Selasa, 27 Agustus 2013

Tatanan Dunia Baru


Adalah fitrah manusia untuk melihat dan memahami kompleksitas semesta alam dan sosial secara sederhana. Jika ada dua atau lebih solusi yang berbeda untuk satu permasalahan, maka yang kita terima sebagai solusi yang “benar” tentunya adalah yang paling sederhana [7]. Tak terkecuali seorang ilmuwan politik seperti Samuel Huntington (1927-2008), dalam bukunya yang terkenal, “The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order” [5]. Dalam bukunya tersebut, Huntington menggambarkan bahwa pasca perang dingin sumber dari konflik di dunia yang baru bukanlah bersumber pada perbedaan ideologis atau ekonomis, melainkan perbedaan kultural yang sangat senjang, oleh perbedaan peradaban. Ini merupakan tesis serius yang ingin dikritisi oleh diskusi lanjut berikut, dalam sebuah perspektif ke-Indonesia-an, budaya tradisional, dan perkembangan sains mutakhir.
Perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur, yang akhirnya reda oleh hancurnya tembok Berlin (1989) seringkali diyakini sebagai bentuk benturan antara dua ideologi besar berdasarkan kepahaman tentang perekonomian, yaitu kapitalisme dan komunisme [3]. Dengan runtuhnya blok Timur Sovyet maka terdapat keseolah-olahan bahwa ideologi yang “sukses” bertahan adalah ideologi yang terkait pada sikap moral Hak Asasi Manusia (HAM), demokrasi liberal dan ekonomi pasar bebas kapitalis [4]. Konstelasi politik global berubah dan tak lagi melulu benturan antara yang sosialisitik dan yang kapitalistik.


Kritis Pada Huntington

Dalam perspektif teoretis yang dibangunnya, Huntington menggambarkan bahwa benturan antar ideologis telah berubah menjadi benturan antara peradaban, skema hidup yang tercermin dalam budaya dan pola hidup parsial masyarakat, di antaranya konflik yang terjadi antara yang barat dan yang timur, bahkan lebih sempit antara islam dan dunia barat yang dicap sekuler. Serangan terorisme dalam tragedi kolosal 9 September 2001, yang disertai berbagai sorotan media massa atas seruan perang terhadap Islam dan kampanye kehidupa demokratisasi oleh administrasi mantan presiden Amerika Serikat, George W. Bush, seolah menunjukkan “ramalan” Huntington benar adanya. Setelah komunisme, maka peradaban yang di mana kapitalisme pasar bebas tumbuh harus berhadap-hadapan dengan peradaban “lain”, yang direduksi sebagai “peradaban islam” [9]. Tiadakah cara lain memandang diversitas dan perbedaan “peradaban” yang ada di planet kita hari ini selain penantian akan benturan demi benturan? Di sini, sisi kemanusiaan kita menjadi tertantang, dan adalah sebuah hal yang menarik ketika sains mutakhir sedikit banyak bisa memberikan wawasan alternatif atas persoalan sosial ini.
Sebagaimana dikritik oleh pemikir sosial Edward Said [13], mungkin Huntington “tergoda” untuk memandang persoalan konflik sosial pada tataran global ini dengan bentuk pertentangan antara dua pihak yang berseteru: setelah komunisme, kemudian islam berhadapan dengan peradaban yang tumbuh dalam perspektif pasar bebas yang kapitalistik. Kehidupan sosial tidak pernah monolitik dan konflik sosial tak pernah melulu bisa direduksi sebagai bentuk dua hal yang berlawanan (oposisi biner). Justru, tiap peradaban besar sebenarnya dapat dilihat dalam pola yang muncul atas berbagai aspek kultural yang juga memiliki keunikan-keunikan sebagai peradaban di mana jumlah populasi yang lebih kecil muncul. Selalu ada sub-kultur dalam pola sosio-kultural [14].


Karakteristik sosial ini terjadi di semua sistem sosial dan peradaban, tak terkecuali peradaban barat yang secara mikro juga memiliki diversitas yang sangat tinggi. Di tengah populasi yang mayoritas Muslim, Indonesia merupakan tempat perkumpulan (gereja) kristen protestan terbesar di Pasifik dan terbesar keenam di dunia, yaitu Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dengan keanggotaan jemaat lebih dari 4 juta orang [11]. Konflik dan perbedaan rupanya tak mesti berakhir dengan “benturan”.
Demikian pulalah dengan fakta sebuah Indonesia. Berdasarkan sensus penduduk terakhir yang dilakukan, telah dilaporkan bahwa terdapat 1128 suku bangsa di Indonesia [6] dengan 300 kelompok etnik yang mempercakapkan lebih dari 10% dari bahasa yang ada di planet bumi ini [10]. Bentuk geografis Indonesia yang kepulauan telah menumbuhkan keberagaman tata hidup kemasyarakatan yang unik satu sama lain, yang tertuang dalam pandangan hidup, adat istiadat, seni tradisi, tata cara pengobatan, dan lain sebagainya. Bukanlah sebuah kemustahilan untuk menganggap bahwa konflik dalam bentuk benturan sosial mudah terjadi di sini. Tapi tantangan yang menarik adalah untuk melihat bagaimana justru kesatuan bisa terlihat hidup berbarengan di seluruh penjuru tanah air, dalam keanekaragaman yang justru dapat bertransformasi pada inspirasi pada dunia, di samping tentunya sumber kekuatan dalam perekonomian globa berbasis kreativitas dan inovasi di masa mendatang [17]

Wawasan Ke-Indonesia-an yang Kompleks

Kelompok etnik Batak hidup dalam sebuah fundamen dasar yang disebut “Dalihan Natolu”: tiga tungku yang menghidupi tata mikro-sosial individu dalam interaksinya dengan orang Batak lainnya. Keharusan untuk Somba Marhula-hula atau menghormati saudara pihak dan semarga dengan isteri (dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan), Manat Mardongan Tubu atau menjaga persaudaraan dengan saudara se-marga (dengan tujuan agar terhindar dari perseteruan), dan perilaku Elek Marboru atau mengasihi saudara dan semarga dengan pihak suami (dengan tujuan memperoleh berkah), merupakan tria politika tata kehidupan mikro bangsa Batak. Tiga aturan ini menjadi landas tata krama, sopan santun, hingga formalitas adat istiadat suku Batak, yang menerangkan bentuk kohesivitas yang awet dan bertahan lama di kalangan orang-orang Batak, bahkan ketika akulturasi dan asimilasi budaya terjadi dengan suku bangsa lain, termasuk pola hidup modern.

