Selasa, 31 Maret 2009

Anak Raja Toga Laut Pardede mencari Jodoh



HUTUR BALLUK

Lumban Jabijabi - Balige

Alkisah dimulai dari sebuah keluarga Raja Toga laut Pardede yang bermukim di lumban Jabijabi Balige, (sekarang tugu Panjaitan berdiri,dan dprd). Sudah tiga hari hujan tidak henti-hentinya membasahi bumi, Sedangkan keluatga dekat dalam keadaan khawatir menunggu kelahiran anak pertama dari Raja Toga Laut , bersamaan suara guntur terdengar suara bayi, mendadak seisi rumah bergembira, segala puji-pujian dilantunkan sanak keluarganya kepada oppu Mulajadi Na Bolom (pada saat itu belum ada agama samawi)

Seorang anak laki-laki (putra pertama) telah hadir dalam keluarga Raja Toga Laut Pardede, yang diberi nama "Hutur Baluk" dari seorang ibu boru Samosir

Memang apa yang dikatakan orangtua "dang dao tumis sian bonana", begitulah suatu perumpamaan tentang perangi Hutur Baluk yang hampir sama dengan perangai dari Raja Toga Laut Pardede setelah Hutur BAluk beranjak dewasa, kebijaksanaan, kharisma dan ketangkasan dan sebagainya sangat menonjol

Pada suatu hari setelah Hutur Baluk dewasa sang ibu menyuruh anaknya untuk pergi martandang kekampung Tulamgnya, karena ibunya sangat ingin bermenantukan boru dari itonya sendiri, keinginan ibunya tidak ditolaknya, setelah mohon doa restu dari kedua orang tuanya, Hutur Balukpun berangkatlah kekampung Tulangnya, dengan berbekal sedikit pengetahuan tentang tabiat dari tulangnya yang terbilang keras, untuk itu dia dibekali dengan strategi menghadapi tulangnya yang baik hati itu.

Singkat cerita Hutur Balukpun sampailah kekampung Tulangnya, sesampai dirumah tulangnya, dia ditegur seorang wanita setengah berumur "Siapa kau tanyanya", HUtur Balukpun menjawabdengan penuh hormat karena tahu wanita itu adalah pasti Nantulangnya, sembari dia menyodorkan tangannya untuk menyalam wanita itu "Ahu si Hutur do nan tulang" sian Balige. "Ba ho do i hape bere, tu jabu ma hita", sambut Nan tulangnya dengan senang dan gembira akan kehadiran berenya (anak dari edanya yang kawin dengan Raja Toga Laut Pardede yang bernama Ramot Parulian boru Samosir}

"Rumita bahen jo minuman ni pariban mon", seru Nantulangnya memanggil Borunya sambil mengasi tahu anak namborunya dari BAlege datang."Olo Inong" sebuah suara dari arah dapur menjawab, Hutur Baluk mendengar suara itu saja sudah membayangkan kecantikan boru tulanngnya, diapun tidak sabar melihat boru tulangnya yang berna si Rumita. Seorang gadis desa muncul dari dapur dengan membawa secangkir minuman,Mata Hutur Baluk tidak lepas memandangi sang gadis si boru tulang, meskipun gadis desa yang masih terbilang belia, namun kecantikannya lumayan mempesona. Tingkah Hutur Baluk tidak lepas dari perhatian nantulangnya.

"Satokin nai mulak ma tulang mu sian pasar", tegur nantulangnya membelah keheningan, Hutur tersentak akan seruan nantulangnya.Tidak berapa lama muncul seorang laki-laki yang sudah berumur dan sangat berwibawa. Hutur Baluk Tahu pasti itu Tulangnya , tanpa menunggu nantulangnya memeperkenalkannya dia langsung menyalami Tulangnya. "Siapa kau" tanya pendek dengan bahasa toba samosir yang sangat medok. Anakni Amang ( sebuah panggilan terhadap besan)par Balige do hasida, Oo, jawabnya singkat, "sudah makan kau" tanya tulangnya lagi, kembali sang nantulang menjawab "tetapi menunggu tulangnya dia katanya baru mau makan". Maka merekapunmakan bersama-sama

Tulang Hutur Baluk dikenal di Onan Runggu samosir sebagai Paruma Bolon, dan sangat berwibawa dan tegas dalam memutuskan sesuatu, kepribadian tulangnya tersebut dari awal sudah diberi tahu oleh Ibunya, Tulangnya sudah mengerti apa tujuan Hutur Baluk Datang,oleh karena itu sang tulang akan menguji berenya untuk mengetahui sejauh mana tanggung jawab berenya itu kalau borunya si Rumita jadian dengan Hutur BAluk, apakah sama besar tanggung jawabnya dengan Bapaknya si Raja Toga LAut

Didalam tradisi Batak apabila orang tua menyuruh anaknya pergi berkunjung (martandang) ke kampung tulangnya maka siorang tua sudah cukup yakin bahwa sianak tidak akan mempermalukan mereka, secara tidak langsung mereka ingin memberitahu besannya (hula-hulanya) bahwa mereka telah berhasil mendidik anak mereka dengan baik, dan layak untuk diambil sebagai menantu.

