Senin, 04 April 2011

Batak Menurut William Marsden (2)

TAPPANULI (TAPANULI)

Teluk Tapanuli yang ramai membentang ke pusat Tanah Batak, dan pantainya dimana-mana telah dihuni oleh manusia, berdagang barter untuk setiap keperluannya dari luar, tetapi mereka tidak melakukan sendiri pelayarannya ke laut. Kawasan yang dapat dilayari ini merupakan kekayaan alam teluk yang sangat menguntungkan dibanding kawasan lain di seantero bumi, sehingga semua pelaut dari seluruh dunia dapat mengunjunginya dengan sangat aman disetiap musim, bahwa cukup sulit untuk melepas jangkar karena ramainya sehingga kapal-kapal besarpun tersembunyi dan sulit terlihat dan sulit dicari bila tidak dengan cermat melihatnya.
Di pulau Punchong kechil, dimana kami tinggal (membuat pemukiman), menjadi memudahkan untuk menambat kapal pada pohon yang tumbuh di pantai. Balok kayu untuk tiang kapal dan balok layar dapat dibeli di banyak tempat di pinggiran pantai dengan fasilitas yang sangat baik. Keadaannya kurang menyenangkan dalam hal jalur umum untuk hubungan perkapalan timbal balik, dan jaraknya yang jauh dari basis utama kita di India sebagai pertimbangannya, masih belum banyak dimanfaatkan untuk angkatan laut besar; tetapi pada saat yang bersamaan pemerintahan kita harus berhatihati terhadap bahaya yang mungkin muncul dari kekuatan angkatan laut lain yang akan tersinggung bila menguasai kawasan ini.
Pribumi umumnya tidak bersifat menyerang, dan hanya memberikan sedikit gangguan terhadap pendudukan kita; tetapi kelompok pedagang orang Aceh (tanpa persetujuan atau pemberitahuan, karena ada alasan yang dapat diyakini, akan muncul dari pemerintahan mereka), cemburu atas penguasaan dagang kita, mereka akan melakukan perjuangan yang panjang untuk mengusir kita dari teluk itu dengan pemaksaan bersenjata, dan kita ada dalam keadaan siap dengan senjata perang yang baik yang cukup untuk tahunan demi mengamankan penguasaan secara perlahan dan halus.
Di tahun 1760 Tappanuli dikuasai oleh skwadron kapal Prancis dibawah perintah Comte d’Esting; dan di bulan Okrober 1809, menjadi hampir tanpa pertahanan, namun kemudian dikuasai oleh Creole French Frigate, oleh Kapten Ripaud, yang kemudian bergabung dengan kapal perang Venus dan kapal perang La Manche, dibawah komando Commodore Hemelin. Dengan syarat-syarat untuk menyerah, harta pribadi harus diamankan, tetapi dalam beberapa hari, setelah jaminan yang sangat bersahabat diberikan kepada residen yang sedang menjabat, ditempat mana tentara Prancis juga tinggal, kesepakatan ini dilanggar paksa atas kepura-puraan sakit sehingga sejumlah emas telah disembunyikan, dan semua yang dimiliki oleh orang-orang Inggris, termasuk milik pribumi yang menjadi sahabat, dirampas dan dibakar, secara kejam dalam kebrutalan yang biadab. Rumah taman milik pimpinan (Mr. Prince, yang pernah menjabat Tappanuli) di Batu-buru seluruhnya dibakar, termasuk kuda-kudanya, dan ternaknya ditembak dan dicederai. Bahkan buku catatan, berisi catatan-catatan hutang dalam perdagangan di tempat itu, termasuk perjanjian, dihancurkan sehingga samasekali tak terpakai lagi tetapi musuh menjadi tidak mendapat keuntungan dari catatan itu, tetap terjaga oleh para penderita yang malang. Tidak dapat dibayangkan bahwa pemerintahan dari sebuah kerajaan yang besar dan agung memberikan hukumannya dengan cara tak terhormat dalam sebuah perang.
Di dalam Philosophical Transactio (Perjanjian Taktertulis, red.) selama tahun 1778 adalah sejarah singkat bagi Tanah Batak dan perilaku penduduknya, dikemukakan dari surat pribadi Mr. Charles Miller, seorang ahli tumbuh-tumbuhan Perusahaan, dimana pengamatannya yang saya miliki telah mengulangi kejadian untuk dikenang. Saya sekarang ini harus mengatakannya kepada pembaca pokok-pokok dari sebuah laporan yang dibuat olehnya dalam sebuah perjalanan yang dilakukan bersama-sama Mr. Giles Holloway, yang kemudian menjadi Residen Tappanuli, sampai ke pedalaman Tanah Batak yang sedang kita bicarakan ini, dengan sebuah pandangan untuk mendalami hasilnya, khususnya cassia (kayu-manis, red.), yang pada saat itu dianggap untuk membuktikan bahan perdagangan yang layak untuk diberi perhatian.

