X, Ompu Tuan Na Bolon,
 Singamangaraja XI, Ompu Sohahuaon,
 Singamangaraja XII, Patuan Bosar, gelar Ompu Pulo Batu,
__________________

RAJA NAPATAR

image

Wawancara dengan Cucu Tertua Sisingamangaraja XII

image 

Beberapa waktu lalu, wartawan majalah TAPIAN Hotman Jonathan Lumbangaol, Jeffar Lumban Gaol, dan Chris Poerba berkesempatan mewawancara cucu Sisingamangaraja XII, Raja Napatar. Ramah. Tidak ada basa-basi, seperti namanya Napatar yang berarti tidak ada yang disembunyikan. Kesan pertama bertemu dengan pria kelahiran Siborongborong 13 Mei 1941 adalah orang yang bersahabat. Suami dari boru Pakpahan dan ayah tiga orang anak ini agak serius kalau diajak ngomong. Berikut ini petikan wawancara itu, yang dimuat di majalah Tapian edisi November 2008 :

Apa yang paling mengesankan yang pernah Anda alami sebagai cucu Raja Sisingamangaraja XII?

Ketika di Bandung semasa kuliah tahun 60-an. Pernah ada sandiwara Sisingamangaraja XII, saya ditunjuk memerankan Sisingamangaraja,. Tidak ada yang tahu saya adalah cucu Sisingamangaraja XII. Lalu, saat pergelaran berlangsung, undangan dari Jakarta melihat saya. “Kalian tahu siapa yang memerankan Sisingamangaraja itu?” kata salah satu undangan. Waktu itu sutradaranya orang Jawa, tidak mengenal saya.

Mereka heran, “pantas dia sangat tahu sejarahnya,” kata mereka. Mengapa saya tidak mengenalkan diri? Karena saya inginkan masyarakat mengenal Sisingamangaraja bukan saya. Itu yang mengesankan.

Saat itu, ada seorang pelukis melukis Sisingamangaraja di tembok. Lukisannya persis. Sampai sekarang saya tidak tahu dimana lukisan itu. Yang saya ingat waktu itu seorang pejabat tentara orang Batak menyimpannya. Sebelum dilukis, pelukis ini mewawancarai saya seperti apa Sisingamangaraja itu. Acara diadakan di Gedung Nusantara Bandung. Itulah penghargaan mereka. Tetapi di Bandung tidak ada jalan Sisingamangaraja, hanya di Yogya yang ada (tertawa).

Sebagai keturunan Raja Sisingamangaraja XII apakah Anda pernah mengalami hal-hal yang misteri?

Saya kira tidak pernah. Hanya Raja Sisingamangaraja yang bisa melakukan mujizat, bukan keturunannya. Namun, jika ada hanya orang lainlah yang bisa melihat itu, bukan kami.

Mengapa tulang-belulang Sisingamangaraja XII dipindahkan dari Pearaja (Tarutung) ke Soposurung (Balige). Mengapa justru tidak ke Bakara sebagai asal muasal Sisingamangaraja XII?

Sebenarnya yang membuat itu adalah Soekarno. Tahun 1953 Soekarno datang ke Balige naik helikopter. Dia berpidato di Lapangan yang sekarang disebut Stadion Balige. Dalam pidatonya yang terakhir ia mangatakan bahwa “Balige ini bagi saya sangat mengesankan. Pertama, karena ia sangat indah. Kedua, di Balige ini yang pertama dicetuskan orang Batak perang melawan Belanda”.

Setelah itu, ia menanyakan kuburan Sisingamangaraja XII. Ada yang menjawab di Tarutung. Soekarno bertanya lagi, kenapa tidak dipindahkan ke Balige? Dari sinilah perang Batak yang terkenal itu, itu kata Soekarno. Sejak dari situ menjadi diskusi para tokoh Batak masa itu, termasuk salah satu anaknya Sisingamangaraja XII Raja Sabidan ketika itu menjabat sebagai Kepala BRI Sumatera Utara setuju.

Jadi, dibuatlah rapat. Sebab kuburan di Tarutung dianggap sebagai makam tawanan. Jadi, Sisingamangaraja XII tidak lagi dilihat sebagai Sisingamangaraja XII, tetapi Sisingamangaraja XII sebagai pahlawan nasional.

Anda masih ingat prosesi pemindahan makam itu; umur berapa Anda waktu itu?

image

Saya masih ingat ketika itu saya berumur sekitar 12 tahun. Sejak dari Tarutung rombongan pembawa tulang belulang itu dikawal haba-haba (hujan deras disertai putting beliung). Sementara rombongan hampir tiba di Balige, angin puting beliung itu berjalan mendahului prosesi yang membawa tulang-belulang sang raja. Dan menyapu bersih semua kotoran yang ada di sekitar makam. Lalu angin itu menunjukkan tempat yang menjadi makam Sisingamangaraja XII. Ini fakta karena saya melihat sendiri kejadian itu. Tidak banyak orang tahu tentang hal itu.

Ketika prosesi pemindahan tulang belulang raja Sisingamangaraja XII itu Soekarno datang?

Oh nggak. Hanya waktu itu ia mengirim telegramnya mengucapkan selamat. Waktu itu kami hanya empat orang cucu laki-laki. Saya dan dua adik saya tambah Raja Patuan Sori, ayah dari Raja Tonggo. Katika itu hanya tinggal satu anak, ayah saya Raja Barita.

Jadi, istri Sisingamangaraja XII ada lima; boru Simanjuntak, boru Situmorang, boru Sagala, boru Nadeak, boru Siregar. Boru Siregar sebenarnya adalah istri dari abangnya, setelah Raja Parlopuk. Yang ada keturunannya sampai sekarang hanya dari raja Buntal dan Raja Barita. Sementara dari Patuan Anggi anaknya Pulo Batu meninggal saat umur tiga tahun. Ia meninggal dalam pengungsian, jatuh ke jurang dengan penjaganya.

Saat itu, rombongan Sisingamangaraja XII pisah-pisah. Namun, beberapa kali ada datang pada kami mengaku-gaku “Ahu do Pulo Batu” (Sayalah si Pulo Batu). Tetapi tidak masuk akal. Masih muda mengaku-ngaku. Sebab, kalaulah ia benar seharusnya sudah lebih tua dari ayah saya. Jadi kami tidak percaya. Jadi sekarang cucu Sisingamangaraja XII hanya 5 orang lagi. Sayalah yang paling tua.

Apa yang membuat Sisingamangaraja XII tertangkap?

image

Sebenarnya, menurut cerita bahwa Sisingamangaraja XII tertangkap karena ada tiga orang yang berhianat. Kalau dulu Pollung, Hutapaung terkenal sebagai pendukung Sisingamangaraja XII. Maka tidak pernah Belanda bisa berhasil tembus ke daerah ini. Lalu, di Samosir Ompu Babiat Situmorang, ia dengan pasukannya juga raja yang dengan teguh melawan Belanda. Kalau mereka bertemu Belanda, mereka bunuh. Kulitnya dijadikan tagading. Sampai sekarang masih ada di Harianboho. Jadi merekalah Panglima pasukan Sisingamangaraja XII untuk menghancurkan Belanda. Lalu di Dairi. Disana ada gua Simaningkir, Parlilitan. Ia di bawah air terjun. Dari tengah-tengahnya ada pintu masuk. Inilah dipercaya sebagai Benteng Sisingamangaraja XII melatih semua pasukannya.

