Kamis, 22 Desember 2016

PEDULI GENERASI MUDA AKAN PENGORBANAN PARA PERINTIS KEMERDEKAAN (2)




Sepak Terjang Pribumi Pro belanda
Hingga saat ini, mengenai pern para pribumi yang membantu belanda dalah upaya belanda menguasai Indonesia, belum pernah diungkap, apalagi dibahas. Padahal peran para pribumi ini, yang waktu itu belum sebagai warganegara Republik Indonesia, sangat signifikan, terutama dalam membocorkan dokumen-dokumen, rencana-rencana pemerintah RI dan TNI serta dalam peristiwa pembantaian puluhan ribu rakyat, sangat penting.
Di buku-buku mengenai perjuangan mempertahankan kemerdekaan antara tahun 1945 – 1950 sering ditulis mengenai adanya pengkhianatan yang dilakukan oleh peribumi untuk memberikan informasi ke pihak belanda. Beberapa pengkhianatan berakibat sangat fatal untuk puluhan ribu jiwa.

Eksekusi di tempat yang dilakukan oleh Westerling dan anak buahnya di Sulawesi Selatan (setelah pemekaran, sebagian kini termasuk Provinsi Sulawesi barat) terhadap rakyat pendukung Republik Indonesia, dilakukan berdasarkan informasi dari penduduk setempat yang menjadi mata-mata belanda. Sesuai daftar nama yang diberikan, maka oang-orang tersebut ditembak di tempat. Tragisnya, setelah eksekusi para pendukung Republik Indonesia, para informan tersebut juga ditembak mati di tempat.
Hal ini juga terjadi a.l. di desa Galung Lombok, dekat Majene, Sulawesi Barat. Pada 1 Febriaru 1947 pasukan elitWesterling Depot Speciaale Troepen (DST) di bawah komando Letnan Vermeulen mengumpulkan ribuan penduduk dari Kabupaten Majene dan Kabupaten Polewali Mandar untuk menyaksikan eksekusi terhadap pendukung Republik Indonesia. Berdasarkan daftar nama yang diberikan oleh para informan, tahap awal 29 orang ditembak satu-persatu. Kemudian gelombang kedua, secara acak ditembak lebih dari 200 orang. Kemudian karena ada laporan bahwa pejuang Indonesia membunuh tiga orang prajurit belanda yang akan memperkosa seorang wanita, Vermeulen memerintahkan untuk menembak kearah kerumunan massa. Hanya dalam waktu beberapa jam, keseluruhan lebih dari 700 orang ditembak mati di tempat, termasuk para informan pribumi. Di antara yang tertembak mati ada seorang wanita hamil dan anakp-anak.
Demikian juga yang terjadi di desa Rawagede, dekat Karawang pada 9 Desember 1947, satu hari setelah dimulainya perundingan perdamaian di atas Kapal Renville. Pada waktu itu tentara belanda terus memburu Kapten Lukas Kustaryo dan anak-buahnya. Berdasarkan informasi dari mata-matanya, tentara belanda mendapat informasi, bahwa Kapten Lukas berada di desa Rawagede. Pada pagi buta desa tersebut dikepung dan dimulai menyisir rumah penduduk satu-persatu. Namun tidak ada seorangpun anggota TNI. Karena penduduk setempat tidak mau memberitahu keberadaan Kapten Lukas dan pasukan TNI, maka komandan pasukan belanda, Mayor Aflons Wijnen memerintah kan anak buahnya untuk membunuh semua laki-laki di atas usia 15 tahun. Namu ternyata di antara 431 penduduk laki-laki yang dibunuh, juga ada seorang boah berusia 12 tahun. Sebagian yang ditembak di tepi sungai di musim hujan, langsung hanyut ke laut.
Karena tidak ada satupun penduduk laki-laki, maka para janda wanita dan anak-anak terpaksa menguburkan mayat-mayat penduduk laki-laki. Hari itu ada seorang wanita yang harus menguburkan ayah, suami dan dua putranya. Ini semua ulah dari pribumi yang menjadi mata-mata belanda.
Peristiwa Madiun September 1948 adalah rancangan belanda, dalam mempersiapkan agresi militernya yang terbesar terhadap Republik Indonesia pada 19 Desember 1948. Yang sangat berperan di sini adalah “van der Plas Connection” yang dibentuk Januari 1942. Untuk menumpas pemberontakan PKI di Madiun, TNI mengerahkan seluruh pasukan, baik dari Divisi I Jawa Timur, termasuk Brigade Mobil Polisi, pasukan Divisi II dan Divisi III Jawa tengah, serta pasukan Divisi Siliwangi, yang akibat persetujuan Renville harus keluar dari jawa Barat. Hal ini mengakibatkan, bahwa di Ibukota Yogyakarta tidak ada satu batalyonpun.


