Kamis, 16 Mei 2013

Amir Sjarifuddin Harahap Penganut Kristen Sejati Bukan Komunis



 
Amir Sjarifuddin Harahap hidup pada masa 1907-1948. Beliau lahir di Tapanuli Selatan 27 April 1907. Ayahnya, Djamin Baginda Soripada Harahap (1885-1949) keturunan kepala adat dari Pasar Matanggor, Padang Lawas dan mantan jaksa di Medan. Ibunya, Basunu Siregar (1890-1931), lahir dari keluarga Batak-Melayu.

Karakternya sejak kecil sudah telihat berkepribadian teguh, si Jugulbaut (si Badung). Masa remaja, Amir menimba pendidikan Belanda di
ELS setara Sekolah Dasar di Medan sejak tahun 1914 hingga tahun 1921. Tahun 1926 atas undangan sepupunya, TSG. Mulia pendiri penerbit Kristen BPK Gunung Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad  (Dewan) belajar di Kota Leiden, Belanda mengajak Amir untuk juga sekolah di Belanda.

Di Belanda, Amir aktif berorganisasi pada Perhimpunan Siswa
Gymnasium, Haarlem. Selama masa itu pula dia aktif mengelar diskusi-diskusi Kelompok Kristen, di kemudian hari Kelompok Kristen menjadi embrio lahirnya Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia. Di Belanda, dua sepupu ini menumpang di rumah seorang guru penganut Kristen Calvinis bernama Dirk Smink.

Kristen Calvinis adalah aliran gereja yang ketat soal doktrin. Calvisnis berasal dari spirit ajaran John Calvin (1509-1564). Sebenarnya Amir Sjarifuddin seorang Muslim. Berpindah agama Kristen saat di Belanda, tetapi dibaptis di HKBP Kernolong, Jakarta tahun 1931. Dia tidak saja hanya berpindah iman tetapi mendalami agama Kristen sungguh-sungguh.

Tiap hari Minggu turut berkhotbah. Khotbahnya selalu menyetuh, dan meneguhkan banyak orang. Paparannya tentang Injil sangat mendalam. Amir adalah orang yang berpengetahuan tinggi, soal politik dan teologia. Bahasanya sederhana dan lugas. Amir sebagai seorang orator yang sangat brilyan, yang suka membumbui kata-katanya dengan humor, karenanya ia menjadi sangat populer.

Sebagai orang yang Kristen sejati, Ade Rostina Sitompul, aktivis kemanusiaan. Ade punya kenangan pada sosok Amir Sjarifuddin, karena ayahnya Kasianus Sitompul berkawan dengan Amir. Amir tinggal di Daerah Guntur, Jalan Sumbing. Kawasan Guntur terkenal dengan kampung Batak. Kala itu, orang Batak bergereja di rumah salah satu warga bermarga Nainggolan, disanalah sering Amir berkotbah.

“Kohtbahnya bersemangat nasionalisme. Bagaimana mengusir Jepang, bagaimana hidup sebagai Kristen. Dia bercerita bagaimana kenangan-nya dipenjara Jepang, dia suruh minum sebanyak-banyaknya, lalu dia digantung dengan kepala ke bawah, lalu air tumpah keluar semua.
Saya melihat sosok Amir itu adalah orang yang bersahabat, selalu mengajak anak-anak dialog. Yang pertama dia Tanya sudah berdoa belum? Namanya harus dipulihkan. Apalagi setelah buku yang ditulis dengan Sumarsono itu,” ujar Ade Rostina Sitompul.
Soal semangatnya Kristen-nya, Amir Sjarifuddin mengidolakan Toyohiko Kagawa (1888-1942). Kagawa adalah tokoh Kristen Jepang, yang dulunya adalah penganut agama Shinto. Hidup dengan orang-orang miskin di daerah kumuh, Shinkawa, Jepang.

Dia dikenal sebagai bapak dari gerakan buruh di Jepang, seorang pendiri Serikat Buruh pertama di Jepang yang menyerukan melawan materialisme, kapitalisme. Bagi Kagawa, Kekristenan seharusnya malu mendirikan gereja-gereja besar dan mahal, tetapi gagal mengikuti manusia yang lahir di palungan dan dikubur makan milik orang lain. Bagi Kagawa Salib Jesus itu kuasa yang besar.

Amir tidak hanya pintar berbicara, tetapi pintar menulis. September 1927, sekembalinya dari Belanda, Amir masuk Sekolah Hukum di Batavia dan tinggal di asrama pelajar
Indonesisch Clubgebouw, Kramat nomor 106. Dalam memperjuangkan kemerdekan Indonesia, dia terlibat berbagai pergerakan bahwa tanah. Tahun 1931, Amir mendirikan Partai Indonesia (Partindo).

Lalu, mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) sembari menulis dan menjadi redaktur “Poedjangga Baroe”. Tahun 1928-1930 dia adalah pimpinan redaksi majalah Perhimpunan Pemoeda Pelajar Indonesia (PPPI). Sebagai seorang wartawan, dia menulis dengan nama samaran "Massa Actie".

Tahun 1942, sebelum dipenjara Jepang, Amir bersama sejumlah orang Kristen menerbitkan Boekoe Peringatan Hari Djadi Isa A-Maseh. Pada bulan Januari 1943 dia tertangkap oleh fasis Jepang, karena dianggap pemberontak. Kejadian itu membongkar jaringan, organisasi anti-fasisme Jepang yang dimotori Amir. Amir dituduh memimpin gerakan di bawah tanah yang dibiayai dengan uang sebesar 25 ribu Gulden dari Van der Plas.