Melanggar salah satu dari Dalihan Na Tolu akan menjadikan tata laksana adat batak menjadi timpang, dan keseimbangan menjadi terganggu. Dan karena ketiga hal ini terkait dengan pernikahan orang batak, maka pernikahan merupakan sebuah hal yang sangat penting dalam kehidupan sosial bangsa Batak. Kalaupun ada pernikahan dengan tidak sesame orang Batak, maka yang bersangkutan akan diberikan marga Batak (juga sesuai dengan aturan Dalihan Natolu) demi memelihara tatanan “trias politika” mikro-sosial ini.
Yang luar biasa adalah ketika tatanan mikro ini dilihat dalam big picture. Tatanan masyarakat adat batak yang diikuti sebagai bentuk kecerdasan kolektif orang Batak ini menunjukkan pola topologis dari jejaring genealogis orang batak (tarombo) [15]. Secara menakjubkan, ditunjukkan bahwa observasi investigatif pada karakteristik jejaring marga-marga batak [15] menunjukkan pola serupa dengan pola topologis dan statistik jejaring protein pada ragi [1] dan hubungan pertemanan komunitas sosial [12].
Gambar 1
Topologi jejaring interaksi protein dalam ragi yang krusial dalam kebertahanan hidup sel [1] (kiri atas), topologi jejaring hubungan saling kenal pertemanan di sebuah sekolah di Amerika Serikat [12] [(kanan atas), dan topologi jejaring marga-marga dalam genealogi batak [15] (bawah).

Struktur makro topologi marga-marga menunjukkan pola serupa dengan apa yang ditunjukkan pada struktur protein yang menjaminkan kehidupan sel-sel ragi. Jejaring hidup marga-marga batak menjadi semacam satu entitas organisma hidup yang bertahan semenjak ratusan tahun yang lalu. Lebih jauh, marga-marga tersebut seolah-olah menjadi satu entitas sosial masyarakat, di mana hubungan antara satu marga dengan marga batak lain seperti halnya hubungan pertemanan dalam sebuah komunitas sosial biasa!
Kohesivitas inilah yang mungkin membuat kehidupan orang batak tetap bisa mempertahankan dirinya dalam terjangan asimilasi di era informasi dan globalisasi. Dan adalah menarik untuk mencatat bahwa apa yang tergambar dari pola makro ini dimunculkan secara tak linier dari bagaimana satu orang batak saling menyapa (martutur), berperilaku, dan sebagainya satu sama lain, yakni Dalihan Na Tolu!
Tak ada yang mengajari orang batak untuk hidup secara mikro dalam Dalihan Na Tolu, karena ia lahir dari kecerdasan kolektif yang dipahami secara turun-temurun, demikian pula tak ada yang “mengajari” molekul-molekul protein yang saling berikatan satu sama lain sehingga menghasilkan struktur sel yang hidup, atau lebih lanjut, tak ada yang “menyuruh” satu anak dengan yang lain untuk saling berteman dan bergaul. Tapi sungguh luar biasa ketika ketiga topologi tersebut menunjukkan karakteristik makro yang sama, karakteristik suatu organisma hidup. Seolah-olah, melalui penamaan marga pada tiap individu batak tersebut, orang batak “berkomunikasi” dan membentuk struktur topologis masyarakat sebagaimana hidup sehari-hari masyarakat yang alamiah.

Lebih jauh, adalah menarik untuk mengetahui bahwa struktur topologis jejaring hidup tersebut [1, 12] menunjukkan karakteristik kompleks yang relatif baru dalam perspektif ilmu pengetahuan modern. Kompleksitas jejaring protein dan jaring sosial merupakan hal yang baru terpecahkan sifat dan karakteristik statistikanya di penghujung abad ke-20 yang lalu. Sebelumnya, dunia ilmu pengetahuan “mengira” bahwa jejaring-jejaring kompleks hidup tersebut sederhananya merupakan bentuk jejaring acak (random network) biasa saja. Ini merupakan sebuah kenyataan empiris, bagaimana ilmu pengetahuan mutakhir mulai bisa menjelaskan pola hubungan kompleks yang ada dalam kehidupan tradisional dan kelumrahan-kelumrahan kehidupan etnik di Indonesia.


Dalam banyak penelaahan akan budaya tradisional Indonesia, hal ini telah pula ditunjukkan pada banyak aspek budaya tradisi di kepulauan kita. Sifat geometri fraktal pada batik [18] merupakan sebuah contoh sederhana. Tanpa pemahaman kita akan geometri fraktal yang baru bisa populer diakuisisi ilmu pengetahuan mutakhir untuk menjelaskan berbagai karakteristik kompleks dari sistem di alam, apresiasi kita akan batik takkan lebih dari kurasi makna dan filosofi di balik keindahan batik. Penelitian menunjukkan bahwa “kecanggihan” batik bukan hanya pada narasi filosofis yang melatarbelakanginya, melainkan juga pada bagaimana geometri yang akurat untuk digunakan dalam menerangkan sistem-sistem di alam: awan, asap, pola pertumbuhan tumbuh-tumbuhan, bunga es, pigmentasi pada hewan-hewan, dan sebagainya [2].
Jiwa dari sebuah peradaban adalah seni dan sains. Ketika sains modern “Barat” (geometri fraktal, topologi jejaring sistem kompleks) telah bertemu dengan harmoni, dalam hubungan saling menjelaskan dan mengapresiasi, dengan berbagai aspek kehidupan tradisional (yang bahkan terbilang “kuno”) di kehidupan sosial orang-orang di kepulauan Indonesia yang “Timur”, maka kita menyadari bahwa ini bukanlah sebentuk “benturan” antar peradaban, namun sebuah harmoni yang saling meng-inspirasi satu sama lain. Sains dan seni dalam budaya tradisi Indonesia menunjukkan bubuhan tanda akan kesenjangan peradaban tak mesti berinteraksi sebagai bentuk “benturan antar peradaban”, melainkan juga harmoni yang saling memperkaya satu sama lain.

Indonesia sebagai wajah luluhnya tendensi “Benturan Antar Peradaban”

Secara politis, orang-orang Indonesia mungkin bisa dikatakan sebagai satu bangsa. Namun seara antropologis, tak pelak Indonesia merupakan suatu entitas politik yang terdiri dari begitu banyak bangsa [20]. Bukanlah hal yang aneh di kalangan berbagai kelompok etnik di Indonesia, penyebutan satu kata bisa berarti sesuatu yang sopan, tapi dalam bahasa daerah kelompok etnik lain memiliki pemaknaan kata yang tabu. Bahasa merupakan satu fundamen yang di atasnya kebudayaan dan peradaban masyarakat dibangun. Kenyataan bahwa terdapat 722 bahasa di kepulauan Indonesia ini [10], merupakan sebuah kenyataan yang menunjukkan ada begitu banyak peradaban yang saling berinteraksi di bawah payung politik bernama Republik Indonesia.