Mr. Miller bercerita:

Sebelum kami menetapkan perjalanan ini, kami menanyai orang-orang yang dulunya pernah berhubungan dengan perdagangan kayu manis (kulit manis) ke tempat yang paling tepat untuk dikunjungi. Mereka menginformasikan kepada kami bahwa pohon-pohon itu dapat ditemukan di dua kawasan; yaitu disebagian daratan arah utara dari perkampungan tua di Tapanuli; dan juga di negri Padambola (Padang Bolak, red.), yang terletak antara 50 sampai 60 mil jauh ke arah selatan. Mereka menganjurkan kami lebih baik pergi ke negri Padambola, walaupun agak jauh, dengan pertimbangan bahwa penduduk negri Tappanuli (sebagaimana mereka sebutkan) lebih sering melakukan gangguan kepada pendatang (orang asing). Mereka juga mengatakan kepada saya bahwa ada dua jenis kulit manis, satu diantaranya, menurut penjelasan mereka, diharapkan dapat terbukti bahwa benar-benar sebagai pohon kulit manis.
Pada tanggal 21 Juni 1772, kami berangkat dari Pulo Punchong dan berangkat dengan menggunakan sampan ke arah quallo (kuala, red.) sungai Pinang Suri (Pinang Sori, red.), dimana teluknya kira-kira 10 atau 12 mil arah tenggara Punchong. Besok paginya kami menyusuri sungai kearah atas dengan menggunakan sampan, dan kira-kira 6 jam tiba disebuah tempat bernama Quallo Lumut (Kuala Lumut, red.). Seluruh daratan di arah dua sisi sungai adalah dataran rendah, yang ditumbuhi pohon-pohon dan tidak berpenduduk. Di hutan ini saya mengamati adanya pohon kapur barus, dua jenis kayu jati, meranti, rangi, dan beberapa jenis kayu lainnya.
Sekitar seperempat mil dari sana, di arah berlawanan dari sisi sungai terdapat kampung Batak, yang berlokasi diatas bebukitan dan puncak gunung yang sangat indah, yang mencuat berbentuk pyramidal, ditengah-tengah padang rumput kecil. Raja dari kampung ini, yang diberitahukan oleh orang Melayu dimana kami berada dirumahnya, datang mengunjungi kami, dan mengundang kami untuk berkunjung kerumahnya, lalu kami diterima dengan sebuah sambutan yang besar, dan disambut penghormatan dengan kira-kira 30 tembakan. Kampung ini terdiri dari kira-kira 8 atau 10 unit rumah, yang juga terdapat padi house (rumah lumbung, red.).
Kampung itu mempunyai pertahanan yang kuat dengan pagar berlapis terbuat dari papan kasar dari pohon kapur barus, yang ditancapkan dalam kedalam tanah dan sekitar 8 atau 9 kaki (2,5 – 3 m) tingginya di atas tanah. Pagar-pagar ini kira-kira 12 kaki (4 m) berjajar,
dan diantara pagar tersebut digunakan untuk menambat kerbau pada malam hari. Di sisi luar pagar ini ditanami mereka dengan sejenis bambu berduri, yang hampir tak dapat ditembus denga ketebalan dari 12 sampai 20 kaki (4-7 m) tebalnya. Di Sapiyau atau dimana raja menerima tamu asing kami melihat tengkorak kepala manusia bergelantungan, menurut yang diceritakannya bahwa digantungkan disana adalah sebagai tropi, tengkorak itu adalah tengkorak musuh yang mereka tawan, dimana tubuhnya (berdasarkan adat Batak-nya), mereka telah memakannya kira-kira dua bulan yang lalu.
Pada tanggal 23 Juni 1772, kami berjalan melalui daerah berhutan datar ke kampung Lumut, dan hari berikutnya ke Satarong, dimana saya amati beberapa perkebunan pohon kemenyan, kapas, pohon biru, kunyit, tembakau, merica. Kemudian kami berlanjut ke Tappolen, ke Sikia, dan ke Sapisang (Sipisang, red.). Yang terakhir ini berlokasi di tebing sungai Batang-tara (Batang Toru, red.), tiga atau empat hari perjalanan dari laut; sehingga perjalanan kami hampir sejajar dengan pantai.