Untuk hal ini, Amir dihukum mati oleh Jepang. Namun, intervensi Soekarno hukuman itu tidak dilaksanakan. Sebuah dokumen Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service (NEFIS), menyebutkan, instansi rahasia yang dipimpin
Van Mook, 9 Juni 1947 menulis tentang Amir; "ia mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang yang tak mengenal kata takut".

Juli 1945, Amir menulis di Harian Belanda “Nieuwsgier”, bahwa ia tidak seperti Sjahrir, yang sudah merasa senang dengan berada di tengah kalangan intelektual. Zaman baru ini mendorong umat Kristen Indonesia untuk lebih serius memikirkan masa depannya. Berbuat untuk negara ini.

Pendiri Jong Batak


Tahun 1925, sejak “Jong Sumatra”, kesadaran Batak mulai mucul. Amir Sjarifuddin, Sanusi Pane (1905-1968), dan teman-temanya yang sesama etnis Batak, mendirikan organisasi yang disebut “Jong Batak”. Organisasi pemuda Batak ini dibentuk atas kesadaran, karena nominasi “Minang” yang lebih dominan di organisasi “Jong Sumatra “ itu.

Atas kesadaran itu Amir dan rekannya membangun semangat baru bagi pemuda Tanah Batak. Salah satu kesepahaman mereka adalah “Bahasa Batak kita begitu kaya akan puisi, pepatah dan pribahasa yang kadang-kadang mengandung satu dunia kebijaksanaan tersendiri. Bahasanya sama dari Utara ke Selatan, tapi terbagi dengan jelas dalam berbagai dialek. Kita memiliki budaya sendiri, aksara sendiri, seni bangun yang tinggi mutunya, yang sepanjang masa tetap membuktikan bahwa kita memiliki nenek-moyang yang perkasa. Sistim marga yang berlaku bagi semua kelompok penduduk negeri kita menunjukkan adanya tata Negara lama yang bijak. Kita mempunya hak untuk mendirikan sebuah Perserikatan Batak yang khas, yang dapat membela kepentingan-kepentingan kita dan melindungi budaya kuno kita…” (Hans Van Miert, hal 475).

Dihapus dari Sejarah

Dia dieksekusi pada Peristiwa Madiun tragis 19 Desember 1948, pada usia 41 tahun. Dihujat berlebihan. Purbasangka yang tak berdasar. Orang PKI menyebutnya, “krucuk” anak bawang dalam politik, dia nyaris tidak mendapat tempat dari teman-temannya. Lawan politiknya menyebutnya dia arogan.

Pada 29 November 1948, Amir dua rekannya Soeripino dan Harjono bersembunyi di sebuah gua di Pengunungan Gua Macan, sebelah Utara Klabu, Panebahan. Dari dalam gua Amir sempat menyerukan “Saya hanya mau menyerah pada pasukan Panebahan Senopati.” Baru menyerahkan diri tanpa menggunakan sepatu, berpiyama dan memegang pistol, janggutnya tidak terurus dan rambutnya acak-acakkan.

Amir diberondong senjata tim eksekusi, suruhan Kolonel Gatot Subroto, distigma otak dari semua malapetaka Madiun 1948. Sebelum ditembak, Amir sempat bertanya ke komandan regu tembak. “Apakah niatnya itu sudah dia pikirkan dengan matang. Bahwa jika saya mati, negara akan rugi besar,” dengan tegas dijawab “Saya mengikuti komando”.

Untuk terakhir kalinya, Amir sempat menulis surat untuk isterinya. Setelah itu dia bernyanyi Indonesia Raya dan Internasionale baru ditembak. Saat dieksekusi ia memegang Alkitab. Wartawan senior, Rosihan Anwar menulis, Amir dieksekusi dengan menggenggam sebuah buku doa Kristen, bukan Alkitab.

George Mc Turnan Kahin penulis buku Nationalism and Revolution in Indonesia menceritakan bahwa Amir Sjarifuddin menjadi tokoh oposisi di barisan Sayap Kiri karena Dia merasa ditinggalkan oleh Aerika yang katanya jago demokrasi itu. Amir Sjarifuddin "kecewa kepada Amerika sewaktu perundingan Renville".

Kegengerian itu tidak hanya berhenti disitu. Setelah dia mati, keluarganya terluntah-luntah. Dua tahun setelah meninggal, atas perintah Presiden Soekarno, pada tanggal 15 November 1950, pusaranya digali kembali, dilakukan proses identifikasi selama seminggu. Setelah proses identifikasi, diadakan serah terima kerangka kepada keluarga, dimakamkan kembali dengan nisan masing-masing berjajar.

Masa Orde Baru tahun 1965, pasca-G30S, sekelompok pemuda menghancurkan pusara itu lagi. Lalu ditutupi dengan potongan rel kereta api, setiap sisi diberi cor semen. Makam-makam baru juga dibangun bersebelahan dengan setiap sisi sehingga kerangka Amir Sjarifuddin sulit dipindahkan keluarga.

