Rabu, 28 Oktober 2009
Sejarah Sisingamangaraja
Lembah Bakkara yang indah di tepi Danau Toba.
Raja Si Singamangaraja I
Raja Manghuntal
Raja Si Singamangaraja I adalah anak dari Raja Bonanionan Sinambela, yaitu anak dari Raja Bonanionan Sinambela, yaitu putra ke tiga dan bungsu dari Raja Sinambela. Raja Bonanionan menikah dengan boru Pasaribu. Walaupun mereka sudah lama menikah, tetapi mereka belum mempunyai turunan. Karena itu boru Pasaribu pergi ke “Tombak Sulu-sulu” untuk marpangir (keramas dengan jeruk purut). Setiap kali selesai marpangir, boru Pasaribu berdoa kepada “Ompunta” yang di atas, mohon belas kasihan agar dikaruniai keturunan. Pada suatu hari , datanglah cahaya terbang ke Tombak Sulu-sulu dan hinggap di tempat ketinggian yang dihormati di tempat itu. Yang datang itu memperkenalkan diri, rupanya seperti kilat bercahaya-cahaya dan yang datang itu adalah Ompunta Batara Guru Doli. Ompunta Tuan Batara Guru Doli berkata bahwa boru Pasaribu akan melahirkan anak. Katanya: “Percayalah bahwa engkau akan melahirkan seorang anak dan beri namanya Singamangaraja”. Kalau anakmu itu sudah dewasa, suruh dia mengambil tanda-tanda kerajaan dari Raja Uti, berupa:
1. Piso gaja Dompak
2. Pungga Haomasan
3. Lage Haomasan
4. Hujur Siringis
5. Podang Halasan
6. Tabu-tabu Sitarapullang
Tidak lama kemudian boru Pasaribupun mulai mengandung. Setelah mengandung selama 19 bulan boru Pasaribu melahirkan seorang putera. Sang Putra ini lahir dengan gigi yang telah tumbuh dan lidah yang berbulu.
Semasa remajanya Singamangaraja banyak berbuat atau bertingkah yang ganjil terutama pada orang yang tidak pemaaf, yang ingkar janji, melupakan kawan sekampung yang lemah, membebaskan mereka yang tarbeang kalah berjudi.
Si Singamangarajapun pernah menunjukkan keheranan orang-orang yang berpesta dimana gondangnya tidak berbunyi dan tanaman padi dan jagung akarnya berbalik keatas mengikuti Si Singamangaraja saat jungkir balik dihariara parjuragatan. Hal ini terjadi karena mereka itu melupakannya.
Setelah Singamangaraja meningkat dewasa maka ibunya boru Pasaribu menyampaikan pesan dari Ompunta Batara Guru Doli bahwa Singamangaraja harus mengambil tanda-tanda kerajaan dari Raja Uti. Dia tidak tahu di mana kampung keramat Raja Uti demikian juga ibunya. Dia berangkat dengan berbekal doa yang menunjukkan dan menuntun langkahnya ke tempat keramat tersebut.
Dalam perjalanan banyak hambatan demikian juga setiba di keramat kampung Raja Uti yang ternyata ada di daerah Barus. Di sana juga dia dicoba tetapi semua bisa diatasi dengan baik. Sisingamangaraja bertemu dengan Raja Uti dan mereka makan bersama dan katanya: “Sudah benar ini adalah Raja dari orang Batak”. Setelah selesai makan merekapun menanyakan silsilah (martarombo) dan Si Singamangarajapun menyampaikan maksudnya dan disamping itu Sisingamangaraja meminta beberapa ekor gajah. Atas maksud Si Singamangaraja itu, Raja uti mengatakan akan memberikannya seperti pesan yang disampaikan Ompunta itu dengan syarat Si Singamangaraja harus dapat menyerahkan daun lalang selebar daun pisang, burung puyuh berekor dan tali yang terbuat dari pasir. Syarat-syarat yang diminta Raja Uti untuk mendapat tanda-tanda harajaon itu dapat dipenuhi semua oleh Singamangaraja. Sedang mengenai permintaan akan gajah itu, Raja Uti memberikannya asal Si Singamangaraja bisa menangkap sendiri. Si Singamangarajapun memanggil gajah itu maka heranlah Raja Uti melihatnya. Dan setelah itu dibawanya tanda-tanda harajaon itu pulang ke Bakara termasuk gajah itu.
Dengan tanda-tanda harajaon itu, jadilah dia menjadi Raja Singamangaraja, singa mangalompoi, Singa naso halompoan.
Raja Si Singamangaraja berikutnya
Raja Sisingamangaraja I sampai Raja Si Singamangaraja IX tidak diketahui kapan wafatnya dan dimana makamnya. Raja-raja ini setelah mempunyai keturunan dan merasa sudah ada penggantinya pergi merantau dan Piso Gaja Dompak tidak dibawanya. Mereka dipastikan telah wafat adalah melalui tanda-tanda alam yaitu ada cabang dari Hariara Namarmutiha yang patah. Kalau ada cabang Hariara ini yang patah berarti ada anggota keluarga yang meninggal dan kalau cabang utama yang patah berarti Raja Si Singamangaraja telah tiada. Hariara Namarmutiha ini dikenal juga sebagai Hariara Tanda dan sampai sekarang masih tumbuh di Bakara.
Biasanya keadaan ini diikuti dengan cuaca musim kemarau, sehingga masyarakat mengharapkan turunnya hujan melalui tonggo-tonggo Raja Sisingamangaraja. Si Onom Ompu (Bakara, Sinambela, Sihite, Simanullang, Marbun dan Simamora) dari Bakara mempersiapkan upacara margondang lalu meminta kesediaan putera Raja Si Singamangaraja untuk mereka gondangi.
Dengan memakai pakaian ulos batak Jogia Sopipot dan mengangkat pinggan pasu berisi beras sakti beralaskan ulos Sande Huliman sebagai syarat-syarat martonggo, putera raja inipun dipersilahkan memulai acara. Iapun meminta gondang dan menyampaikan tonggo-tonggo (berdoa) kepada Ompunta yang di atas untuk meminta turunnya hujan, kemudian manortorlah putera raja ini. Pada saat manortor itu langitpun mendung dan akhirnya turun hujan lebat dan masyarakat Si Onom Ompupun menyambutnya dengan kata HORAS HORAS HORAS. Kemudian piso Gaja Dompak pun diserahkan kepadanya dan dicabut/dihunusnya dengan sempurna dari sarangnya serta diangkatnya ke atas sambil manortor. Siapa di antara putera raja itu yang bisa melakukan hal-hal di atas dialah yang menjadi Raja Si Singamangaraja yang berikutnya, jadi tidak harus putera tertua.
Secara berturut-turut yang menjadi Raja Si Singamangaraja berikutnya dan perkiraan tahun pemerintahannya adalah Sebagai berikut:
Singamangaraja II, Ompu Raja Tinaruan
Singamangaraja III, Raja Itubungna.
Singamangaraja IV, Tuan Sorimangaraja.
Singamangaraja V, Raja Pallongos.