Tanggal 1 Juli 1772, kami meninggalkan Sapisang dan mengambil arah ke pebukitan, mengikuti jalur Batang-tara. Kami berjalan sepanjang hari melalui daerah dataran rendah, berhutan, dan daerahnya belum terjamah, dan sepertinya tak ada yang masuk dalam observasi. Penunjuk jalan kami telah mengarahkan untuk sampai disebuah kampung, bernama Lumbu; tetapi salah jalan yang seharusnya menyusuri sungai antara empat atau lima mil (7-8 km), dan setelah waktu agak lama tibalah di sebuah ladang sudah sangat melelahkan; dimana buruknya cuaca memaksa kami untuk berhenti dan beristirahat seperempat jam di sebuah pondok terbuka ditengah sawah.
Hari berikutnya, sungai terlihat banjir setelah hujan deras sehari sebelumnya sehingga kami tidak dapat melanjutkan perjalanan kami, dan bermaksud untuk melewatkan saja malam itu dalam keadaan yang tidak menyenangkan. (Saat ini adalah pertengahan musim kering di bagian selatan pulau.)
Pada tanggal 3 Juli 1772, Kami meninggalkan ladang dan berjalan melalui jalur yang jarang dilalui dan tak berpenghuni, penuh dengan bebatuan dan berhutan belantara. Hari ini kami menyeberangi tebing yang sangat curam dan bukit yang tinggi, dan pada sore harinya tiba disebuah negri yang berpenghuni dan persawahan yang diusahai dengan baik dan pada ujungnya yang tanahnya datar disebut Ancola (Angkola, red.). Kami tidur semalaman disebuah gubuk ladang terbuka, dan besoknya melanjutkan perjalanan menuju sebuah kampung yang disebut Koto Lambong (Huta Lambung, red.).
Pada tanggal 5 Juli 1772, berjalan melalui sebuah negri yang lebih terbuka dan sangat menyenangkan yaitu Terimbaru (Huta Imbaru, red.), sebuah kampung besar disebelah ujung selatan dataran Ancola. Daerah ini samasekali tak berhutan dan dibajak serta ditanami padi dan jagung, atau ditanami untuk makanan kerbau dan kuda. Raja telah diberitahukan tentang keinginan kami untuk datang ke sana, dan raja itu mengirim anaknya yang dikawal oleh sekitar 30 atau 40 orang diperlengkapi dengan senjata seperti pedang dan senjata lantak, mereka menemui kami dan mengawal kami sampai ke kampungnya, disambut dengan pukulan gong, dan menembakkan senjatanya sepanjang jalan.
Raja menerima kami dengan penyambutan yang hebat, dan memerintahkan untuk menyembelih seekor kerbau, menahan kami sehari, dan sewaktu kami mau melanjutkan perjalanan, raja menyertakan anaknya dan sejumlah orang untuk mengawal kami. Saya mengamati bahwa semua wanita yang belum kawin memakai banyak sejenis cincin ditelinganya (ada yang berjumlah 50 cincin pada sebelah telinganya), dari keadaannya, sama seperti suasana negeri itu kelihatannya menunjukkan kaya denga kandungan mineral; tetapi sewaktu tanya sanasini diketahui bahwa timah itu dibawa dari Selat Malaka.
Setelah memberikan cendramata sebagai hadiah kepada raja maka kami meninggalkan Terimbaru pada tanggal 7 Juli 1772 dan melanjutkan perjalanan ke Samasam (Simasom, red.), dimana raja ditempat itu dikawal oleh sekitar 60 atau 70 pengawal yang diperlengkapi dengan senjata lengkap menjumpai kami dan mengawal kami sampai dikampungnya, dimana sudah dipersiapkan sebuah rumah untuk menerima kami, memperlakukan kami dengan penuh hormat dan keramahan.
Negeri sekeliling Samasam penuh berbukitan tetapi tidak banyak pepohonan, dan kebanyakan ditumbuhi rerumputan untuk ternak merumput, oleh karenanya mereka memiliki banyak ternak. Tidak banyak yang mengagumkan saya temukan disini kecuali satu jenis bumbu yang mereka sebut Andalimon andaliman, red), dimana bijinya dan daunnya rasanya sangat spicy taste (menyengat, red.), dan selalu digunakan untuk jenis masakan kari.
Pada tanggal 10 Juli 1772, melanjutkan perjalanan kami ke Batang Onan, dimana biasanya orang Melayu membeli kulit manis dari orang Batak. Setelah kira-kita 3 jam perjalanan melalui negeri yang berbukit terbuka, kemudian kami masuk kedalam hutan lebat, dimana kami bermaksud bermalam disitu. Besok paginya kami menyeberangi lagi tebing curam dari sebuah bukit yang tinggi dan dipenuhi hutan lebat. Disini kami menemukan pohon kemenyan liar. Pohonnya tumbuh jauh lebih besar dari pohon yang diperkebunkan, dan menghasilkan jenis dammar yang disebut keminian dulong atau kemenyan manis (sweet scented benzoin). Perbedaannya biasanya lebih lengket, dan aromanya mirip biji almon yang digerus.
Tiba di Batang Onan disore hari. Kampung ini berada di dataran sangat luas ditepian sungai besar yang langsung menuju selat Malaka, dan disebutkan dapat dilayari sekitar satu hari perjalanan dari Batang Onan.

Pohon Kayu Manis

(Lanjutan Cerita Perjalanan Mr. Miller)

Abstrak:
Pohon Kayu Manis atau Kulit Manis disebut juga sebagai Cassiavera atau bahasa latinnya disebut Cinnamomum verum, synonym C. zeylanicum. Kayu Manis ini diberitakan sudah dikenal oleh Bangsa Mesir Kuno sekitar 5000 tahun lalu dan banyak juga disebutkan dalam Kitab Perjanjian Lama. Sebagai contoh ayat-ayat berikut:
Karena omelan Bangsa Israel maka Musa berdoa: “Musa berseru-seru kepada TUHAN, dan TUHAN menunjukkan kepadanya sepotong kayu; Musa melemparkan kayu itu ke dalam air; lalu air itu menjadi manis. Di sanalah diberikan TUHAN ketetapan-ketetapan dan peraturan-peraturan kepada mereka dan di sanalah TUHAN mencoba mereka,” (Keluaran 15:25 TB).
Perintah Tuhan kepada Nabi Musa: “Ambillah rempah-rempah pilihan, mur tetesan lima ratus syikal, dan kayu manis yang harum setengah dari itu, yakni dua ratus lima puluh syikal, dan tebu yang baik dua ratus lima puluh syikal,” (Keluaran 30:23-TB)
Perkataan seorang cewek perayu: “Tempat tidurku telah kututupi dengan seperei beraneka warna dari Mesir, dan sudah kuharumkan dengan wangi-wangian mur, cendana dan kayu manis.” (Amsal 7:16-17 BIS)
Nyanyian cinta Sulaiman: Disana tumbuh pohon-pohon delima, dengan buah-buah yang paling lezat. Bunga pacar dan narwatsu, narwatsu dan kunyit, kayu manis dan tebu, dengan macam-macam rempah pilihan. (Kidung Agung 4: 13-14, BIS)
Terbukti bahwa kayu manis sejak zaman Nabi Musa dan Raja Sulaiman sudah menjadi komoditi berharga. Mengapa Bangsa Eropah (Inggris dan Belanda) mencarinya ke Tanah Batak abad-18? Sudah barang tentu pohon ini sebagai tumbuhan endemik Tanah Batak, walaupun orang-orang menyebutkannya berasal dari Sri Lanka. Oleh karena itu catatan ini menjadi satu bukti bahwa Bangsa Batak memang sudah eksis sejak zaman purba berhubungan dengan dunia luar.
Berikut adalah lanjutan Perjalanan Mr. Miller ke Tanah Batak yang dikutip dari History of Sumatra oleh William Marsden.