Warga desa Ngaliyan tidak berani menghalang-halangi pemuda-pemuda tersebut sebab pada saat itu terror juga turut mereka rasakan. Kesulitan untuk memugar makam tersebut dirasakan pihak keluarga harus mengurus perizinan yang rumit dari aparat pemerintah desa hingga pemerintah pusat. Lucunya harus persetujuan Kodim serta pihak Departemen Pertahanan Keamanan.
Informasi tentang Amir Sjarifuddin pun sengaja ditutup-tutupi. Di sekolah, belajar sejarah, nama Amir tidak pernah terdengar. Itu sebabnya sosoknya tidak banyak yang tahu, dan jarang diangkat media. Informasi tentang pejuang-nya selalu dibragus.

Satu fakta, Majalah Prisma tahun 1982 pernah hampir dibredel karena memuat tentang tulisan Amir Sjarifuddin, dalam rangka 75 tahun Amir Sjarifuddin. Tahun 1984 Penerbit Sinar Harapan pernah menerbitkan tesis Frederiek Djara Wellem berjudul: “Amir Syarifuddin; Pergumulan Iman dan Perjuangan Kemerdekaan”. Sayang, buku itu di-sweeping oleh pemerintahan Soeharto, karena dianggap merusak sejarah Indonesia.
Pada 27 Mei 2008 lalu, untuk mengenang jasa-jasanya, STT Jakarta mempelopori seminar bertajuk “Amir Syarifuddin Nasionalis Pejuang Kemerdekaan dan Pembebasan Rakyat”. Tampil sebagai pembicara: Setiadi Reksoprodjo mantan menteri pada kabinet Amir Syarifuddin, Ketua STT Jakarta Dr. Jan .S Aritonang, Aswi Warman Adam dosen sejarah dan peneliti. Seminar dimoderatori Fadjroel Rahman.

Perjuanganya tidak pernah dihargai negara. Untuk pemugaran makam-nya saja dibutuhkan waktu 60 tahun. Pemungaran baru bisa tahu lalu dipelopori lembaga Ut Omnes Unum Sint Institute dalam bahasa Latin, yang artinya Agar Semua Satu Adanya. Lembaga yang didirikan 17 pemuda Batak, saat ini diketuai Jones Batara Manurung. Pemungaran tepatnya dimulai 12 Agustus 2008, dengan serangkaian tahapan antara lain: Pertama, pendekatan pada warga desa Ngaliyan dengan koordinasi dengan Komnas HAM.

Lalu dilakukan pertemuan seputar teknis pelaksanaan pemugaran, oleh Ut Omnes Unum Sint Institute memberitahukan perihal rencana pemugaran pada pihak pihak Kecamatan Karanganyar. Setelah pemugaran selesai, tanggal 14 November diadakan Ibadah Syukur di Gereja Dagen Palur, Solo dihadiri para undangan dari berbagai Gereja, LSM, organisasi kemahasiswaan di Solo dan Yogyakarta.
Saat ini di Desa Ngaliyan, setiap bulan “Ruwah”, satu bulan sebelum puasa Islam warga punya tradisi membersihan, perbaikan makam. Bagi masyarakat Ngaliyan, Amir Sjarifuddin dan kawan-kawan adalah pahlawan. Dulu, setiap bulan Ruwah, warga Ngaliyan tidak berani membersihkan makam, takut dicap PKI. Sebutan tak kalah kejam adalah dia disebut seorang ateis, atau seorang yang beragama komunis.

Tetapi kebenaranya sejarah merungkap bahawa ideologi politiknya memang komunis, tetapi dia bukan anti-agama. Para pemimpin agama anti-komunislah menyebut dia ateis. Amir jelas penganut humanis, politikus flamboyan, seniman. Tak kala galau dia mengesek biola saban dulu menjadi kegemarannya. Tidak ada tanda-tanda dia ateis. Aristoteles mengatakan “Nilai manusia, bukanlah ditentukan oleh kehancuran hidup dan cita-citanya tetapi oleh perjuangannya mempertahankan harkat kemanusiaannya.” Kata-kata itulah yang tepat mengambarkan hidup tragis Amir Syarifuddin Harahap. (*)

Kamis, 02 Mei 2013

Raden Ayu Siti Hartinah



Istri Presiden

Pada suatu hari, istri Panglima Kostrad, Ny Soeharto kedatangan seorang penjual batu akik. Si penjual adalah warga negara Indonesia keturunan India. Ny. Soeharto tidak menunjukkan minat terhadap barang dagangannya. Si penjual pun menjual komoditas lainnya, meramal nasib.
Mula-mula si peramal menyebutkan masa lalu Siti Hartinah Soeharto. Merasa banyak kecocokan, akhirnya nyonya rumah mita diteruskan meskipun hanya sekadar iseng. Hingga kemudian si peramal itu berkata, "Madam, suami madam akan berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan presiden yang sekarang."
Ny. Soeharto tidak lantas percaya. Menjadi perwira tinggi AD saja sudah demikian berat tugasnya. Si peramal pun tidak memaksa kliennya untuk percaya. Ia hanya perlu bayaran sebagai imbalan jasa ramalannya. Akhirnya, dibayarlah si peramal itu sesuai dengan yang diminta.
Pada tahun 1967, Sidang Istimewa MPRS secara aklamasi mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Ini berarti, Ny. Soeharto yang tadinya adalah istri prajurit kini menjadi istri presiden. Menduduki jabatan presiden, baik oleh Soeharto maupun istrinya tidak pernah terpikirkan sama sekali.
Ny. Soeharto yang telah terbiasa dengan kehidupan di lingkungan angkatan bersenjata merasa istilah "pejabat" mengandung arti kesementaraan. Namanya "pejabat" artinya belum definitif. Jika MPRS menganggap tugasnya sudah rampung, maka MPRS sangat mungkin mengangkat orang lain menjadi presiden tanpa embel-embel "pejabat".
Perasaannya mengatakan, jabatan suaminya itu tidak akan lama. Itulah sebabnya, pada saat Jenderal Soeharto dilantik dan diambil sumpahnya oleh MPR, Ny. Soeharto biasa-biasa saja di rumah dan tidak hadir menyaksikan peristiwa yang bersejarah itu. Meskipun ia mengucapkan syukur kepada Tuhan yang menakdirkan suaminya memimpin negeri ini. Namun, ia tetap belum merasa sebagai istri presiden. Sebab menurutnya, Presiden RI masih Bung Karno. Padahal saat itu sebenarnya ia telah menjadi ibu utama Indonesia dalam usia 44 tahun.
Pada saat diangkat menjadi pejabat presiden, Jenderal Soeharto sempat menolak dengan alasan tidak yakin mampu mengemban tugas berat. Ia juga beralasan tidak mempersiapkan diri untuk memangku jabatan presiden. Setelah banyaknya desakan, ia akhirnya bersedia meski dengan syarat dicoba dulu untuk satu tahun.
 