Oleh karena itu Tulang Hutur paruma bolon mulai menatar berenya, mulai dari bertani (ke hauma), betrnak (marmahan) kerbau samapai adu kanuragan berupa berpencak silat , semuanya dapat dilalu Hutur Baluk dengan baik, Tulangnya pun sangat bangga akan berenya itu, dan sikapnyapun berobah, sangat menyayangi berenya tersebut.

Hutur Baluk selalu berusaha mendekati Rumita si boru tulang tetapi selalu sia-sia, meskipun demikian HUtur Baluk tidak terlalu kesepian atau jenuh di kampung tulangnya kebetulan ito dari Rumita ada tiga orang. (Putra dari pa Ruma Bolon ada tiga orang. 1- Op.Sori Batu.2- Op. Raja podi. 3- Raja Baringin), dengan mereka-mereka inilah Hutur Baluk bergaul selama di Onan Runggu Samosir kampung Tulangnya.

Setelah berapa lama Hutur Balukun berniat pulang ke BAlige, sedangkan niatnya untuk memeprsunting boru tulangnya (boru samosir) mengalami kendala karena Rumita telah dijodohkan tulanngnya kepada pria lain namun demikian Tulangnya mencoba menjodohkannya dengan adik Rumita,tetapi Hutur Baluk tidak begitu tertarik karena dia sudah termakan pandangan pertama pada Rumita, Dengan berjiwa besar Hutur baluk menolak niat baik tulangnya, sebagai anak Raja Hutur Baluk memohon pamit pada tulangnya.

"Tulang mulak ma jolo ahu tulang, alana nunga tung mansai masihol ahu tu dainang di huta," Hutur berpamitan dengan alasan rindu kepada ibunya, mendengar kata-kata berenya si Nantulang Miris, dia merasakan kekecewaan berenya. NAmun Hutur Baluk tidak seperti dugaan nantulangnya, bagi dia kewajibannya sebagai anak dan juga bere sudah dilaksanakan, dalam adat batak apabila seorang anak laki-laki berniat untuk berumah tangga , maka orang tuanya menyuruh anaknya martandang kekampung tulangnya atau harus terlebih dahulu menjajakinya(menanyai) Tulangnya,

Seperti dikatakan diatas tadi Hutur Baluk tidak terlalu kecewa setelah mengetahui tambatan hati dalam pandangan pertama Rumita telah dijodohkan, dengan diantar semua keluarga tulangnya Hutur BAluk pun pulang ke Balige, dengan dioleholehi seperangkat pusaka oleh tulangnya.Sesampainya di Balige Hutur Baluk berusaha menunjukkan kegembiraan didepan Inongnya(ibunya),

"Bagaimana amang, kabar tulang dan nan tulangmu" tanya Ibunya pada HUtur Baluk, "Tulang dan Nantulang sehat-sehat saja dan aka Lae dan pariban itu semua baik-baik sama aku kata Hutur Baluk menyenangkan hati Ibunya, Cantikkan boru tulang mu si Rumitan itu, susul ibunya bertanya pada Hutur Baluk tak sabar, Cantik sekalipun Inong, tetapi sudah dijodohkan tulang rupanya, jadi aku terlambat kata Hutur Baluk sambil ketawa, takut dia melihat kedua orang tuanya kecewa. "Apa kau bilang" seru ibunya setengah berteriak, "Si Rumitan dijodohkan dengan orang lain tanpa sepengetaguanku!, lanjut ibunya dengan penuh kekecewaan.


"Sudahlah, memang kita yang salah", potong among nya Hutur Baluk si Raja Toga Laut Pardede, meredakan kekecewaan isterinya si boru samosir. "Semua orang akan berebut mengambil borunya lae si paruma Bolon menjadi menantunya, siapa cepat pasti dia yang dapat, kalau tidak cepat dan tangkas aku dulu belum tentu boruni rajai dapatku", kata Siraja Toga Laut Pardede sambil guyon memujimuji isterinya, akhirnya Siboru Samosir ibunya Hutur Balukpun dapat tenang, tidak mengumpat dan marah-marah lagi, meskipun dalam hatinya dia sedih dan kecewa. Tetapi melihat anaknya sedikitpun tidak menunjukkan kekecewaan, si boru samosirpun dapat memaklumi, sembari mengamati anaknya si Hutur Baluk dalam hatinya dia berkata sendiri bahwa anaknya bukan lah pemuda sembarangan, sejak anaknya Hutur Baluk Sepulang dari kampung Tulangnya bertamabh cakap,matang Ganteng, pintar, dan sakti, Si Boru Samosir yakin itonya pasti mengajari anaknya dengan bermacam-maca ilmu, hal inilah yang membuat si ibu tenang, masalah jodoh anaknya sangat banyak anak gadis orang yang berebut jadi isteri dari anakku itu pikir si boru Samosir membesarkan hatinya.

Suatu hari Hutur Baluk berpamitan dengan kedua orang tuanya karena dia denga kawan-kawannya mau jalan-jalan (martandang) ke uluan , Raja Toga Laut hanya berpesan kepada anaknya agar tidak membuat masalah dikampung orang, danbertingkah lakulah seperti anak raja (Raja pangalahom), mudah-mudahan kau akan mendapat hal-hal yang baik (parsaulian), setelah mendapat bekal dari orang tuanya diapun berangkat dengan kawan-kawannya.