Di tengah kekosongan pasukan di Yogyakarta, pada 19 Desember 1948 belanda mekancarkan agresi militernya secara besar-besaran terhadap seluruh wilayah Republik Indonesia. Pada waktu itu sedang berlangsung perundingan antara Indonesia dengan belanda yang difasilitasi oleh PBB, dan komisi PBB dipimpin oleh orang Amerika.
Serangan terhadap Ibukota Yogyakarta dimulai dengan menduduki lapangan terbang Maguwo. Di pagi hari pukul 06.45, bersamaan dengan pendaratan tentara belanda di Maguwo, Wakil Tinggi Mahkota Belanda (HoogeVertegenwoordiger van de Kroon – HVK) Dr. Willem Drees, menyampaikan pidato di radio, di mana dia menyatakan, bahwa belanda tidak lagi terikat dengan Perjanjian Renville.
Mulusnya penyerangan dan pendaratan tentara belanda di lapangan terbang Maguwo dekat Yogyakarta, dikarenakan telah  terjadi pengkhianatan besar di pihak Republik Indonesia. Ada yang memerintahkan agar ranjau di Maguwo di cabut dan senjata berat ditarik dari Maguwo.
Akibatnya, satu-satunya lapangan terbang dekat Ibukota RI Yogyakarta, Maguwo hanya dijaga oleh 150 tentara dengan senjata ringan. Tentara belanda tidak mendapat kesulitan untuk menghancurkan pertahanan ringan di Maguwo. Seluruhnya 150 TNI ditembak mati, tak ada yang tersisa. Ini diduga untuk menutup mulut siapa pengkhianat di tubuh RI. Di pihak tentara belanda tidak ada satupun korban jiwa.
Di masa perang gerilya, pada 1 Januari 1949 Panglima divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng mengeluarkan Instruksi Rahasia, yang isinya memberi perintah kepada seluruh pasukan di wilayah Divisi III, Jawa tengah Bagian Barat, agar melancarkan serangan serentak pada 17 Januari 1949. Instruksi Rahasia tersebut ada yang membocorkan ke pihak belanda. Akibatnya, untuk mengantisipasi kemungkinan serangan dari gerilyawan Indonesia, di daerah Kranggan, dekat Temanggung, setiap pemuda Indonesia yang ditemui di jalan ditangkap, dan langsung dibawa ke tepi Kali Progo, kemudian langsung ditembak mati. Pembunuhan ini berlangsung samapi bulan Januari 1949. Diperkirakan sekitar 1.500 pemuda Indonesia tewas dengan cara ini. Di tepi Kali Progo dibangun Monumen untuk mengenang peristiwa ini.
Ironisnya, pada 10 Desember 1948 belanda ikut menandatangani Pernyataan Umum PBB mengenai HAM (Universal Declaration of Human Rights). Sembilan hari kemudian, belanda melancarkan agresi militernya di mana selama masa agresi militer tersebut puluhan ribu penduduk sipil non-combatant, dibunuh tanpa proses hukum apapun.
Demikian secuil kisah para informan belanda yang berakibat fatal untuk rakyat Indonesia.
Konferensi Meja Bundar (KMB) dan sesudahnya
Di masa agresinya sampai gencatan senjata pada 10 Agustus 1949, belanda berhasil mendirikan 15 Negara-negara atau daerah otonom, di mana para penguasanya adalah orang-orang yang pro belanda.
Dari 23 Agustus – 2 November 1949 berlangsung Konferensi Meja Bundar di Den Haag, belanda dengan hasil, didirikannya Republik Indonesia Serikat (RIS), dengan Parlemen RIS.
Menjelang dimulainya KMB, semua kasus kejahatan yang dilakukan oleh tentara belanda ditutup. Namun pada 5 September 1949, di tengah perundingan perdamaian di belanda, hukuman mati terhadap seorang pemuda pejuang Indonesia, Wolter Robert Mongisidi dilaksanakan.
Sejarah mencatat, tak lama setelah berdiri, di beberapa Negara Bagian RIS bentukan belanda timbul kemarahan rakyatnya yang sejak awal tidak setuju dengan pembentukan Negara yang terpisah dari Republik Indonesia dan pergolakan rakyat tak dapat dicegah oleh pemerintah-pemerintah bentukan Belanda. Beberapa pemerintahan Negara Bagian kemudian dipaksa oleh rakyatnya untuk membubarkan diri atau dibubarkan secara paksa oleh rakyatnya, sehingga pada bulan April 1950, hanya tinggal 3 Negara Bagian RIS yang tersisa, yaitu Republik Indonesia, Negara Sumatera Timur (NST) dan Negara Indonesia Timur (NIT).
Dengan persetujuan NST dan NIT, pada 19 Mei 1950 Pemerintah Republik Indonesia (RI) di bawah pimpinan Mr. Assaat Datuk Mudo mengadakan perundingan dengan Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Dicapai kesepakatan untuk kembali membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada 12 Agustus 1950, KNIP Republik Indonesia menyetujui Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara NKRI yang telah disusun oleh panitia bersama, dan pada 14 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS mengesahkan Undang-Undang Dasar Sementara untuk NKRI.
Tanggal 15 Agustus Perdana Menteri RIS M. Hatta menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden RIS Sukarno. Demikian juga dengan Mr. Assaat Datuk Mudo –Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia- yang menyerahkan mandatnya kepada Presiden RIS. Setelah itu Presiden RIS Sukarno menyatakan pembubaran Republik Indonesia Serikat dan pada 17 Agustus 1950 Ir. Sukarno mengumumkan terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kudeta APRA Westerling pada 23 Januari 1950 yang didalangi oleh Pangeran Bernard, suami dari Ratu Juliana bersama Sultan Hamid II dari Kalimantan, dan   pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang juga adalah rancangan belanda   mengalami kegagalan total. Kemudian terjadi konspirasi tingkat tinggi militer dan sipil belanda untuk menyelamatkan Westerling kembali ke belanda, di mana dia dielu-elukan sebagai pahlawan.