Singamangaraja VI, Raja Pangolbuk,
Singamangaraja VII, Ompu Tuan Lumbut,
Singamangaraja VIII, Ompu Sotaronggal
Singamangaraja IX, Ompu Sohalompoan,
Singamangaraja X, Ompu Tuan Na Bolon,
Singamangaraja XI, Ompu Sohahuaon,
Singamangaraja XII, Patuan Bosar, gelar Ompu Pulo Batu,
__________________
RAJA NAPATAR
Wawancara dengan Cucu Tertua Sisingamangaraja XII
Beberapa waktu lalu, wartawan majalah TAPIAN Hotman Jonathan Lumbangaol, Jeffar Lumban Gaol, dan Chris Poerba berkesempatan mewawancara cucu Sisingamangaraja XII, Raja Napatar. Ramah. Tidak ada basa-basi, seperti namanya Napatar yang berarti tidak ada yang disembunyikan. Kesan pertama bertemu dengan pria kelahiran Siborongborong 13 Mei 1941 adalah orang yang bersahabat. Suami dari boru Pakpahan dan ayah tiga orang anak ini agak serius kalau diajak ngomong. Berikut ini petikan wawancara itu, yang dimuat di majalah Tapian edisi November 2008 :
Apa yang paling mengesankan yang pernah Anda alami sebagai cucu Raja Sisingamangaraja XII?
Ketika di Bandung semasa kuliah tahun 60-an. Pernah ada sandiwara Sisingamangaraja XII, saya ditunjuk memerankan Sisingamangaraja,. Tidak ada yang tahu saya adalah cucu Sisingamangaraja XII. Lalu, saat pergelaran berlangsung, undangan dari Jakarta melihat saya. “Kalian tahu siapa yang memerankan Sisingamangaraja itu?” kata salah satu undangan. Waktu itu sutradaranya orang Jawa, tidak mengenal saya.
Mereka heran, “pantas dia sangat tahu sejarahnya,” kata mereka. Mengapa saya tidak mengenalkan diri? Karena saya inginkan masyarakat mengenal Sisingamangaraja bukan saya. Itu yang mengesankan.
Saat itu, ada seorang pelukis melukis Sisingamangaraja di tembok. Lukisannya persis. Sampai sekarang saya tidak tahu dimana lukisan itu. Yang saya ingat waktu itu seorang pejabat tentara orang Batak menyimpannya. Sebelum dilukis, pelukis ini mewawancarai saya seperti apa Sisingamangaraja itu. Acara diadakan di Gedung Nusantara Bandung. Itulah penghargaan mereka. Tetapi di Bandung tidak ada jalan Sisingamangaraja, hanya di Yogya yang ada (tertawa).
Sebagai keturunan Raja Sisingamangaraja XII apakah Anda pernah mengalami hal-hal yang misteri?
Saya kira tidak pernah. Hanya Raja Sisingamangaraja yang bisa melakukan mujizat, bukan keturunannya. Namun, jika ada hanya orang lainlah yang bisa melihat itu, bukan kami.
Mengapa tulang-belulang Sisingamangaraja XII dipindahkan dari Pearaja (Tarutung) ke Soposurung (Balige). Mengapa justru tidak ke Bakara sebagai asal muasal Sisingamangaraja XII?
Sebenarnya yang membuat itu adalah Soekarno. Tahun 1953 Soekarno datang ke Balige naik helikopter. Dia berpidato di Lapangan yang sekarang disebut Stadion Balige. Dalam pidatonya yang terakhir ia mangatakan bahwa “Balige ini bagi saya sangat mengesankan. Pertama, karena ia sangat indah. Kedua, di Balige ini yang pertama dicetuskan orang Batak perang melawan Belanda”.
Setelah itu, ia menanyakan kuburan Sisingamangaraja XII. Ada yang menjawab di Tarutung. Soekarno bertanya lagi, kenapa tidak dipindahkan ke Balige? Dari sinilah perang Batak yang terkenal itu, itu kata Soekarno. Sejak dari situ menjadi diskusi para tokoh Batak masa itu, termasuk salah satu anaknya Sisingamangaraja XII Raja Sabidan ketika itu menjabat sebagai Kepala BRI Sumatera Utara setuju.
Jadi, dibuatlah rapat. Sebab kuburan di Tarutung dianggap sebagai makam tawanan. Jadi, Sisingamangaraja XII tidak lagi dilihat sebagai Sisingamangaraja XII, tetapi Sisingamangaraja XII sebagai pahlawan nasional.
Anda masih ingat prosesi pemindahan makam itu; umur berapa Anda waktu itu?
Saya masih ingat ketika itu saya berumur sekitar 12 tahun. Sejak dari Tarutung rombongan pembawa tulang belulang itu dikawal haba-haba (hujan deras disertai putting beliung). Sementara rombongan hampir tiba di Balige, angin puting beliung itu berjalan mendahului prosesi yang membawa tulang-belulang sang raja. Dan menyapu bersih semua kotoran yang ada di sekitar makam. Lalu angin itu menunjukkan tempat yang menjadi makam Sisingamangaraja XII. Ini fakta karena saya melihat sendiri kejadian itu. Tidak banyak orang tahu tentang hal itu.
Ketika prosesi pemindahan tulang belulang raja Sisingamangaraja XII itu Soekarno datang?
Oh nggak. Hanya waktu itu ia mengirim telegramnya mengucapkan selamat. Waktu itu kami hanya empat orang cucu laki-laki. Saya dan dua adik saya tambah Raja Patuan Sori, ayah dari Raja Tonggo. Katika itu hanya tinggal satu anak, ayah saya Raja Barita.
Jadi, istri Sisingamangaraja XII ada lima; boru Simanjuntak, boru Situmorang, boru Sagala, boru Nadeak, boru Siregar. Boru Siregar sebenarnya adalah istri dari abangnya, setelah Raja Parlopuk. Yang ada keturunannya sampai sekarang hanya dari raja Buntal dan Raja Barita. Sementara dari Patuan Anggi anaknya Pulo Batu meninggal saat umur tiga tahun. Ia meninggal dalam pengungsian, jatuh ke jurang dengan penjaganya.
Saat itu, rombongan Sisingamangaraja XII pisah-pisah. Namun, beberapa kali ada datang pada kami mengaku-gaku “Ahu do Pulo Batu” (Sayalah si Pulo Batu). Tetapi tidak masuk akal. Masih muda mengaku-ngaku. Sebab, kalaulah ia benar seharusnya sudah lebih tua dari ayah saya. Jadi kami tidak percaya. Jadi sekarang cucu Sisingamangaraja XII hanya 5 orang lagi. Sayalah yang paling tua.
Apa yang membuat Sisingamangaraja XII tertangkap?
Sebenarnya, menurut cerita bahwa Sisingamangaraja XII tertangkap karena ada tiga orang yang berhianat. Kalau dulu Pollung, Hutapaung terkenal sebagai pendukung Sisingamangaraja XII. Maka tidak pernah Belanda bisa berhasil tembus ke daerah ini. Lalu, di Samosir Ompu Babiat Situmorang, ia dengan pasukannya juga raja yang dengan teguh melawan Belanda. Kalau mereka bertemu Belanda, mereka bunuh. Kulitnya dijadikan tagading. Sampai sekarang masih ada di Harianboho. Jadi merekalah Panglima pasukan Sisingamangaraja XII untuk menghancurkan Belanda. Lalu di Dairi. Disana ada gua Simaningkir, Parlilitan. Ia di bawah air terjun. Dari tengah-tengahnya ada pintu masuk. Inilah dipercaya sebagai Benteng Sisingamangaraja XII melatih semua pasukannya.
Dari mana Sisingamangaraja XII membiayai pasukaannya?
Dia tidak memungut pajak. Tetapi katanya di daerah Dolok Pinapan antara Parlilitan dan Pakkat di sana ada tambang emas.
Soal kepahlawan Siboru Lopian?