Hutur Baluk sekedar mengikuti kawan-kawan saja karena mereka sudah cukup lama berpisah, selama ditinggal nya pergi kekampung tulangnya di Onan runggu Samosir, mereka sampai ke sibisa martandang dari kampung yang satu kekampung yang lain, disetiap kampung mereka diterima dengan baik karena ke empat pemuda tersebut bertingkah laku baik dan sopan santu layaknya anak raja. Dua kawan Hutur Baluk sudah mendapat pasangan tambatan hati, namun Hutur Baluk belum juga tergerak hatinya untuk menggoda anak gadis disetiap kampung yang singgahi mereka, hingga kahirnya tinggal dua orang mereka belum menemui pasangan yang cocok , sedangkan teman nya yang dua orang lagi sudah asyik bercengkrama dengan pasangannya yang bermarga boru Manurung dan boru Torus, berselang berapa lama kawannya yang bermarga Siahaan pun menemui gadis idamannya boru sirait, melihat kawannya yang bermarga siahaan itu juga sudah mendapat pasangan Hutur Balukpun merasa kecil hati, sebenarnya tanpa disadari cukup banyak gadis-gadis mengharap Hutur Baluk melirik mereka dan mangajaknya marhusip- husip (berbincang bincang). akhirnya tingal dia sendiri yang belum mempunyai pasangan, tanpa diduganya melintas dihadapannya seorang anak gadis yang mirip dengan boru tulangnya si Rumita boru Samosir, dia tersentak dari lamunannya dan langsung menegur anak gadis tersebut: " Rumita!" tegur Hutur Baluk sekenanya, sigadis tersebutpun menoleh ke arah Hutur Baluk, "ahai ito", jawab sigadis dengan suara yang lembut , membuat Hutur Baluk terpana sambil berbisik dihatinya, tak kusangka bisa aku menemui gadis yang rupawan mirip dengan boru tulangku bahkan lebih manis lagi, suaranyapun mirip dengan Rumita, hanya lesung pipitnya mebuat perbedaannya dengan Rumita. Penemuan tersebut membuat Hutur Baluk tidak perduli lagi akan ajakan teman-temannya untuk pulang, "Kalianlah duluan jawabnya tegas. Karena mereka berteman sejak kecil maka teman-temanyapu tidak tega meninggalkan Hutur Baluk sendirian di Uluan.

Setelah tiga hari merekapunpulang ke Balige, dengan membawa kenangan manis, mereka telah menemui jodoh mereka, tinggal pelamaran dari pihak orang tua mereka kepihak keluarga perempuan.

Setelah tiba saatnya maka berangkat lah utusan si RAja Toga LAut Pardede ke Uluan melamar si Boru Parnoboto boru Sirait. untuk menjadi Parsoduk bolon (isteri) dari Raja Hutur Baluk Pardede

Sekianlah dulu turi-turian ini disajikan kalau ada kurang dan lebihnya mohon dimaafkan, kami sangat mengharap perbaikan-perbaikan, agar tidak sebatas wacana kisah tersebut diatas.

Catatan:

1- Semoga dapat menambah kecintaan pada nak keturunan Raja toga Laut-Thp.

2- Untuk menambah motivasi bagi keturunan Raja toga Laut Pardede, kami mengharapkan tulisan-tulisan baik berupa mytos dan cerita orang tua kita - Thanks

3- dan dapat menghubungi e'mail: "Togapard@yahoo.com"

Senin, 02 Maret 2009

PERLU KITA MENGENAL YANG AKAN MENJADI PEMIMPIN N.K.R.I. YANG PLURALISTIK.


Latar Belakang Sri Sultan Hamengkubuwono X Mencalonkan Diri Menjadi Capres 2009 – 2014

Sejak Pangeran Mangkubumi. Sultan Hamengkubuwono adalah patriotik

Mudah-mudahan kita dapat menyajikan/memperkenalakan beberapa Capres untuk priode 2009-1014


MENGAPA SAYA MENERIMA DESAKAN GERAKAN TIM PELANGI PERUBAHAN UNTUK MENCALONKAN DIRI SEBAGAI KANDIDAT PRESIDEN RI 2009-2014?

Pada bulan April 2006, beberapa teman dari Jakarta – diantaranya Soegeng Sarjadi, Sukardi Rinakit (SSS), Kristanto Hartadi (Sinar Harapan), Nico (Sinar Harapan), Sudaryanto (Pergerakan Kebangsaan) Jusuf Suroso (SSS) Yanto Sugiharto (wartawan) -- menemui saya di Kraton Kilen, Yogyakarta. Kedatangan mereka untuk mendiskusikan masa depan bangsa dan negara. Sebab jelang 10 tahun reformasi, arahnya makin tidak jelas. Dalam diskusi itu berkembang wacana politik masa depan, termasuk sosok pemimpin yang ideal, yang mampu menjawab tuntutan rakyat. Jawaban saya waktu itu, “ya mari kita lakukan bersama-sama”. Saya minta kepada teman-teman untuk mencermati situasi yang masih terus berkembang.

