Selasa, 01 Maret 2011

Orang Batak Menghormati Leluhurnya sama dengan Orang China

Orang Batak menghormati leluhurnya dengan membangun Monumen atau Tugu dari Lelurnya (cikal bakal dari Keluarga besar marga), Bisa saja dari generasi pertama bahkan ada juga yang membangun tugu dari generasi ke tiga atau empat.Sebelum mengenal tembok beton, orang Batak mengubur orangtuanya di dalam tanah, dan diberi tanda dengan batu besar berukir. Biasanya di situ juga ditanam pohon kayu jabi-jabi atau beringin, yang dianggap keramat.
Salah satu contoh; Hampir boleh dikatakan Tugu Raja Sonak Malela adalah Tugu cikal bakal dari empat Marga : Simangunsong, Marpaung, Napitupulu dan Pardede. Tetapi Tugu dari Persatuan Pardede, yaitu”Raja Bona Ni Onan” hingga kini tidak ada namun makam nya ada. Tetapi Tugu generasi selanjutnya ada dan cukup Megah.
Hal ini juga berlaku di marga lain, dan tugu-tugu umumnya dibangu didaerah mana asal marga atau leluhur tersebut. Apakah si Samosir Toba,Humbang Silindung,dan lainlainnya. Jadi kalau kita Memasuki wilayah simalungun hingga Sibolga
maka kita akan menikmati panorama yang sangat kotraversi dengan kenyataan kehidupan masyarakat sekitarnya. Dikanan kiri jalan kita akan menemui megahnya makam/kuburan ataupun Tugu dari leluhur setiap marga, bahkan kita menemui Tugu berdiri ditengah persawahan, bahkan ditepi jalan dandi pebukitan.
Tidak sekedar menghormati, Orang Batakpun mengsakralkan Tugu atau tambak tersebut.

Begitu sakralnya pekuburan akan membela mati-matian bila kuburan nenek moyang mereka diganggu atau dirusak, ada sebuah cerita tentang Pohon Jabijabi begitu sacral pohon tersebut bagi Marga bersangkutan; sebab cabang kayu jabi-jabi di kuburan nenek mereka hendak dipotong karena daunnya berguguran ke halaman kantor kepolisian sektor di sebelahnya. "Alasannya, jika cabang atau ranting kayu itu dipotong, bisa mengurangi keturunan keluarga Pardede,"
Sejak 1950-an, orang Batak mulai membangun kuburan dari semen, pengganti batu dan pohon beringin. Kadang-kadang kuburan itu juga diukir dengan relief dan ornamen khas Batak serta dilengkapi dengan patung berbagai bentuk, seperti orang berkuda, harimau, rumah adat, dan bahkan orang dicambuk. Itu mempunyai arti tersendiri, misalnya kuda yang melambangkan keluarga raja. Selain itu, diberi juga lambang salib,(setelah Agama Keristen Protestan menjadi Agama Mayoritas). Kini kuburan orang Batak merupakan pembauran unsur modern (bangunan), agamis (tanda salib), dan magis. Setidaknya, Dalam membangun tambak, seseorang harus memiliki "jaga badan", di samping niat yang lurus. Bila tidak, orang itu bisa jatuh sakit, diganggu roh, Selain itu, kita juga gampang letih dan kelaparan. Bisa jadi, daerah Tapanuli Utara yang berhawa dingin sering membuat orang merasa cepat lapar. Menyadari hal itu, biasanya pihak keluarga menjamu tukang yang membangun kuburan leluhur mereka sebaik-baiknya. Seperti diberi makanan yang lezat dan penginapan yang memadai. Bahkan, sebelum memulai pekerjaan, mereka didoakan pendeta agar jangan diganggu roh halus.

Pembuatan tambak juga bisa dipicu oleh gengsi. "Bila di sebuah kampung ada tambak besar dan mewah, warga dari marga lain akan berlomba membuat yang lebih wah. Apa itu lebih penting daripada membantu saudara-saudara yang miskin?"
Menurut Seorang tokoh Muda mengatakan , keyakinan terhadap tambak bertentangan dengan ajaran Kristen. Soalnya, warga meminta berkah kepada roh nenek moyang. Padahal, soal rezeki, kata Tambunan, bergantung pada usaha seseorang. Di mata Pemuda tersebut, pembangunan makam yang megah hanyalah pemborosan.