Dulu, beberapa kali rohnya si Lopian datang ke orang-orang tertentu. Sejak kami memindahkan saring-saring (tulang belulang) Sisingamangaraja XII ke Soposurung, Balige. “Pasombuon muna do holan ahu di tombak on (tegakah kalian membiarkan aku sendiri di hutan ini,” katanya. Sebab, semua keturunan Sisingamangaraja XII yang meninggal di pembuangan baik di Kudus, di Bogor, Jawa Barat kami sudah satukan di makam keluarga persis di belakang Tugu Sisingamangaraja XII. Oleh karena itu, kami pergi ke Dairi, ke Aek Sibulbulon untuk mengambil tulang-belulangnya Lopian.
Tetapi tidak mungkin lagi diambil kan? Karena, konon dia juga ditenggelamkan ke dalam sungai Sibulbulon dan ditimbun dengan tanah. Kami hanya mengambil secara adat, hanya segumpal tanah untuk dibawah ke Soposurung. Sejak itu tidak pernah lagi boru Lopian trans pada siapapun.
Saat pengambilan, kami juga mendapat ancaman bupati dan masyarakat setempat. Mereka tidak mau bahwa kuburan Lopian dipindahkan. “Sampe adong do istilah tikkini sian harungguan ikkon seketton nami angka namacoba mambuat i. (Kami akan bertindak jika ada yang mencoba mengambil kuburan Lopian).” Namun, akhirnya setelah kita berikan pengertian mereka minta kami untuk mangulosi mereka. 43 margalah mereka yang harus diulosi. Sebenarnya mereka mau minta, perjuangan Sisingamangaraja XII di Dairi tidak boleh dilupakan. Saya jawab, sebenarnya bukan kami yang menentukan. Tetapi kalau bupati meminta kuburan Lopian di Dairi kami tidak menolak.
Sementara beberapa tahun yang lalu Tarnama Sinambela mendirikan patung Si Boru Lopian di Porsea.
Bisa anda ceritakan bagaimana prosesi pengangkatan Raja Sisingamangaraja XII?
Untuk menjadi pengemban Raja Sisingamangaraja ada prosesinya. Saat Raja Sisingamangaraja XI wafat, Raja Parlopuk anak sulung yang harus menjalankan tampuk pemerintahan. Namun semuanya harus karena kesepakatan Si Onom Ompu. Sebab sudah tiga kali dilaksanakan pesta margondang, namun Raja Parlopuk tidak bisa membuktikan syarat-syarat yang diminta. Seperti memanggil hujan. Sementara Patuan Bosar bisa memenuhinya. Waktu itu ia masih ke Aceh, dari sanalah ia bisa mengerti bahasa Arab. Dan bergaul dengan orang-orang Aceh. Ia pulang dari Aceh saat ayahnya sudah meninggal. Sebenarnya Ia tidak mau menjadi Raja, hanya karena masyarakat setempat memaksa ia harus mau menerimanya.
Jadi Sisingamangaraja XI lah yang menulis pustaha kerajaan 24 jilid. Hanya pada kepemimpinan Sisingamangaraja XI lah ada penulisan tentang sejarah. Dan buku ini sudah dibawa ke Belanda dan masih ada di museum Belanda. Kami pernah meminta ke Belanda. Tapi menurut mereka, mereka ingin memberikan itu jika sudah ada gedung yang ber- AC. Tetapi karena belum ada kemampuan keluarga, hal ini masih terkatung-katung.
Mengapa tidak ada yang meneruskan (menjadi) Sisingamangaraja ke-XIII?
Sebenarnya karena tidak ada yang meminta. Sebab jabatan Sisingamangaraja itu ditentukan oleh enam marga tadi. Biasanya dilakukan penunjukan di Onan Bale, Di Bakara. Biasanya dalam acaranya, dibunyikan gondang. Pengangkatan Sisingamangaraja juga selalu karena ada masalah genting; ada penyakit atau musim paceklik. Ketika itu menurut mereka hanya jabatan Sisingamangaraja yang bisa menyelesaikan masalah tersebut.
Sionom Ompu itu siapa. Apakah keturunan Si Raja Oloan?
Bukan. Yang disebut Sionom Ompu di Bakkara itu adalah marga Bakkara, Sinambela, Sihite, Simanullang dan tambah dua marga lain Marbun dan Purba. Itulah marga penghuni Bakkara. Bukan Siraja Oloan. Sebab Naibaho dan Sihotang itu di Samosir. Dan mereka itulah raja-raja di Bakkara.
Bagaimana pendapat Amang tentang beberapa pendapat dinasti Sisingamangaraja yang tidak hanya berasal dari satu Marga. Ada yang mengatakan Sisingamangaraja itu hanya roh, bisa datang kepada siapa saja?
Bisa jadi. Hanya dari 1 sampai duabelas jelas semuanya dari marga Sinambela. Memang sejak semula kelahiran Sisingamangaraja pertama hasil pernikahan Bona Ni Onan dengan boru Pasaribu, ia lahir setelah 19 bulan. Tetapi kalau disebut tidak mesti Sinambela, saya kira harus dari keturunan Sisingamangaraja. Saya kira harus dari induknya.
Apakah benar keluarga Sisingamangaraja XII dipaksa memeluk agama Kristen?
Tahun 1907 semua keturunan Sisingamangaraja ke XII masuk sebagai Tawanan di Pearaja Tarutung. Lalu, ada marga Tobing mengajari mereka untuk agama Kristen setelah itu dibaptis. Ketika itu tinggal 5 anak raja Sisingamangaraja XII. Raja Buntal, Pakilin dan yang lain setelah besar dan disekolahkan ke Jawa. Sebenarnya untuk pembuangan. Sebab, Belanda melihat jika besar takutnya nantinya jadi berpengaruh. Jadi mereka dua orang Di Batavia, satu di Jatinegara, satu lagi di daerah Glodok. Lalu di Bogor, di Kudus meninggal di sana, dan satu di Bandung.
Raja Buntal ketika itu lulus dari sekolah hukum. Setelah mereka selesai masa belajar mereka pulang lagi ke Tapanuli. Raja Buntal ditempatkan sebagai wakil Zending Tapanuli mewakili Belanda di Daerah Toba. Sementara Ayah saya (Raja Barita) ditempatkan menjadi camat di Teluk Dalam Nias.
Sepulang dari Teluk Dalam, ayah saya menikah dan ditempatkan di Tarutung. Dan perkawinannya dibiayai Belanda di Porsea. Dengan semua resepsi Adat Batak. Belanda membawa es cream dari Pematang Siantar. Jadi semua undangan makan es cream waktu itu. Sementara Raja Buntal menikah juga dibiayai Belanda hanya dengan gaya Belanda.
Siapa Raja Tobing itu?
Jadi karena terimakasih dari ompung boru Sagala terhadap kebaikan Raja Henokh Tobing, diberikanlah putrinya Sunting Mariam menikah dengan putranya. Sementara Raja Pontas Tobing memberikan tanah tahanan keluarga di Pearaja Tarutung.
Raja Pontas dianggap mengkhianati Sisingamangaraja XII. Satu waktu, Raja Pontas memanggil Sisingamangaraja XII untuk mendamaikan Raja Pontas dengan saudaranya. Begitu Sisingamangaraja XII muncul yang datang ternyata Belanda. Sebenarnya bukan masalah Kristen, tetapi karena ia menjadi mata-mata Belanda. Dengan raja Pontas-lah Sisingamangaraja XII bermasalah. Sekarang, keturunan dari raja ini minta tanah ini kembali digugat (bersebelahan dengan Pusat HKBP), dekat Rumah Raja Pontas. Saya bilang, itu tanah yang diberikan Belanda, tetapi tanah itu kami yang meninggali. Berikutnya pemerintah memberikan bahwa yang menempatilah yang memiliki hak kepemilikan. Maka itu hak kami.