Dari mana Sisingamangaraja XII membiayai pasukaannya?

image

Dia tidak memungut pajak. Tetapi katanya di daerah Dolok Pinapan antara Parlilitan dan Pakkat di sana ada tambang emas.

Soal kepahlawan Siboru Lopian?

Dulu, beberapa kali rohnya si Lopian datang ke orang-orang tertentu. Sejak kami memindahkan saring-saring (tulang belulang) Sisingamangaraja XII ke Soposurung, Balige. “Pasombuon muna do holan ahu di tombak on (tegakah kalian membiarkan aku sendiri di hutan ini,” katanya. Sebab, semua keturunan Sisingamangaraja XII yang meninggal di pembuangan baik di Kudus, di Bogor, Jawa Barat kami sudah satukan di makam keluarga persis di belakang Tugu Sisingamangaraja XII. Oleh karena itu, kami pergi ke Dairi, ke Aek Sibulbulon untuk mengambil tulang-belulangnya Lopian.

Tetapi tidak mungkin lagi diambil kan? Karena, konon dia juga ditenggelamkan ke dalam sungai Sibulbulon dan ditimbun dengan tanah. Kami hanya mengambil secara adat, hanya segumpal tanah untuk dibawah ke Soposurung. Sejak itu tidak pernah lagi boru Lopian trans pada siapapun.

Saat pengambilan, kami juga mendapat ancaman bupati dan masyarakat setempat. Mereka tidak mau bahwa kuburan Lopian dipindahkan. “Sampe adong do istilah tikkini sian harungguan ikkon seketton nami angka namacoba mambuat i. (Kami akan bertindak jika ada yang mencoba mengambil kuburan Lopian).” Namun, akhirnya setelah kita berikan pengertian mereka minta kami untuk mangulosi mereka. 43 margalah mereka yang harus diulosi. Sebenarnya mereka mau minta, perjuangan Sisingamangaraja XII di Dairi tidak boleh dilupakan. Saya jawab, sebenarnya bukan kami yang menentukan. Tetapi kalau bupati meminta kuburan Lopian di Dairi kami tidak menolak.

Sementara beberapa tahun yang lalu Tarnama Sinambela mendirikan patung Si Boru Lopian di Porsea.

Bisa anda ceritakan bagaimana prosesi pengangkatan Raja Sisingamangaraja XII?

Untuk menjadi pengemban Raja Sisingamangaraja ada prosesinya. Saat Raja Sisingamangaraja XI wafat, Raja Parlopuk anak sulung yang harus menjalankan tampuk pemerintahan. Namun semuanya harus karena kesepakatan Si Onom Ompu. Sebab sudah tiga kali dilaksanakan pesta margondang, namun Raja Parlopuk tidak bisa membuktikan syarat-syarat yang diminta. Seperti memanggil hujan. Sementara Patuan Bosar bisa memenuhinya. Waktu itu ia masih ke Aceh, dari sanalah ia bisa mengerti bahasa Arab. Dan bergaul dengan orang-orang Aceh. Ia pulang dari Aceh saat ayahnya sudah meninggal. Sebenarnya Ia tidak mau menjadi Raja, hanya karena masyarakat setempat memaksa ia harus mau menerimanya.

Jadi Sisingamangaraja XI lah yang menulis pustaha kerajaan 24 jilid. Hanya pada kepemimpinan Sisingamangaraja XI lah ada penulisan tentang sejarah. Dan buku ini sudah dibawa ke Belanda dan masih ada di museum Belanda. Kami pernah meminta ke Belanda. Tapi menurut mereka, mereka ingin memberikan itu jika sudah ada gedung yang ber- AC. Tetapi karena belum ada kemampuan keluarga, hal ini masih terkatung-katung.

Mengapa tidak ada yang meneruskan (menjadi) Sisingamangaraja ke-XIII?

image

Sebenarnya karena tidak ada yang meminta. Sebab jabatan Sisingamangaraja itu ditentukan oleh enam marga tadi. Biasanya dilakukan penunjukan di Onan Bale, Di Bakara. Biasanya dalam acaranya, dibunyikan gondang. Pengangkatan Sisingamangaraja juga selalu karena ada masalah genting; ada penyakit atau musim paceklik. Ketika itu menurut mereka hanya jabatan Sisingamangaraja yang bisa menyelesaikan masalah tersebut.

Sionom Ompu itu siapa. Apakah keturunan Si Raja Oloan?

Bukan. Yang disebut Sionom Ompu di Bakkara itu adalah marga Bakkara, Sinambela, Sihite, Simanullang dan tambah dua marga lain Marbun dan Purba. Itulah marga penghuni Bakkara. Bukan Siraja Oloan. Sebab Naibaho dan Sihotang itu di Samosir. Dan mereka itulah raja-raja di Bakkara.

Bagaimana pendapat Amang tentang beberapa pendapat dinasti Sisingamangaraja yang tidak hanya berasal dari satu Marga. Ada yang mengatakan Sisingamangaraja itu hanya roh, bisa datang kepada siapa saja?

Bisa jadi. Hanya dari 1 sampai duabelas jelas semuanya dari marga Sinambela. Memang sejak semula kelahiran Sisingamangaraja pertama hasil pernikahan Bona Ni Onan dengan boru Pasaribu, ia lahir setelah 19 bulan. Tetapi kalau disebut tidak mesti Sinambela, saya kira harus dari keturunan Sisingamangaraja. Saya kira harus dari induknya.

Apakah benar keluarga Sisingamangaraja XII dipaksa memeluk agama Kristen?

image

Tahun 1907 semua keturunan Sisingamangaraja ke XII masuk sebagai Tawanan di Pearaja Tarutung. Lalu, ada marga Tobing mengajari mereka untuk agama Kristen setelah itu dibaptis. Ketika itu tinggal 5 anak raja Sisingamangaraja XII. Raja Buntal, Pakilin dan yang lain setelah besar dan disekolahkan ke Jawa. Sebenarnya untuk pembuangan. Sebab, Belanda melihat jika besar takutnya nantinya jadi berpengaruh. Jadi mereka dua orang Di Batavia, satu di Jatinegara, satu lagi di daerah Glodok. Lalu di Bogor, di Kudus meninggal di sana, dan satu di Bandung.

Raja Buntal ketika itu lulus dari sekolah hukum. Setelah mereka selesai masa belajar mereka pulang lagi ke Tapanuli. Raja Buntal ditempatkan sebagai wakil Zending Tapanuli mewakili Belanda di Daerah Toba. Sementara Ayah saya (Raja Barita) ditempatkan menjadi camat di Teluk Dalam Nias.

Sepulang dari Teluk Dalam, ayah saya menikah dan ditempatkan di Tarutung. Dan perkawinannya dibiayai Belanda di Porsea. Dengan semua resepsi Adat Batak. Belanda membawa es cream dari Pematang Siantar. Jadi semua undangan makan es cream waktu itu. Sementara Raja Buntal menikah juga dibiayai Belanda hanya dengan gaya Belanda.

Siapa Raja Tobing itu?

Jadi karena terimakasih dari ompung boru Sagala terhadap kebaikan Raja Henokh Tobing, diberikanlah putrinya Sunting Mariam menikah dengan putranya. Sementara Raja Pontas Tobing memberikan tanah tahanan keluarga di Pearaja Tarutung.