Anggapan pemborosan itu dibantah M.A. Simanjuntak. "Ini menyangkut keyakinan. Jangankan soal tempat, harta benda pun direlakan untuk membangun tambak. Jadi, soal adat ini jangan diutak-atik," kata salah seorang pengurus Lembaga Adat Dalihan Na Tolu, yang juga anggota DPRD Tapanuli Utara itu. Menurut Simanjuntak, apakah salah jika mereka ingat kepada leluhur? Biarkan adat berkembang, itu juga identitas orang Batak. "Cinta kasihlah yang paling menonjol," katanya. Pendapat itu dikuatkan Prof. Bonar Halomoan Pasaribu,

    
  
Bangunan-bangunan dari semen indah dan megah itu baru muncul pada paruh abad ke-20. Sebelumnya, makam asli keluarga Batak cukup ditandai dengan pohon (hariara)

yang kebanyakan berupa pohon beringin. Makam sendiri berupa tanah yang ditinggikan 
atau miniatur gereja,hingga vila. Banyak yang tampak sangat megah dan unik, bahkan bisa

untuk makam itu beraneka ragam, dari tugu dengan patung-patungnya, kapal, pagoda, 

menjadi penanda (landmark) sebuah kawasan.peti batu yang digeletakkan di dataran.

Orang bahkan banyak yang sudah lupa bahwa istilah makam Batak yang asli adalah tambak. 

Banyak orang menyebut makam Batak kini sebagai tugu karena saking banyaknya makam 
yang berbentuk tugu.




"Pembangunan Tugu Dipandang dari Segi Sosial-Ekonomi", pembangunan tugu makam secara besar-besaran mulai terjadi pada dasawarsa 1955-1965 di bona pasogit (kampung halaman orang Batak). Para perantau menjadi penyumbang terbesar pembangunan tugu.
 Beringin besar
 
Meskipun demikian, pohon-pohon beringin besar masih bisa ditemukan di banyak kawasan
di Humbang Hasundutan. Hampir bisa dipastikan, pohon beringin di Humbang Hasundutan
adalah tambak keluarga W Silaban (66), warga Desa Dolok Marbu, Kecamatan Lintong
Nihuta, Humbang Hasundutan, mengatakan, makam keluarga Silaban yang berada  persis
di samping rumahnya berisi ratusan jenazah. 
Makam dengan pohon beringin yang sangat besar itu dipagar seluas sekitar 6 x 6 meter.
Umur tambak keluarga itu juga ratusan tahun. "Saya saja sudah Silaban nomor sembilan,
tambak itu ada sejak Silaban nomor satu," tutur dia.

Warga percaya, jika pohon semakin besar dan rindang dengan cabang yang banyak,
keturunan keluarga itu dipercaya berhasil di masyarakat. "Jika pohon justru mati atau
tak banyak berdaun, keluarga besar itu pun tak banyak berguna di masyarakat," tutur
Marandut Manulang (42), warga Doloksanggul, Humbang Hasundutan.
Sri Hartini, dalam disertasinya yang berjudul "Kajian Bentuk dan Makna Tambak pada
Masyarakat Batak Toba" membagi makam keluarga Batak Toba dalam tiga tipe :
Pertama, tambak dari tanah yang ditinggikan yang biasanya ditanami pohon kosmis
(biasanya pohon beringin) atau ditancapi tanduk kerbau.
Kedua adalah makam dari batu alam utuh berbentuk segi empat panjang yang disebut batu
sada, parholian, atau sarkofagus. Tambak model ini merupakan peninggalan tradisi megalit
sejak 3.000 tahun sebelum Masehi. Hanya kaum bangsawan yang diduga mampu membuat
kubur batu mengingat butuh banyak tenaga untuk memindahkan dan membuatnya. 
 