Sejak kapan Sisingamangaraja XII melakukan perang terhadap Belanda?
Setelah Belanda menjadikan Tarutung tahun 1876 sebagai daerah jajahan Belanda.Tahun 1877 rapat raksa di Balige atas reaksi Sisingamangaraja untuk menentang Belanda. Raja-raja Toba dikumpulkan. Keputusan rapat tersebut ada tiga. Pertama, Kita akan perang dengan Belanda, Kedua, Kita tidak anti terhadap Zending. (Ketiga) Kita harus membuka hubungan diplomatik dengan suku bangsa yang lain. Ketika itu Barita Mopul dan Raja Babiat ikut untuk rapat itu.
Dari sanalah dimulai perang melawan Belanda. Itulah yang disebut Perang Pulas. Dimulai di Bahal Batu daerah Humbang, Lintong Nihuta. Dilanjutkan di Tangga Batu, Balige. Pertempuran Pertama Sisingamangaraja XII masih bisa mengalahkan Belanda. Lalu perang di Balige Sisingamangaraja XII mundur menjadikan perang Gerilya. Tahun 1883 hampir seluruh daerah Toba dikuasai Belanda. Menyingkirlah Sisingamangaraja XII ke arah Dairi.
Kalau tempat-tempat keramat Sisingamangaraja masihkah dilestarikan sampai saat ini?
Hariara parjuaratan, disanalah Sisingamangaraja pertama dulu bergantungan, Ini masih ada. Di bawahnya itu ada komplek kerajaan Sisingamangaraja. Di bawah komplek ini ada Batu Siungkap-Ungkapon.
Masa Nippon ini pernah dicoba selidiki. Tali ini diulurkan dua gulung, tali diikatkan sampai habis tidak sampai menyentuh tanah. Konon setiap kerbau yang disembelih darahnya dimasukkan ke dalam batu siungkap-ungkapon. Sementara tombak Sulu-sulu itu berada di lokasi perkampungan marga Marbun. Saat ini mereka sudah berikan tanda-tanda tombak Sulu-sulu. Jadi ada disana disebut tempat pemujaan. Jadi kalau marpangir (keramas) di batu inilah berjemur. Lalu dekat pantai ini ada Aek Sipangolu (air kehidupan).
Di dekat Aek Sipangolu ada namanya Batu Hudulhundulan dikenal tempat istirahat Raja Sisingamangaraja. Dan didekatnya ada Hariara. Katanya kalau cabangnya patah menandakan telah meninggal Sisingamangaraja. Kalau ada rantingnya yang patah itu berarti keturunannya yang meninggal. Katanya kalau ada dari keluarga raja ini berpesta, maka daun-daunnya akan menari-nari terbalik. Sisingamangaraja XI makamnya ada di Bakkara.
Apa arti lambang Sisingamangaraja itu?
Kalau yang putih menggambarkan “Partondi Hamalimon” mengambarkan tetang agama. Kalau yang merah Parsinabul dihabonaran yang berarti menyunjung tinggi kebenaran. Kalau yang bulat mengambarkan “Mataniari Sidomppakkon” matahari yang tidak bisa ditentang menggambarkan kekuasaan Sisingamangaraja. Sementara delapan sudut ini mengambarkan delapan penjuru angin (desa Naualu) dukungan dari delapan desa. Sementara pisau yang kembar menggambarkan keadilan sosial. Itu semua ada sejak Sisingamangaraja pertama.
Piso Gaja Dompak itu sekarang dimana?
Di Museum Nasional. Saya juga baru tahun lalu melihat itu. Sebelum acara pesta 100 tahun Sisingamangaraja XII kami diajak melihat Piso Gaja Dompak itu. Kami diantar ke tempatnya Piso Gaja Dompak itu, saya kenalkan diri. Saya melihat sarungnya sudah lapuk. Gajah itu memang ada. Saya ingat dulu yang menyimpan Piso Gaja Dompak ini Sunting Mariam putrinya yang nomor dua. Dia meninggal 1979. Dulu saya ingat pesannya bahwa di ujung pangkal pisau ini ada permata merah. Lalu kepala museum mengelap dan memang kelihatan mutiara merah.
Kalau dulu Piso Gaja Dompak itu memang selalu dibawa?
Selalu dibawa. Memang itulah kekuatannya, salah satu penambah keyakinan.
PRASASTI DOLOK TOLONG
Misteri Prasasti Dolok Tolong
Tidak banyak literatur yang membahas eksistensi prasasti Dolok Tolong di Balige, Kabupaten Toba Samosir ini. Seperti prasasti dan inskripsi lain yang berada di Tanah Batak di Tapanuli, prasasti Dolok Tolong seakan tenggelam dengan eksistensi ribuan prasasti di Indonesia. Walaupun prasasti ini tidak akan berpengaruh besar terhadap sejarah Indonesia secara keseluruhan, namun diyakini keanehan tetap ada karena prasasti ini tepat berada di sekitar jantung Tanah Batak. Bahkan Balige merupakan pusat perdagangan kerajaan Batak sejak dahulu kala dengan istilahnya; ‘Onan Bolon’.Di Onan Bolon inilah berbagai bentuk hukum dan konstitusi diamandemen dengan keterlibatan langsung rakyat dan masyarakat yang juga memanfaatkan onan sebagai pusat transaksi dagang yang memang menjadi tujuan utama.
Prasasti Dolok Tolong ini seakan menjelaskan sekali lagi pluralisme masyarakat Tapanuli dan Batak yang menjadi cikal bakal budaya toleransi dan tenggang rasa yang tinggi yang dianut oleh setiap orang Tapanuli sampai sekarang ini. Sikap itu tampak dari bentuk pemikiran yang terbuka atas segala bentuk ide dan konsep. Tentunya, terdapat juga kemungkinan adanya bagian kecil orang Batak yang berpikiran picik seperti halnya di berbagai tempat lainnya di Indonesia.
Tapanuli, seperti halnya daerah lain di Indonesia, merupakan daerah yang juga banyak mendapat pengaruh dari dunia luar. Beberapa manuskrip kuno seperti Sejarah Raja-jara Barus, Hikayat Raja Tuktung dan Hikayat Hamparan Perak dan lain sebagainya, banyak menceritakan struktur masyarakat dan sosial Batak di zaman dahulu. Baik itu penjelasan mengenai saat-saat pembentukan sistem hukum dan perundangan-undangan maupun penjelasan mengenai peran orang Batak sebagai penyebar agama Islam di sekitar daerah yang sekarang menjadi bagian dari Sumatera Utara.
Dari berbagai manuskrip itu didapat sejarah Kerajaan Balige di tahun 1500-an yang saat itu diperintah oleh putra bungsu dari Si Raja Hita, putera Sisingamangaraja I yang menghilang dari Bakkara. Abang sulung dari Raja Balige tersebut bernama Guru Patimpus, seorang Raja dan Ulama, yang kemudian bermigrasi ke pesisir Timur Sumatera. Dia, yang memiliki anak-anak yang hafizd al-Qur’an, dikenal sebagai pendiri Kota Medan di tahun 1590.
Selain bukti sejarah tersebut, eksistensi prasasti Dolok Tolong diyakini merupakan bukti utama atas persinggungan budaya Batak dengan peradaban Hindu dan Buddha di Indonesia.