Sekitar 4.000 bekas KNIL etnis Maluku bersama keluarganya diboyong ke belanda. Kemudian berdasarkan keputusan kerajaan tanggal 20 Juli 1950, pada 26 Juli 1950 pukul 00.00, setelah berumur sekitar 120 tahun,Koninklijk Nederlands-Indisch Legeratau KNIL dinyatakan bubar.  Sesuai dengan hasil KMB, mereka yang ingin bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) diterima dengan pangkat yang sama. Namun sebelum dibubarkan, banyak dari mereka dinaikkan pangkatnya, bahkan sampai dua tingkat.
Dari uraian di atas terlihat, bahwa ketika Republik Indonesia didirikan, sekitar 65.000 pribumi yang mungkin masih merasa sebagai warganegara belanda, menjadi serdadu KNIL yang sampai 10 Agustus 1949 berperang di pihak belanda untuk menghancurkan Republik Indonesia. Di bidang politik, baik di pemerintahan maupun di parlemen RIS duduk orang-orang yang bukan warganegara Indonesia.
Setelah KNIL dan RIS dibubarkan, mereka “terpaksa” menjadi warganegara Republik Indonesia. Sebagian bekas KNIL menjadi anggota TNI, dan bekas petinggi-petinggi pro belanda banyak yang ikut ke belanda. Namun sebagian terbesar, terutama di daerah-daerah wilayah 15 Negara Bagian atau Daerah Otonom bentukan belanda, para pejabatnya masih tinggal di daerah-daerah masing-masing. Di lingkungan di daerah-daerah, masih diketahui dengan jelas perang orang tua atau kakek mereka di zaman penjajahan dan di masa Republik Indonesia mempertahankan kemerdekaan.
Sampai tahun 50-an karena masih sangat segar di ingatan masing-masing, cukup terbuka siapa-siapa saja yang pernah mengabdi untuk belanda, bahkan ada kelompok yang menyatakan sumpah “Kesetiaan Abadi” (door de euwen trouw) kepada belanda.
Yang tentu menjadi pertanyaan penting, apakah mereka (dan keturunannya) yang di zaman penjajahan, bahkan sampai tahun 1950 masih di pihak belanda untuk menghancurkan cita-cita Republik Indonesia sebagai bangsa yang Merdeka, tiba-tiba sejak tahun 1950 semua menjadi nasionalis?
Memang harus diterapkan pra-duga tak bersalah, bahwa tidak semua dari mereka yang sampai tahun 1950 masih setia kepada belanda, karena kabarnya cukup banyak yang setelah tahun 1950 masih menerima uang pensiun dari pemerintah belanda. Namun tentu jelas, bahwa banyak dari mereka tetap setia kepada belanda. Bahkan kabarnya sampai sekarang, di tahun 2015, terutama mereka yang termasuk jaringan van der Plas Connection atau yang terus bertugas sebagai informan belanda, tetap mendapat gaji dari belanda.
Berdasarkan bukti-bukti yang ada, termasuk dari belanda sendiri, ternyata belanda ikut “bermain” di peristiwa tahun 1965, dan pada waktu itu, selain peran van der Plas Connection dan Pater Josephus (Joop) Beek, juga dikenal dengan OLAF (Our Local Army Friends). OLAF ini terutama bekas KNIL, yang ditahun 60-an dan 70-an berhasil menjadi PATI (Perwira Tinggi) di TNI.
Konflik di antara para pejuang Republik Indonesia berlanjut terus hingga tahun 80-an, dan yang mendapat keuntungan adalah justru mereka yang sampai tahun 1949 masih di pihak belanda yang bertujuan untuk memecah-belah NKRI. Bukan rahasia lagi, bahwa sejak pemerintahan Orde Baru sampai sekarang dikabarkan, bahwa banyak menteri di pemerintahan RI adalah titipan asing.
Kemungkinan besar inilah penyebab utama, mengapa segala usaha untuk membuka lembaran sejarah dan menuntut Negara-negara yang selama agresi militer mereka di Indonesia (Jepang 1942 – 1945, Belanda, Inggris dan Australia dari 1945 – 1950) dan meminta pertanggungjawaban atas pembantaian jutaan rakyat di wilayah pendudukan Jepang dan setelah itu di wilayah Republik  Indonesia mengalami kesulitan besar. Pemerintah Indonesia sampai saat ini tidak merespons tuntutan agar menunjukkan bahwa Indonesia Berdaulat Dalam Politik Luar Negeri.
Beberapa tahun lalu, tiga lembaga penelitian terbesar di belanda mengajukan proposal untuk melakukan penelitian mengenai segala sesuatu yang terjadi di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, justru pemerintah Indonesia yang menolak, tanpa menyebut alas an penolakan. Mungkin ini salahsatu bukti, bahwa lobby pemerintah belanda di kalangan pejabat di Indonesia, terutama di Kementerian Luar Negeri RI sangat kuat. Kementerian Luar Negeri RI sejak bertahun-tahun tetap tidak mau menjelaskan kepada rakyat Indonesia, mengapa pemerintah RI membiarkan sikap belanda, yang tidak mau mengakui de jurekemerdekaan RI 17.8.1945.
Bukan hanya para diplomat di seluruh dunia, orang awam juga mengetahui, bahwa apabila dua Negara akan saling berhubungan diplomatik, keduanya harus saling mengakui dan menghargai kesetaraan. Kemungkinan di sini juga “keberhasilan” lobby belanda untuk menutupi fakta ini, karena apabila belanda terpaksa mengakui de jurekemerdekaan RI 17.8.1945, maka belanda harus menghadapi tuntutan, bahwa yang dinamakan “aksi polisional” adalah agresi militer terhadap suatu Negara yang merdeka dan berdaulat. Selain haru membayar pampasan perang, yang paling keberatan terhadap pengakuan de jure ini adalah veteran belanda, karena mereka akan menjadi penjahat perang.
Di lain pihak, apabila Indonesia tetap menerima versi belanda bahwa kemerdekaan Indonesia adalah 27 Desember 1947, maka berarti pemerintah Indonesia membiarkan pandangan, bahwa yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di seluruh Indonesia adalah perusuh, pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenatai oleh Jepang, karena demikianlah alasan belanda melancarkan “aksi polisional”nya. Yang dikirim bukanlah polisi, melainkan pasukan-pasukan elit dan marinirnya.
Kalau melihat “peta kekuatan” jaringan belanda, van der Plas Connection dan  jaringan Pater Beek serta jaringan sekutu belanda, ABDACOM, tidak tertutup kemungkinan, bahwa apabila MELUPAKAN SEJARAH INDONESIA, MEMBUAT INDONESIA MENJADI SEJARAH!

Imperium Uni Sovyet yang gagah perkasa, hanya bertahan 70 tahun, kemudian pecah dan bubar. Bahkan salahsatu Negara kuat di Eropa, Republik Demokratik Jerman ( Jerman Timur) hanya bertahan 41 tahun. Pemerintah Jerman Timur membubarkan diri dan kemudian bergabung dengan Jerman Barat.
Telah sering diberitakan, bahwa berbagai konflik dan kerusuhan yang terjadi di Indonesia, terutama di daerah-daerah yang rawan, selalu ada campur-tangan asing. Namun belum pernah disebutkan dengan tegas, Negara mana saja yang ikut-campur atau “bermain.” Sudah jelas orang-orang dari Negara-negara tersebut tidak mungkin untuk turuntangan sendiri, karena akan sangat janggal, apabila banyak bule berseliweran di pelosok-pelosok daerah konflik. Tugas ini tentu dilakukan oleh para pribumi.
Bung Karno telah memprediksi apa yang akan dihadapi bangsa Indonesia, sehubungan dengan antek-antek Belanda tersebut yang tinggal di Indonesia. Dalam pidato pembukaan KAA pada 18 April 1955 Bung Karno Mengatakankan:
“Saya tegaskan kepada anda semua, kolonialisme belumlah mati. Dan, saya meminta kepada Anda jangan pernah berpikir bahwa kolonialisme hanya seperti bentuk dan caranya yang lama, cara yang kita semua dari Indonesia dan dari kawasan-kawasan lain di Asia dan Afrika telah mengenalinya. Kolonialisme juga telah berganti baju dengan cara yang lebih modern, dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual, dan kontrol langsung secara fisik melalui segelintir elemen kecil namun terasing dari dalam suatu negeriElemen itu jauh lebih licin namun bisa mengubah dirinya ke dalam berbagai bentuk.”