Pada bulan Maret 1968, MPRS menggelar Sidang Umum ke-V. Kembali pimpinan partai politik dan pejabat TNI Angkatan Darat mendesak agar Pak Harto menerima jabatan presiden dengan alasan tidak ada tokoh nasional yang lain. Sekali lagi, Soeharto menyatakan menolak. Namun, kali ini sikap keras kepalanya dapat dilumpuhkan setelah mendapat penjelasan bahwa tugasnya itu adalah untuk membela kepentingan rakyat. Soeharto yang selama puluhan tahun berperang demi rakyat tergelitik hati nuraninya. Kalau menolak itu berarti takut. Sedangkan menolak untuk membela kepentingan rakyat? Mustahil dilakukannya. Akhirnya ia pun bersedia.
Pada tanggal 27 Maret 1968 MPRS mengangkat Pejabat Presiden Soeharto menjadi Presiden RI ke-II. Ny. Siti Hartinah Soeharto yang tadinya tidak merasa menjadi istri presiden akhirnya benar-benar menjadi ibu negara.

Pada masa awal kegiatannya sebagai ibu negara, aktivitas sosialnya menjadi fokus perhatiannya. Di samping itu, ia pun mulai memperhatikan istana kepresidenan yaitu Istana Negara dan Istana Merdeka. Di luar Jakarta masih ada istana kepresidenan lainnya yaitu Istana Bogor, Istana Cipanas, Istana Yogyakarta (Gedung Agung), dan Istana Tampak Siring di Bali.
Meskipun menata kembali istana kepresidenan, namun keluarga presiden lebih memilih tinggal di rumah sendiri (Jln. Cendana). Alasannya, tinggal di rumah sendiri lebih bebas, tidak jauh dari masyarakat, lebih sering bertemu masyarakat. Hal ini berbeda dengan tinggal di istana. Di sana setiap tamu harus mencatatkan diri, harus diperiksa, dan lain sebagainya. Sedangkan di rumah, seluruh keluarga dapat bolak-balik keluar masuk dengan bebas.
Perubahan dalam protokol istana dapat terlihat setelah Ibu Tien memberi perhatian untuk membenahinya. Bangunan istana yang merupakan peninggalan zaman Belanda rata-rata sangat kokoh. Tinggal kini diisi dengan berbagai perangkat yang menonjolkan keindonesiaan. Maka, ukiran jati dari Jepara dalam ukuran besar mengisi ruang-ruang istana. Selanjutnya, interior istana dipercantik dengan pewarnaan yang menarik. Ruangan resepsi diberi karpet taiping. Warna merah untuk Istana Merdeka dan warna hijau untuk Istana Negara.
Menu makanan pun mendapat perhatian dari first lady. Kalau dulu yang disajikan adalah menu Indonesia, maka untuk menghormati negara asal tamu kini diseimbangkan antara menu Indonesia dengan menu asing. Dengan demikian, para tamu merasa dihormati dan tetap dapat menikmati hidangan khas Indonesia.
Pemberian cendera mata pun tak luput dari perhatiannya. Pada awal kedatangan tamu negara, tidak ada persediaan apa-apa untuk tamu negara. Ketika Perdana Menteri Jepang berkunjung, sounvenir yang diberikan adalah satu set kursi ukiran Jepara. Selanjutnya diputuskan bahwa cendera mata haruslah benda-benda hasil kerajinan Indonesia. Kalau tamu itu kepala negara, maka akan diberi keris emas buatan Bali sedangkan istrinya akan diberi liontin emas. Pada saat itu harga emas belum terlalu tinggi. Namun, dalam perkembangannya, souvenir untuk tamu negara diubah menjadi sendok garpu dari perak buatan Yogyakarta.
Perayaan ulang tahun kemerdekaan yang dihadiri para corp diplomatik yang ada di Jakarta biasanya dimeriahkan dengan memotong tumpeng ukuran besar. Ibu Tien tampaknya tidak sreg dengan kebiasaan tersebut. Akhirnya dicari pola lain untuk mengganti kue tart. Selanjutnya pemotongan kue tart diganti dengan pemotongan tumpeng. Masalahnya adalah siapa yang akan membuatnya. Akhirnya diputuskan pembuatan tumpeng dilakukan di Cendana agar dapat terkontrol.
Lukisan-lukisan penghias dinding istana pun tak luput dari perhatian ibu negara. Lukisan-lukisan yang dianggap tidak cocok dimasukkan ke museum istana. Kemudian dipilih lukisan-lukisan para pelukis Indonesia dari berbagai aliran.
Banyaknya barang berharga peninggalan Presiden Soekarno membuat Ibu Tien memikirkan perlunya tempat baru untuk menyimpannya. Kebetulan ada ruangan kosong di paviliun kanan Istana Merdeka. Paviliun ini kemudian dijadikan museum istana untuk menyimpan barang-barang berharga. Ibu Tien menganggap barang peninggalan Bung Karno sebagai barang berharga. Sayangnya, penataan terhadap peninggalan itu tidak begitu baik. Kalau tidak ditata, mungkin saja barang-barang tersebut mudah hilang dan tak ada yang tahu. Ratu Juliana dari Kerajaan Belanda tercatat sebagai tamu negara pertama yang mengunjungi museum istana.
Museum istana menyimpan benda-benda koleksi budaya Indonesia dan cendera mata yang berasal dari negara-negara sahabat untuk Presiden dan Ibu Tien. Museum itu juga memiliki ruang tersendiri yang mengoleksi benda khusus. Ruang Raden Saleh misalnya, menyimpan enam buah lukisan raden Saleh yang terkenal. Dua di antaranya merupakan koleksi Kerajaan Belanda yaitu "Perkelahian dengan Singa" dan "Penangkapan Diponegoro". "Perkelahian dengan Singa" dikembalikan Ratu Juliana kepada pemerintah Indonesia ketika Presiden dan Ibu Tien melakukan kunjungan kenegaraan ke Belanda tahun 1970.
Meskipun ruang Istana Negara telah dipercantik, namun tidak menyisakan satu ruangan pun untuk kantor Ibu Negara. Akhirnya Ibu Tien memilih ruangan duduk belakang di rumahnya Jalan Cendana sebagai kantornya. Di tempat yang sederhana itu ia menerima macam-macam tamu dari berbagai kalangan, organisasi, para pemimpin, kalangan profesi, panitia amal, seminar, perlombaan, yayasan, paguyuban, sampai kepada tamu-tamu penting seperti duta-duta besar negara asing yang ditempatkan di Jakarta.
Di tempat kediaman itu pula setiap tahunnya menerima ribuan tamu yang berbondong-bondong datang untuk bersilaturahmi, saling memaafkan pada hari raya idulfitri. Sebab, rumah di Cendana terbuka untuk siapa saja yang datang.
 