Menurut berbagai literatur yang secara terpecah-pecah menyinggung bukti sejarah ini, prasati ini merupakan prasasti atas eksistensi orang Majapahit di Tanah Batak. Saat itu, pasukan marinir Majapahit mengalami kekalahan pahit di Selat Malaka. Melalui sungai Barumun mereka menyelamatkan diri ke daratan Sumatera sampai ke suatu daerah di Portibi. Di sana, mereka dicegat masyarakat sehingga membuat mereka terpaksa melanjutkan pelarian sampai ke Bukit Dolok Tolong di Balige. Di Gunung inilah mereka meminta suaka politik kepada seorang Raja di tempat dari sub-rumpun marga Sumba (Isumbaon) yang saat itu menguasai wilayah tersebut.
Dolok Tolong, yang juga dikenal dengan nama Tombak Longo-longo Sisumbaon, ini merupakan sebuah pegunungan yang lumayan tinggi, dari puncaknya pandangan dapat di arahkan ke tanah Asahan, Labuhan Batu dan Angkola Sipirok dengan pemandangan yang sangat mempesona.
Diceritakan, seorang Pangeran yang mempimpin pelarian tersebut akhirnya memerintahkan untuk membuat prasasti tersebut sebagai sebuah hasil penjanjian dengan Raja dari marga Sumba tersebut dimana mereka diijinkan untuk tinggal di wilayah itu.
Pendapat lain mengatakan bahwa Pangeran tersebut juga menikahkan seorang putri yang ikut dalam rombongan pelarian kepada seorang raja Batak di tempat. Putri tersebut bernama Si Boru Baso Paet. Ada yang menafsirkan bahwa Si Boru Paso Paet sebenarnya merupakan perusakan kata dari Si Boru Majapahit yang artinya Srikandi Majapahit.
Lebih jauh lagi ada pula yang mengatakan bahwa Si Boru Baso Paet itulah yang menjadi nenek moyang orang Batak. Namun keterangan ini menjadi membingungkan karena eksistensi orang Batak di berbagai literatur telah ada berabad-abad sebelumnya dan bahkan ada pada ke-2 M telah berinteraksi dengan pelaut asing seperti yang diceritakan oleh Ptolemeus, tapi dengan nada negatif.
Tapi bila dilihat dari nama penamaan tempat itu oleh orang setempat, Tombak Longo-longo Sisumbaon, ada kemungkinan bahwa bukit tersebut merupakan pusat religi kaum animisme dan paganisme Batak dahulu kala. Arti harfiah dari kalimat tersebut adalah Hutan Rimba Yang Menjadi Tempat Persembahan. Eskistensi nama tempat ini sepertinya mirip dengan nama Dolok Partangisan di sebuah daerah antara Dolok Sanggul dan Tele yang merupakan tempat tradisional untuk memberikan sesajen berupa manusia (korban) untuk memuja roh atau dikenal dengan istilah mamele begu.
Yang sangat disayangkan adalah tidak adanya sebuah penelitian yang menyeluruh atas apa isi dan arti sebenarnya dari tulisan atau tanda yang terdapat di prasasti tersebut. Bukan tidak mungkin, selain dari dugaan kedatangan orang Majapahit, sebenarnya terdapat bentuk kebudayaan di Balige yang selama ini tidak dikenal. Atau kemungkinan-kemungkinan lainnya.
Tentu yang paling disayangkan lagi adalah rendahnya peran pemerintah daerah dalam menghormati eksistensi bukti-bukti sejarah ini. Padahal tidak sedikit dana APBD dikucurkan untuk membangun objek-objek wisata, konvensional maupun rohani, yang tampaknya sangat berlebihan dan terkesan mubazzir serta tidak produktif. Pemerintah seharusnya tidak terjebak dalam sebuah kebijakan yang malah menghilangkan nilai-nilai pluralisme budaya dan adat.
Bukan tidak mungkin apabila prasasti ini dapat diungkap lebih mendalam lagi, banyak kearifan lokal yang banyak diambil hikmahnya oleh generasi muda sekarang ini.
SIBAGOT NI POHAN
Hata na uli jala na tigor do hata ni umpama i, opat do tutu Sibagot ni Pohan saina, tubu ni Inanta Soripada Nantuan Dihutarea, Anak ni Tuan Sorimangaraja II, ima:
1. Sibagot
“HODONG DO PAHU, HOLI-HOLI SAKKALIA.“HODO AHU, HITA NA MARSADA INA.
ni Pohan
2. Sipaettua
3. Silahisabungan
4. Siraja Oloan
Dungi tolu tubu ni Inanta Soripada Borubasopaet, ima:
1. Sumba II
2. Toga Sobu
3. Toga Pospos
Di laon laon ni ari dung mate sarimatua Tuan Sorimangaraja gabe Sibagot ni Pohan do muse junjungan ni harajaon, sitiop tampuk ni adat dohot tampuk ni uhum di tano Baligeraja singkat ni amana i. Jolma na bisuk do Sibagot ni Pohan, pangoloi jala parasiroha, alani bisukna do umbahen buhar borngin pinompar ni Boru Basopaet sian tano Baligeraja, ndang dohot porang manang bada, angkal do di bahen ibana asa sampak mudar ni nasida na sahuta i; dang dope di lele, nunga laho maringkati” buhar nasida ditinggalhon hutanai; “mulang bodari”
Hasurungan ni Sibagot ni Pohan sian donganna “panganju” ibana di angka anggina na tolu i, tung dipatunduk jala di patorutoru do rohana laho manganju nasida.
Sitiop tampuk ni adat, patik dohot uhum di harajaon i, ibana do mamantikhon Baringin Bius Godang di tano Baligeraja; “Bius Patane Bale Onan Balige, hasahatan ni solu, hasampean ni hole”. Digoari do di tonggo-tonggo tano Balige i songon on:
Tano Balige tano Baligeraja, tano marpidan-pidan, tano marpolin-polin.
Tano na sinolupan. tano binalean, tinombang ni Ompunta Tuan Sorimangaraja, Raja Ulu ni Ubi.
Raja tiang ni tano, raja na so olo matua, raja na so olo mate.
Asa tano Baligeraja do rapot pamuraion, jala portangisan ni na ro!”
Songon i ma goar ni tano Baligeraja i ditorsahon Ompunta Sibagot ni Pohan i, tangis do angka na ro marsolu sian bariba ni aek molo diborong alogo laut dohot alogo lubis, tangis do angka na ro sian dolok Humbang molo tarborong dibahen udan, ala ingkon mardalan nasida sian rahis-rahis dohot dalan na landit jala na sompit songon paronan ni Huta Ginjang rupani. Rapot pamuraion na nidokna so sundat disampak aek na mardalan solu; so sundat mamolus nambur, jala martitir hodokna paronan na ro sian Dolok manuati dohot manganakhohi dolok-dolok i, dihunti gadongna dohot bingkauna laho tu Onan Baligeraja, ditapol tugona diompa-ompa poso-posona. Hape atik pe songon i, ingkot rapot,ingkon runggu do tu Onan Baligeraja i; ala di Onan i do partingkian, mangalap dohot manaruhon angka ngolu-ngolu dohot janji-janji dohot angka na asing.