Dan siapa para pribumi/”elemen kecil” yang dimaksud?

PEDULI  GENERASI MUDA AKAN PENGORBANAN PARA PERINTIS KEMERDEKAAN (1)





Meninggalkan Sejarah Indonesia, Membuat Indonesia Menjadi Sejarah.
Banyak kalangan yang menyatakan, bahwa kini terlihat kecenderungan lunturnya nasionalisme, terutama di kalangan generasi muda. Namun apabila ditinjau sejarah Republik Indonesia sejak didirikan pada 17 Agustus 1945, akan terlihat jelas, bahwa sangat banyak penduduk di bekas wilayah jajahan belanda, nederlands Indie (India belanda), yang justru berada di pihak belanda, baik di bidang politik maupun di bidang kemiliteran, yang berusaha menjajah Indonesia, tetapi tidak berhasil.
Belanda tidak mau melihat fakta, bahwa penjajahan belanda di Bumi Nusantara telah berakhir pada 9 Maret 1942, yaitu ketika belanda, hampir tanpa perlawanan menyerah kepada balatentara Dai Nippon. Di sini juga berakhir mitos, bahwa ras kulit putih tak terkalahkan.
Penjajahan tidak memiliki landasan hukum internasional, boleh dikatakan hanya memakai hukum rimba: siapa yang kuat, memangsa yang lebih lemah. Hukum rimba yang digunakan para Negara predator inilah yang berlaku selama ratusan tahun. Tidak ada hukum internasional yang memberikan legitimasi kepada suatu Negara atau suatu bangsa, untuk menjajah bangsa atau Negara lain. (Dalam kunjungan saya keempatkali ke Tweede Kamer, Parlemen Belanda di Den Haag pada 9 Oktober 2013, saya katakana kepada dua anggota parlermen Belanda, Angelien Eijsink dari PvdA dan Harry van Bommel dari Partai Sosialis, bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia memiliki landasan hukum internasional, yaitu Konvensi Montevideo, sedangkan penjajahan tidak memiliki landasan hukum apapun.

Selama lebih dari 250 tahun, belanda termasuk pedagang budak terbesar sepanjang massa. Kebiadaban terbesarnya adalah genosida (pembantaian etnis) yang dilakukan di Kepulauan Benda tahun 1621, di mana sekitar 13.000 penduduknya dibantai, sekitar 1000 orang melarikan diri ke pulau-pulau di sekitar kepulauan Banda, kemudian sisanya sekitar 830 orang dibawa ke Batavia untuk dijual sebagai budak. Pembunuhan para pemimpin setempatpun dilakukan dengan cara yang sangat sadis, sebagaimana diturturkan oleh seorang perwira muda belanda.
Demikian juga kemerdekaan suatu bangsa atau Negara, berdasarkan hukum rimba. Apabila satu kelompok, etnis, bangsa atau Negara merasa cukup kuat, berani menyatakan kemerdekaan dari penjajah atau memisahkan diri dari suatu negara. Secara keseluruhan:,Kemerdekaan suatu Negara tidak memerlukan pengakuan dari Negara lain, asalkan Negara baru tersebut sanggup mempertahankan diri. Belakangn dibuatlah aturan internasional yang dinamakan Konvensi Montevideo pada 26 Desember 1933 mengenai persyaratan medirikan suatu Negara. Namun konvensi ini, seperti juga dengan konvensi dan perjanjian intaernasional lainnya tidak menghalangi miat suatu Negara untuk menyerang dan menguasai Negara lain. Artinya tetap berlaku hukum rimba.
Juga mengenai perjanjian-perjanjian internasional atau perjanjian bilateral antara dua Negara juga tidak ada gunanya, karena apabila perjanjian-perjanjian tersebut menjadi hambatan untuk suatu Negara, maka Negara tersebut apabila merasa kuat, akan membatalkan secara sepihak perjanjian-perjanjian tersebut.
Oleh karena itu, proklamasi kemerdekaan Indonesia, tanpa adanya Konvensi Montevideopun sah, karena ternyata Republik Indonesia sanggup mempertahankan kemerdekaannya dari gempuran agresi militer belanda yang dibantu sekutunya antara tahun 1945 – 1949. Perang berakhir dengan Konferensi Meja Bundar, yang menghasilkan kesepakatan mendirikan Republik Indonesia Serikat, di mana Republik Indonesia adalah satu dari 16 negara Bagian RIS.
Ibukota RIS adalah Batavia, dan Ibukota Republik Indonesia adalah Yogyakarta, dengan Pejabat Presidennya adalah Mr. Asaat Datuk Mudo, Ketua Komite Nasional Indonesia – Pusat. Pada 30 Desember 1950 Menteri RIS Arnold Mononutu resmi mengganti Batavia kembali menjadi Jakarta, yang tellah ditetapka oleh Jepang tanggal 8 Agustus 1942.
Belanda menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada 9 Maret 1942 di Kalijati. Pemerintah nederlands Indie lenyap. Kemudian Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945 dan menghentikan semua kegiatan militer dan administrasi sipilnya. Tidak ada kekuasaan samasekali di wilayah yang pernah diduduki oleh tentara Jepang, termsuk di bekas jajahan belanda.
 