Di Istana Merdeka memang ada ruangan kerja Ibu Negara. Di sini ia sering menerima tamu penting seperti istri-istri duta besar atau tamu-tamu resmi lainnya.
Istana Negara sering pula digunakan menjadi tempat berbagai konferensi yang diadakan badan-badan internasional yang bergerak di bidang kesehatan, donor darah, pendidikan, dan lain-lain. Ibu Tien Soeharto selalu hadir dan menyampaikan pidatonya pada acara tersebut. Dalam salah satu pidatonya pernah mengatakan, masalah kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang teramat penting di samping keutuhan akan pangan, sandang, perumahan, dan pendidikan.
Istri-istri kepala perwakilan dan badan-badan internasional pun sering diundang dalam acara minum kopi (Coffee Morning) di istana. Di sini selain bertukar pikiran, mereka juga disuguhi atraksi yang menarik, seperti kesenian tradisional, makanan khas Indonesia, yang tujuannya agar undangan itu bisa lebih memahami kekayaan budaya Indonesia. Acara Coffee Morning dengan demikian telah menjadi sarana promosi wisata Indonesia.
 

Ibu Tien juga adalah pencinta bunga, khususnya anggrek dan melati. Bunga adalah lambang keindahan. Pada Pekan Industri Bunga Desember 1975 Ibu Tien menyampaikan pidato yang berisi antara lain, bunga-bunga yang berwarna-warni dapat membuat kehidupan ini serasa menyejukkan dan menggairahkan. Cinta terhadap bunga akan menambah kecintaan terhadap tanah air yang indah ini. Cinta kepada keindahan dapat memperhalus budi pekerti.
Sebagai bekas pandu, perhatiannya pada gerakan kepanduan tidak pernah surut. Tahun 1961 gerakan kepanduan dilebut mejadi satu wadah yaitu Gerakan Pramuka. Tahun 1967 Ibu Tien termasuk dalam jajaran kepemimpinan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka. Pembinaan Pramuka memerlukan sarana yang memadai. Sedangkan di Cibubur terdapat lahan yang luas milik Kwartir Nasional, tetapi karena kekurangan dana, lahan itu terlambat pemanfaatannya bagi gerakan Pramuka. Setelah Ibu Tien diberi wewenang untuk mengelolanya, barulah lahan seluas 233 ha itu diubah menjadi lahan untuk rekreasi, sarana pendidikan, dan olahraga.