Di kalangan bangsa Batak saja, misalnya, keragaman bahasa telah terasa sedemikian tingginya. Penelitian kompleksitas bahasa-bahasa yang ada di kawasan Sumatera Utara menunjukkan [19] bagaimana variasi karakteristik penggunaan bahasa-bahasa daerah tersebut dalam terjemahan teks (alkitab) mencerminkan keragaman yang luar biasa. Sifat dan karakteristik kemiripan bahasa Pakpak, Simalungun, dan Toba memiliki corak yang sangat berbeda dengan karakteristik statistika bahasa Angkola dan Karo. Bahkan, sifat dan karakteristik kompleks bahasa Pakpak, Simalungun dan Toba lebih dekat dengan bahasa Sunda dan Jawa daripada dengan bahasa kelompok etnik tetangganya tersebut: Angkola dan Karo.
Keragaman ini merupakan sesuatu yang dalam perspektif Huntingonian berpotensi terakumulasi menjadi sebuah “benturan”, konflik! Namun di sisi lain, keragaman pada dasarnya dapat menjadi sebuah potensi yang justru dapat memberikan keuntungan yang positif bagi masyarakat bersangkutan, khususnya terkait dengan masa depan perekonomian negeri yang berbasis kreativitas dan inovasi.
 
Gambar 2
Peta keragaman bahasa-bahasa daerah di kawasan Sumatera Utara berdasarkan sifat statistika dalam teks.
Coba bayangkan jika pengrajin songket di Sumatera Selatan dapat melihat scara umum semua motif-motif tenun ulos yang khas batak itu. Atau coba kita bayangkan apa yang ada di benak seorang pengrajin ukir Jepara ketika melihat semua bentuk dan pola ukir khas batak, mulai dari dokrasi rumah adatnya, tongkat tunggal panaluan-nya, dan sebagainya. Kemampuan dan kapasitas tenun, ukir, dan sebagainya, dalam kehidupan tradisional di Indonesia merupakan skill yang diperoleh secara turun-temurun sebagai bentuk kecerdasan kolektif perkampungan di tengah-tengah berbagai kelompok etnis di tanah air. Akibatnya, pola dan coraknya pun sebagaimana yang dipelajari secara turun-temurun pula. Namun sungguh merupakan sebuah hal yang bisa menjadi sebuah bahan yang memperkaya corak kriya kerajinan mereka, jika di hadapan mereka terbentang begitu beraneka ragamnya corak, ornamen, dan motif yang berasal dari berbagai kelompok etnik yang unik dari seluruh kepulauan Indonesia.

Sekarang coba kita bayangkan jika seluruh tari-tarian dari seluruh Indonesia tersebut terpampang di hadapan seorang koreografer (penata tari) modern. Atau bayangkan seorang komposer memiliki kesempatan untuk mendengarkan lagu-lagu yang berasal dari langgam lagu tradisional secara lengkap dari Merauke hingga Sabang. Telah sedemikian sering kita dengar bagaimana tari-tarian tradisional yang berpadu dengan musikologi modern (barat) menjadi sebuah tontonan yang memberi ketakjuban panggung entertainment yang berskala global. Panggung sandiwara modern seringkali terberitakan menjadi tontonan yang memukau dari sisi plot cerita ketika tampil sebagai interpretasi modern atas sendratari tradisional Indonesia.
Hal inilah yang dikonfirmasi dalam penelitian kompleksitas budaya yang dilaporkan [17] bahwa kekayaan dan variasi berbagai elemen kultural dapat menjadi sumber inspirasi berbagai aspek budaya modern. Adalah sebuah hal yang tak kunjung berhenti menarik hati membayangkan berbagai motif dan dekorasi tradisional menjadi penghias berbagai artefak modern, mulai dari casing handphone, corak batik dalam desain fashion modern, dan sebagainya.
Keragaman peradaban di tengah-tengah bangsa Indonesia, justru dapat memberikan pengayaan yang luar biasa dari sisi implementasinya dalam kehidupan modern. Perbedaan justru tak hanya memberikan potensi “benturan peradaban”, namun justru dapat memberikan potensi ekonomi berlandaskan kreativitas dan inovasi modern.
 


Harmoni: Sains, Teknologi, Seni dan Masa Depan Kita
Namun bagaimanakah agar sekiranya berbagai kebijaksanaan yang lahir dari kolektivitas sosial etnik tersebut dapat memberikan pengayaan yang nyata bagi kehidupan masyarakat modern kita dewasa ini? Seringkali justru kepedulian pada budaya tradisi yang dianggap kuno terjadi semata-mata karena:
  1. Ketidaktahuan arti penting makna dan filosofi mendalam yang terkandung dalam elemen budaya tradisional tersebut. Ketidaktahuan menyebabkan apa yang distrukturkan dan memiliki afinitas dengan budaya modern menjadi terlihat lebih baik, padahal sebenarnya pemaknaan yang sama (bahkan seringkali lebih mendalam) dapat diperoleh melalui penggalian wawasan makna elemen budaya tradisional dari mana kita berasal.
  2. Kelumrahan budaya tradisional yang menjadi pemandangan sehari-hari menjadi lebih terkesan klise dibandingkan inovasi serba “wah” yang ditunjukkan di panggung-panggung media modern yang kapitalistik. Akibatnya, justru muncul berbagai pandangan bahwa apa-apa yang tradisional takkan memiliki daya saing (apalagi memberikan inspirasi) bagi proses kreatif dan inovasi modern.
Kedua hal inilah yang seringkali menjadi batu sandungan ketika kita berhadapan dengan apa yang disebut sebagai budaya tradisional. Kedua hal ini pulalah yang sebenarnya menjadi biang keladi “benturan peradaban”, yang malangnya, lebih sering dimenangkan oleh apa yang kita sebut sebagai “peradaban modern”.
Namun uraian kita pada bagian sebelumnya artikel ini menunjukkan bahwa kedua hal tersebut pada dasarnya absurd. Justru apa-apa yang lumrah, tradisional, kuno, dan sebagainya itu perlu dilirik demi menghadapi dunia kapitalisme global yang semakin menuntut kreativitas dan inovasi.
Sungguh disayangkan bahwa 60 tahun lebih republik ini menyatakan kemerdekaannya, belum satupun sebuah portal terpusat di mana berbagai pemaknaan dan kekayaan variatif dari elemen etnik di Indonesia tertata dengan baik dan menjadi sumber referensi penelitian yang kuantitasnya layak sebagai bahan riset maupun implementasi inovasi. Sekian tahun kita merdeka, belum juga kita memiliki satu perpustakaan atau ensiklopedia yang berperan sebagai katalog lengkap kebudayaan Indonesia. Sementara itu, wkatu berjalan terus. Kita alpa melakukan dokumentasi sementara pemangku kebijaksanaan kolektif etnik tersebut pun telah berpulang satu demi satu, tanpa penerus. Ini yang memberikan potensi masa depan, bahwa kelak sangat mungkin negeri kita akan diisi oleh generasi-generasi muda yang lupa akan akar jati dirinya sendiri sebagai sebuah bangsa yang terdiri dari bangsa-bangsa.
Berpijak pada hal itu pulalah, kita diajak untuk turut serta berpartisipasi dalam program pendataan budaya tradisional kita, secara partisipatif menggunakan jejaring internet, di http://www.budaya-indonesia.org [16]. Website tersebut merupakan sebuah web di mana teknologi dapat kita akuisisi untuk menjaring kekayaan tradisional yang hampir terlupa, namun menyimpan segudang sumber inspirasi dan inovasi modern tersebut. Web partisipatif a la Wikipedia tersebut telah berjalan semenjak 2008, dan hingga saat ini, berbagai penelitian telah dapat dihasilkan dari dalamnya.
Melengkapi portal web http://www.budaya-indonesia.org tersebut merupakan sebuah inisiatif modern yang tak tradisional untuk menghimpun kekuatan hikmat, kebijaksanaan, dan pengetahuan yang terkodekan dalam berbagai elemen budaya tradisional kita. Alhasil, jika partisipasi tersebut dapat kita himpun dan terlaksana dengan baik, maka tak lama lagi kita jadi mungkin untuk melihat betapa kayanya negeri kita dalam struktur katalogisasi yang bersumber dari kebudayaan tradisional Indonesia. Melalui piranti modern ini kita berharap kedua sandungan restorasi budaya tradisional Indonesia dapat kita tepis, dan “benturan antar peradaban” kita transformasikan menjadi sebuah harmoni kehidupan masyarakat global yang berpijak pada lokalitasnya.
Mari mencintai Indonesia, mari menginspirasi dunia!