Dokumen menyerah tanpa syarat (unconditional surrender) baru ditandatangani oleh Jepang pada 2 September 1945 di atas Kapal Perang AS, Missouri di Tokyo Bay. Artinya terjadi Kekosongan Kekuasaan (Vacuum of Power) antara tanggal 15 Agustus – 2 September 1945.
Di masa Vacuum of Power tersebut, pada 17 Agustus 1945 Bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Dengan demikian Pernyataan kemerdekaan tersebut bukan merupakan pemberontakan kepada siapapun, karena tidak ada suatu pemerintahan. Juga bukan revolusi, karena tidak ada pemerintah yang digulingkan. Dari sudut pandang belanda dinyatakan bahwa ini adalah suatu pemberontakan atau revolusi. Jelas pernyataan ini untuk mengecoh opini dunia, bahwa belanda masih memiliki hak sebagai penguasa.
Bekas penguasa nederlands indie, tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia, dan berusaha untuk menjajah Indonesia. Upaya belanda dibantu oleh sekutunya di Perang Dunia II, Inggris, Australia dan Amerika Serikat. Inggris menyediakan 3 British-Indian Division di bawah komando Letjen Philip Christison, dan Australia menyediakan 2 divisi di bawah komando Leyjen Leslie “Ming the Merciless) Morshead. Amerika Serikat memberi pelatihan untuk tentara belanda. Ketiga Negara tersebut membrikan bantuan persenjataan dan logistic, karena setelah Perang Dunia II, belanda hancur dan hampir tak memiliki apapun untuk kepentingan angkatan perangnya.
Selain mendatangkan 150.000 wajib militer dari belanda, belanda juga merekrut sekitar 65.000 pribumi dari bekas jajahannya. Di antaranya sekitar 5.000 dari Maluku. Selebihnya dari berbagai etnis di wilayah bekas jajahan belanda. Kebanyakan adalah mereka, yang sebelum agresi militer Jepang tahun 1942, sudah menjadi tentara KNIL.


Beberapa mantan perwira pertama dan serdadu KNIL menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17.8.1945, namun sebagian terbesar termasuk para perwira menengahnya memilih untuk tetap mendukung belanda.

BIOGRAFI SINGKAT TUAN TANJARMAHEI PURBA TAMBAK: SIMALUNGUN




Tuan Tanjarmahei Purba Tambak lahir kira-kira tahun 1856 putera Raja Dolog Silou Tuan Lurni dengan puteri Raja Raya. Ibunya meninggal sewaktu beliau berusia 10 tahun. Lima tahun kemudian ayahnya juga menyusul karena menderita sakit dan sempat berobat ke Batu Palit daerah Serdang dan meninggal di sana. Jenazahnya kemudian dibawa ke Dolog Silou untuk dimakamkan di pekuburan keluarga kerajaan di Pamatang Dolog Silou. Setelah ayahnya wafat, karena Tuan Tanjarmahei masih kecil maka tampuk kekuasaan sementara dipangku abangnya yang tertua lain ibu bernama Tuan Dormagaja yang berkedudukan di Dolog Maraja, Dolog Silou.
Setelah usia cukup, tahta kerajaan kemudian diserahkan pada Tuan Tanjarmahei yang disahkan oleh para pembesar Kerajaan Dolog Silou yaitu Tuan Bandar Hanopan, Tuan Dolog Saribu, Tuan Sinasih, dan Tuan Dolog Mariring. Keempat pembesar ini disebut dengan "Basikah Na Ompat" (Tiang Yang Empat). Waktu ekspedisi Belanda keempat tahun 1889/1892 ke daerah Simalungun Atas, ekspedisi ini sezaman dengan perlawanan Tuan Rondahaim Saragih Garingging. Tuan Tanjarmahei juga ikut berperang mempertahankan negerinya dari penjajahan Belanda. Pada masa itu meletus pertempuran di Raja Payung dekat Dolog Maraja, berkat bantuan Tuan Siriaria dan Tuan Dolog Saribu tentara Belanda berhasil dipukul mundur.
Pada tahun 1912 almarhum jatuh dari kudanya saat bertugas ke Saribu Dolog. Sejak itu tugas kerajaan dikendalikan oleh anaknya, Tuan Ragaim. Namun, ia belum bisa diangkat sebagai raja karena ayahnya masih hidup. Dan pada tahun yang sama jalan provinsi Bangun Purba-Saribu Dolog dibuka, Tuan Tanjarmahei tidak ingin jalan dibangun melalui ibukota Kerajaan Dolog Silou, karena mengingat strategi perjuangan yang mereka lakukan saat itu. Namun jika ditinjau kondisi dewasa ini, ketiadaan jalan tersebut sangat merugikan masyarakat setempat. Maka 5 tahun kemudian, kantor kerajaan dipindahkan ke Barubei sekitar 15 km dari ibukota Kerajaan. Pada tanggal 3 Juni 1923, Tuan Tanjarmahei wafat dan meninggalkan 12 orang putera dan 18 orang puteri.
Adapun putera-puteri beliau adalah:
1. Tuan Huala, ibunya bermarga Saragih dari Purba Saribu. Ia memiliki 5 orang isteri, masing-masing bernama Maranta boru Saragih dari Raja Dolog, Dormalonim boru Saragih dari Mariah Dolog, Tagan boru Sipayung dari Sipolin, Ragi boru Saragih, dan Ikim boru Saragih.
2. Panak Boru Ronggailim, kawin dengan Torialam Sipayung.
3. Panak Boru Tomuraja, kawin dengan Rajamian Damanik.
4. Panak Boru Montainim, kawin dengan Tolap Barus.
5. Panak Boru Linggainim kawin dengan Bintala Barus.
6. Tuan Ragaim, ibunya bernama Bungalain boru Saragih Garingging puteri Raja Raya, Tuan Rondahaim.
7. Tuan Rajabulan yang menjabat sebagai Tuan Anggi Dolog Silou, berkedudukan di Dolog Mariah. Ia memiliki 2 orang isteri yaitu Joim boru Saragih dan Lemma boru Damanik.
8. Panak Boru Torlimma, kawin dengan Sakka Barus.
9. Tuan Jaumbang alias Parajamonang, berkedudukan di Dolog Matondang. Ia memiliki 3 orang isteri, masing-masing bernama Rahinim boru Saragih, Garanim boru Saragih, dan Saim boru Sipayung.
10. Tuan Jamti menjadi Parbapaan Urung Silou yang menguasai daerah Cingkes dan sekitarnya. Ia kawin dengan Rami boru Saragih puteri Tuan Dolog Saribu.
11. Tuan Jalodung menjadi Pangulu Bandar Tongah. Ia kawin dengan Bungauhur boru Sipayung.
12. Panak Boru Totap, kawin dengan Jarama Saragih.
13. Panak Boru Morgainim, kawin dengan Pingas SIpayung.
14. Tuan Jamala, kawin dengan Raminim boru Saragih.
15. Panak Boru Monta, kawin dengan Pingas Sipayung.
16. Tuan Rahali menjadi Pangulu Dolog Marawa. Ia kawin dengan Boru Damanik (belum diketahui namanya).
17. Tuan Rajawan alias Parajabonar menjadi Pangulu Barubei. Ia memiliki 2 orang isteri, yaitu Ambat boru Saragih dan Tormainim boru Saragih.
18. Panak Boru Sampei, kawin dengan Pamuruk di Saran Padang.
19. Tuan Tampei alias Pajalitar, kawin dengan Torman.
20. Tuan Tariatas alias Pajatimor, kawin dengan Ramonah boru Saragih.
21. Panak Boru Ratanim, kawin dengan Dahot Sipayung.
22. Panak Boru Tormauhur, kawin dengan Jomat Sipayung.
23. Panak Boru Konta alias Lintainim, kawin dengan Jorlim Saragih.
24. Panak Boru Mintalonim, kawin dengan Kantur Saragih.
25. Panak Boru Rumanta.
26. Panak Boru Goluh, kawin dengan Malu Damanik.
27. Panak Boru Topa, kawin dengan Taboh Saragih.
28. Tuan Ihutraja, kawin dengan Pindah boru Saragih.
29. Panak Boru Korainim, kawin dengan Jamalim Sipayung dan Janakkih Damanik.
30. Panak Boru Rapindah, kawin dengan Raidup Saragih.