KAYU MANIS

Tanggal 11 Juli 1772. Berangkat ke Panka-dulut, raja yang mengaku memiliki lahan pohon Kayu Manis (cassia-trees), dan orang-orangnya biasanya memotong dan mengupas kulit kayunya dan mengirimnya ke tempat yang disebutkan sebelumnya (Batang Onan). Pohon Kayu Manis yang terdekat letaknya kira-kira 2 jam perjalanan (jalan kaki) dari Panka-dulut di pegunungan dataran tinggi. Pohon itu tumbuh setinggi 40 – 60 kaki (12 – 20 m) tingginya, dan bercabang rimbun. Pohon Kayu Manis ini bukan di budidayakan tetapi dibiarkan tumbuh sendiri di hutan. Kulitnya biasanya diambil dari batang pohon yang berdiameter 1 atau 1½ kaki (30 – 50 cm); kulitnya menjadi agak tipis bila pohonnya dipanen semasih muda, sehingga akan menurunkan kualitasnya.
Disini saya membutuhkan jenis Kayu Manis yang berbeda yang telah diebutkan sebelumnya, tetapi sekarang diberitahukan bahwa hanya ada satu jenis, dan perbedaan yang mereka sebutkan itu bisa ada karena perbedaan tanah dimana pohon itu tumbuh, bahwa yang tumbuh di tanah kering bebatuan pohonnya berwarna kemerahan, dan kulitnya memiliki kualitas super dibanding yang tumbuh di tanah liat lembab dan pohonnya cenderung berwarna kehijauan. Saya juga berusaha mendapatkan informasi bagaimana cara mereka mengupas dan memproses kulit manis, dan menyampaikan kepada mereka niat saya untuk mencoba beberapa eksperimen untuk meningkatkan kualitas dan menjadikannya lebih berharga.
Mereka mengatakan belum ada yang dipanen dalam dua tahun belakangan ini, sehingga terhenti jual-belinya di Tapanuli; dan jika saya datang dengan suatu kewenangan untuk membuka perdagangannya, saya harus memanggil orang-orang sekitar kampung untuk berkumpul bersama membicarakannya, menyembelih kerbau untuk mereka, dan meyakinkan mereka semua bahwa Kayu Manis akan ditampung lagi; dalam hal ini mereka akan segera memulai panen dan memproduksinya, dan dengan rela mengikuti semua perintah yang saya berikan kepada mereka; tetapi sebaliknya mereka bisa saja tak mematuhinya.
Saya melihat bahwa saya dihambat mendapatkan informasi yang memuaskan sebagaimana saya harapkan karena kelakuan licik orang yang menemani kami sebagai penunjuk jalan, karena dia mengetahui seluk beluk negri itu, dan tentang Pohon Kayu Manis, dimana dia sebelumnya adalah orang yang mengatur perdagangannya, Kami kira kami beralasan berharap atas semua yang kami inginkan seperti bantuan dan informasi, tetapi bukan hanya menolak memberikannya, tetapi mencegah kami sebisa mungkin mendapatkan keterangan dari orang-orang negri itu.
Tanggal 14 Juli 1772, kami meninggalkan Batang Onan untuk kembali pulang, singgah semalaman disebuah kampung bernama Koto Moran untuk bermalam, dan malam berikutnya kami sampai di Sa-masam (Simasom, red.) tempat dimana kami sebelumnya menempuh jalur jalan yang berbeda dari jalan kami menuju ke Si-pisang; dimana kami mengadakan sampan, dan kembali menyusuri sungai Batang-tara menuju ke laut. Tanggal 22 Juli 1772 kami kembali ke Pulo Punchong.

Akhir Dari Catatan Mr. Miller.