Raja Pontas dianggap mengkhianati Sisingamangaraja XII. Satu waktu, Raja Pontas memanggil Sisingamangaraja XII untuk mendamaikan Raja Pontas dengan saudaranya. Begitu Sisingamangaraja XII muncul yang datang ternyata Belanda. Sebenarnya bukan masalah Kristen, tetapi karena ia menjadi mata-mata Belanda. Dengan raja Pontas-lah Sisingamangaraja XII bermasalah. Sekarang, keturunan dari raja ini minta tanah ini kembali digugat (bersebelahan dengan Pusat HKBP), dekat Rumah Raja Pontas. Saya bilang, itu tanah yang diberikan Belanda, tetapi tanah itu kami yang meninggali. Berikutnya pemerintah memberikan bahwa yang menempatilah yang memiliki hak kepemilikan. Maka itu hak kami.

Sejak kapan Sisingamangaraja XII melakukan perang terhadap Belanda?

Setelah Belanda menjadikan Tarutung tahun 1876 sebagai daerah jajahan Belanda.Tahun 1877 rapat raksa di Balige atas reaksi Sisingamangaraja untuk menentang Belanda. Raja-raja Toba dikumpulkan. Keputusan rapat tersebut ada tiga. Pertama, Kita akan perang dengan Belanda, Kedua, Kita tidak anti terhadap Zending. (Ketiga) Kita harus membuka hubungan diplomatik dengan suku bangsa yang lain. Ketika itu Barita Mopul dan Raja Babiat ikut untuk rapat itu.

Dari sanalah dimulai perang melawan Belanda. Itulah yang disebut Perang Pulas. Dimulai di Bahal Batu daerah Humbang, Lintong Nihuta. Dilanjutkan di Tangga Batu, Balige. Pertempuran Pertama Sisingamangaraja XII masih bisa mengalahkan Belanda. Lalu perang di Balige Sisingamangaraja XII mundur menjadikan perang Gerilya. Tahun 1883 hampir seluruh daerah Toba dikuasai Belanda. Menyingkirlah Sisingamangaraja XII ke arah Dairi.

Kalau tempat-tempat keramat Sisingamangaraja masihkah dilestarikan sampai saat ini?

Hariara parjuaratan, disanalah Sisingamangaraja pertama dulu bergantungan, Ini masih ada. Di bawahnya itu ada komplek kerajaan Sisingamangaraja. Di bawah komplek ini ada Batu Siungkap-Ungkapon.

Masa Nippon ini pernah dicoba selidiki. Tali ini diulurkan dua gulung, tali diikatkan sampai habis tidak sampai menyentuh tanah. Konon setiap kerbau yang disembelih darahnya dimasukkan ke dalam batu siungkap-ungkapon. Sementara tombak Sulu-sulu itu berada di lokasi perkampungan marga Marbun. Saat ini mereka sudah berikan tanda-tanda tombak Sulu-sulu. Jadi ada disana disebut tempat pemujaan. Jadi kalau marpangir (keramas) di batu inilah berjemur. Lalu dekat pantai ini ada Aek Sipangolu (air kehidupan).

Di dekat Aek Sipangolu ada namanya Batu Hudulhundulan dikenal tempat istirahat Raja Sisingamangaraja. Dan didekatnya ada Hariara. Katanya kalau cabangnya patah menandakan telah meninggal Sisingamangaraja. Kalau ada rantingnya yang patah itu berarti keturunannya yang meninggal. Katanya kalau ada dari keluarga raja ini berpesta, maka daun-daunnya akan menari-nari terbalik. Sisingamangaraja XI makamnya ada di Bakkara.

Apa arti lambang Sisingamangaraja itu?

Kalau yang putih menggambarkan “Partondi Hamalimon” mengambarkan tetang agama. Kalau yang merah Parsinabul dihabonaran yang berarti menyunjung tinggi kebenaran. Kalau yang bulat mengambarkan “Mataniari Sidomppakkon” matahari yang tidak bisa ditentang menggambarkan kekuasaan Sisingamangaraja. Sementara delapan sudut ini mengambarkan delapan penjuru angin (desa Naualu) dukungan dari delapan desa. Sementara pisau yang kembar menggambarkan keadilan sosial. Itu semua ada sejak Sisingamangaraja pertama.

Piso Gaja Dompak itu sekarang dimana?

Di Museum Nasional. Saya juga baru tahun lalu melihat itu. Sebelum acara pesta 100 tahun Sisingamangaraja XII kami diajak melihat Piso Gaja Dompak itu. Kami diantar ke tempatnya Piso Gaja Dompak itu, saya kenalkan diri. Saya melihat sarungnya sudah lapuk. Gajah itu memang ada. Saya ingat dulu yang menyimpan Piso Gaja Dompak ini Sunting Mariam putrinya yang nomor dua. Dia meninggal 1979. Dulu saya ingat pesannya bahwa di ujung pangkal pisau ini ada permata merah. Lalu kepala museum mengelap dan memang kelihatan mutiara merah.

Kalau dulu Piso Gaja Dompak itu memang selalu dibawa?

Selalu dibawa. Memang itulah kekuatannya, salah satu penambah keyakinan.