Suhu politik nasional terus berkembang dengan semakin dekatnya pelaksanaan pemilu 2009. Beberapa lembaga survey mulai melakukan jejak pendapat tentang sosok calon presiden, dan nama saya tercantum dalam polling tersebut. Namun hasil jejak pendapat lembaga survey itu cukup dinamis. Oleh karena itu ketika nama saya berada di urutan atas, saya tidak merasa besar kepala. Sebaliknya, ketika ada di urutan bawah saya tidak kecil hati. Dinamika jejak pendapat ini menarik perhatian banyak kalangan dan masyarakat. Dan dengan berjalannya waktu, aspirasi tadi terdengar oleh pihak-pihak lain. Beberapa teman dan komunitas masyarakat datang menemui saya dan mendorong saya agar bersedia menjadi calon presiden 2009. Intinya, saya didaulat untuk melakukan perubahan lewat kesediaan menjadi calon Presiden pada pemilu 2009 melalui apa yang mereka sebut dengan ‘Gerakan Pelangi Perubahan’.

Alasan mereka kurang lebih sama, reformasi baru dalam tataran membebaskan rakyat dari belenggu kekuasaan yang otoriter ke kehidupan yang demokratis. Rakyat bebas berbicara, berunjuk rasa sekedar menentang kenaikan harga. Namun, reformasi belum berhasil mengantarkan rakyat bebas berkreasi, ber-ekspreasi, berproduksi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain reformasi gagal mengantarkan rakyat hidup lebih sejahtera lahir batin. Bahkan, pemenuhan kebutuhan pokok rakyat mulai dari garam sampai pesawat terbang bergantung pada substitusi impor.

Dalam kapasitas saya sebagai Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat, Gubernur/ Kepala Daerah DI Yogyakarta maupun pribadi saya ikut prihatin. Merasa ikut bertanggungjawab terhadap perkembangan terakhir pasca reformasi ini. Namun sesuai dengan konstitusi kedudukan saya sebagai Sultan tidak bisa berbuat banyak untuk membantu rakyat. Keberadaan Kesultanan Yogyakarta terbatas sebagai simbol budaya. Sebagai Gubernur DI Yogyakarta pada era otonomi Daerah Tingkat II, dan saat itu pula keistimewaan Yogyakarta mulai dipertanyakan. Sebagai pribadi bukan hanya prihatin dan berpangku tangan, saya ikut bertanggung jawab terhadap masa depan bangsa dan negara. Maka, ketika ada yang mendorong saya untuk maju menjadi Calon Presiden saya terima kasih. Yang jelas saya tidak berambisi pada kekuasaan apalagi harta. Sesuai dengan kedudukan saya selama ini, saya tidak butuh apa-apa lagi, baik materiil maupun immaterial. Maka, kalau saya harus berkiprah di kancah nasional semata-mata untuk mengabdikan sisa umur saya pada negara dan rakyat Indonesia, sesuai dengan pesan mendiang almarhum Hamengku Buwono IX.

Di tengah-tengah kehidupan masa kini yang cenderung pragmatis, Yogyakarta tidak terelakan dari serbuan gaya hidup seperti itu. Saya berusaha untuk tetap mempertahakan nilai-nilai budaya, serta usaha menjaga kelestarian lingkungan Yogyakarta. Sesuai dengan kultur budaya masyarakat kita yang paternalistik, saya dituntut memberikan keteladanan bagi segenap warga masyarakat. Satu hal yang tidak mudah untuk dilakukan adalah kebiasaan raja-raja dimasa lalu yang mempunyai lebih dari satu isteri. Dan sudah menjadi tradisi, manakala seorang raja tidak memiliki anak laki-laki sebagai calon pengganti, salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan melakukan poligami. Tetapi saya berkeputusan untuk tidak melakukan itu. Mengapa ? Karena trah Kesultanan Yogyakarta bukan hanya saya, tetapi masih ada saudara saya yang lain.

Paska reformasi memang telah melahirkan banyak anak-anak muda di panggung politik nasional. Tetapi ternyata dalam waktu 10 tahun terakhir ini belum ada tanda-tanda lahirnya pemimpin baru yang mampu menjawab berbagai problematik dan tantangan masa depan bangsa ini. Krisis ekonomi yang terjadi ternyata berimbas pada krisis multi-dimensi, termasuk krisis kepemimpinan. Sementara kita belum bisa keluar akibat krisis 1998, kini sudah dihadapkan pada krisis global yang dampaknya lebih dasyat lagi. Ini tantangan warga bangsa ini untuk menghadapinya, termasuk memilih calon pemimpin yang mampu dan memiliki konsep untuk menghadapi krisis global tersebut.

Selasa 28 Oktober 2008 lalu. saya harus menjawab pertanyaan dan desakan warga bangsa ini, tentang kesiapan saya untuk mengantarkan mereka menuju masa depan Indonesia kearah yang lebih baik, dengan jalan saya harus bersedia menjadi presiden periode 2009-2014. Adapun tugas yang terutama adalah untuk menyiapkan konsep bagaimana Indonesia keluar dari krisis baru dan mengantarkan pemimpin masa depan bangsa ini.
Kesanggupan saya untuk menerima daulat rakyat ini berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

Pertama, meski terlahir dalam lingkungan istana kerajaan, semangat keberpihakan kepada rakyat dan komitmen pada perjuangan bangsa selalu tertanam dalam diri saya. Karena komitmen seperti itu telah menjadi pilihan sikap dan tradisi keluarga. Komitmen Kasultanan Yogyakarta pada perjuangan bangsa Indonesia tidak perlu diragukan lagi.