Selasa, 06 Agustus 2013

Legenda Asal-Usul Manusia (versi Simalungun)


 
Legenda Suku Simalungun Tentang Asal-Usul Manusia

Orang Simalungun sejak dulu sudah hidup dalam kebiasaan mitologis dan cukup beragam, sayangnya tradis ini nyaris punah akibat penetrasi zending yang mengharamkan segala sesuatu yang berbau “heiden”. Kalau orang Toba mempunyai mitos Siraja Batak turun dari langit di Pusuk Buhit (bahasa Melayu Puncak Bukit) dan menyebar ke seluruh Toba, maka Simalungun juga punya mitologi yang cukup menarik di simak.

Konon, menurut legenda yang tertulis dalam Pustaha Ahar Mulajadi dikisahkan bahwa pada awalnya ada tiga dewata yang bertahta di langit (Nagori Atas) yakni Tuhan Sahine-hine, Tuhan Tobal Dunia dan Tuhan Naga Padokahni Aji. Mereka sepakat menciptakan manusia (eh, mirip gaya pantheon dewa Yunani ya?) untuk menghuni Nagori Tongah (Dunia Tengah). Tuhan Sahine-hine memulainya dengan membentuk patung tanah menyerupai manusia. Setelah patung dibentuk, seorang utusan disuruh membawa hosah hagoluhan (nafas kehidupan) ke Nagori Tongah untuk selanjutnya ditempatkan di bawah hidung patung tadi. Hosah hagoluhan itu dibawa dengan cara menggemgam di dalam telapak tangan. Sang utusan diingatkan untuk tidak membuka gemgamannya hingga ia tiba di bumi. Dalam perjalanan menuju bumi, sang utusan berniat melihat bagaimana bentuk hosah hagoluhan yang ada dalam genggaman tangannya. Ketika ia membuka gemgamannya, saat itu juga hosah hagoluhan keluar dan segera berubah wujud menjadi benda angkasa. Inilah awal terjadinya matahari, bulan dan bintang.

Sang utusan dengan rasa menyesal kembali ke Nagori Atas dan melaporklan perbuatannya kepada Tuhan Sahine-hine. Tuhan Sahine-hine memaafkan keteledoran sang utusan, lalu ia kembali membawa hosah hagoluhan ke bumi. Tetapi seperti perjalanan pertama, d tengah jalan utusan tersebut kembali membuka gemgamannya da segera hosah hagoluhan berubah wujud menjadi angin (logou) dan api (apuy). Rupanya utusan ini bukanlah utusan yang baik, sebab dalam perjalanan menuju bumi, ia kembali membuka gemgamannya. Hosah hagoluhan pun berubah wujud menjadi laut, hewan, pegunungan dan tumbuh-tumbuhan. Kini Tuhan Sahine-hine tidak memberi ampun lagi dan mengusir utusan tersebut dari Nagori Atas (Kayangan). Ia kemudian dikenal sebagai begu-begu naso tokka atau pangulu ni hajungkaton (pemimpin roh-roh jahat) yang selalu berusaha merusak manusia.

Tugas membawa hosah hagoluhan kini diserahkan kepada utusan lain bernama Aji Adil Moradil. Utusan kali ini ternyata jujur dan mematuhi perintah Tuhan Sahine-hine, sehingga hosah hagoluhan sampai di Nagori Tongah (bumi). Ia membuka genggaman tangannya di bawah hidung patung, sehingga hosah hagoluhan masuk ke dalam hidung patung tersebut. Seketika itu juga patung berubah wujud menjadi seorang pria yang gagah perkasa. Ia disebut Tuhan Parlobei (Orang Pertama Penghuni Bumi) dan selanjutnya Tuhan Tobal Dunia menempatkannya di Nagore (orang Simalungun menyebutnya Nagur) suatu tempat di Banua Holing (India Selatan). Tetapi kemudian Tuhan Tobal Dunia melihat ada suatu yang kurang dalam diri manusia tersebut. Ia meminta Aji Adil Moradil menanyakan Tuhan Sahine-hine siapakah perempuan pendamping Tuhan Parlobei. Atas perintah Tuhan Sahine-hine, Aji Adil Moradil menyuruh Tuhan Parlobei meakukan ritual pemujaan kepada Tuhan Sahine-hine.  Di tempat pemujaan, Tuhan Parlobei manurduk demban (memberi sekapur sirih) dan dayok binatur (makanan adat Simalungun dari daging ayam). Setela ritual pemujaan, Aji Adil Moradil menyuruh Tuhan Parlobei menyadap pohon aren (bona ni bagod) dan meminum airnya. Selanjutnya sisa air tuak (bagod) tadi disemburkan pada batang bagod yang disadap tadi. Semua perintah itu dijalankan Tuhan Parlobei dengan baik. Ketika ia menyemburkan sisa air tuak tadi ke batang bagod yang disadapnya, serta merta batang bagod tadi menjelma menjadi seorang gadis cantik. Wanita itu diberi nama Panakboru Bolon (perempuan utama) yang kemudian menjadi istri Tuhan Parlobei. Inilah perkawinan pertama di muka bumi (partongah jabuanni jolma naparlobei i tanoh on). Merekalah nenek moyang semua umat manusia di bumi ini.