Sudah sejak awal difahami bahwa mereka salah pengertian, dan membawa jalan yang berputar-putar untuk menghindari kampung tertentu dalam mempertimbangkan jalan pulang ke Tapanuli, atau mungkin karena alasan lain. Dekat dengan tempat berikutnya, di jalan utama, Mr. John Marsden, yang menyusuri jalan menuju tempat penguburan salah satu pimpinan mereka, mengamati dua buah monument batu berusia tua, yang satu berbentuk seorang laki-laki, yang satu lagi seorang laki-laki sedang menunggang gajah, terlihat cukup bagus dilakukan, bahkan tak satupun diantara mereka sekarang ini mampu lakukan seperti itu. Ciri tersebut sangat kuat tentang Batak.
Pemukiman kami di Natal (sebenarnya Natar), beberapa mil arah selatan sungai besar di Tabuyong, dan berbatasan dengan Tanah Batak, yang membentang dibelakangnya, adalah sebuah tempat yang ramai perdagangan, tetapi diperuntukkan bukan karena terjadi alami atau kepentingan politik. Tempat itu dihuni oleh penduduknya untuk tujuan perdagangan yang datang dari negri Achin, Rau, dan Menangkabau (Aceh, Rao, dan Minangkabau, red.), yang memakmurkan penduduk dan kaya. Emas dengan kualitas sangat tinggi diproduksi disini (beberapa penambangannya berjarak sekitar 10 mil dari pabriknya), dan ada transaksi dagang untuk barang-barang impor, sebagai penggantinya adalah kapur barus yang sangat mudah pembuatannya.
Sama seperti kota-kota di daerah Melayu lainnya, mereka diperintah oleh datu-datu sebagai pimpinan bergelar datu besar (datu bolon, red.) atau hakim kepala yang tidak menetap; dan walaupun pengaruh perusahaan dagang disini sangat kuat kuasanya bukan berarti berdiri kokoh sebagaimana di kawasan-rempah2 di bagian selatan yang memiliki sejumlah pegawai, memiliki harta kekayaan mereka, dan berbentuk perusahaan, bersemangat mandiri. Boleh dikatakan bahwa mereka lebih mengarah kepada menjalankan menejemen perusahaan dan mendapat dukungan daripada memerintah. Mereka menganggap orang Inggris bermanfaat sebagai penengah antara mereka dan lawan dagangnya, yang tak jarang menjurus kepada perang, walaupun dalam bentuk unjuk kekuatan, dan sebagai alasan kehadiran orang-orang kami (Inggris) berada diantara mereka.
Di awal periode proteksi kami melindungi adalah menyenangkan mereka melawan orang-orang yang melakukan kecurangan, seperti yang mereka tuduhkan pada Belanda, yang memulai masalah dan mengakui mereka cemburu. Melalui artikel Perjanjian Paris di tahun 1763 pernyataan claim ini dijelaskan bahwa mereka menghormati dua kekuatan Eropah ini, dan kependudukan Natal dan Tapanuli secara jelas harus dikembalikan kepada Inggris. Mereka kenyataannya telah diduduki kembali. bahkan telah memiliki hak atas apa yang dikemukakan dari keinginan dan persetujuan oleh raja-raja setempat.
[Catatan kaki sebelumnya: Setelah pendirian kembali pabrik di tahun 1762 residen menuduh Datu besar (Datu Bolon, red.), dengan sikap marah besar. Sejumlah mayat selalu terlihat mengambang dihilir sungai, dan mengajukan kerjasamanya untuk mencegah pembunuhan di negri itu, oleh karena kekacauan terjadi di daerah itu selama penanganan sementara dari pengaruh Perusahaan. “Saya tak dapat menyetujui apapun alasannya untuk pendirian pabrik itu” kata Datu itu: “Saya mendapat bagian dari pembunuhan-pembunuhan ini dengan keuntungan duapuluh dollar untuk setiap kepala bila keluarga-keluarga itu menuntut.” Satu kompensasi sebesar 30 dollar per bulan ditawarkan kepadanya, walaupun hal ini berat untuk diberikan padanya, melihat bahwa dia adalah pihak yang kalah, sebagaimana dalam kasus ini setidaknya tiga orang setiap bulan. Dilain waktu, sewaktu residen mencoba untuk menerapkan peraturan untuk dilaksanakan, dia (Datu,red..) mengatakan, “kami tiadah suka begito, orang kaya!”, dan mengangkat tangan kanannya sebagai tanda kepada bawahannya untuk menyerang apabila yang dia usulkan tidak dipenuhi. Tahun-tahun berikutnya sikap dan sifat untuk kepentingan bersama telah melunakkan hati mereka menjadi lebih akomodatif.]

(Buku History of Sumatra karangan William Marsden)
Bersambung —— 3

Batak Menurut William Marsden (1)

Buku History of Sumatra karangan William Marsden yang diterbitkan pada tahun 1811 sebenarnya sudah ada yang diterjemahkan oleh Remaja Rosdakarya di tahun 1999 dan oleh Komunitas Bambu pada tahun 2008.
Apabila anda belum memiliki buku-buku tersebut, maka Batakone mencoba untuk menerbitkan beberapa posting berserial khususnya untuk Bab-20 tentang Batak. Postingan ini tidak diambil dari dua buku terjemahan yang disebutkan di atas tetapi langsung dari teks bahasa Inggris koleksi Universitas Michigan yang dicetak oleh pengarang J. McCreery, dan diterjemahkan secara bebas. Apabila ada interpretasi yang berbeda dengan buku terjemahannya harap dimaklumi.