PRASASTI DOLOK TOLONG

Misteri Prasasti Dolok Tolong
Tidak banyak literatur yang membahas eksistensi prasasti Dolok Tolong di Balige, Kabupaten Toba Samosir ini. Seperti prasasti dan inskripsi lain yang berada di Tanah Batak di Tapanuli, prasasti Dolok Tolong seakan tenggelam dengan eksistensi ribuan prasasti di Indonesia. Walaupun prasasti ini tidak akan berpengaruh besar terhadap sejarah Indonesia secara keseluruhan, namun diyakini keanehan tetap ada karena prasasti ini tepat berada di sekitar jantung Tanah Batak. Bahkan Balige merupakan pusat perdagangan kerajaan Batak sejak dahulu kala dengan istilahnya; ‘Onan Bolon’.
Di Onan Bolon inilah berbagai bentuk hukum dan konstitusi diamandemen dengan keterlibatan langsung rakyat dan masyarakat yang juga memanfaatkan onan sebagai pusat transaksi dagang yang memang menjadi tujuan utama.
Prasasti Dolok Tolong ini seakan menjelaskan sekali lagi pluralisme masyarakat Tapanuli dan Batak yang menjadi cikal bakal budaya toleransi dan tenggang rasa yang tinggi yang dianut oleh setiap orang Tapanuli sampai sekarang ini. Sikap itu tampak dari bentuk pemikiran yang terbuka atas segala bentuk ide dan konsep. Tentunya, terdapat juga kemungkinan adanya bagian kecil orang Batak yang berpikiran picik seperti halnya di berbagai tempat lainnya di Indonesia.
Tapanuli, seperti halnya daerah lain di Indonesia, merupakan daerah yang juga banyak mendapat pengaruh dari dunia luar. Beberapa manuskrip kuno seperti Sejarah Raja-jara Barus, Hikayat Raja Tuktung dan Hikayat Hamparan Perak dan lain sebagainya, banyak menceritakan struktur masyarakat dan sosial Batak di zaman dahulu. Baik itu penjelasan mengenai saat-saat pembentukan sistem hukum dan perundangan-undangan maupun penjelasan mengenai peran orang Batak sebagai penyebar agama Islam di sekitar daerah yang sekarang menjadi bagian dari Sumatera Utara.
Dari berbagai manuskrip itu didapat sejarah Kerajaan Balige di tahun 1500-an yang saat itu diperintah oleh putra bungsu dari Si Raja Hita, putera Sisingamangaraja I yang menghilang dari Bakkara. Abang sulung dari Raja Balige tersebut bernama Guru Patimpus, seorang Raja dan Ulama, yang kemudian bermigrasi ke pesisir Timur Sumatera. Dia, yang memiliki anak-anak yang hafizd al-Qur’an, dikenal sebagai pendiri Kota Medan di tahun 1590.
Selain bukti sejarah tersebut, eksistensi prasasti Dolok Tolong diyakini merupakan bukti utama atas persinggungan budaya Batak dengan peradaban Hindu dan Buddha di Indonesia.
Menurut berbagai literatur yang secara terpecah-pecah menyinggung bukti sejarah ini, prasati ini merupakan prasasti atas eksistensi orang Majapahit di Tanah Batak. Saat itu, pasukan marinir Majapahit mengalami kekalahan pahit di Selat Malaka. Melalui sungai Barumun mereka menyelamatkan diri ke daratan Sumatera sampai ke suatu daerah di Portibi. Di sana, mereka dicegat masyarakat sehingga membuat mereka terpaksa melanjutkan pelarian sampai ke Bukit Dolok Tolong di Balige. Di Gunung inilah mereka meminta suaka politik kepada seorang Raja di tempat dari sub-rumpun marga Sumba (Isumbaon) yang saat itu menguasai wilayah tersebut.
Dolok Tolong, yang juga dikenal dengan nama Tombak Longo-longo Sisumbaon, ini merupakan sebuah pegunungan yang lumayan tinggi, dari puncaknya pandangan dapat di arahkan ke tanah Asahan, Labuhan Batu dan Angkola Sipirok dengan pemandangan yang sangat mempesona.
Diceritakan, seorang Pangeran yang mempimpin pelarian tersebut akhirnya memerintahkan untuk membuat prasasti tersebut sebagai sebuah hasil penjanjian dengan Raja dari marga Sumba tersebut dimana mereka diijinkan untuk tinggal di wilayah itu.
Pendapat lain mengatakan bahwa Pangeran tersebut juga menikahkan seorang putri yang ikut dalam rombongan pelarian kepada seorang raja Batak di tempat. Putri tersebut bernama Si Boru Baso Paet. Ada yang menafsirkan bahwa Si Boru Paso Paet sebenarnya merupakan perusakan kata dari Si Boru Majapahit yang artinya Srikandi Majapahit.
Lebih jauh lagi ada pula yang mengatakan bahwa Si Boru Baso Paet itulah yang menjadi nenek moyang orang Batak. Namun keterangan ini menjadi membingungkan karena eksistensi orang Batak di berbagai literatur telah ada berabad-abad sebelumnya dan bahkan ada pada ke-2 M telah berinteraksi dengan pelaut asing seperti yang diceritakan oleh Ptolemeus, tapi dengan nada negatif.
Tapi bila dilihat dari nama penamaan tempat itu oleh orang setempat, Tombak Longo-longo Sisumbaon, ada kemungkinan bahwa bukit tersebut merupakan pusat religi kaum animisme dan paganisme Batak dahulu kala. Arti harfiah dari kalimat tersebut adalah Hutan Rimba Yang Menjadi Tempat Persembahan. Eskistensi nama tempat ini sepertinya mirip dengan nama Dolok Partangisan di sebuah daerah antara Dolok Sanggul dan Tele yang merupakan tempat tradisional untuk memberikan sesajen berupa manusia (korban) untuk memuja roh atau dikenal dengan istilah mamele begu.
Yang sangat disayangkan adalah tidak adanya sebuah penelitian yang menyeluruh atas apa isi dan arti sebenarnya dari tulisan atau tanda yang terdapat di prasasti tersebut. Bukan tidak mungkin, selain dari dugaan kedatangan orang Majapahit, sebenarnya terdapat bentuk kebudayaan di Balige yang selama ini tidak dikenal. Atau kemungkinan-kemungkinan lainnya.
Tentu yang paling disayangkan lagi adalah rendahnya peran pemerintah daerah dalam menghormati eksistensi bukti-bukti sejarah ini. Padahal tidak sedikit dana APBD dikucurkan untuk membangun objek-objek wisata, konvensional maupun rohani, yang tampaknya sangat berlebihan dan terkesan mubazzir serta tidak produktif. Pemerintah seharusnya tidak terjebak dalam sebuah kebijakan yang malah menghilangkan nilai-nilai pluralisme budaya dan adat.
Bukan tidak mungkin apabila prasasti ini dapat diungkap lebih mendalam lagi, banyak kearifan lokal yang banyak diambil hikmahnya oleh generasi muda sekarang ini.

SIBAGOT NI POHAN

Sejarah Sibagot Ni Pohan

Hata na uli jala na tigor do hata ni umpama i, opat do tutu Sibagot ni Pohan saina, tubu ni Inanta Soripada Nantuan Dihutarea, Anak ni Tuan Sorimangaraja II, ima:

1. Sibagot

“HODONG DO PAHU, HOLI-HOLI SAKKALIA.
“HODO AHU, HITA NA MARSADA INA.

ni Pohan
2. Sipaettua
3. Silahisabungan
4. Siraja Oloan

Dungi tolu tubu ni Inanta Soripada Borubasopaet, ima:

1. Sumba II
2. Toga Sobu
3. Toga Pospos

Di laon laon ni ari dung mate sarimatua Tuan Sorimangaraja gabe Sibagot ni Pohan do muse junjungan ni harajaon, sitiop tampuk ni adat dohot tampuk ni uhum di tano Baligeraja singkat ni amana i. Jolma na bisuk do Sibagot ni Pohan, pangoloi jala parasiroha, alani bisukna do umbahen buhar borngin pinompar ni Boru Basopaet sian tano Baligeraja, ndang dohot porang manang bada, angkal do di bahen ibana asa sampak mudar ni nasida na sahuta i; dang dope di lele, nunga laho maringkati” buhar nasida ditinggalhon hutanai; “mulang bodari”

Hasurungan ni Sibagot ni Pohan sian donganna “panganju” ibana di angka anggina na tolu i, tung dipatunduk jala di patorutoru do rohana laho manganju nasida.

Sitiop tampuk ni adat, patik dohot uhum di harajaon i, ibana do mamantikhon Baringin Bius Godang di tano Baligeraja; “Bius Patane Bale Onan Balige, hasahatan ni solu, hasampean ni hole”. Digoari do di tonggo-tonggo tano Balige i songon on:

Tano Balige tano Baligeraja, tano marpidan-pidan, tano marpolin-polin.
Tano na sinolupan. tano binalean, tinombang ni Ompunta Tuan Sorimangaraja, Raja Ulu ni Ubi.
Raja tiang ni tano, raja na so olo matua, raja na so olo mate.
Asa tano Baligeraja do rapot pamuraion, jala portangisan ni na ro!”

Songon i ma goar ni tano Baligeraja i ditorsahon Ompunta Sibagot ni Pohan i, tangis do angka na ro marsolu sian bariba ni aek molo diborong alogo laut dohot alogo lubis, tangis do angka na ro sian dolok Humbang molo tarborong dibahen udan, ala ingkon mardalan nasida sian rahis-rahis dohot dalan na landit jala na sompit songon paronan ni Huta Ginjang rupani. Rapot pamuraion na nidokna so sundat disampak aek na mardalan solu; so sundat mamolus nambur, jala martitir hodokna paronan na ro sian Dolok manuati dohot manganakhohi dolok-dolok i, dihunti gadongna dohot bingkauna laho tu Onan Baligeraja, ditapol tugona diompa-ompa poso-posona. Hape atik pe songon i, ingkot rapot,ingkon runggu do tu Onan Baligeraja i; ala di Onan i do partingkian, mangalap dohot manaruhon angka ngolu-ngolu dohot janji-janji dohot angka na asing.