Taman Mini Indonesia Indah


 

 
Ketika mengunjungi Disneyland di Amerika Serikat dan menyaksikan taman budaya Timland di Thailand, memberi inspirasi bagi Ibu Tien untuk membangun sebuah taman yang menyajikan keindahan budaya dan lingkungan alam Indonesia. Ibu Tien amat menyadari bahwa kekayaan alam dan budaya Indonesia tidak kalah dengan kekayaan alam dan budaya negara lain. Membangun sebuah miniatur Indonesia menurutnya adalah suatu keniscayaan.
Suaminya, Pak Harto, selalu berkata bahwa Indonesia menjadi negara besar karena sejarahnya yang panjang, perjuangan bangsanya yang hebat, dan kebudayaannya yang tinggi. Betapa indahnya rumah-rumah adat dan betapa beraneka ragamnya kebudayaan mulai dari Sabang sampai Merauke. Ia juga ketika berkunjung ke berbagai daerah di tanah air melihat dengan mata kepala sendiri betapa indahnya budaya bangsa Indonesia.
Pada bulan Maret 1971, dalam rapat pleno Yayasan Harapan Kita, gagasan ini diutarakan. Setelah memahami maksud dan tujuan dari gagasannya itu, tidak satu pun peserta pertemuan yang tidak setuju. Semuanya mendukung gagasan Ibu Tien. Meskipun demikian, dukungan dari masyarakat luas tidak didapat dengan mudah. Terjadi perbedaan pendapat dalam menyikapi gagasan Ibu Tien itu.
Aksi-aksi protes menentang pelaksanaan proyek pembangunan taman mini terus terjadi. Lambat laun aksi demo semakin membesar. DPR yang terbentuk dari hasil Pemilu 1971 dan belum memiliki tata tertib maupun komisi-komisi, segera membentuk panitia khusus untuk secara lugas mendudukkan persoalan pada relnya, agar gagasan Ibu Tien itu lebih jelas, transparan, dan dipahami.
Setelah melakukan public hearing dengan berbagai komponen seperti mahasiswa, pengurus Yayasan Harapan Kita (YHK), Konsultan proyek, dan Gubernur DKI, Pansus DPR menyimpulkan bahwa telah terjadi kesenjangan komunikasi dalam menanggapi proyek itu. Masyarakat masih traumatis dengan berbagai proyek mercu suar yang pernah dibangun pada masa Orde Lama. Di samping itu, ada beberapa pihak yang berusaha memancing di air keruh, memanfaatkan isu proyek MMI sebagai isu politik untuk kepentingan mereka. Pak Harto pernah berkata, "Saya tahu bahwa ada kelompok tertentu yang ingin menjadikan proyek yang kami cita-citakan sebagai isu politik."

Pansus DPR akhirnya menanyakan berbagai pertanyaan kepada YHK. Salah satunya adalah mengenai sasaran dari pembangunan miniatur Indonesia Indah yang dijawab oleh YHK untuk membangun dan mempertebal rasa cinta tanah air dan bangsa; memupuk, membina persatuan dan kesatuan bangsa; meningkatkan apresiasi, menjunjung tinggi kebudayaan bangsa melalui upaya penggalian dan menghidupkan kembali kebudayaan yang diwariskan nenek moyang; meningkatkan pariwisata serta menjadi tempat promosi bagi daerah-daerah di seluruh Indonesia; memajukan kerajinan rakyat dan sebagai tempat rekreasi yang bersifat pendidikan bagi rakyat.
Tindakan Pansus DPR ini pada akhirnya dapat meredam suara-suara kontra yang sebelumnya terdengar nyaring. Pembangunan proyek MII pun dapat dilanjutkan secara bertahap. Semua pihak akhirnya memahami dan mengerti duduk persoalannya. Aksi unjuk rasa pun berhenti sama sekali. Pembangunan proyek itu akhirnya dapat dilanjutkan dengan suasana yang tenang.
Pada tanggal 27 Juni 1972 dimualilah pembangunan proyek MII di lokasi yang sekarang ini berada (Cibubur). Luas tanah untuk proyek ini adalah 100 ha. Pembangunan memakan waktu tiga tahun. Waktu ini adalah reltif cepat. Yang pertama dibangun adalah peta maharaksasa Indonesia (arcipel Indonesia) yang merupakan miniatur Indonesia dibangun di atas tanah seluas 8,5 ha. Arcipel itu menggambarkan kepulauan nusantara di atas hamparan lautan (danau-danau buatan) yang sekaligus berfungsi sebagai tempat rekreasi olah raga air. Di seputar arcipel itu berdiri rumah adat dari 26 propinsi.
Selain itu ada juga bangunan joglo yang terdiri dari Pendopo Agung Sasono Utomo dan Sasono Langen Budoyo yang merupakan centrum seluruh rumah adat yang berdiri di atas garis lurus menghadap ke barat segaris dengan Tugu Api Pancasila dan gerbang TMII. Di sana juga ada Gedung Pusat Percontohan Niaga, Museum Indonesia, rumah-rumah ibadah agama-agama resmi di Indonesia, gedung pusat pengelolaan, taman buah, taman bunga, taman burung, air terjun buatan, fasilitas restoran dan warung-warung, tempat pameran, teater, dan sebagainya.
 