PENGANTAR

The History of Sumatra adalah sebuah buku yang diterbitkan tahun 1810 oleh penulisnya William Marsden (1754 – 1836). Bukunya edisi-2 diterbitkan pada tahun 1784 sebanyak 373 halaman, dan Edisi-3 – pada tahun 1811 sebanyak 479 halaman berasal dari buku asli koleksi Universitas Michigan yang dicetak oleh pengarang J. McCreery dan dipasarkan oleh Longman, Hurst, Rees, Orme, dan Brown di tahun 1811.
Buku The History of Sumatra berisi tentang pemerintahan, hokum, adat istiadat, karakter dasar penduduk pribumi, serta penjelasan tentang hasil-hasil bumi, dan hubungan antar pemerintahan kerajaan di Pulau Sumatra.
William Marsden yang lahir tanggal 16 Nopember 1754 dan meninggal tanggal 6 Oktober 1836 merupakan pionir dalam studi tentang Indonesia dan Sumatra secara umum dan khususnya Bangsa Batak. William Marsden juga sebagai seorang ahli di bidang studi bangsa-bangsa di timur, termasuk sebagai ahli dibidang studi bahasa-bahasa asli, dan sebagai kolektor koin-koin kuno.
William Marsden adalah anak seorang pedagang dari Dublin. Dia diangkat sebagai pelayan umum disebuah Perusahaan India Timur pada usia 16 tahun dan dikirim ke Bengkulu pada tahun 1771. Kemudian William Marsden diangkat menjadi Sekretaris Utama Pemerintah karena memahami bahasa melayu termasuk pengetahuannya tentang negri Sumatra. Sekembalinya ke London di tahun 1779, dia menulis History of Sumatra (Sejarah Sumatra).
Buku Sejarah Sumatra terdiri dari 23 bab dimana pada Bab-20 khusus menceritakan tentang BATAK. Pada Buku Sejarah Sumatra ini, William Marsden menulis 17 sub-bab mengenai BATAK yang berisi tentang: Negri Batak, Teluk Tapanuli, Perjalanan ke Pedalaman, Kayu Manis (Cassia Trees), Pemerintahan, Tentara, Peralatan Perang, Perdagangan, Dewa-dewa, Makanan, Sifat-sifat, Bahasa, Tulisan, Agama, Acara Penguburan, Kriminal, Kebudayaan yang Luarbiasa.

B A T A K

Satu diantara penduduk pulau yang dapat disebutkan sangat berbeda, dan dengan segala hormat disebutkan secara tegas sebagai orang asli Sumatra, adalah Bangsa Batak (Battas), yang sangat jauh berbeda dari penduduk lainnya, dari segi adat istiadat dan kebiasaannya yang sangat luarbiasa, dan khususnya dalam beberapa penerapannya yang diluar dari kebiasaan, sehingga harus dibuat perhatian khusus untuk menjabarkannya.

LETAK NEGRI BATAK (TANO BATAK)

Negri Batak dibatasi sebelah utara berbatasan dengan Aceh, yang dibatasi oleh Gunung Papa dan Gunung Deira, dan disebelah selatan dibatasi oleh kawasan bebas yang disebut Rau atau Rawa (Daerah Rao sekarang, red.); memanjang sepanjang pantai laut disebelah barat dari mulai sungai Singkel (Singkil, red.) sampai ke Tabuyong, dan didaratannya, berbatasan dengan Ayer Bangis (Air Bangis, red.), dan secara umum berbatasan sepanjang pulau, yang menyempit disekitar kawasan itu, sampai ke pantai bagian timur, kira-kira lebih kurang sampai ke batasan kekuasaan Melayu dan Aceh dibagian daerah maritimnya, sebagai kekuasaan komersial. Kawasan Tanah Batak sangat padat penduduknya, terutama di kawasan pusat, dimana terdapat dataran terbuka dan masih perawan, di perbatasannya (sebagaimana disebutkan) terdapat sebuah danau yang sangat besar, tanahnya subur, dan pertaniannya jauh lebih maju daripada di daerah negri bagian selatan, yang masih ditutupi oleh hutan lebat, dimana terlihat pohon-pohon kosong kecuali pohon-pohon yang ditanami oleh penduduk disekitar kampung, kecuali disepanjang tebing sungai masih tumbuh lebat, tetapi dimanapun terlihat suasana yang kuat menggambarkan keberadaan daerah itu. Jumlah air kelihatan tidak begitu melimpah dibanding kawasan bagian selatan, yang boleh dikatakan berada agak lebih rendah, di bukit barisan yang memanjang kearah utara dari mulai Selat Sunda sampai daerah pedalaman pulau, yang berukuran luas sampai berakhir di Gunung Passumah (Pasamah, red.) atau Gunung Ophir (Pusuk Buhit, red.). Disekitar Teluk Tappanuli (Tapanuli, red.) dataran tingginya berhutan lebat sampai ke dekat pantai.

Resitasi Sub-Bab LETAK NEGRI BATAK:

William Marsden menyebutkan bahwa Bangsa Batak adalah yang paling pantas disebut sebagai penduduk asli Pulau Sumatra.
Bangsa Batak sangat jauh berbeda dengan penduduk dari segi adat istiadat dan kebiasaannya yang sangat luarbiasa sehingga harus dibuat perhatian khusus untuk menjabarkannya.
William Marsden menggambarkan bahwa Letak Negri Batak adalah sepenuhnya Sumatra Utara Sekarang, yang berbatasan dengan Propinsi Sumatra Barat dan daratan sampai
ke Propinsi Riau dan disebelah baratnya di Singkil dan Air Bangis berbatasan dengan Propinsi Nangro Aceh.
William Marsden juga menggambarkan bahwa di Pusat Tanah Batak (Silindung dan Toba, red.) sudah sangat padat penduduknya yang dikatakan dekat dengan danau yang sangat besar (Danau Toba, red.).
Pertanian di Pusat Tanah Batak (Toba, Silindung, red.) sudah sangat baju dan semua dataran terpakai untuk pertanian tetapi pohon-pohon besar sudah agak kosong kecuali disekitar perkampungan.
Di bagian selatan Tanah Batak disebutkan masih banyak hutan lebat, tetapi jumlah air masih lebih melimpah di daerah selatan karena tanahnya lebih rendah.
Tanah Batak pedalaman disebutkan terletak di Bukit Barisan yang memanjang dari mulai Selat Sunda sampai berakhir di Gunung Passumah atau Gunung Ophir.