MAMANTIKHON BARINGIN BIUS GODANG

“Habang ma sitapi-tapi, songgop siruba-ruba

“Patik na so jadi mose, uhum na so jadi muba
Dung laho be angka anggi ni Sibagot ni Pohan na mardandi i manopot tano naung niriritan nasida hian:

* Sipaetua laho dompak Laguboti
* Silahisabungan dompak Silalahi Nabolak
* Siraja Oloan dompak Pangururan boti tu Bakara

Di laon-laon ni ari, dijujur Sibagot ni Pohan ma ari laho mamantikkon Baringin Bius Godang di tano Baligeraja, asa di gurguri onan i na jadi Bius Godang di pinompar ni Sibagot ni Pohan manuan hau baringin, jabi-jabi dohot hariara. Asa gabe tuko na so sibutbuton gadu naso sisosaan ma angka hau sinuan na di Onan i, partanda ma i di paronan, harungguan dohot partungkoan di angka Raja Jungjungan, Raja Naopat, Raja Nauwalu, Raja Nasampuludua dohot angka Raja Parbaringin, Datu Bolon dohot Sibaso Bolon

Dungi di torsahon Sibagot ni Pohan ma torsa ni Harajaon Bius i, diatur ma sian anakna na opat i:

1. Tuan Sihubil
2. Tuan Somanimbil
3. Tuan Dibangarna
4. Raja Sonakmalela

dipasu-pasu ma asa gabe Pusaka Harajaon i manguluhon Bius Godang i “Bius Patane Onan Balige” Jala ditotaphon ma tu nasida be songon i sahat tu pinomparna

Songon on ma partonding ni harajaon na sinantikhon na i:

Bagian parjolo

1. Harajaon Pande Nabolon, ima Tuan Sihubil sahat tu pinomparna
2. Harajaon Pande Raja, ima Tuan Somanimbil sahat tu pinomparna
3. Harajaon Pande Mulia, ima Tuan Dibangarna sahat tu pinomparna
4. Harajaon Pande Namora, ima Raja Sonakmalela sahat tu pinomparna

Bagian paduahon

1. Harajaon Saniangnaga, paidua ni Pande Nabolon
2. Harajaon Parsinabul (Hinalang), paidua ni Pande Raja
3. Harajaon Parsirambe (Patuatgaja),Paidua ni Pande Mulia
4. Harajaon Mamburbulang (Parjuguk), paidua ni Pande Namora

Bagian patoluhon

1. Harajaon Undotsolu (Raja Laut)
2. Harajaon Panguluraja (Ulu Porang)
3. Harajaon Pande Aek (Parhauma)-Pnagulaon
4. Harajaon Panguludalu (Parpinahanon)

Asa songon i ma partording ni Harajaon di Bius Godang, Bona Pasogit di pinompar ni Ompunta Tuan Sorimangaraja, di tano Baligeraja tinombangna i jala anak sihahaan ma ibana sian ompunta Tuan Sorbanibanua.

* Asa na opat parjolo i ma junjungan ni Bius i, di adat Hadewataon Adat Batak (Ugamo Batak)
* Na dibagian paduahon i ma di Horja dohot Luat gabe Raja Naualu
* Na di bagian patoluhon i ma pangatur, sijaga pintu julu dohot pintu jae

“Bagot na madungdung ma tu pilo-pilo marajar
Asa tinggal ma nalungun sai ro ma na jagar”

Dung buhar tubu ni Boru Basopaet, sian Lumban Gala-gala, Lobu parserahan i, tarsubut ma ingkon mangan horbo sakti tubu ni Nai Tukaon, asa tambakhonon nasida Siraja Hutalima anggi nasida naung mate i.

dung rumbuk tahu nasida Sibagot ni Pohan dohot anggina na tolu i: Sipaetua, Silahisabungan dohot Siraja Oloan, disuru ma anggina na tolu i mamulung tu harangan, Sipaetua ma sibuat hotang harihir ni horbo, Silahisabungan sibuat haundolok borotan ni horbo i, Siraja Oloan ma sibuat hauanak dohot sijagoran jungjung buhit ni borotan i (ranting ni hau slom, baringin, sanggar, ompu-ompu dohot angka na asing)

Dung i laho ma nasida, dihondor ma solu dalan nasida, alai hasit do roha nasida mida hahana Sibagot ni Pohan i, ala nasida disuru adong do naposo siparbagaon. Borhat ma nasida Sipaetua pangabarasi di jolo, Silahisabungan pamoltok ditonga-tonga si Raja Oloan ma pangamudi di pudi. Sahat ma nasida tu harangan Pealeok diririti nasida ma jolo harangan i sukup do adong disi sipulungon nasida i.

Dungi laho ma nasida jumolo tu tano Laguboti manghakapi tano i di ida nasida ma denggan tano i bahen parhaumaan, sukup aek jala hornop. On ma muse diahu puang ninna Sipaetua.

Dungi laho muse nasida marsolu dompak mangori-ngori dolok dohot tor sahat ma nasida tu Silalahi mamolus tao na bolak i, diida nasida ma tano i denggan boi parhaumaan dohot taoi gabe pandaraman. Jadi didok Silahisabungan ma: On ma di ahu ninna.

Sian i muse, malluga ma nasida mangori-ngori dolok dohot tor, dibolus nasida ma tano ponggol na di Pangururan (panoguan do goar ni tano ponggol i). Dungi muse sahat ma nasida tu Bakkara, dung di ida nasida denggan tano i, bahen parhaumaan didok Siraja Oloan ma: On ma diahu ninna.

Dungi mulak ma nasida muse tu Paselok hasahatan parjolo i, dionggopi nasida ma, manang na pasauton ni haha nasida i do Saktirea i nang so disi nasida. Jala molo dipasaut ima bonsir parsirangan bahenon nasida dompak hahana i. Dung sai dibilangi nasida ari sian parborhat nasida i, sahat tu parmulakna i marpingkir ma nasida naung dipasaut hahani Saktirea i.

Ianggo Sibagot ni Pohan dung sai dipaima-ima ndang marnaro angka anggina i, marsak do rohana aik beha na adong mara nasida di harangan i, dung saep ndang ro be sahat tu ari na tiniti, bulan na pinillit, jala nunga huhut mandasdas amanta Datu dohot Inanta Boru Sibaso, dihudus ma angka naposo mamulung dohot mambuat borotan sian angka huta di bagasan horja i (on ma na nidokna nunga tare parasoman)

Dung rade sude, dibona ma gondang i, dipasaut Sibagot ni Pohan ma ulaon Saktirea i. Aturan pitu ari hian lelengna, gabe tolu ari nama dibahen Sibagot ni Pohan, ala nunga sai hambirang rohana di langka ni angka anggina i.

Ia dung dibege angka anggina i lengesna naung salpu Horja Saktirea i, roma anggina na tolu i mamboan pulung-pulungan nialap nasida i, tar manimbas be ma dompak jolo ni Sibagot ni Pohan mandok: “Ia i ba! Na so uhum na so adat do binahenmi dompak hami, burju rohanami mangoloi hatam mangalap pulung-pulungan, hape tung mamulik do roham di hami, asa holan ho manortori gondang Saktirea i

Dung muruk jala piri-pirion ma nasida, morpasa-pasa ma nasida tu Sibagot ni Pohan didok ma: “molo tung na hombar ma habinahenmi tu hami diruhut ni paranggion dipulik ho hami. asa ho mangkasuhurhon Sakti i, ba horas ho, horas nang hami! Alai anggo na magalaosi do ho, di adat ni Opunta dohot Amanta, ba tung ho ma na sari disi haha-doli, ninna”.