Panakboru Bolon melahirkan tiga orang anak, dua lakik-laki dan satu perempuan. Kedua anak itu diberinama Sang Majadi (putera sulung) dan Satara Manggun (putera bungsu), sedangkan anak perempuan diberi nama Sang Mainim. Ketika Sang Majadi dan Satara Manggun menginjak dewasa, ayah mereka menyuruh keduanya pergi merantau mencari rezeki ke negeri subur dan makmur. Dengan merakit sebuah perahu (solu) yang terbuat dari kayu ingul, kedua kakak beradik ini pergi mengarungi lautan lepas menuju pesisir Timur Sumatera (Pulou Porsa) dan tiba di Nagori Asih (Aceh sekarang). Di tempat ini mereka mendirikan perkampungan dan membuka ladang.

Perkawinan Sang Majadi dengan Si Dayang Matabur Mahobur, seorang gadis dari daerah lain memberi mereka tiga anak, dua perempuan dan satu laki-laki. Kedua perempuan diberi nama Nandorhaya Di Bulan dan Nandorhaya Di Ari, sedangkan nama laki-laki disebut Sormaliat. Selanjutnya Sormaliat kawin dengan Rongga Huning, purti pamannya sendiri. Dari perkawinan ini mereka memperoleh seorang anak laki-laki yang diberi nama si Anas Bondailing. Selanjutnya si Anas Bondailing kawin dengan seorang puteri dewa bernama Sidayang Naguratta. Mereka memperoleh seorang anak laki-laki dan diberi nama Pakpak Mularaja. Sebelum Sidayang Naguratta kembali ke langit (kayangan), ia berjanji untuk tetap memberkati puteranya dan seluruh keturunanya. Dari langit ia menyuruh seekor burung besar Nanggordaha (Garuda) menyampaikan kitab dewa bernama Pustaha Jati berisikan ajaran Habonaron Do Bona, yakni kitab yang berisi sejumlah peraturan dan tuntunan hidup. Pakpak Mularaja kawin dengan Sidayang Susur Tuah, seorang bidadari yang diturunkan ibunya dari kayangan (langit). Dari perkawinan ini mereka memperoleh dua laki-laki, salah seorang bernama Sang Ni Alam Naguratta.

Ketika Sang Ni Alam Naguratta menginjak dewasa, ia pergi merantau meninggalkan Nagori Asih dan akhirnya mendirikan perkampungan di Nagur Raja (Nagaraja Kab. Sergai sekarang). Ia menetapkan ajaran Habonaron Do Bona (kebenaran adalah pangkal segalanya). Ia melihat daerah itu sangat indah dan tanahnya mengandung sima-sima (lapisan lumut penyubur tanah), sehingga ia memberi nama sima-sima ni na lungun (tanah subur di tempat sunyi) untuk nama ladang yang di bukanya di suatu tempat yang dikenal juga dengan nama Harangan Pulou Lungun. Para budak (jolma tuhe-tuhe) Sang Ni Alam Naguratta menyebutnya tanoh Sibaloengoen (Tanah Simalungun). Karena kesaktiannya, Sang Ni Alam Naguratta berhasil mendirikan kerajaan di tempat itu dan diberi nama Harajaon Nagur (Kerajaan Nagur).
Setelah beberapa lama Nagur berdiri, kerajaan semakin ramai, kawula Nagur pun banyak yang datang dari negeri seberang, ada dari Jayu, ada dari Campa, dari Siam bahkan dari Pagarruyung dan negeri Tebba serta Haru. Mereka tunduk di bawah Duli Raja Nagur Damanik dan menjadi Anakboru pada Raja Nagur. Karena mereka berasal dari kaum wira gagah berani, maka dikawinkanlah mereka dengan puteri-puteri Nagur yang cantik dan diangkat menjaedi panglima (Raja Goraha). Rupa-rupanya muncul perselisihan di antara panglima itu dengan Raja Nagur sendiri. Maka bermufakatlah mereka di Pamatang Nagur, menetapkan keputusan sebagai berikut:
  1. Adat istiadat Nagur dan daerah taklukannya yang diperintah panglima adalah satu adanya yaitu adat istiadat Nagur sejak tiba di Pulou Porsa Sumatera.
  2. Masing-masing panglima diberi wilayah dan kelompok pengenal untuk mencegah kekacauan dan menjamin ketertiban dan kemaslahatan Kerajaan Nagur. Kepada Panglima Raja Banua Sobou dan Parnabolon disebut mereka kelompok Saragih karena mereka satu aturan (Sada Ragih) dan ditugaskan berkuasa di sekitar daerah Raya sekarang, Silampuyang, Sipoldas, Talun Saragih di Bandar dan Padang (daerah Tebingtinggi) sampai ke laut. Panglima Tanduk Banua Raja Saniang Naga panglima sakti  pemilik naga berkuasa mulai dari Nagasaribu sampai ke Girsang Sipangan Bolon dan Tanjung Bolon di dekat pantai Timur Pulau Sumatera dari kelompok marga Sinaga, seterusnya Panglima Raja Banua Purba ditugaskan berkuasa di sekitar Purba, Silimahuta sampai ke Panei dan Silou hingga mencapi ujung sungai ular di Selat Malaka, dan terakhir Raja Nagur sendiri bermarga Damanik tetap diakui sebagai raja diraja yang berkuasa atas seluruh wilayah kerajaan. Setelah itu, pecah perang silih berganti melawan orang Jayu dari pantai timur Sumatera dan orang Banua Holing, maka di tengah peperangan yang menghebat, kelaparan dan wabah penyakit, keturunan dan rakyat Nagur menyelamatkan diri ke seberang (hu dipar) sampai ke daratan di seberang Nagur yang sekarang dikenali sebagai Samosir. Di sana mereka beranak pinak dan sebagian kembali rindu (malungun) kembali ke Nagur dan bertemu dengan saudara-saudaranya di sana. Mereka pun hidup makmur dan sejahtera kemudian di tengah-tengah pegunungan yang hijau dan subur itu. Demikianlah legenda tentang asal-usul manusia Simalungun penghuni pulau Sumatera.
  3. Keempat marga panglima ini boleh saling kawin kecuali di antara sesama kelompok marga itu sendiri, karena akan merusak kembali perdamaian dan tata tertib yang telah disepakati (na dob iriahkon).
  4. Keempatnya harus satu kata (sasahap), satu musyawarah (sapanriah), satu perasaan (sapangahapan) dan satu harga diri (saparmaluan) melawan pihak-pihak yang merusak ketertiban dan perdamaian dan yang mencoba merusak Habonaron Do Bona dan setia bekerjasama (sapangambei manoktok hitei) untuk tujuan bersama.
(Diceritakan kembali sesuai dengan hikayat yang diceritakan Rasiam Saragih Garingging (80 th), Dading Purba Sidasuha (92 th), Kamen Purba Sidasuha (73 th), Djariaman Damanik (92), bekas datu Josep Sipayung (77), Kadim Morgan Damanik Tomok (75), Nurdan Purba Sidasuha (73), Guru Raya Amat Purba Sidasuha (72), Sipayung Nagoridolog (75).
Juga dari DisertasiPdt.  Dr. Jan Jahaman Damanik (STT Jakarta, 2009), tesis saya sendiri dan tesisi Pdt. Richard Siboro serta tulisan dan arsip Taralamsyah Saragih dan Kantor Pusat GKPS Pematangsiantar).
sumber: Dearmawanto Munthe