Proyek Miniatur Indonesia Indah berakhir ketika hasilnya berupa sebuah Taman Mini Indonesia Indah diresmikan pada tanggal 20 April 1975. Dalam pidato acara peresmian, Ibu Tien mengemukakan, "Ciri utama taman ini adalah penampilan Indonesia yang besar dalam bentuknya yang kecil."
Ibu Tien juga mengucapkan terima kasih kepada mereka yang tidak setuju pembangunan proyek ini. Karena, "Ketidaksetujuan mereka itu sebenarnya ingin mengingatkan kami agar kami tidak berbuat salah, dan dengan begitu mendorong kami bekerja lebih hati-hati."
Ia memberi apresiasi kepada seluruh masyarakat Indonesia. "Tanpa pengertian itu," katanya, "taman ini tidak mungkin terselesaikan. Pembangunan taman ini hanya mungkin terselesaikan dengan adanya gotong royong masyarakat dan akan kami persembahkan kepada masyarakat." Ia mengatakan, sumbangannya adalah sekadar melontarkan gagasan mengenai perlunya sebuah tempat yang bisa menampung berbagai keunggulan bangsa, sedangkan pengerjaannya dilakukan oleh seluruh komponen bangsa.
Taman mini yang telah diresmikan itu dianggapnya baru pada tahap permulaan. "Taman yang kita saksikan sekarang ini memang belum selesai. Nanti, Insya Allah masih perlu dikembangkan dan diperluas lagi sehingga pengunjung akan mendapat gambaran yang utuh mengenai Indonesia.
Presiden Soeharto dalam pidato peresmiannya mengatakan berdirinya taman itu berkat hasil gotong-royong seluruh rakyat Indonesia. "Tanpa keragu-raguan sedikit pun saya mengatakan bahwa taman ini adalah milik seluruh bangsa Indonesia."
 

Pada tahun 1984, di taman itu telah berdiri sebuah teater film termegah yang lain dari yang lain. Teater Film Keong Emas. Arsitekturnya menyerupai keong raksasa berwarna kuning keemasan. Interiornya nyaman dan membuat siapa saja merasa nikmat saat menonton film mengenai Indonesia yang Indah.
Pengakuan secara formal diberikan oleh Asosiasi Pariwisata Asia Pasifik (PATA) terhadap TMII yang menyerahkan PATA GOLD AWARD kepada Ibu Tien Soeharto oleh Presiden PATA yang datang langsung ke Indonesia pada tanggal 19 Juli 1987. Tidak semua objek wisata mendapat kesempatan untuk meraih penghargaan PATA. Pemberian penghargaan itu karena TMII tidak sekadar sebagai tempat hiburan dan rekreasi, melainkan juga TMII berhasil meningkatkan dan mengedepankan nilai-nilai luhur budaya bangsa, sebagai sarana pembinaan generasi muda untuk memahami kepribadian bangsa, dan teknologi modern yang dikembangkan TMII tetap berpijak pada kepribadian bangsa.
Dua pekan sebelumnya, Presiden Soeharto meresmikan Museum Keprajuritan di dalam komplek TMII. Dalam museum ini digelar episode sejarah yang diwujudkan dalam bentuk diorama, fragmen, patung dan relief, benda antik serta tokoh-tokoh pahlawan Indonesia dari abad ke-7 sampai 19. Ibu Tien memiliki pandangan mengenai museum sebagai bukan sekadar tempat kumpulan benda-benda mati. "Yang kita lihat sebenarnya adalah penampilan kembali kisah-kisah yang panjang dan dalam dari sejarah, pikiran dan cita-cita, pesan-pesan dan karya besar, kejayaan dan kegembiraan masa lampau mungkin juga keruntuhan dan kepedihannya.
Jumlah pengunjung TMII terus bertambah dari tahun ke tahun. Pada tahun 1988 jumlah pengunjung mencapai 37 juta orang. Enam tahun kemudian telah membengkak menjadi 74 juta orang. Jumlah pengunjung pelajar dan mahasiswa terus meningkat setiap tahunnya. Sedangkan fasilitas TMII pun terus mengalami penambahan dari tahun ke tahun seiring dengan perkembangan zaman.
Perpustakaan Nasional
Keberadaan gedung Perpustakaan Nasional yang megah di Jalan Salemba Jakarta sekarang ini tidak terlepas dari perhatian Ibu Tien akan pentingnya pengelolaan buku pustaka. Keberadaan perpustakan nasional itu sendiri memiliki riwayat yang panjang.
 