Dungi dialusi Sibagot ni Pohan ma: “Beasa pola marpasa-pasa hamu na tolu dompak ahu na rap suhut do hita, hamu do na malelenghu dang marnaro, gariada huraksahon do hamu, hurimpu na adong maramu di parlaho mui, ai ndang patut songon i lelengna, ulaon sadari do gabe saminggu lelengna hamu, dungi muse nunga dapot titi ni ari, nunga tare parasoman, nunga manghudus Datu dohot Sibaso, ingkon mamona na di gondang i ba ido umbahen pinasaut” Alai hudok pe songon i manganju ma ahu di hamu: “Pauk-pauk hudali ma, pago-pago tarugit, na tading niulahan, na sega pinauli”. na boi ulahan do na tading, na boi paulion do na sega. Ba dos rohanta mangan horbo sakti sahalinari horbonta do horbo, doalta do doal, palampot hamu be ma ate-atemu dohot rohamu, ninna Sibagot ni Pohan mandong anggina na tolu i.

Dungi di oloi angka anggina i ma pardengganan i, asa diulakhon muse margondang mangaliat horbo. Alai andorang so dititi nasida dope ari, direngget nasida ma jolo taringot tu parjambaran, manang songon dia parpeakna. Didok nasida ma: “Sipaetuama ihur-ihur, Silahisabungan ma sijalo hulang-hulang, Siraja Oloan ma pura-pura”

Dung dibege Sibagot ni Pohan i pandok nasida taringot tu jambar-jambar i, didok ma: “Ianggo parjamabaron songon na pinangidomu i, ndang tingkos i. Angat dohot na so adat do i, ai jambar suhut do i sude sibahenon tu raga-raga (pangumbari) di panganon horbo sakti, mangihuthon adat ni Amanta”, ninna. (Diboto nasida do Sibagot ni Pohan Raja Jolo hundul di rumabolon jabu bona, ingananni raga-raga parsibasoan i, singkat ni ama. Alai lupa do nasida “ndang na matean ama nasida ianggo adong do hahana).

Dung i di dok nasida na tolu ma tu Sibagot ni Pohan: “ianggo songon i do dohononmu ba di ho do hape jambar i sude, alani i ndang olo be hami domu dohot mangoloi hatam tumagon ma hami sirang laho sian on, asa haru bulus roham. Asa tung timus ni api nami pe dompak ho, ingkon intopan nami, gaol nami pe molo dompak ho sombana i (santungna) ingkon tampulon nami. Asa gabe i ma gabem, ndang na ro di ho be hami. Jala muse tung na so jadi songon horjami bahenon nami horjanami”

Songon i ma dalan parsirangan ni Sipaetua, Silahisabungan dohot Siraja Oloan sian hahana Sibagot ni Pohan

“MARTUMBA MA AILI, MARJOJING BABI DALU”
SADA MANDOK TIAS, DUA MANDOK MALU”

Dung so dapot be pardengganan taringot tu porjambaron i, songon pinagidoan nasida sada mandok tias, dua mandok malu, saut ma marruntus ma nasida maninggalhon Sibagot ni Pohan, martiptip marolangolang ma nasida tung timus ni apina ingkon intopanna dohot santung ni gaolna ingkon tampulonna molo dompak Sibagot ni Pohan.

Jadi dung laho nasida, martutup jala marbula ma muse nasida mandok: “Tung na so jadi oloan manang pardomuhonon nasida be Sibagot ni Pohan manang tu ro pe mangelek-elek nasida” Jla molo tung ro pe manopot hita sada-sada lehet do alusan di hata, alai masigilingan ma hita mandok songon on: “Aha ma ianggo ahu, sian si Anu ma elek” songon-songon i ma dohonon ni nasada dohot na sadanari, masigilingan ma hata nasida asa jut rohana jala loja ibana sonon i ma hata parbulanan nasida,

Dung sae nasida na marbulan i laho ma Sipaettua mangihuthon padan nasida dompak Laguboti tu tano naniriritna tinodona i. Laho Silahisabungan dompak Silalahi Nabolak tu tano naung tinodo na i. Songon i Siraja Oloanlaho ma dompak Bakkara tu tano naung ni idana i.

Di si ma di bahen nasida be ma asa asing-asing adatna di Horja mangaliat horbo sian na binahen ni Sibagot ni Pohan. Alai anggo Siraja Oloan, diuba dohot di ose do muse padan dohot bulanna i, ai gabe dos do pangulahonna dohot Sibagot ni Pohan di horja mangaliat horbo i. Ala tarsunggul do tu rohana hatigoran dohot hasintongan di an niidana dohot na binotona taringot tu sakti rea binahen ni amana Tuan Sorimangaraja II. Di ida do raga-raga gantung di rumabolon marsi guri-guri sijonggi, piso surik dohot daung simaligas dohot daung napandang, jonok tu pangumbari pamelean di jabu, molo pamelean di alaman manang di balian, ima langgatan si tolu suhi-suhi si tolu goli-goli.

“TINAMPUL BULUNG SIHUPI, PINARSAONG BULUNG SIHALA,
UNANG TARSOLSOL DI PUDI, NDADA SIPAINGOT SOADA”

Dilaon-laon ni ari disada tingki masa do logo ni ari sinanggar-nanggar di tano Baligeraja, marsik do gulu-guluan dohot mual, rahar sua-suanan mosok dohot duhut-duhut dibahen logo ni ari i, jadi nunga tung hasit dapot ngolu ni halak dohot pinahan maesa do roha mahiang daging melos bohi sai holan na mangholsoi, marangkup do muse sahit butuha dohot ngenge nabirong tu jolma dohot pinahan godang do na mate ala ni sahit-sahit i.

Ala ni i di jou Sibagot ni Pohan ma Datu dohot Sibaso partondung na utusan, poralamat pandang torus asa diilik ditondung parmanukon siaji nangkapiring, aha do alana umbahen pola masa songon i. Dung disungkun Datu dohot Sibaso marhite tandung i, tarida ma di jaha-jaha ni tondung parmanukon i songon on: Ingkon marsahata, mardenggan do Sibagot ni Pohan dohot anggina na tolu i, topoton na, elekonna, taguonna molo na mardandi, apulonna molo na tangis. Ai adat Raja do “Sitogu na mardandi dohot siapul na tangis”

Alai nunga matuabulung Sibagot ni Pohan, anak na Tuan Sihubil ma disuru wakilna manopot dohot mangelek-elek angka anggina na tolu i, asa mardenggan nasida, marsiamin-aminan songon lampak ni gaol, marsitungkol-tungkolan songon suhat di robean asa mardame nasida marindahan sinaor, jala borothonon ni Sibagot ni Pohan ma sada horbo ambangan nasida asa ro udan paremean sipagabe na niula.