LEGENDA TANAH JAWA SIMALUNGUN

 

  Tiga/Pasar/Pekan di Simalungun
 
PIR GOTOK… PIR GOTOK, GOTOK……

Guru Tahuak seorang yang sakti dan bisa melihat masa depannya. Dia merupakan salah satu dari keturunan Sitanggang Lipan yang hidup di sebuah kampung di Samosir. Sebagai seorang sakti, Guru Tahuak tak ingin tinggal di suatu tempat dan wilayah. Demikian dengan saudara-saudaranya yang lain sebelum bersebar ke berbgai tempat dan wilayah. Menurutnya suatu kesaktian tidak berkembang kalau selalu menetap di suatu tempat. Apalagi kesaktian yang dimiliki bukan untuk menguasai orang lain. Sudah lama Guru Tahuak ingin meninggalkan Samosir.  Keinginan itu suatu malam mulai terwujud ketika ada suatu  panggilan melalui mimpi. Dia mendengar suara yang berteriak dari kejauhan. Namun suara itu seperti mengejeknya. “Guru Tahuak, kalau memang engkau orang sakti datanglah kemari,” begitu kira-kira panggilan itu.
 
Maksud panggilan itu belum tahu persis seperti apa. Apakah benar-benar mau mengejeknya atau sekedar warna-warni dalam tidur. “Tidak,” katanya dalam hati. “Aku jarang bermimpi kalau tidur.” Memang benar, Guru Tahuak selalu tenang dalam tidurnya dan hampir tidak bermimpi. Tidur pada suatu malam itu agaknya tak bisa lagi tanpa suatu mimpi. Apalagi mimpi itu cukup punya arti. Hatinya kuat mengatakan kalau panggilan untuk keluar dari Samosir harus dilaksanakan. Dengan panggilan melalui mimpi itu Guru Tahuak selalu yakin kalau kesaktiannya sedang dibutuhkan untuk mengalahkan musuh atau mengusir hewan-hewan pemangsa manusia. Sebagai orang yang belum punya istri, Guru Tahuak juga sudah terlalu sering diajak meredakan pertengkaran antar lumban, kampung kecil. Bersama saudara-saudaranya menangkap kerbau liar dan binatang pemangsa dari hutan-hutan di tempat-tempat berbukit tinggi.

Kokok ayam pertama dia duduk bersimpuh sejenak mendengar suara angin danau dan dari arah bebukitan. Tanda-tanda kuat dari arah angin itu akan membawanya keluar dari Samosir. Suara angin melesak-lesak. Ombak danau sesekali menghempas ke tembok pantai yang berbatu-batu. Itu pertanda angin dari Utara masih berhembus. Berarti hembusan angin Utara itu berkejaran sampai ke teluk di arah Tenggara. Angin Utara itu juga yang mempengaruhi perputaran gelombang danau yang sudah lama diperhatikannya sehari-hari.
 Gelombang danau seakan selalu ingin berputar pada musim angin dan mengelilingi semenanjung Samosir.  Namun gelombang yang berputar itu akan berhenti di tepi daratan sepanjang hasundutan atau bagian Barat. Pada kokok ayam kedua dia mulai bergegas mempersiapkan semua perlengkapannya, terutama selembar sungkit untuk pijakannya sampai ke teluk seberang.  Sungkit, jenis daun hutan yang mirip daun bambu itu biasa digunakan orang-orang sakti mengarungi hamparan danau. Daun tersebut akan tenggelam sendiri di danau setelah Guru Tahuak menginjak daratan teluk.
Kokok ayam berkali-kali didengar Guru Tahuak ketika hendak menginjak sungkitnya. Lalu dia bertanya: “Apa lagi gerangan yang kurang?” Dia sudah pegang tongkat saktinya yang mirip tunggal panaluan. Semua isi gajutnya juga segera diperiksa; tak ada yang kurang! Namun dia tiba-tiba sadar kalau di dalam tas pundi-pundi itu ada sebutir renteng niambalungan, telur ayam. Ini menjadi tanda dari kokok ayam yang berkali-kali itu. Lalu Guru Tahuak berpaling ke arah ayam itu. Namun ayam jantan mira sialtongnya yang selalu setia mengikutinya sudah berlari dan langsung terbang ke pundaknya.

Ue, alogo. ullushon mahami,” Guru Tahuak melengkapi tabas  atau mantranya dengan permintaan itu. Dia meminta agar angin menghembuskan mereka segera ke tempat yang dituju. Tidak begitu lama angin Utara berhembus dan mendorong tubuhnya di atas sungkit. Sungkit itupun dibawa gelombang ke arah teluk di Tenggara. Dari teluk Tenggara itulah guru Tahuak bergerak ke arah Timur. Sebentar lagi matahari akan muncul.

Daratan teluk Tenggara masih penuh rumput-rumput liar dan berduri. Semua rumput-rumput itu tumbuh menghalangi batu-batu besar. Kalau matahari mulai muncul jalan setapak ke arah Timur akan tampak. Guru Tahuak sejenak tertegun dengan sembulan asap di kejauhan, persis di bawah ketinggian gemunung pinggir danau bagian Timur. Sayup-sayup suara juga kedengaran. Terkadang bercampur dengan suara teriakan dan tangisan. Sejenak dia ragu. Lalu dia turun ke pinggir danau untuk menghilangkan rasa ragunya. Guru Tahuak mereguk air danau beberapa kali. Ayam jantannya juga ikutan-ikutan minum air danau itu.

Kembali ke atas batu tempatnya berdiri. Dipandangnya ulang asap di kejauhan. Matahari mulai muncul. “Kuurrrrk… kuurrrk….” Dipanggil ayam jantannya sebelum berlari menerobos rimbunan rumput-rumput liar di teluk itu. Semakin mendekat ke arah asap yang terlihatnya, suara-suara itu semakin jelas. Suara-suara itu benar-benar tangisan ibu-ibu dan kaum perempuan. Namun Guru Tahuak mencoba mencari tempat berpijak di bebukitan untuk melihat semua tangisan itu lebih jelas. Setelah memperhatikan tak ada gelagat dan siasat di antara tangisan itu, dia turun ke desa yang sudah dihancur leburkan peperangan.