Dalam buku otobiograpi Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang berjudul “Tahta Untuk Rakyat”, jelas sekali digambarkan bagaimana keberpihakan beliau pada rakyat telah lama menjadi semangat dan jiwa yang melekat pada diri sultan-sultan Yogyakarta dalam menjalankan kepemimpinannya. Semangat dan jiwa keberpihakan pada rakyat ini juga merupakan pengamalan dari konsep filosofis “Manunggaling Kawulo-Gusti”, yang berarti bersatunya rakyat dengan pemimpin dalam mewujudkan cita-cita bersama.

Sejarah membuktikan bahwa Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat mampu menjalankan komitmennya untuk membela kepentingan rakyatnya. Hamangku, Hamengku dan Hamengkoni, dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran serta meningkatkan kualitas hidup rakyat. Bukti sejarah ini juga diungkap dengan jelas dalam memoar Rahmi Hatta (isteri Mohammad Hatta), Mohammad Roem (Diplomat RI pada masa awal kemerdekaan), SK Trimurti (Istri Sayuti Melik – penulis naskah Proklamasi) dan TB. Silalahi, Frans Seda serta Rosihan Anwar (tokoh Pers Indonesia nasional) yang juga dimuat dalam buku “Tahta untuk Rakyat” ini.

Sejarah mencatat bagaimana semangat keberpihakan pada rakyat ini telah menempatkan Yogyakarta menjadi bagian yang penting dalam perjuangan panjang menuju kemerdekaan dan kedaulatan NKRI.

Sejak berdirinya tahun 1755, Kasultanan Yogyakarta menunjukkan perlawanannya pada VOC. Bahkan jauh sebelumnya, saat Sultan Pertama masih bergelar Pangeran Mangkubumi, beliau sudah bahu membahu bersama rakyat melawan VOC. Sikap anti VOC ini yang membuat para ulama dan kiai lalu menggabungkan diri dengan perjuangannya. Lalu terbentuklah jaringan ulama nusantara yang kuat di sepanjang jalur Blora, Madiun, Pekalongan, Banyumas hingga Cirebon.

Dalam bidang keagamaan, Sri Sultan Hamengku Buwono I juga memberikan perhatian yang besar pada masalah spiritualitas dan kegamaan. Dan kasultanan memberikan penghormatan yang tinggi terhadap para kiai atau ulama tarekat yang saat itu dianggap sebagai orang suci. Konsep keraton sebagai kekalifahan juga hasil dari pemikiran para ulama. Dari sini, komunitas-komunitas Islam yang dipimpin ulama menggunakan mesjid sebagai kegiatan umat dan bahkan memberikan kesempata para ulama keraton untuk naik haji ke Mekkah.

Perlawanan terhadap kolonialisme ini diteruskan oleh Sultan berikutnya, hingga masa Daendels sebagai Gubernur Jenderal Belanda dan masa jatuhnya kekuasaan di tanah Jawa ke tangan Inggris pada akhir tahun 1811. Sebagai konsekwensi atas perlawanannya, Yogyakarta diserang bertubi-tubi, dan Sultan pada masa itu ditangkap dan diasingkan. Perlawanan demi perlawanan terus terjadi, termasuk pecahnya Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro dari tahun 1825-1830.

Semangat perlawanan kepada kaum penjajah ini terus berlangsung, tidak hanya dengan mengangkat senjata, tetapi juga dalam wujud perjuangan intelektual, yang ditandai dengan lahirnya Budi Utomo. Pada masa pendudukan Jepang, keberpihakkan pada rakyat ditunjukkan secara lebih taktis. Pada masa itu, Sri Sultan menggerakkan pembangunan selokan irigasi yang dikenal dengan Selokan Mataram sepanjang 50 kilometer lebih untuk menghindari rakyatnya dari kerja paksa (rodi).

Selain keberpihakan pada rakyat, kasultanan Yogyakarta juga berpandangan ke depan dalam konsep kebangsaannya. Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman mengeluarkan amanat yang dikenal dengan nama Maklumat 5 September 1945, yang berisikan ketegasan Nageri Ngayogyakarto Hadiningrat dan Negeri Paku Alaman yang bersifat kerajaan merupakan Daerah Istimewa Yogyakarta dan menjadi bagian dari Republik Indonesia. Dan dukungan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia ini sudah final.

Komitmen dukungan pada NKRI dibuktikan dengan kiprahnya pada masa-masa awal kemerdekaan. Dalam memoarnya, Rahmi Hatta menulis bagaimana kasultanan dengan rela hati menggaji kabinet Presiden Soekarno, termasuk presiden dan wakil presidennya. Bukti kecintaan yang tulus pada Republik ini. Dalam masa-masa sulit itu, Yogyakarta juga pernah dua kali difungsikan sebagai ibu kota RI, yakni pada tahun 1946 dan pada tahun 1949 dengan pertimbangan bahwa Yogyakarta lebih aman dan bahwa pihak kasultanan bersama dengan rakyat Yogyakarta menunjukkan dukungan tegas mereka pada semangat dan cita-cita revolusi.