~Selesai~ Oleh: Masrul Purba Sidasuha

Jumat, 16 Desember 2016

Tragedi 1998: Gerakan “Pasukan Liar”, Oleh Prabowo atau Wiranto? (2)



Menurut Wiranto, Prabowo mengaku penculikan mahasiswa itu atas inisiatifnya
Menurut putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo itu, operasi intelijen yang berbuntut penculikan tersebut sengaja tidak dilaporkan ke atasannya, KSAD atau Pangab, karena dia tidak ingin merepotkan dan melibatkan Mabes ABRI.
Sudah tentu jawaban Prabowo ini mengejutkan Wiranto. Memang, jika muncul adanya dugaan rivalitas diantara kedua perwira tinggi itu, Wiranto lulusan AMN ’68 dan Prabowo lulusan Akabri Darat ’74, banyak yang mengatakan hal itu untuk memperebutkan kepercayaan dari Pak Harto.
Pada 16 Mei 1998 di Wisma Yani, Menteng, Jakarta, Jenderal Wiranto didampingi Kassospol Letjen Susilo Bambang Yudhoyono dan Assospol Kassospol Mayjen Mardiyanto menerima Ketua Umum NU Gus Dur.
Pada pertemuan tersebut, Wiranto mengajak NU untuk membantu upaya ABRI memulihkan konsolidasi nasional dan mencari solusi terbaik menghadapi kemelut yang sedang berlangsung waktu itu.
Dalam kesempatan itu Gus Dur menyatakan dukungannya. Kemudian Wiranto menugaskan Mayjen Mardiyanto untuk membuat pernyataan pers, berisi lima butir.
Salah satu butirnya mengatakan NU sangat setuju keinginan Pak Harto untuk lengser keprabon.
Entah bagaimana, konsep pernyataan pers yang belum diteken Jenderal Wiranto itu sampai ke tangan Letjen Prabowo, kemudian disampaikan ke Pak Harto malam hari.
Wiranto menjelang tengah malam mendapat laporan perbuatan Prabowo tersebut. Menurut Wiranto tindakan Prabowo yang sudah di luar jalur norma keprajuritan itu membuat dirinya merasa diragukan kesetiaannya oleh Pak Harto.
Tanggal 17 Mei seusai subuh, Wiranto datang ke Pak Harto di kediaman Jalan Cendana untuk mengklarifikasi laporan Prabowo tersebut. Dari Pak Harto, Wiranto mengetahui secara lengkap apa yang dilaporkan oleh Prabowo.
Tersirat bahwa Wiranto telah berkhianat terhadap Pak Harto. Wiranto menjadi gundah. Dia menyatakan jika Pak Harto sudah tidak lagi mempercayainya, dirinya siap mundur dari jabatan, sambil meyakinkan bahwa apa yang dilaporkan Prabowo tidak benar adanya. Namun Pak Harto menolak permintaan pengunduran diri Wiranto.
Usai diterima Pak Harto, saat mau keluar, Wiranto berpapasan KSAD Jenderal Subagyo HS, Pangkostrad Letjen Prabowo dan Pangdam Jaya Mayjen Sjafri’e Sjamsoeddin.
Disitulah Jenderal Wiranto menumpahkan kekesalannya kepada Letjen Prabowo, disaksikan Subagyo dan Sjafri’e.
Kemudian Wiranto menanyakan maksud kedatangan mereka satu persatu. Subagyo mengatakan dirinya dipanggil oleh Pak Harto, Prabowo mengaku datang atas inisiatifnya sendiri, sedangkan Sjafri’e datang karena kebetulan lewat dan mampir. Tapi pagi itu, hanya Subagyo yang diterima resmi oleh Presiden.
Dalam pertemuan itu Pak Harto menyatakan ingin mengeluarkan Inpres tentang pemulihan keamanan dengan membentuk lembaga Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Keselamatan Nasional. Pak Harto bertanya apa KSAD siap menerima tugas itu?
Sebaliknya Subagyo pun balik bertanya, bagaimana dengan posisi Jenderal Wiranto, sebagai Panglima ABRI apakah otomatis diganti olehnya? Jika tidak, Subagyo tidak mau.
Dia menyarankan agar pemegang atau pelaksana Inpres tersebut harus dipegang oleh pimpinan ABRI sehingga tidak menimbulkan dualisme komando dalam tubuh ABRI.
Perasaan Wiranto menjadi tak menentu atas sikap Pak Harto itu. Apakah ini pertanda menurunnya kepercayaan Pak Harto terhadapnya? Hanya Pak Harto yang tahu.
Menurut Wiranto, bagaimana mungkin sebuah komando operasional pemulihan keamanan terpisah dari struktur komando Pangab selaku penanggung jawab keamanan nasional?
Tanggal 18 Mei sore hari, beberapa perwira tinggi menghadap Pak Harto di Cendana, secara terpisah. Hadir Pangkostrad Letjen Prabowo, Pangdam Jaya Mayjen Sjafri’e, KSAD Jenderal Subagyo, dan Pangab Jenderal Wiranto.
Masing-masing melaporkan perkembangan situasi sesuai dengan ruang lingkup tugas dan kewenangannya. Tidak ada pesan khusus Pak Harto kepada mereka.
Menurut penuturan Mayjen Sjafri’e, ia datang ke Cendana hari itu sekitar pukul 15.00. Juga dipanggil KSAD namun waktunya tidak bersamaan, tempatnya pun beda.
Sjafri’e tidak tahu apa yang dibicarakan Pak Harto dengan KSAD. Dia hanya disuruh menunggu oleh Pak Harto, sementara Pak Harto ke ruang lain untuk berbicara dengan KSAD.
Saat kembali, Pak Harto bertanya kepada Sjafri’e apa yang diketahuinya, Pangdam Jaya itu menjawab cepat dan jelas soal Gus Dur yang menegaskan bahwa NU akan ikut ABRI.
Namun Pak Harto memotongnya, bukan itu yang dimaksud.” Coba kamu tanya ke KSAD,” perintah Pak Harto. Sjafri’e pun menemui Subagyo di ruang lain. Berkumpullah di ruang itu Sjafri’e, Subagyo dan Prabowo.
Kemudian datang Wiranto, dan kepada Pak Harto menyerahkan Inpres No.16/1998, yang memberikan kewenangan kepadanya selaku Panglima Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional. Pada saat menyerahkan, tidak ada pesan Pak Harto untuk melaksanakannya. Wiranto pun memutuskan untuk tidak menggunakan Inpres tersebut guna menghindari pertumpahan darah.
Hal ini juga dibicarakannya dengan Kassospol Letjen Susilo Bambang Yudhoyono di Mabes TNI Merdeka Barat. “Kalau begitu saya ikut jenderal,” kata Yudhoyono sambil menyalami Wiranto.
Kamis 21 Mei 1998, Presiden Suhato mengumumkan pengunduran dirinya. Sejak itulah momen-momen penting terus bergulir. Pak Harto lengser digantikan oleh Wapres BJ Habibie.
Jumat 22 Mei 1998, Panglima Kostrad Letnan Jenderal Prabowo Subianto bergegas memasuki halaman Istana, namun sebelum masuk dia dicegah oleh Dan Paspampres Mayjen Endriartono Sutarto. “
“Maaf Jenderal, semua perwira harus menanggalkan senjata sebelum bertemu Presiden,”” pinta Endriartono. Prabowo menahan perasaan sambil melepas pistolnya, dia pun menemui Presiden BJ Habibie di ruang tamu Wisma Negara.
Kemudian terjadilah dialog seperti yang diuraikan Habibie dalam bukunya “Detik-detik yang Menentukan”. Buku itu ditanggapi serius oleh Prabowo. Maklum dialah yang paling terserempet dari apa yang ditulis Habibie dalam buku itu. Dia ingin “meluruskan” apa yang sebenarnya terjadi menurut penafsirannya.