“Inang, apa yang telah terjadi dengan kampung kalian ini?” salah seorang dari ibu yang bersedih di kampung itu dicoba tanya Guru Tahuak. Ibu itu telah kehilangan suami dan dua orang anaknya, melebihi kesedihan perempuan-perempuan tetangganya di situ. “Kami tak bisa berlari ke arah gunung. Di sini ada raja kami Sinaga. Dia dan ulubalangnya dikejar-kejar penyerang kampung ini ke arah gunung sana,” itulah pengakuan ibu itu sambil terisak dan menunjuk arah gunung. Dengan sekejap juga Guru Tahuak mengikuti petunjuk ibu itu karena darahnya tersirap. Dia tahu siapa yang harus dibela.

Dengan ilmu saktinya, Guru Tahuak tidak kesulitan mengendus ke arah gunung. Di suatu tempat di gunung itu dia bertemu dengan sekelompok orang. “Hei, siapakah kalian?” Guru Tahuak seperti membentak. Sekelompok orang itu berlumuran darah dan memar. “Apakah kalian yang dikejar-kejar musuh dari kampung sana?”

Salah seorang dari orang-orang yang memar dan berdarah itu kelihatan masih segar meskipun wajahnya menunjukkan kesedihan. “Tuhu mai, raja nami. naso uhum naso adat ro raja sian Purba naeng mangaromrom hami dohot hutanami,” demikianlah Raja Sinaga menceritakan  keadaan. Kelompok Raja Purba datang hendak menaklukkan mereka dan kampung yang dirajai Raja Sinaga. Mendengar itu Guru Tahuak memohon agar dia dapat terlibat melawan serangan yang mungkin masih akan dilakukan Raja Purba. Mereka turun bersama ke bawah, kampung pinggir danau. Di kampung itu semua penduduk diajak Guru Tahuak setiap malam berkumpul dan siang hari dapat kembali ke tempat dan pekerjaan masing-masing. Pada malam hari beberapa orang lelaki diajaknya menjaga harbangan, gerbang kampung itu. Di gerbang kampung itulah mereka selalu menghalau dan menaklukkan pasukan Raja Purba.

Raja Sinaga merasa nyaman kembali memimpin penduduk dan melindungi seisi kampung itu. Namun dia merasa berhutang budi kepada Guru Tahuak. Horja (pesta kampung) dan gondang (upacara dengan musik batak) lalu dia lakukan untuk menunjukkan kegembiraan dan sekaligus hutang budinya kepada Guru Tahuak. Diumumkan kepada orang banyak kalau Guru Tahuak layak menjadi menantunya. Jadilah Guru Tahuak memperistri salah seorang putri Raja Sinaga. “Alai munsat mahamu, amang hela, tapi berangkatlah kalian, menantuku…,” pesan Raja Sinaga “…berangkat ke negeri yang jauh.”

Guru Tahuak sangat mengerti akan pesan dari mertuanya. Maka dia bersama Boru Sinaga pergi ke negeri yang jauh itu melewati bebukitan dan hutan-hutan keramat.  Mereka dibekali Raja Sinaga dengan naniura (ikan yang diragi) dan ulos hela, tenunan untuk sang menantu. Di tengah perjalanan mereka menyantap ikan yang diragi itu. Di situ banyak pohon nira dan beberapa orang penyadap nira mulai lewat. Dari salah seorang dari penyadap nira itu kebetulan mengaku Sinaga juga. Sinaga penyadap nira itu sudah yatim-piatu. Mereka mengajaknya ke negeri yang jauh.

Singkat cerita, guru Tahuak sudah menemukan sebuah tempat yang nyaman di negeri yang jauh. “Lungun ni hutanta on, ate. Kampung kita ini sunyi sepi ya,” begitu kata istri Guru Tahuak. Tempatnya dia sebut harangan Sitanggang. Namun kalau mertua dan handai tolan Sitanggang dikunjungi selalu terucap: “Ba lungundo tutu huta munaon. Memang sungguh sepi dan sunyi kampung kalian ini.” Sekitar kampung Sitanggang itu kemudian sering disebut Sibalungun. Di hutan itu ada pohon-pohon tualang dan mata air bersih yang berhulu ke sungai besar di sekitarnya. Ke sanalah anak mereka bernama Ompu Maringan dinobatkan sebelum menjadi penguasa tempat itu. Sinaga penyadap nira itu juga  tumbuh dan memperistrikan seorang perempuan dari Silopakipon, kaum dari seberang pulau dan masih mengeramatkan sungai-sungai.  Sehari-hari penyadap nira itu setia kepada Guru Tahuak. Namun dia tak ingin setia kepada Ompu Maringan, anak Guru Tahuak. Tidak lama Ompu Maringan menjadi raja di situ, mangkatlah Guru Tahuak dan dimakamkan di tanah sekitar. Pesan terakhir Guru Tahuak kepada penyadap nira itu agar setia kepada anaknya.

Suatu kali Sinaga penyadap nira tergesa-gesa menjumpai Ompu Maringan. “Piiiir gotok, goootoook…. Begitulah katanya, raja nami,” penyadap nira itu menirukan suara seekor tupai yang terperangkap di hodong, pelepah enau yang disadapnya.
“Apa maksudmu, lae?” dengan heran Ompu Maringan ingin mengerti dengan pir gotok, gotok yang diucapkan Sinaga penyadap nira itu.
“Tupai itu rupanya bisa berbicara setelah terperangkap. Akan kuulang perkataannya: piiir goootook, goootoook…. Hansit nai hona atip-atip, betapa sakit kena perangkap. Tupai itu memang terperangkap ke atip-atipku di pohon nira. Tapi aku sangat kasihan untuk membunuhnya.”
Ompu Maringan tidak ingin bertanya lebih jauh meskipun kurang percaya seekor tupai bisa berbicara atau menyatakan kesedihannya. “Aku ingin membuktikan,” katanya kepada Sinaga penyadap nira. Sebelum tiba di tempat kejadian tiba-tiba Sinaga penyadap nira ingin meminta janji kepada Ompu Maringan: “Saya tak ingin membohongi raja. Tapi raja harus berani bersumpah: kalau tupai itu benar-benar bisa bicara, aku harus menggantikanmu menjadi raja. Bisa bersumpah?”