MAMANTIKHON BARINGIN BIUS GODANG
“Habang ma sitapi-tapi, songgop siruba-ruba
“Patik na so jadi mose, uhum na so jadi muba
Dung laho be angka anggi ni Sibagot ni Pohan na mardandi i manopot tano naung niriritan nasida hian:
* Sipaetua laho dompak Laguboti
* Silahisabungan dompak Silalahi Nabolak
* Siraja Oloan dompak Pangururan boti tu Bakara
Di laon-laon ni ari, dijujur Sibagot ni Pohan ma ari laho mamantikkon Baringin Bius Godang di tano Baligeraja, asa di gurguri onan i na jadi Bius Godang di pinompar ni Sibagot ni Pohan manuan hau baringin, jabi-jabi dohot hariara. Asa gabe tuko na so sibutbuton gadu naso sisosaan ma angka hau sinuan na di Onan i, partanda ma i di paronan, harungguan dohot partungkoan di angka Raja Jungjungan, Raja Naopat, Raja Nauwalu, Raja Nasampuludua dohot angka Raja Parbaringin, Datu Bolon dohot Sibaso Bolon
Dungi di torsahon Sibagot ni Pohan ma torsa ni Harajaon Bius i, diatur ma sian anakna na opat i:
1. Tuan Sihubil
2. Tuan Somanimbil
3. Tuan Dibangarna
4. Raja Sonakmalela
dipasu-pasu ma asa gabe Pusaka Harajaon i manguluhon Bius Godang i “Bius Patane Onan Balige” Jala ditotaphon ma tu nasida be songon i sahat tu pinomparna
Songon on ma partonding ni harajaon na sinantikhon na i:
Bagian parjolo
1. Harajaon Pande Nabolon, ima Tuan Sihubil sahat tu pinomparna
2. Harajaon Pande Raja, ima Tuan Somanimbil sahat tu pinomparna
3. Harajaon Pande Mulia, ima Tuan Dibangarna sahat tu pinomparna
4. Harajaon Pande Namora, ima Raja Sonakmalela sahat tu pinomparna
Bagian paduahon
1. Harajaon Saniangnaga, paidua ni Pande Nabolon
2. Harajaon Parsinabul (Hinalang), paidua ni Pande Raja
3. Harajaon Parsirambe (Patuatgaja),Paidua ni Pande Mulia
4. Harajaon Mamburbulang (Parjuguk), paidua ni Pande Namora
Bagian patoluhon
1. Harajaon Undotsolu (Raja Laut)
2. Harajaon Panguluraja (Ulu Porang)
3. Harajaon Pande Aek (Parhauma)-Pnagulaon
4. Harajaon Panguludalu (Parpinahanon)
Asa songon i ma partording ni Harajaon di Bius Godang, Bona Pasogit di pinompar ni Ompunta Tuan Sorimangaraja, di tano Baligeraja tinombangna i jala anak sihahaan ma ibana sian ompunta Tuan Sorbanibanua.
* Asa na opat parjolo i ma junjungan ni Bius i, di adat Hadewataon Adat Batak (Ugamo Batak)
* Na dibagian paduahon i ma di Horja dohot Luat gabe Raja Naualu
* Na di bagian patoluhon i ma pangatur, sijaga pintu julu dohot pintu jae
“Bagot na madungdung ma tu pilo-pilo marajar
Asa tinggal ma nalungun sai ro ma na jagar”
Dung buhar tubu ni Boru Basopaet, sian Lumban Gala-gala, Lobu parserahan i, tarsubut ma ingkon mangan horbo sakti tubu ni Nai Tukaon, asa tambakhonon nasida Siraja Hutalima anggi nasida naung mate i.
dung rumbuk tahu nasida Sibagot ni Pohan dohot anggina na tolu i: Sipaetua, Silahisabungan dohot Siraja Oloan, disuru ma anggina na tolu i mamulung tu harangan, Sipaetua ma sibuat hotang harihir ni horbo, Silahisabungan sibuat haundolok borotan ni horbo i, Siraja Oloan ma sibuat hauanak dohot sijagoran jungjung buhit ni borotan i (ranting ni hau slom, baringin, sanggar, ompu-ompu dohot angka na asing)
Dung i laho ma nasida, dihondor ma solu dalan nasida, alai hasit do roha nasida mida hahana Sibagot ni Pohan i, ala nasida disuru adong do naposo siparbagaon. Borhat ma nasida Sipaetua pangabarasi di jolo, Silahisabungan pamoltok ditonga-tonga si Raja Oloan ma pangamudi di pudi. Sahat ma nasida tu harangan Pealeok diririti nasida ma jolo harangan i sukup do adong disi sipulungon nasida i.
Dungi laho ma nasida jumolo tu tano Laguboti manghakapi tano i di ida nasida ma denggan tano i bahen parhaumaan, sukup aek jala hornop. On ma muse diahu puang ninna Sipaetua.
Dungi laho muse nasida marsolu dompak mangori-ngori dolok dohot tor sahat ma nasida tu Silalahi mamolus tao na bolak i, diida nasida ma tano i denggan boi parhaumaan dohot taoi gabe pandaraman. Jadi didok Silahisabungan ma: On ma di ahu ninna.
Sian i muse, malluga ma nasida mangori-ngori dolok dohot tor, dibolus nasida ma tano ponggol na di Pangururan (panoguan do goar ni tano ponggol i). Dungi muse sahat ma nasida tu Bakkara, dung di ida nasida denggan tano i, bahen parhaumaan didok Siraja Oloan ma: On ma diahu ninna.
Dungi mulak ma nasida muse tu Paselok hasahatan parjolo i, dionggopi nasida ma, manang na pasauton ni haha nasida i do Saktirea i nang so disi nasida. Jala molo dipasaut ima bonsir parsirangan bahenon nasida dompak hahana i. Dung sai dibilangi nasida ari sian parborhat nasida i, sahat tu parmulakna i marpingkir ma nasida naung dipasaut hahani Saktirea i.
Ianggo Sibagot ni Pohan dung sai dipaima-ima ndang marnaro angka anggina i, marsak do rohana aik beha na adong mara nasida di harangan i, dung saep ndang ro be sahat tu ari na tiniti, bulan na pinillit, jala nunga huhut mandasdas amanta Datu dohot Inanta Boru Sibaso, dihudus ma angka naposo mamulung dohot mambuat borotan sian angka huta di bagasan horja i (on ma na nidokna nunga tare parasoman)
Dung rade sude, dibona ma gondang i, dipasaut Sibagot ni Pohan ma ulaon Saktirea i. Aturan pitu ari hian lelengna, gabe tolu ari nama dibahen Sibagot ni Pohan, ala nunga sai hambirang rohana di langka ni angka anggina i.
Ia dung dibege angka anggina i lengesna naung salpu Horja Saktirea i, roma anggina na tolu i mamboan pulung-pulungan nialap nasida i, tar manimbas be ma dompak jolo ni Sibagot ni Pohan mandok: “Ia i ba! Na so uhum na so adat do binahenmi dompak hami, burju rohanami mangoloi hatam mangalap pulung-pulungan, hape tung mamulik do roham di hami, asa holan ho manortori gondang Saktirea i
Dung muruk jala piri-pirion ma nasida, morpasa-pasa ma nasida tu Sibagot ni Pohan didok ma: “molo tung na hombar ma habinahenmi tu hami diruhut ni paranggion dipulik ho hami. asa ho mangkasuhurhon Sakti i, ba horas ho, horas nang hami! Alai anggo na magalaosi do ho, di adat ni Opunta dohot Amanta, ba tung ho ma na sari disi haha-doli, ninna”.