Konsistensi kecintaan terhadap Indonesia juga terlihat dari penolakan kasultanan terhadap iming-iming kekuasaan dari Belanda pada masa-masa agresi militer I dan II. Sri Sultan waktu itu dengan tegas menolak permintaan Belanda agar tidak ikut campur dalam masalah RI dan Belanda. Dan berangkat dari kasus ini pula kemudian Serangan Umum 1 Maret 1949 dirancang bersama dengan Tentara Rakiyat Indonesia untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Republik Indonesia masih ada.

Semboyan “Tahta untuk Rakyat” tetap relevan dalam era demokrasi saat ini. Bersama-sama dengan mahasiswa dan rakyat, menggelorakan reformasi tahun 1998. Apel akbar atau Pisowanan Agung untuk menggemakan reformasi, yang ternyata berhasil menumbangkan rezim Orde Baru. Pada tahun 2006, dalam sebuah orasi budaya dan politik bertajuk “Malam Bhakti Pertiwi”, dengan kesadaran penuh saya menyatakan tidak bersedia lagi menjadi Guberbur DIY setelah selesainya masa bhakti pada tahun 2008. Di hadapan rakyat, Saya menegaskan pentingnya untuk mengaktualisasikan Roh Yogyakarta dengan roh baru, roh kemajuan, roh demokrasi yang berkeadilan, sesuai akar budaya yang dimiliki dan tantangan masa depan. Sebagaimana tersirat dalam puisi “Kesaksian” yang saya bacakan dalam orasi waktu itu. Suara hati nurani rakyat adalah suara yang harus di dengar, dan atas dasar itu pula seorang pemimpin harus bersikap. Hati rakyat dan hati pemimpin haruslah satu untuk bersama-sama mewujudkan masa depan bangsa yang cerah.

Kedua, saya memang bagian dari Reformasi di Indonesia. Jadi, ini adalah tanggung jawab saya juga untuk meluruskan dan menuntaskan agenda-agendanya.

Sepuluh tahun sudah perjalanan reformasi yang dikumandangkan sejak tahun 1998 lalu. Kini segenap rakyat bisa meng-evaluasi apakah dalam sepuluh tahun ini telah terjadi perubahan ke arah yang lebih baik. Apakah agenda-agenda reformasi telah berjalan sesuai dengan harapan mereka. Apakah demokrasi yang ada saat ini benar-benar dirasakan membawa perbaikan bagi kesejahteraan bangsa dan rakyatnya. Hanya rakyatlah yang bisa menjawab. Dan Pemilu 2009 ini akan menjadi penentu. Penentu apakah rakyat masih percaya dengan janji-janji seperti menjelang pemilu 1999 dan 2004 lalu?

Sejak saat digulirkannya reformasi, saya tidak hanya menunjukkan keberpihakan pada rakyat dalam wujud sikap politik, tetapi juga dalam laku kultural. Saya tergugah untuk ikut turun ke jalan, begitu ada kabar bahwa Yogyakarta akan dilanda kerusuhan. Dan syukurlah situasi di Yogyakarta akhirnya kembali damai dan tenteram. Saya juga berkesempatan untuk bersama-sama dengan teman-teman mengeluarkan Dekalarsi Ciganjur. Sebagai laku kultural, saya juga mendukung lewat laku puasa dan doa. Dan dari awal saya pesankan bahwa reformasi haruslah berjalan dengan damai, tanpa kekerasan, sebagaimana tarmaktub dalam “Maklumat Yogyakarta” yang saya bacakan di depan lebih dari sejuta manusia yang berkumpul di Alun-Alun Utara waktu itu. Dan jika saya dipercaya untuk melaksanakan agenda reformasi ini, mari kita lakukan bersama.

Ketiga, keterlibatan saya dalam Reformasi bukan sekadar dipaksa oleh mahasiswa. Dengan penuh kesadaran, saya mendukung Reformasi karena bangsa Indonesia membutuhkan perubahan.

Perubahan harus dilakukan dan reformasi adalah gerbang utamanya. Tetapi, reformasi bukanlah hanya order baru minus Soeharto lalu selesai, mengingat rezim Orba adalah ibarat rangkaian gerbong-gerbong kereta api yang tidak cukup diganti masinisnya saja. Reformasi bukanlah hanya sekedar penerbitan undang-undang yang baru dan selesai. Reformasi bukan pula hanya penggantian pucuk manajemen atau re-alokasi anggaran. Setelah sepuluh tahun berjalan, belum banyak terjadi perubahan dan perbaikan yang bisa dinikmati oleh rakyat.

Bangsa ini sudah tercabut dari budayanya dan melupakan jati diri bangsanya. Agenda reformasi harus dilanjutkan secara menyeluruh, termasuk pembentukan karakter bangsa, sehingga mampu menghantarkan bangsa ini menuju pemulihan kehidupan yang lebih baik sejajar dengan bangsa-bangsa didunia. Kita harus ciptakan sejarah peradaban baru yang membanggakan bagi segenap karya cipta bangsanya.

Keempat, pentingnya untuk menanamkan kesatuan dan persatuan bangsa dengan menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, dan UUD’45 dan menjaga keberagaman budaya.

Kesatuan dan persatuan bangsa dengan menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945 serta Bhinneka Tunggal Ika adalah harga mati yang harus terus ditegakkan dan dipelihara segenap Bangsa Indonesia. Pemerintah harus mampu bersikap tegas dalam melindungi dan mengayomi seluruh bangsa secara adil, tanpa membedakan golongan, keyakinan, dan agama.