MAKAM RAJA SIDABUTAR. Sejumlah pengunjung melihat makam tua raja Sidabutar
berusia 480 tahun di desa Tomok, Kecamatan Simaniado Kabupaten Samosir, Minggu, 
Raja Sidabutar merupakan orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Samosir 
serta penguasa Samosir pada masa itu. Foto antarasumut.com/Septianda Perdana
 


Kuburan tua dari batu, kabarnya banyak dijumpai di Samosir, tetapi tidak dipelihara bahkan 
nyaris terlupakan. Yang selalu dipelihara dan menjadi objek wisata adalah Kuburan Batu
Raja Sidabutar di Tomok.
Ketiga adalah tambak dari semen atau campuran pasir, bata, dan semen yang disebut
Sri Hartini sebagai tambak modern. Berdasarkan penelitiannya di wilayah bona pasogit, Sri membagi tambak modern menjadi 13 kelompok berdasarkan bentuk bangunan. "Orang Batak sangat adaptif dalam membuat bentuk bangunan," tutur Sri. Tiga model pemakaman itu bisa dilihat sekaligus salah satunya di Huta (Kampung) Sialagan di Pulau Samosir. Kampung kecil milik keluarga Sialagan itu juga menjadi daerah tujuan wisata Pulau Samosir.
 
 
Di sudut kampung tumbuh sebuah pohon beringin besar. Di bawah pohon terdapat sarkofagus batu dan tambak semen persegi berisi tulang belulang marga Sialagan. Ratusan orang dikubur dalam tambak itu. "Umurnya kira-kira 600 tahun," kata Wesley Guntur Sialagan (60), generasi ke-19 marga Sialagan.
Wesley meyakini tradisi pemakaman Batak sangat erat dengan tradisi Hindu. Saat melakukan penggalian untuk membangun pagar tembok batu di dalam kampung itu, pensiunan pegawai bank pemerintah itu menemukan abu dalam pinggan pasu (piring) porselen. Penemuan abu yang ia duga sebagai abu jenazah leluhurnya itu menunjukkan bahwa ada tradisi pembakaran mayat seperti tradisi Hindu Bali. "Ini memang dugaan yang butuh pembuktian," kata Wesley. Abu leluhurnya itu kini ia makamkan dalam tambak di Sialagan.
Keputusan untuk memasukkan anggota keluarga yang meninggal dalam tambak biasanya dilakukan dengan rapat adat.

Ada dua jenis pemakaman adat Batak. 

Pertama, penguburan langsung ke tanah sesaat setelah kematian, terutama bagi orang yang mati muda.
Kedua adalah penguburan jenazah ke tanah, yang dilanjutkan penguburan tulang belulang beberapa tahun kemudian setelah proses pembusukan terjadi. Proses pemakaman kedua ini disebut mangokal holi.
Mangongkal holi ini butuh dana besar.
Kini banyak warga Batak menyatukan proses pembusukan dan pemakaman tulang dalam satu tambak. Bagian bawah tambak menjadi makam tempat pembusukan, bagian atas tempat disemayamkan tulang-tulang.
Bagi orang Batak tak ada tambak yang menakutkan. Leluhur yang jasadnya masuk ke tambak adalah orang-orang yang justru jiwanya akan membantu mereka yang hidup.
Tambak menjadi representasi sebuah marga atau keluarga besar.

Kesimpulan:
Kenapa manusia batak sekarang ini (modern) tidak menyadari dampak dari pembangunan makam begitu megahnya dipertengahan sawah, meskipun itu adalah tanah sawah milik keluarga besar. Sedangkan Nenek moyangnya menyadari dampak global warning dengan menanam pohon berigin (hariara) di makam mereka. Alangkah baiknya meniru sikap positif dari nenek moyang kita tersebut.

Barus 1000 tahu yang lalu

PELETAKAN BATU PERTAMA PEMBANGUNAN TUGU RAJA TOGA LAUT PARDEDE DI LUMBAN JABI-JABI - BALIGE

Setelah terbentuknya panitia pembangunan Tugu Raja Toga Laut Pardede di Jakarta oleh beberapa keturunan Raja toga Laut Pardede yang berdomisili di jakarta sekitarnya (sejabodetabek)
maka diputuskanlah agar semua keturunan Raja Toga Laut Pardede ikut serta dalam Napak tilas show force keliling kota Balige pada tanggal 18 Agustus 2007, dengan rute dimulai Losmen Toga Laut Tawar, Tugu Naga Baling, Makam Raja Bona Ni Onan Pardede & Raja Paindoan Pardede dan ber akhir di Lumban Jabi-jabi / Tugu Raja Toga Laut Pardede, yang kemudian dengan kata-kata sambutan, oleh Tokoh-tokoh Sonak malela dll.