Dungi dialusi Sibagot ni Pohan ma: “Beasa pola marpasa-pasa hamu na tolu dompak ahu na rap suhut do hita, hamu do na malelenghu dang marnaro, gariada huraksahon do hamu, hurimpu na adong maramu di parlaho mui, ai ndang patut songon i lelengna, ulaon sadari do gabe saminggu lelengna hamu, dungi muse nunga dapot titi ni ari, nunga tare parasoman, nunga manghudus Datu dohot Sibaso, ingkon mamona na di gondang i ba ido umbahen pinasaut” Alai hudok pe songon i manganju ma ahu di hamu: “Pauk-pauk hudali ma, pago-pago tarugit, na tading niulahan, na sega pinauli”. na boi ulahan do na tading, na boi paulion do na sega. Ba dos rohanta mangan horbo sakti sahalinari horbonta do horbo, doalta do doal, palampot hamu be ma ate-atemu dohot rohamu, ninna Sibagot ni Pohan mandong anggina na tolu i.
Dungi di oloi angka anggina i ma pardengganan i, asa diulakhon muse margondang mangaliat horbo. Alai andorang so dititi nasida dope ari, direngget nasida ma jolo taringot tu parjambaran, manang songon dia parpeakna. Didok nasida ma: “Sipaetuama ihur-ihur, Silahisabungan ma sijalo hulang-hulang, Siraja Oloan ma pura-pura”
Dung dibege Sibagot ni Pohan i pandok nasida taringot tu jambar-jambar i, didok ma: “Ianggo parjamabaron songon na pinangidomu i, ndang tingkos i. Angat dohot na so adat do i, ai jambar suhut do i sude sibahenon tu raga-raga (pangumbari) di panganon horbo sakti, mangihuthon adat ni Amanta”, ninna. (Diboto nasida do Sibagot ni Pohan Raja Jolo hundul di rumabolon jabu bona, ingananni raga-raga parsibasoan i, singkat ni ama. Alai lupa do nasida “ndang na matean ama nasida ianggo adong do hahana).
Dung i di dok nasida na tolu ma tu Sibagot ni Pohan: “ianggo songon i do dohononmu ba di ho do hape jambar i sude, alani i ndang olo be hami domu dohot mangoloi hatam tumagon ma hami sirang laho sian on, asa haru bulus roham. Asa tung timus ni api nami pe dompak ho, ingkon intopan nami, gaol nami pe molo dompak ho sombana i (santungna) ingkon tampulon nami. Asa gabe i ma gabem, ndang na ro di ho be hami. Jala muse tung na so jadi songon horjami bahenon nami horjanami”
Songon i ma dalan parsirangan ni Sipaetua, Silahisabungan dohot Siraja Oloan sian hahana Sibagot ni Pohan
“MARTUMBA MA AILI, MARJOJING BABI DALU”
SADA MANDOK TIAS, DUA MANDOK MALU”
Dung so dapot be pardengganan taringot tu porjambaron i, songon pinagidoan nasida sada mandok tias, dua mandok malu, saut ma marruntus ma nasida maninggalhon Sibagot ni Pohan, martiptip marolangolang ma nasida tung timus ni apina ingkon intopanna dohot santung ni gaolna ingkon tampulonna molo dompak Sibagot ni Pohan.
Jadi dung laho nasida, martutup jala marbula ma muse nasida mandok: “Tung na so jadi oloan manang pardomuhonon nasida be Sibagot ni Pohan manang tu ro pe mangelek-elek nasida” Jla molo tung ro pe manopot hita sada-sada lehet do alusan di hata, alai masigilingan ma hita mandok songon on: “Aha ma ianggo ahu, sian si Anu ma elek” songon-songon i ma dohonon ni nasada dohot na sadanari, masigilingan ma hata nasida asa jut rohana jala loja ibana sonon i ma hata parbulanan nasida,
Dung sae nasida na marbulan i laho ma Sipaettua mangihuthon padan nasida dompak Laguboti tu tano naniriritna tinodona i. Laho Silahisabungan dompak Silalahi Nabolak tu tano naung tinodo na i. Songon i Siraja Oloanlaho ma dompak Bakkara tu tano naung ni idana i.
Di si ma di bahen nasida be ma asa asing-asing adatna di Horja mangaliat horbo sian na binahen ni Sibagot ni Pohan. Alai anggo Siraja Oloan, diuba dohot di ose do muse padan dohot bulanna i, ai gabe dos do pangulahonna dohot Sibagot ni Pohan di horja mangaliat horbo i. Ala tarsunggul do tu rohana hatigoran dohot hasintongan di an niidana dohot na binotona taringot tu sakti rea binahen ni amana Tuan Sorimangaraja II. Di ida do raga-raga gantung di rumabolon marsi guri-guri sijonggi, piso surik dohot daung simaligas dohot daung napandang, jonok tu pangumbari pamelean di jabu, molo pamelean di alaman manang di balian, ima langgatan si tolu suhi-suhi si tolu goli-goli.
“TINAMPUL BULUNG SIHUPI, PINARSAONG BULUNG SIHALA,
UNANG TARSOLSOL DI PUDI, NDADA SIPAINGOT SOADA”
Dilaon-laon ni ari disada tingki masa do logo ni ari sinanggar-nanggar di tano Baligeraja, marsik do gulu-guluan dohot mual, rahar sua-suanan mosok dohot duhut-duhut dibahen logo ni ari i, jadi nunga tung hasit dapot ngolu ni halak dohot pinahan maesa do roha mahiang daging melos bohi sai holan na mangholsoi, marangkup do muse sahit butuha dohot ngenge nabirong tu jolma dohot pinahan godang do na mate ala ni sahit-sahit i.
Ala ni i di jou Sibagot ni Pohan ma Datu dohot Sibaso partondung na utusan, poralamat pandang torus asa diilik ditondung parmanukon siaji nangkapiring, aha do alana umbahen pola masa songon i. Dung disungkun Datu dohot Sibaso marhite tandung i, tarida ma di jaha-jaha ni tondung parmanukon i songon on: Ingkon marsahata, mardenggan do Sibagot ni Pohan dohot anggina na tolu i, topoton na, elekonna, taguonna molo na mardandi, apulonna molo na tangis. Ai adat Raja do “Sitogu na mardandi dohot siapul na tangis”
Alai nunga matuabulung Sibagot ni Pohan, anak na Tuan Sihubil ma disuru wakilna manopot dohot mangelek-elek angka anggina na tolu i, asa mardenggan nasida, marsiamin-aminan songon lampak ni gaol, marsitungkol-tungkolan songon suhat di robean asa mardame nasida marindahan sinaor, jala borothonon ni Sibagot ni Pohan ma sada horbo ambangan nasida asa ro udan paremean sipagabe na niula.
Dungi laho ma Tuan Sihubil dihondor ma solu bolon huhut mardoal-doal. Jumolo ma ibana sian Laguboti manopot Sipaettua, dungi tu Bakkara manopot Siraja Oloan, sian i muse tu Silalahi monopot Silahisabungan. Alai sai masigilingan hata ma nasida na tolu marningot padan dohot parbulanan nasida. Gabe ndang adong hata na hantus mangolohon nanggo sada sian nasida na tolu. Gabe marsak ma rohani Tuan Sihubil, alai di namulak nasida sian Silalahi, mamolus ma nasida sian Tolping dung dibege isi ni Tolping i suara ni doal i sahat tu pasir nasida rongom ma ro jolma sian huta dohot angka dakdanak na marmahan disi toho muse adong angka ina marsigira di topi pasir i. Dung disungkun ise adong tubu ni Silahisabungan di napungu i pintor di tangkup nasida ma Sigiro gl Raja Parmahan, ima anank ni Pintubatu sian Tolping pahompu ni Silahisabungan ma i sian anak hajut , ima di usung nasida daon impol sian pardalanan nasida i.