Dungi laho ma Tuan Sihubil dihondor ma solu bolon huhut mardoal-doal. Jumolo ma ibana sian Laguboti manopot Sipaettua, dungi tu Bakkara manopot Siraja Oloan, sian i muse tu Silalahi monopot Silahisabungan. Alai sai masigilingan hata ma nasida na tolu marningot padan dohot parbulanan nasida. Gabe ndang adong hata na hantus mangolohon nanggo sada sian nasida na tolu. Gabe marsak ma rohani Tuan Sihubil, alai di namulak nasida sian Silalahi, mamolus ma nasida sian Tolping dung dibege isi ni Tolping i suara ni doal i sahat tu pasir nasida rongom ma ro jolma sian huta dohot angka dakdanak na marmahan disi toho muse adong angka ina marsigira di topi pasir i. Dung disungkun ise adong tubu ni Silahisabungan di napungu i pintor di tangkup nasida ma Sigiro gl Raja Parmahan, ima anank ni Pintubatu sian Tolping pahompu ni Silahisabungan ma i sian anak hajut , ima di usung nasida daon impol sian pardalanan nasida i.

Dung i borhat ma nasida muse sian i mangulahi ma muse nasida laho dompak Bakkara mangelek-elek Siraja Oloan. Leleng do jolo sai dijuai marningot padanna dohot Sipaettua dohot Silahisabungan. Alai dung sai dipingkiri ibana taringot tu hasusaan ala ni leleng ni logo ni ari i dohot sahit-sahit na pamate jolma dohot pinahan di tano Bona Pasogit i, mulak ma rohana mangoloi elek-elekna i mardomu muse nunga pola diida Siraja Oloan diboan nasida pahompu ni Silahisabungan hira songon singkat ni langkana.

Ala nunga diloloi Siraja Oloan elek-elek nasida i, dilehon nasida ma tu Siraja Oloan sada ulos Suri-suri Ganjang, dungi rap bothat ma nasida tu tano Baligeraja. Asa gabe adat do muse silehon ulos hahana tu anggina jala mardongan parbue bota-bota. Sahat dope binoto muse sono i di Harajaon Singamangaraja, molo ditopot angka Raja Porbaringin Raja i tu Bakkara, ulos suri-suri ganjang do dilehon dohot parbue bota-bota, songon hamauliateon ni roha marningot adat na sian sijolo-jolo tubui.

Andorang so sahat dope solu nasida tu topi pasir Balige, nunga masibegean soara ni doal sian tao dohot soara ni doal na manomu-nomu di pasir. Manortor ma Raja Solu Tuan Sihubil di ulu ni solu i, mallutuk mardorop ma soara ni hole, dipahusor-husor ma jolo solu i tolu hali dompak tao, ipe asa sipasahat tu pasir. Martopap ma jolma i sude marhoras-horas, diiringhon doal na dua bangunan i Siraja Oloan dohot Siraja Pormahan margondang dalan sahat tu huta.

Dung pajumpang dohot Sibagot ni Pohan nasida na ro i, masitabian masipasauran dama ma nasida huhut tangis be ala ni sihol nasida. Diummai ma dohot Siraja Pormahan, dipabolak ma amak hundulan di jolo ni rumabolon i hundul be ma manangihon barita ni pardalanan ni Tuan Sihubl dohot pardapot ni Siraja Pormahan dohot pangoloi ni Siraja Oloan.

Marsogot na i diborothon nasida ma horbo ambangan i, ditortori Siraja Oloan dohot Siraja Pormahan ma jolo laho mangaliat horbo i, saiu marria-ria marolop-olop jala marhoras-horas ma nasida saluhutna ama dohot ina, dung sae tortor liatan i martonggo ma Sibagot ni Pohan paboahon naung marsahata nasida marsidengganan maruli ni roha. molo tung adong na sintak maebur songon parabit ni na so ra malo, na tu jolo tu pudi songon pamgambe ni paronan, asa gundur pangalumi, ansimu pangalamboki, di na hurang di na lobi asa di lambok-lamboki Mulajadi Nabolon, Dewata Natolu dohot Sahala ni Ompu dohot Ama.

Dung i amanta Datu dohot Boru Sibaso ma muse martonggo manggoki gondang i, pintor mardobor-dobor ma langit paboa udan. Ro ma udan mansai gogo situtu. “Mago do logo ni ari tolu taon onom bulan dibahen udan sadari” pintor rata ma duhut-duhut. Siraja Oloan pe di pataru ma muse mulak tu Bakkara.

Sumber: Pusata Tumbaga Holing

TUAK DAN MASYARAKAT BATAK TOBA

Tuak dalam Masyarakat Batak Toba:

Apa Sebenarnya Tuak dan Pengertian Tuak dalam Masyarakat Batak Toba

Tuak merupakan sadapan yang diambil dari mayang enau atau aren ( Arenga pinnata). Kalau dalam bahasa Indonesia, sadapan dari enau atau aren disebut nira. Nira tersebut manis rasanya, sedangkan ada dua jenis tuak sesuai dengan resepnya, yaitu yang manis dan yang pahit (mengandung alkohol).
Hatta Sunanto [1983:17], seorang Insinyur pertanian, menerangkan:
"Di Indonesia, tanaman aren dapat tumbuh baik dan mampu berproduksi pada daerah-daerah yang tanahnya subur pada ketinggian 500-800m di atas permukaan laut. Pada daerah-daerah yang mempunyai ketinggian kurang dari 500m dan lebih dari 800m, tanaman aren tetap dapat tumbuh namun produksi buanya kurang memuaskan."
Pohon enau atau aren dinamai bagot dalam bahasa Batak Toba. Di kecamatan Balige yang berketinggian sekitar 900m di atas permukaan laut, banyak bagot tumbuh sendiri. Dan bagot inilah yang tetap digunakan untuk menyadap tuak. Sedangkan di Medan yang hampir sama tingginya dengan permukaan laut, bagot tidak bertumbuh. Oleh karena itu, orang Medan mengambil sadapan dari pohon kelapa. Namun setelah diproses, minuman itu tetap dinamai tuak dalam masyarakat Batak Toba.
Produksi dan Distribusi Tuak