Kemudian, sempat terjadi dialog dalam bahasa Inggis, sebelum akhirnya Prabowo berbicara dengan nada tinggi.
“Ini penghinaan bagi keluarga saya dan keluarga mertua saya Presiden Soeharto . Anda telah memecat saya sebagai Pangkostrad,” tegas Prabowo dikutip dalam buku“Prabowo: Ksatria Pengawal Macan Asia” karya Femi Adi Soempeno dan Firlana Laksitasari.
Habibie menjawab, “Anda tidak dipecat, tapi jabatan anda diganti.”
Prabowo balik bertanya, “Mengapa?” Habibie kemudian menjelaskan bahwa ia menerima laporan dari Pangab bahwa ada gerakan pasukan Kostrad menuju Jakarta, Kuningan, dan Istana Negara.
Terlepas dari “benar” tidak buku itu, memang bisa dirasakan bahwa ketika itu terjadi rivalitas meski sulit dibuktikan, antara Pangab Jenderal Wiranto dengan Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto. Ada yang menyebut persaingan keduanya mencuat sejak 1997, dimana ketika itu Wiranto menjabat kepala staf angkatan darat sedangkan Prabowo sebagai Dan Kopassus.
Jenderal Wiranto tetap berada di posisinya, beberapa kali ia menolak pinangan menjadi calon wakil presiden, sedangkan Letjen Prabowo dimutasikan menjadi Dan Sesko ABRI di Bandung.
Beberapa waktu kemudian Wiranto menyetujui rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira (DKP) untuk memberhentikan Letjen Prabowo dari dinas kemiliteran.
Selesaikah Perang Panglima? Dan Kini Menjadi Perang Jenderal?
Sementara itu, perseteruan, katakanlah begitu antara Wiranto dengan Prabowo tampaknya sirna manakala keduanya ikut dalam konvensi Golkar tahun 2003.
Waktu itu Wiranto mengungguli empat saingannya antara lain Prabowo. Masih mengenakan jaket kuning Wiranto mendatangi dan menyalami Prabowo yang duduk di ujung, keduanya bersalaman dan tertawa lepas.
Ini membuktikan bahwa apa yang sebenarnya terjadi dari polemik peralihan kekuasaan pada 1998 masih menjadi awan gelap dalam sejarah republik kita ini. Semuanya hanyalah strategi politik dan perebutan kekuasaan semata, yang tak akan pernah abadi.
Manusia kadang tak pernah belajar, walau mengaku telah belajar. Semua hanyalah nafsu duniawi semata, mirip Fir’aun yang menginginkan kaya raya, memproklamirkan dirinya menjadi tuhan, merasa hebat, namun akhirnya mati jua hanya oleh nyamuk kecil yang masuk ke telinganya?
Kerusuhan Mei 1998 Murni Operasi Militer!
Pemerintah tidak penah menindaklanjuti dengan proses hukum soal laporan investigasi disusun oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998.
Namu.n anggota TGPF Sandyawan Sumardi mengatakan kasus Mei 1998 adalah tragedi kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Dia memperkirakan kekacauan pada tanggal 13, 14, dan 15 itu menewaskan 1.880 orang!
“Jumlah korban jiwa itu sangat besar dibandingkan Perang Diponegoro,” kata Sandyawan di kantornya di bilangan Kampung Melayu, Jakarta Timur.
Pemerintah telah menyerahkan hasil penyelidikan TGPF Mei 1998 itu ke Kejaksaan Agung, namun sampai saat ini belum ditindaklanjuti hingga penyidikan.
Dia menuding Kejaksaan Agung tidak berniat menyelesaikan kasus kejahatan kemanusiaan itu dengan alasan menunggu terbentuknya Pengadilan Hak Asasi Ad Hoc.
Sandyawan menilai pemerintah sejatinya sejak awal tidak pernah menginginkan pembentukan TGPF. Tim ini terbentuk atas desakan negara-negara sahabat untuk mencari tahu penyebab kerusuhan dan penuntasannya. Komisi itu melibatkan semua departemen.
Lagi pula hasil dari temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bentukan Presiden Habibie untuk mencari keterlibatan Prabowo dalam kerusuhan 1998, juga tidak pernah disampaikan ke masyarakat luas secara jelas.
Apa dan mengapa serta seberapa besar keterlibatan tokoh tentara seperti Prabowo, Wiranto dan juga tokoh-tokoh sipil lainnya seperti Amin Rais, Sri Bintang Pamungkas dan juga orang-orang yang mengadakan pertemuan dengan Prabowo di Markas Kostrad pada malam harinya. pada kerusuhan yang terjadi di tahun 1998 itu, semua tak jelas dan tak ada laporan resmi yang pasti.
Sampai sekarang misalnya, kasus pembunuhan dan pemerkosaan massal itu sungguh sulit diungkap. “Kerusuhan Mei adalah operasi militer murni,” Sandyawan menegaskan.
Temuan tim pencari fakta di beberapa kota, seperti Medan, Jakarta, Solo, Lampung, Palembang, dan Surabaya kian membuktikan keterlibatan militer. Dia menyebutkan kerusuhan di kota-kota itu selalu terjadi dengan sistematis, jumlah korban banyak, dan luas.
Meski begitu mantan Panglima ABRI Jenderal Wiranto dan bekas Komandan Jenderal Kopassus Letnan Jenderal Prabowo Subianto disebut-sebut bertanggung jawab dalam kerusuhan Mei telah membantah.
Pernyataan Prabowo tentang Kudeta diatas, harusnya juga menjadi momen penting kita sebagai warga negara yang menuntut kejelasan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada era itu.
Apalagi saat ini Prabowo maju menjadi capres pada pemilu 2014. Bisa jadi pun Wiranto ikut kembali. Bijakkah calon pemimpin yang masih terbelenggu masalah sejarah kelam bangsa ini mengajukan diri untuk menjadi pemimpin bangsa???
Berapa banyak anak bangsa yang telah meregang nyawa pada tahun 1998 dari Sabang hingga Merauke untuk melepas rantai dari belenggu New Order atau Orde Baru agar jauh-jauh lebih bebas menerima dan mendapat segala informasi seperti sekarang?
Alangkah lebih Bijak jika calon pemimpin itu membersihkan namanya dari luka sejarah yang terjadi dalam proses kelam bangsa ini.
Berilah pendidikan positif bagi rakyat dan generasi muda bangsa ini tentang bagaimana melihat seorang pemimpin. Jangan biarkan sifat mudah melupakan sejarah yang dimiliki sebagian besar masyarakat menjadi kebiasaan dalam proses bernegara bangsa ini.
Banyak kalangan berpendapat, sebaiknya tokoh-tokoh yang terlibat langsung dengan peristiwa seputar 21 Mei 1998, mengungkapkan apa yang mereka tahu dan rasakan. Dengan demikian masyarakat sendiri yang akan menilai siapa yang benar siapa yang tidak benar. Atau biarkanlah sejarah mengalir seperti apa adanya?