Pancasila harus menjadi dasar dan arahan dari semua kebijakan yang ada. Ini adalah ideologi yang harus tetap dipegang teguh, tidak boleh digantikan. Dan UUD 1945 haruslah menjiwai semua peraturan perundangan yang ada demi terjaganya persatuan Indonesia dan tercapainya cita-cita mewujudnya keadilan sosial dan masyarakat yang adil dan makmur.

Bhinneka Tunggal Ika harus menjadi strategi kebudayaan dan menjaga nilai-nilai dan kearifan-kearifan lokal yang selama ini telah menjadi sumber kekuatan. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan, dan oleh karena itu pentingnya bagi generasi muda untuk menjaga harmoni, menjauhi sikap fanatisme sempit dan saling curiga, dan menempatkan perbedaan sebagai rahmat. Semangat persaudaraan lintas agama dan lintas suku, etnis dalam konteks keberagaman harus disebarkan dalam bingkai toleransi sehingga melahirkan persaudaraan antar sesama anak bangsa.

Kelima, reformasi yang semula merupakan harapan rakyat telah gagal, tercemar oleh kehadiran rezim yang korup. Korupsi telah merusak pranata sosial, melibatkan aparat penegak hukum dan pengawasan (jaksa, polisi hakim, anggota DPR dll) melahirkan disparitas sosial dan ekonomi tinggi dan maraknya usaha perdagangan ilegal, perilaku anarkisme telah menjadi gejala umum, politik premanisme dan maraknya organisasi para-militer meluluh-lantakan semangat ke-bhinnekaan. Jiwa dan semangat reformasi telah pudar menjadi anti-klimaks, ketika negara tidak mampu lagi menjamin adanya kepastian hukum.

Keenam, disorientasi para penyelenggara negara (eksekutif, yudikatif, dan legislatif), tidak menjunjung tinggi daulat rakyat. Kekuasaan seharusnya tidak dilihat sebagai tujuan, tetapi harus diletakan sebagai sarana untuk melayani rakyat. Sikap dasar pelayanan yang demikianlah yang harus selalu dipegang teguh. Syarat sebagai pemimpin ada empat hal: Pertama, harus bisa mengayomi seluruh rakyat. Kedua, berani mengambil keputusan dan tegas dalam menjalankan peraturan-perundangan. Ketiga, satunya kata dan perbuatan. Harus berani mengatakan yang benar itu benar dan salah itu salah. Keempat, tidak mempunyai ambisi lain kecuali upaya mensejahterakan rakyatnya. Sikap ini harus dilakukan para penyelenggara negara.

Ketujuh, kehadiran saya, bila dianggap pantas dan layak untuk memimpin bangsa Indonesia, saya akan merestorasi kembali sistem penyelenggaraan negara dan mendongkrak lahirnya calon-calon pemimpin baru berkelas dunia untuk melanjutkan tongkat kepemimpinan nasional.

Karena negera ini memerlukan seorang negarawan yang berkelas dunia, bukan sekedar politisi, atau karena ketua partai. Negeri ini memerlukan pemimpin yang bisa diterima seluruh golongan masyarakat. Pemimpin yang tidak melihat sekat-sekat golongan dan kepentingan. Berkuasa tetapi tidak menguasai. Pemimpin yang tidak ambivalen. Pemimpin yang transendetal, yang mampu berbicara melalui kerja nyata dan memberi suri tauladan. Sebagai pemimpin, negarawan harus mampu dan mau bekerja keras untuk mengikis berbagai kesenjangan yang ada, baik sosial maupun ekonomi.

Sebab tantangan Indonesia di masa datang akan semakin kompleks. Maka kesadaran kebangsaan dengan jiwa dan roh baru harus menjadi tekad dan komitmen bersama seluruh bangsa. Negara ini harus ditopang pemerintahan yang akuntabel, yang berpihak kepada rakyat.

Gerakan Tim Pelangi Perubahan Harus Diwujudkan

Tatkala bandul pendulum mulai bergerak menjauh dari amanat reformasi, rakyat mendesakkan kembali pentingnya pelurusan dan penuntasan reformasi. Reformasi bukanlah hanya order baru minus Soeharto lalu selesai. Mengingat, rezim Orba adalah ibarat rangkaian gerbong-gerbong kereta api yang tidak cukup diganti masinisnya saja. Reformasi bukanlah hanya sekedar penerbitan undang-undang yang baru dan selesai. Reformasi bukan pula hanya penggantian pucuk manajemen atau re-alokasi anggaran.

Dan rakyat kembali kecewa. Ketika reformasi yang dimotori para mahasiswa menjadi tidak terkontrol dan akhirnya kembali berakhir menjadi permainan para elit politik. Lembaga-lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif kini lagi-lagi didominasi orang-orang yang tidak paham tentang makna hakikat dan tujuan reformasi. Mereka-mereka yang dulu menjadi penonton aksi demo mahasiswa dan rakyat kini menjadi penguasa, elit politik (penguasa dan pengusaha) seolah-olah yang menentukan nasib rakyat dan negeri ini. Jiwa dan semangat reformasi telah pudar menjadi anti-klimaks.