Catatan:
Gunung Ophir adalah suatu tempat yang masih menjadi misteri. Sejak dikemukakan oleh Plato di abad-4&5, banyak kalangan yang meneliti dimana keberadaan Gunung Ophir. William Marsden menyebutkan bahwa Gunung Ophir adalah Gunung Passumah. Dari berbagai alas an argumentative, penulis lebih mengakui bahwa Gunung Ophir adalah Gunung Pusuk Buhit.
Kisah-kisah di Alkitab menyebutkan bahwa Raja Salomo (Sulaiman, red.) mendapatkan emas, perak, Kayu Cendana, batu mulia, gading gajah, monyet, merak, dikirim dari sebuah pelabuhan yang ada di Negri Ophir (Ofir) sekali dalam tiga tahun.
Dalam Kitab Kejadian-6,10 disebutkan bahwa Ofir adalah anak dari Joktan keturunan Sem. Dan mengenai barang-barang yang pesan Raja Sulaiman yang berasal dari Negri Ophir ada dalam Kitab 1-Raja-raja-9-10-22, 1-Tawarikh-29, 2-Tawarikh-8, Ayub-22-28, Mazmur-45, Yesaya-13:
Kejadian:-6: (Allah memerintahkan Nuh untuk membuat kapal terbuat dari kayu gofir)
Kejadian-10: (Setelah peristiwa Air-bah Nuh berketurunan dan salah satu bangsa keturunannya pada generasi ke-7 adalah Ofir, dimana mereka bermukim meluas dari Mesa dan Sefar yaitu daerah pegunungan di sebelah timur.)
1 Raja-raja-9-10: (Raja Salomo ‘Sulaiman, red.’ Sewaktu mendirikan rumah Tuhan dengan kerja paksa, juga mengirimkan kapal-kapalnya berlayar ke negri Ofir untuk mengambil 14.000 kg emas,termasuk yang diangkut oleh kapal Hiram sejumlah 4.000 kg dan setiap tahun menerima hampir 23.000 kg emas yang berasal dari Ofir). Riwayat yang sama diceritakan juga dalam kitab 1 Tawarikh dan 2 Tawarikh
Ayub-22 + 28: (Percakapan antara Elifas dan Ayub dan Sofar, yang menyinggung emas dari Ofir yang sangat bermutu tinggi).
Mazmur-45: (tentang nyanyian kaum Korah yang mengkisahkan tentang pakaian yang harum berbau Mur, Gaharu, Cendana, dan berlapis emas yang didatangkan dari Ofir.)
Yesaya-13: (tentang rencana Tuhan akan menghukum manusia karena kejahatannya dan mengumpamakan manusia akan lebih sedikit dari emas Ofir.
Sampai saat ini belum dapat dipastikan dimana letak Negri Ophir, akan tetapi dari data-data yang berkaitan dapatlah diambil pendekatannya bahwa Negri Ophir terdapat di Tanah Batak.

PEMBAGIAN TANAH BATAK

Teritorial Batta country – Tano Batak (menurut informasi yang diperoleh dari Penduduk Inggris) terbagi dalam distrik utama sebagai berikut; Angkola, Padambola (Padang Bolak, red.), Mandiling (Mandailing, red.), Toba, Selindong (Silindung, red.), dan Singkel (Singkil, red.), dimana Angkola mempunyai 5 sub-suku, Mandailing menpunyai 3 sub-suku, Toba mempunyai 5 sub-suku. Berdasarkan catatan Belanda yang dipublikasikan dalam Transaksi Masyarakat Batavia, yang terperinci, Batak dibagi dalam tiga kerajaan. Satu diantaranya bernama Simamora yang berada di pedalaman dan terdiri dari sejumlah perkampungan, diantaranya bernama Batong, Ria, Allas, Batadera, Kapkap (daerah penghasil kemenyan), Batahol, Kotta Tinggi (tempat rumah tinggal raja), dengan dua kawasan terletak di pantai timur yang disebut Suitara-male dan Jambu-ayer.
Disebutkan bahwa kerajaan ini menghasilkan banyak emas dari pertambangan di Batong dan Sunayang. Bata-salindong (Batak Silindung, red.) juga terdiri dari banyak distrik, beberapa diantaranya penghasil kemenyan dan distrik lainnya penghasil mas-murni. Tempat tinggal raja adalah di Salindong (Silindung, red.). Bata-gopit (Batu Gopit, red.) terletak dikaki gunung aktif, yang pernah meletus, dari situlah penduduk mengambil belerang, untuk kemudian diproduksi menjadi gunpowder (mesiu senjata, red.). Kerajaan kecil yang disebut Butar terletak di arah timurlaut sampai kearah pantai timur, dimana tempat tersebut dinamai Pulo Serony (Pulau Seruni, red.) dan Batu Bara yang banyak menikmati perdagangan; juga Longtong (Lantung, red.) dan Sirigar (Siregar, red.). yang berada di muara sungai yang besar bernama Assahan (Sungai Asahan, red.). Butar tidak menghasilkan kapurbarus, juga tidak menghasilkan kemenyan, dan juga tidak menghasilkan emas, dan penduduknya hidup dari pertanian. Rajanya bertempat tinggal di kota juga bernama sama, Butar.