Pada tanggal 24 April 1778 di Batavia berdiri lembaga ilmiah bernama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Lembaga ini mengoleksi buku dari beberapa pejabat yang bermurah hati. Pada akhir abad ke-19, perpustakan ini menerima terbitan ilmiah dari berbagai sumber di bebrapa negara. Tahun 1913 Pemerintah Hindia Belanda mewajibkan setiap penerbit untuk mengirimkan barang cetakannya kepada perpustakaan itu. Maka, jadilah Bataviaasch Genootschap sebagai perpustakaan terbesar di Asia karena banyaknya koleksi buku yang dimiliki.
Pada Perang Dunia II, sumbangan buku dri penerbit otomatis berhenti. Selama Pemerintahan Militer Jepang, lembaga ini sama sekali tidak berfungsi. Namun, koleksi buku yang amat berharga sama sekali tidak diusik oleh balatentara Jepang, Sehingga seluruh buku koleksi yang ada selamat melewati masa genting.
Setelah Indonesia merdeka, perpustakaan itu masih berada di tangan swasta dan dikelola oleh pustakawan Belanda. Tahun 1950, perpustakaan itu berganti menjadi "Lembaga Kebudayaan Indonesia" dengan status tetap swasta namun dipimpin oleh orang Indonesia. Namun, beratnya pengelolaan perpustakaan dan minimnya anggaran, pada tahun 1962, Lembaga Kebudayaan Indonesia menghibahkan seluruh kekayaannya kepada pemerintah Indonesia. Meskipun demikian nasibnya tetap saja suram dan perpustakaan yang pernah menjadi terbesar di Asia itu turun derajatnya menjadi bagian dari museum pusat.
Pada masa Orde Baru, perhatian terhadap perpustakaan mulai pulih. Namun, itu bukan masalah mudah mengingat lokasi perpustakaan menyebar di beberapa tempat. Adalah Mastini Hardjoprakoso yang pada waktu itu menjabat kepala perpustakaan museum pusat memiliki ide cemerlang mengangkat citra perpustakaan. Ia merancang pameran surat-surat kabar. Berbagai berita yang pernah diterbitkan zaman Gubernur Jenderal Daendels (1810), Raffles (1812), Perang Diponegoro (1825), berdirinya Boedi Oetomo, Sumpah Pemuda, sampai media masaa yang terbit waktu penjajahan Jepang hingga proklamasi dipamerkan.
Sayang, pejabat dari P dan K tidak muncul. Pejabat dari Pusat Lembaga Perpustakaan juga tidak ada yang datang. Yang memenuhi undangan malahan dari Departemen Penerangan, Departemen Luar Negeri, dan para wartawan. Para wartawan inilah yang menulis laporan tentang pameran itu.
Ulasan dan komentar wartawan itu rupanya menarik perhatian Ibu Tien. Ibu Tien pun merencanakan melihat pameran. Ibu Tien menunjukan minat yang besar terhadap keberadaan perpustakaan yang merupakan dokumentasi sangat berharga dalam perjalanan sejarah bangsa. Namun, ia juga menjumpai hal yang mengenaskan karena melihat gudang tua yang lembab dan basah di mana tersimpan berbagai macam terbitan dan dokumen yang sudah sangat lama.
Ia menyadari pentingnya perawatan dokumen. "Dokumen-dokumen itu antara lain harus tersimpan dengan baik dan teliti dalam Perpustakaan Nasional. Sekali dokumen itu rusak atau hilang, maka kita kehilangan sumber yang tidak ternilai harganya dan barangkali tidak pernah tergantikan untuk selama-lamanya. Sejak itu tergerak hati saya untuk membangun gedung Perpustakaan Nasional yang memenuhi syarat dan mampu menampung kebutuhan ke masa depan yang jauh," katanya.
Keinginan Ibu Tien mendapat sambutan positif dari Pak Harto. Gagasan untuk membangun Perpustakaan Nasional pun mendapat dukungan dari pengurus dan badan pendiri Yayasan Harapan Kita.
Pada tanggal 8 Desember 1985 pembangunan gedung Perpustakaan Nasional dimulai. Gedung itu dibangun dalam dua tahap. Tahap pertama selesai Desember 1986 dan tahap kedua selesai Oktober 1988. Kini bangsa Indonesia bisa tersenyum telah memiliki gedung perpustakaan nasional yang pantas dibanggakan.
Rumah Sakit
Perhatian Ibu Tien terhadap masalah kesehatan cukup besar. Tingginya angka kelahiran dan juga tingkat kematian ibu-anak pada saat persalinan membuatnya berpikir untuk membangun rumah sakit khusus. Di samping itu, kelahiran anak merupakan harapan baru bagi Indonesia masa depan yang lebih maju dan mampu bersaing dengan bangsa lain.
 

Pada tahun 1974 dimulailah pembangunan Rumah Sakit Anak dan Bersalin yang terletak di Jalan S. Parma Jakarta. Peresmian RSAB dilaksanakan pada hari Ibu 1979.
Sementara itu, tingginya penderita jantung di Indonesia dan kurangnya fasilitas kesehatan yang memadai membuatnya berpikir untuk membangun rumah sakit khusus melayani penderita jantung. Sebab, banyak orang Indonesia yang menderita penyakit jantung terpaksa harus berobat ke luar negeri karena tidak tersedia perawatannya di sini.
Enam tahun setelah peresmian RSAB, di lokas yang sama diresmikan Rumah Sakit Jantung Harapan Kita. Meskipun memakai nama Harapan Kita, juga Taman Mini Indonesia Indah dan Perpuskaan Nasional, seluruh pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah. Tidak dilakukan oleh Yayasan Harapan Kita.
Inilah sumbangan Ibu negara bagi bangsa Indonesia yang akan dikenang selalu oleh masyarakat Indonesia. TI, Dari berbagai sumber

Barus 1000 tahu yang lalu

PELETAKAN BATU PERTAMA PEMBANGUNAN TUGU RAJA TOGA LAUT PARDEDE DI LUMBAN JABI-JABI - BALIGE

Setelah terbentuknya panitia pembangunan Tugu Raja Toga Laut Pardede di Jakarta oleh beberapa keturunan Raja toga Laut Pardede yang berdomisili di jakarta sekitarnya (sejabodetabek)
maka diputuskanlah agar semua keturunan Raja Toga Laut Pardede ikut serta dalam Napak tilas show force keliling kota Balige pada tanggal 18 Agustus 2007, dengan rute dimulai Losmen Toga Laut Tawar, Tugu Naga Baling, Makam Raja Bona Ni Onan Pardede & Raja Paindoan Pardede dan ber akhir di Lumban Jabi-jabi / Tugu Raja Toga Laut Pardede, yang kemudian dengan kata-kata sambutan, oleh Tokoh-tokoh Sonak malela dll.