Dengan lugu dan baik hati Ompu Maringan mengangkat sumpah yang diinginkan. Di bawah pokok nira itu terwujudlah muslihat Sinaga penyadap nira. Tupai itu kedengarannya betul-betul bisa bicara dan menyatakan kesedihannya terperangkap di pokok enau. Namun sebelumnya istri Sinaga penyadap nira sudah bersembunyi di balik rimbunan sekitarnya menirukan suara tupai bisa bicara.
Hari itu juga Ompu Maringan menyerahkan kerajaannya kepada Sinaga penyadap nira. Jadilah Sinaga itu menggantikan Ompu Maringan menjadi raja di sekitarnya. Suatu ketika dalam kerajaan Sinaga datanglah kaum Silopakipon untuk mencari salah seorang putrinya yang hilang, yaitu istri Sinaga yang sudah menjadi raja itu. Sinaga tak bisa berbuat apa-apa dengan gerombolan Silopakipon yang begitu ramai. Gerombolan itu sempat dilihat Ompu Maringan dari kejauhan. Lalu Ompu Maringan menyuruh Sinaga bersembunyi ke seberang sungai. Dari tempatnya menyuruh Sinaga menyeberang sungai, diarahkannya gerombolan Silopakipon itu ke tempat persembunyian Sinaga. Gerombolan Silopakipon itu menemukan Sinaga dalam persembunyiannya. Namun dia kemudian disuruh kaum Silopakipon membangun istananya segera di tempat persembunyian itu dengan syarat: “Kamu harus membuat nama tempat ini Tana Jaoa.” Tana Jaoa itu diartikan negeri orang dari kejauhan atau seberang pulau. Kaum Silopakipon itu memang datang dari negeri jauh dan masih menganut Hindu. Ucapan Tana Jaoa itu lama-lama disebut menjadi Tanoh Jawa. Begitulah kira-kira asal-usul Tanah Jawa Simalungun yang ada sampai sekarang.

Legenda Simalungun tentang Pohon Enau

 

 

Asalnya PUANG BORU SOBOU ( Pohon Enau )


Konon kabarnya dalam suatu desa, ada 8 orang bersaudara : 7 orang laki-laki dan 1 orang perempuan. Orang tua mereka itu sudah lama meninggal dunia, dan harta benda yang ditinggalkan tentunya anakanya yang 7 orang itulah yang memilikinya.

Akan tetapi sayang, semua anakknya yang 7 orang itu sangat malas bekerja, kerja mereka hanya main judi saja, dan selalu mengalami sial. Dan apabila anaknya itu main judi selalu mengalami kekalahan. Akhirnya harta yang ditinggalkan orang tua mereka habis terjual untuk membayar hutang akibat kekalahan main judi. Tidak cukup sampai begitu saja, malahan hutang mereka pun makin bertambah-tamnah. Akibat hutang mereka yang semakin banyak, dan tidak terbayar lagi, akhirnya ke 7 orang bersaudara masing-masing memborohkan saudaranya perempuan tadi untuk membayar hutang mereka.

Kemudian 7 orang bersaudara itu masing-masing memanggil saudaranya perempuan tadi dan memberitahuakan bawa ia ( adiknya perempuan ) telah diborohkan kepada orang lain untuk membayar hutang judinya. Dan telah diketahui oleh perempuan bahwa semua abangnya laki-laki tadi telah memborohkannya untuk membayar hutang judi mereka, ia pun kecewa dan menangis, bahwa dipikirannya ia tidak mungkin akan menghadapi 7 orang suami di kemudian hari.

Kemudian dikumpulkannya ke 7 orang saudaranya itu dan dijelaskannya di muka mereka, bahwa semua abangnya itu telah memborohkannya untuk membayar hutang judi mereka. Dan setelah diketahui abangnya itu bahwa masing-masing mereka telah memborohkan adiknya perempuan yang satu itu, mereka pun terharu dan bingung, karena masing-masing mereka memang saling tidak mengetahui, bahwa adiknya yang perempuan tadi telah kena boroh untuk membayar hutang judi mereka.

Melihat ke 7 orang abangnya yang merasa sedih itu untuk memikirkan hutang masing-masing yang begitu banyak, dan setelah masing-masing mereka memborohkan adik perempuannya tadi, maka dikatakannya lah kepada7 orang abangnya begini : Semua abang jangan susah untuk memikirkan hutang abang dan memikirkan saya, yakinlah abang bahwa semua hutang abang dapat saya bayar dengan lunas, asalkan abang nanti dapat memenuhi permintaan saya dan mematuhi apa yang saya pesankan.

Kemudian adik perempuan itu tadi memesankan kepada semua abangnya untuk menggali lubang setinggi lehernya dan sebesar badannya. dan sebelum dicobanya lubang itu, ia berpesan kepada semua abangnya : mereka berjanji berubah sikap dikemudian hari, dan membagi hasil yang sama dari tanaman yang akan tumbuh diatas lobang yang mereka gali, sampai hutang mereka lunas, dan tidak boleh berpakain cantik waktu mengambil hasil tanaman yang tumbuh diatas lobang tadi.

Setelah selesai pesan tadi kepada abangnya itu, maka adiknya perempuan tadi mengajak mereka bersama sama untuk ke lobang tadi yang telah dipersiapkan mereka, sebelum adiknya perempuan itu memasuki lobang tadi, telah lebih dahulu dijelaskan kepada mereka bahwa tumbuhan apapun yang akan tumbuh itu adalah adiknya perempuan tadi dan tangisnya itulah yang membayar hutang mereka.

Kemudian adiknya perempuan tadi memasuki lobang yang telah dipersiapkan, cocoklah semua badanya dan setinggi lehernya, tetapi herannya dalam sekejap mata saja adiknya itu mengucapkan selamat tinggal kepada semua abangnya dan hilanglah adiknya itu dari pandangan mereka, tetapi sayang apayang terjadi? sebatang pohon enau telah berdiri tegak di atas lobang itu yang tinggilagi besar.
Itulah asalnya Puang Boru Sobou ( Pohon Enau )
 Sumber http://ancadamanik.blogspot.com/

Barus 1000 tahu yang lalu

PELETAKAN BATU PERTAMA PEMBANGUNAN TUGU RAJA TOGA LAUT PARDEDE DI LUMBAN JABI-JABI - BALIGE

Setelah terbentuknya panitia pembangunan Tugu Raja Toga Laut Pardede di Jakarta oleh beberapa keturunan Raja toga Laut Pardede yang berdomisili di jakarta sekitarnya (sejabodetabek)
maka diputuskanlah agar semua keturunan Raja Toga Laut Pardede ikut serta dalam Napak tilas show force keliling kota Balige pada tanggal 18 Agustus 2007, dengan rute dimulai Losmen Toga Laut Tawar, Tugu Naga Baling, Makam Raja Bona Ni Onan Pardede & Raja Paindoan Pardede dan ber akhir di Lumban Jabi-jabi / Tugu Raja Toga Laut Pardede, yang kemudian dengan kata-kata sambutan, oleh Tokoh-tokoh Sonak malela dll.