Jika memang ingin menjadi Pemimpin Bangsa dengan niat yang baik, maka awalilah dengan niat yang baik pula. Bersihkanlah nama dari noda sejarah. Karena rekam jejak atau track record, sejatinya tak akan pernah bisa dihapus. Karena Sejarah adalah Fakta, dan Fakta adalah Sejarah. Semoga bermanfaat. Wassalam.

Barus 1000 tahu yang lalu

PELETAKAN BATU PERTAMA PEMBANGUNAN TUGU RAJA TOGA LAUT PARDEDE DI LUMBAN JABI-JABI - BALIGE

Setelah terbentuknya panitia pembangunan Tugu Raja Toga Laut Pardede di Jakarta oleh beberapa keturunan Raja toga Laut Pardede yang berdomisili di jakarta sekitarnya (sejabodetabek)
maka diputuskanlah agar semua keturunan Raja Toga Laut Pardede ikut serta dalam Napak tilas show force keliling kota Balige pada tanggal 18 Agustus 2007, dengan rute dimulai Losmen Toga Laut Tawar, Tugu Naga Baling, Makam Raja Bona Ni Onan Pardede & Raja Paindoan Pardede dan ber akhir di Lumban Jabi-jabi / Tugu Raja Toga Laut Pardede, yang kemudian dengan kata-kata sambutan, oleh Tokoh-tokoh Sonak malela dll.