Dan anti-klimaks ini nampak sebagai usaha by design oleh elit-elit anti-reformasi, yang memang sudah dilancarkan sejak bergulirnya reformasi, antara lain dengan menunggangi demonstrasi damai menjadi kebrutalan, dan ganti menuduhkan sangkaan makar atau komunis terhadap para aktifis pergerakan, dengan membentuk kelompok-kelompok reformasi tandingan yang menghadang para mahasiswa, dan dengan tetap mempertahankan kadernya di lembaga-lembaga kenegaraan. Akibatnya, rakyat kembali menjadi obyek dan bukan subyek dari reformasi itu sendiri. Mayoritas rakyat tetap marjinal.

Itulah sebabnya, saya sepakat bahwa ‘Agenda Reformasi’ harus dilanjutkan secara menyeluruh, termasuk pembentukan karakter bangsa sehingga mampu menghantar menuju pemulihan kehidupan yang lebih baik dan sejajar dengan bangsa-bangsa di dunia. ‘Gerakan Tim Pelangi Perubahan’ melalui restorasi agenda reformasi ingin menghadirkan sejarah peradaban baru yang membanggakan bagi segenap rakyat Indonesia.

Bangsa ini sudah tercabut dari budayanya dan melupakan jati diri bangsa. Sementara, reformasi yang telah digulirkan rakyat sejak tahun 1998 lalu – yang diharapkan akan menjadi titik balik perbaikan bangsa – ternyata masih mandul dan bahkan kehilangan gaung dan tajinya. Setelah sepuluh tahun berjalan, belum banyak terjadi perubahan dan perbaikan yang bisa dinikmati oleh rakyat. Korupsi masih saja merajalela, disparitas sosial dan ekonomi yang tinggi, praktek demokrasi kekuasaan, anarkisme yang menguat di tengah masyarakat, maraknya organisasi para-militer, lunturnya semangat ke-bhinneka-an, politisasi hukum, dan sebagainya merupakan bukti betapa lemahnya institusi yang bernama “negara”. Karena sudak tideak mampu menjamin rasa aman dan tiadeanya kepastian hukum.

‘Gerakan Tim Pelangi Perubahan’ menyadari bahwa untuk bisa membawa bangsa ini seperti cita-cita ketika negeri ini di proklamirkan, bangsa ini memerlukan seorang negarawan, bapak bangsa bukan sekadar politikus. Negeri ini memerlukan pemimpin yang bisa diterima seluruh golongan masyarakat. Pemimpin yang bisa melayani dan melindungi seluruh rakyatnya. Tidak hanya melindungi kepentingan kelompok, apalagi hanaya untuk kepentingan keluarganya. Pemimpin yang tidak melihat batas-batas golongan dan kepentingan. Berkuasa tetapi tidak menguasai. Pemimpin yang tidak ambivalen. Pemimpin yang transendetal, yang mampu menyerap suara hati rakyat dan menjawabnya melalui kerja nyata dan suri tauladan. Pemimpin yang mampu mengayomi, menciptakan rasa aman dan rasa keadilan bagi seluruh rakyat.

Menyadari bahwa tantangan Indonesia pada tahun-tahun mendatang akan semakin kompleks, maka kesadaran kebangsaan dengan jiwa dan semangat serta nilai-nilai luhur budaya bangsanya harus menjadi komitmen dasar pembangunan seluruh bangsa ini. Untuk itu Negara ini harus ditopang pemerintahan yang akuntabel, yang berpihak kepada rakyat sesuai dengan tuntutan Agenda Reformasi untuk mensejahterakan rakyatnya. Menejemen penyelenggaraan negara untuk kemakmuran rakyat, bukan demi kantong segelintir elite politik atau penguasa dan keluarganya.

Apakah ‘Gerakan Tim Pelangi Perubahan’ akan berhasil? Terpulang pada hasil kerja keras baik Tim Pelangi Perubahan maupun HB X itu sendiri. Harapan kita, eksekusi kehendak bebas kita – lewat pikiran, perkataan, maupun perbuatan – semakin menambah kebaikan bagi sesama dan diri kita. Atas dasar itulah, ‘Gerakan Pelangi Perubahan’ hadir. Selanjutnya, saya serahkan kembali kepada rakyat Indonesia. Karena, buat saya bukan menang atau kalah. Tetapi, kemuliaan Tuhan menggelora di muka bumi persada Indonesia

Barus 1000 tahu yang lalu

PELETAKAN BATU PERTAMA PEMBANGUNAN TUGU RAJA TOGA LAUT PARDEDE DI LUMBAN JABI-JABI - BALIGE

Setelah terbentuknya panitia pembangunan Tugu Raja Toga Laut Pardede di Jakarta oleh beberapa keturunan Raja toga Laut Pardede yang berdomisili di jakarta sekitarnya (sejabodetabek)
maka diputuskanlah agar semua keturunan Raja Toga Laut Pardede ikut serta dalam Napak tilas show force keliling kota Balige pada tanggal 18 Agustus 2007, dengan rute dimulai Losmen Toga Laut Tawar, Tugu Naga Baling, Makam Raja Bona Ni Onan Pardede & Raja Paindoan Pardede dan ber akhir di Lumban Jabi-jabi / Tugu Raja Toga Laut Pardede, yang kemudian dengan kata-kata sambutan, oleh Tokoh-tokoh Sonak malela dll.