BANGUNAN KUNO

Jauh ke pedalaman sungai di Batu Bara, yang ujungnya bermuara ke selat Malaka, ditemukan sebuah bangunan besar terbuat dari batubata, mengenai bangunannya sepertinya bukan tradisinya dibangun oleh penduduk setempat. Dijelaskan bahwa bentuknya segi-empat, atau beberapa bentuk segi empat, dan di satu sisinya terdapat pilar yang sangat tinggi, mungkin bagi mereka dirancang untuk menempatkan bendera. Bentuk-bentuk gambar atau reliefnya berbentuk gambar manusia yang dipahat di dinding temboknya, sepertinya mirip dewa-dewa bangsa Cina (mungkin juga Hindu). Batu batanya, yang dibawa ke Tapanuli berukuran lebih kecil dari yang umum digunakan di Inggris.

SINGKEL (SINGKIL)

Sungai Singkel, merupakan sungai terbesar di pantai barat pulau itu, yang berasal jauh dari pegunungan Daholi, di kawasan Achin (Aceh, red.), dan panjangnya sekitar 30 mil dari laut yang mengaliri airnya dari Sikere, di sebuah tempat bernama Pomoko, yang mengalir sepanjang Tanah Batak. Sehabis persimpangan ini sungainya sangat lebar, dan cukup dalam untuk dialiri kapal untuk muatan berat, tetapi pangkalnya sangat dangkal dan berbahaya, dalamnya tak lebih dari 6 kaki (1,8 m) saja pada saat surut, dan kalau sedang pasang akan naik 6 kaki (1,8 m) juga. Lebarnya pada daerah ini sekitar ¾ mil. Pada dataran rendal daerah ini banyak yang tergenang air sewaktu musim hujan, tetapi ada dua daerah yang disebutkan oleh Kapten Forrest tidak tergenang air yaitu bernama
Rambong dan Jambong, di dekat muaranya.
Kota utama terletak sekitar 40 mil ke hulu sungai di pencabangan sebelah utara. Di sebelah selatan ada sebuah kota bernama Kiking, dimana ramai perdagangan dilakukan oleh orang Malays (orang Melayu, red.) dan Achinese (orang Aceh, red.) di daerah yang dulunya gunung Samponan atau gunung Papa menghasilkan banyak kemenyan daripada di Daholi. Disebutkan dalam sebuah catatan Belanda bahwa selama 3 hari pelayaran lebih kehulu Singkil maka anda akan menemukan danau yang sangat besar, yang luasannya belum diketahui.

Barus, tempat berikutnya yang berada dibagian selatan, sudah sangat terkenal di negri timur yang disebut kapur-barus atau kamfer, bahkan yang diimport dari Jepang atau Cina disebut juga namanya kapur-barus. Inilah kawasan paling terpencil dimana Belanda sudah lama membangun pabriknya sebelum kemudian meninggalkannya. Mirip seperti pemerintahan Melayu yang diperintah oleh seorang raja, seorang bandhara (bendahara, red.), dan delapan orang pangulus (penghulu, red.), dan dengan kekhususan ini, bahwa raja-raja dan para bendahara dapat silih berganti harus dari kalangan keluarga utama yang disebut Dulu (di hulu, red.) dan D’illir (di hilir, red.). Daerah kekuasaan dulunya dikatakan sampai ke Natal. Kotanya bertempat kira-kira 1 league (3 mil) dari tepi pantai dan 2 league (6 mil) ke daratan terdapat 8 perkampungan yang semuanya dihuni oleh orang Batak, sebagai penduduk yang membeli kapur barus dan kemenyan dari orang-orang di pegunungan Diri (Dairi, red.), yang memanjang dari Singkil di selatan sampai dataran tinggi Lasa, di dekat Barus, dimana daerah ini sudah berada di distrik Toba.

Bersambung —-2

Barus 1000 tahu yang lalu

PELETAKAN BATU PERTAMA PEMBANGUNAN TUGU RAJA TOGA LAUT PARDEDE DI LUMBAN JABI-JABI - BALIGE

Setelah terbentuknya panitia pembangunan Tugu Raja Toga Laut Pardede di Jakarta oleh beberapa keturunan Raja toga Laut Pardede yang berdomisili di jakarta sekitarnya (sejabodetabek)
maka diputuskanlah agar semua keturunan Raja Toga Laut Pardede ikut serta dalam Napak tilas show force keliling kota Balige pada tanggal 18 Agustus 2007, dengan rute dimulai Losmen Toga Laut Tawar, Tugu Naga Baling, Makam Raja Bona Ni Onan Pardede & Raja Paindoan Pardede dan ber akhir di Lumban Jabi-jabi / Tugu Raja Toga Laut Pardede, yang kemudian dengan kata-kata sambutan, oleh Tokoh-tokoh Sonak malela dll.