Saya menggambarkan dahulu mengenai produksi dan distribusi tuak di kampung halaman Batak Toba. Sebagaimana telah disinggung di atas, penyadap tuak disebut paragat ( agat = semacam pisau yang dipakai waktu menyadap tuak) dalam bahasa Batak Toba. Setelah dipukul tandan berulang-ulang dengan alat dari kayu yang disebut balbal-balbal selama beberapa minggu, baru dipotong mayangnya. Kemudian membungkus ujung tandan tersebut dengan obat (kapur sirih atau keladi yang ditumbuk) selama dua-tiga hari. Dengan prosedur ini barulah milai datang airnya dengan lancar. Seorang paragat menyadap tuak dua kali sehari, yaitu pagi dan sore.
Tuak yang ditampung pagi hari dikumpulkan di rumah paragat. Setelah ujicoba rasanya, paragat memasukkan ke dalam bak tuak sejenis kulit kayu yang disebut raru supaya cocok rasanya dan alkoholnya. Raru inilah yang mengakibatkan peragian.
Resep membuat tuak berbeda-beda sedikit demi sedikit tergantung para paragat .
Resep masing-masing boleh dikatakan "rahasia perusahaan," maka tidak tentu siapa pun bisa berhasil sebagai paragat. Paragat harus belajar dahulu cara kerjanya. Biasanya anak seorang paragat mengikuti orang tuanya untuk belajar "rahasia" tersebut. Sepanjang saya ketahui, tidak ada paragat perempuan, mungkin karena kegiatan paragat sehari-hari yang turun ke jurang, menaiki pohon bagot dan membawa tuak yang tertampung ke kampung sangat keras untuk perempuan. Di desa LNH yang berjumlah kurang lebih 1,000 orang penduduknya, terdapat delapan orang paragat yang aktif. Semuanya ini laki-laki saja.
Sebagian paragat membuka kedai tuak sendiri, tetapi pada umumnya sebagian besar paragat menjual tuak kepada kedai atau agen tuak. Dengan dekimian paragat mendapat uang tunai setiap hari, maka taraf kehidupan paragat lebih tinggi daripada standar di desa LNH.
Di Medan tuak dibawa dari Percut, wilayah yang terletak di luar kota Medan. Di situ ada kebun kelapa khusus untuk mengambil tuak. Cara produksi tuak dari pohon kelapa hampir sama dengan tuak dari bagot.
Kebiasaan Minum Tuak dalam Kehidupan Sehari-hari
Di daerah Tapanuli Utara, biasanya laki-laki yang menyelesaikan kerjanya berkumpul di kedai pada sore hari. Mereka berbincang-bincang, menyanyi, memain kartu, bercatur dan menonton televisi, sambil minum tuak. Pada umumnya seorang petani biasa minum tuak beberapa gelas sehari. Pada tahun 1997 segelas tuak berharga Rp. 300 di desa LNH. Kalau laki-laki, baik yang muda maupun yang tua minum tuak di kedai, tetapi jarang terdapat perempuan yang minum tuak di kedai bersama laki-laki, kecuali pemilik kedai atau isterinya. Ada juga laki-laki yang membeli tuak di kedai dan membawa botol yang terisi tuak ke rumahnya atau ke rumah kawannya untuk minum tuak di situ.
Sedangkan di kota Medan, laki-laki Batak Toba tidak tentu mempunyai kebiasaan minum tuak. Menurut informasi dari beberapa perantau Batak Toba dan observasi serta wawancara di lapo tuak, kebiasaan minum tuak tidak berhubungan dengan status sosial-ekonominya, melainkan berkaitan dengan tahap generasi migran. Dengan kata lain, perantau generasi pertama yang berasal dari Tapanuli Utara lebih cenderung minum tuak di Medan: bukan hanya orang-orang yang berstatus rendah sosial-ekonominya seperti tukang becah, tetapi yang agak tinggi stasus sosial-ekonominya seperti pegawai negeri juga minum tuak. Segelas tuak di Medan harganya kurang lebih Rp. 300 juga.
Pemakaian Tuak pada Kesempatan Tertentu untuk Kaum Wanita

Biasanya kaum wanita Batak Toba tidak minum tuak. Namun demikian, menurut tradisi Batak Toba, wanita yang baru melahirkan anak minum tuak untuk memperlancar air susunya dan berkeringat banyak guna mengeluarkan kotoran-kotoran dari badannya.
Selama saya berada di desa LNH, seorang wanita muda melahirkan anak. Mertuanya menyediakan tuak untuk wanita tersebut, dan dia minum tuak setiap kali merasa haus. Dia minum tuak sebagai gantinya air minum, selama paling sedikit satu minggu setelah melahirkan anak.
Tetapi tidak tentu semua wanita Batak Toba yang baru melahirkan anak minum tuak. Wanita-wanita yang tinggal di kota-kota di perantauan seperti Medan biasanya tidak minum tuak, walaupun melahirkan anak. Mereka lebih cenderung minum bir hitam, susu atau obat sesuai dengan kemampuannya dan kesukaannya untuk memperlancar air susunya.
Wanita tua pada umumnya mengakui bahwa mereka minum tuak ketika melahirkan anak semasa mudanya. Tetapi sebagian wanita muda yang tinggal di kampung tidak pernah minum tuak selama menyusui anaknya. Mereka menjelaskan alasan tidak minum tuak bahwa mereka merasa pening kalau minum tuak.

Penggunaan Tuak dalam Upacara Adat

Tuak yang ada hubungannya dengan adat adalah tuak tangkasan: tuak yang tidak bercampur dengan raru. Tuak aslinya manis. Tuak yang manis disebut tuak na tonggi dalam bahasa Batak Toba. Karena tuak itu berasal dari mayang bagot, maka perlu diketahui legenda keberadaan batang bagot. Seorang tokoh adat yang tinggal di Balige memberitahukan legenda tersebut sebagai berikut:
Putri si boru Sorbajati dipaksa orang tuanya kawin dengan seorang laki-laki cacat yang tidak disukainya. Tetapi karena tekanan orang tua yang sudah penerima uang mahal, si boru Sorbajati meminta agar dibunyikan gendang di mana dia menari dan akan menentukan sikap. Sewaktu menari di rumah, tiba-tiba dia melompat ke halaman sehingga terbenam ke dalam tanah. Kemudian dia menjelma tumbuh sebagai pohon bagot, sehingga tuak itu disebut aek (air) Sorbajati.
Karena perbuatan yang membunuh diri itu dianggap sebagai perbuatan terlarang, maka tuak tidak dimasukkan pada sajian untuk Dewata. Tuak hanya menjadi sajian untuk roh-roh nenek moyang, orang yang sudah meninggal dan sebagainya. Tuak bermasuk sebagai minuman adat pada dua upacara adat resmi, yaitu (1) upacara manuan ompu-ompu dan (2) upacara manulangi.
Ketika orang yang sudah bercucu meninggal, ditanam beberapa jenis tanaman di atas tambak. Tambak pada aslinya merupakan kuburan dari tanah yang terlapis, tetapi kuburan modern yang terbentuk dari semen pula disebut tambak. Menurut aturan adat, air dan tuak harus dituangkan pada tanaman di atas tambak. Tetapi sekarang ini biasanya yang dituangkan hanya air saja, atau paling-paling tuak yang mengandung alkohol.
Dalam upacara manulangi, para keturunan dari seseorang nenek memberikan makanan secara resmi kepada orang tua tersebut yang sudah bercucu, dimana turunannya meminta restu, nasehat dan pembagian harta, disaksikan oleh pengetua-pengetua adat. Pada waktu memberikan makanan harus disajikan air minum serta tuak. Menurut informasi dari tokoh-tokoh adat dan observasi secara langsung, air minum dan tuak dua-duanya tetap disajikan kepada orang tua yang disulangi.
Tulisan di atas adalah Artikel ilmiah dari seorang berkebangsaan Jepang bernama Shigehiro IKEGAMI. Selama enam tahun sejak tahun 1992, beliau mempelajari dinamika sosial dan kebudayaan dalam masyarakat Batak Toba.
Selengkapnya dapat dilihat di

http://sizcol.u-shizuoka-ken.ac.jp/~kiyou/11_3/11_3_5.pdf

Barus 1000 tahu yang lalu

PELETAKAN BATU PERTAMA PEMBANGUNAN TUGU RAJA TOGA LAUT PARDEDE DI LUMBAN JABI-JABI - BALIGE

Setelah terbentuknya panitia pembangunan Tugu Raja Toga Laut Pardede di Jakarta oleh beberapa keturunan Raja toga Laut Pardede yang berdomisili di jakarta sekitarnya (sejabodetabek)
maka diputuskanlah agar semua keturunan Raja Toga Laut Pardede ikut serta dalam Napak tilas show force keliling kota Balige pada tanggal 18 Agustus 2007, dengan rute dimulai Losmen Toga Laut Tawar, Tugu Naga Baling, Makam Raja Bona Ni Onan Pardede & Raja Paindoan Pardede dan ber akhir di Lumban Jabi-jabi / Tugu Raja Toga Laut Pardede, yang kemudian dengan kata-kata sambutan, oleh Tokoh-tokoh Sonak malela dll.