Dung i borhat ma nasida muse sian i mangulahi ma muse nasida laho dompak Bakkara mangelek-elek Siraja Oloan. Leleng do jolo sai dijuai marningot padanna dohot Sipaettua dohot Silahisabungan. Alai dung sai dipingkiri ibana taringot tu hasusaan ala ni leleng ni logo ni ari i dohot sahit-sahit na pamate jolma dohot pinahan di tano Bona Pasogit i, mulak ma rohana mangoloi elek-elekna i mardomu muse nunga pola diida Siraja Oloan diboan nasida pahompu ni Silahisabungan hira songon singkat ni langkana.
Ala nunga diloloi Siraja Oloan elek-elek nasida i, dilehon nasida ma tu Siraja Oloan sada ulos Suri-suri Ganjang, dungi rap bothat ma nasida tu tano Baligeraja. Asa gabe adat do muse silehon ulos hahana tu anggina jala mardongan parbue bota-bota. Sahat dope binoto muse sono i di Harajaon Singamangaraja, molo ditopot angka Raja Porbaringin Raja i tu Bakkara, ulos suri-suri ganjang do dilehon dohot parbue bota-bota, songon hamauliateon ni roha marningot adat na sian sijolo-jolo tubui.
Andorang so sahat dope solu nasida tu topi pasir Balige, nunga masibegean soara ni doal sian tao dohot soara ni doal na manomu-nomu di pasir. Manortor ma Raja Solu Tuan Sihubil di ulu ni solu i, mallutuk mardorop ma soara ni hole, dipahusor-husor ma jolo solu i tolu hali dompak tao, ipe asa sipasahat tu pasir. Martopap ma jolma i sude marhoras-horas, diiringhon doal na dua bangunan i Siraja Oloan dohot Siraja Pormahan margondang dalan sahat tu huta.
Dung pajumpang dohot Sibagot ni Pohan nasida na ro i, masitabian masipasauran dama ma nasida huhut tangis be ala ni sihol nasida. Diummai ma dohot Siraja Pormahan, dipabolak ma amak hundulan di jolo ni rumabolon i hundul be ma manangihon barita ni pardalanan ni Tuan Sihubl dohot pardapot ni Siraja Pormahan dohot pangoloi ni Siraja Oloan.
Marsogot na i diborothon nasida ma horbo ambangan i, ditortori Siraja Oloan dohot Siraja Pormahan ma jolo laho mangaliat horbo i, saiu marria-ria marolop-olop jala marhoras-horas ma nasida saluhutna ama dohot ina, dung sae tortor liatan i martonggo ma Sibagot ni Pohan paboahon naung marsahata nasida marsidengganan maruli ni roha. molo tung adong na sintak maebur songon parabit ni na so ra malo, na tu jolo tu pudi songon pamgambe ni paronan, asa gundur pangalumi, ansimu pangalamboki, di na hurang di na lobi asa di lambok-lamboki Mulajadi Nabolon, Dewata Natolu dohot Sahala ni Ompu dohot Ama.
Dung i amanta Datu dohot Boru Sibaso ma muse martonggo manggoki gondang i, pintor mardobor-dobor ma langit paboa udan. Ro ma udan mansai gogo situtu. “Mago do logo ni ari tolu taon onom bulan dibahen udan sadari” pintor rata ma duhut-duhut. Siraja Oloan pe di pataru ma muse mulak tu Bakkara.
Sumber: Pusata Tumbaga Holing
TUAK DAN MASYARAKAT BATAK TOBA
Tuak dalam Masyarakat Batak Toba:
Apa Sebenarnya Tuak dan Pengertian Tuak dalam Masyarakat Batak Toba
Tuak merupakan sadapan yang diambil dari mayang enau atau aren ( Arenga pinnata). Kalau dalam bahasa Indonesia, sadapan dari enau atau aren disebut nira. Nira tersebut manis rasanya, sedangkan ada dua jenis tuak sesuai dengan resepnya, yaitu yang manis dan yang pahit (mengandung alkohol).
Hatta Sunanto [1983:17], seorang Insinyur pertanian, menerangkan:
"Di Indonesia, tanaman aren dapat tumbuh baik dan mampu berproduksi pada daerah-daerah yang tanahnya subur pada ketinggian 500-800m di atas permukaan laut. Pada daerah-daerah yang mempunyai ketinggian kurang dari 500m dan lebih dari 800m, tanaman aren tetap dapat tumbuh namun produksi buanya kurang memuaskan."
Pohon enau atau aren dinamai bagot dalam bahasa Batak Toba. Di kecamatan Balige yang berketinggian sekitar 900m di atas permukaan laut, banyak bagot tumbuh sendiri. Dan bagot inilah yang tetap digunakan untuk menyadap tuak. Sedangkan di Medan yang hampir sama tingginya dengan permukaan laut, bagot tidak bertumbuh. Oleh karena itu, orang Medan mengambil sadapan dari pohon kelapa. Namun setelah diproses, minuman itu tetap dinamai tuak dalam masyarakat Batak Toba.
Produksi dan Distribusi Tuak
Saya menggambarkan dahulu mengenai produksi dan distribusi tuak di kampung halaman Batak Toba. Sebagaimana telah disinggung di atas, penyadap tuak disebut paragat ( agat = semacam pisau yang dipakai waktu menyadap tuak) dalam bahasa Batak Toba. Setelah dipukul tandan berulang-ulang dengan alat dari kayu yang disebut balbal-balbal selama beberapa minggu, baru dipotong mayangnya. Kemudian membungkus ujung tandan tersebut dengan obat (kapur sirih atau keladi yang ditumbuk) selama dua-tiga hari. Dengan prosedur ini barulah milai datang airnya dengan lancar. Seorang paragat menyadap tuak dua kali sehari, yaitu pagi dan sore.
Tuak yang ditampung pagi hari dikumpulkan di rumah paragat. Setelah ujicoba rasanya, paragat memasukkan ke dalam bak tuak sejenis kulit kayu yang disebut raru supaya cocok rasanya dan alkoholnya. Raru inilah yang mengakibatkan peragian.
Resep membuat tuak berbeda-beda sedikit demi sedikit tergantung para paragat .
Resep masing-masing boleh dikatakan "rahasia perusahaan," maka tidak tentu siapa pun bisa berhasil sebagai paragat. Paragat harus belajar dahulu cara kerjanya. Biasanya anak seorang paragat mengikuti orang tuanya untuk belajar "rahasia" tersebut. Sepanjang saya ketahui, tidak ada paragat perempuan, mungkin karena kegiatan paragat sehari-hari yang turun ke jurang, menaiki pohon bagot dan membawa tuak yang tertampung ke kampung sangat keras untuk perempuan. Di desa LNH yang berjumlah kurang lebih 1,000 orang penduduknya, terdapat delapan orang paragat yang aktif. Semuanya ini laki-laki saja.
Sebagian paragat membuka kedai tuak sendiri, tetapi pada umumnya sebagian besar paragat menjual tuak kepada kedai atau agen tuak. Dengan dekimian paragat mendapat uang tunai setiap hari, maka taraf kehidupan paragat lebih tinggi daripada standar di desa LNH.
Di Medan tuak dibawa dari Percut, wilayah yang terletak di luar kota Medan. Di situ ada kebun kelapa khusus untuk mengambil tuak. Cara produksi tuak dari pohon kelapa hampir sama dengan tuak dari bagot.
Kebiasaan Minum Tuak dalam Kehidupan Sehari-hari
Di daerah Tapanuli Utara, biasanya laki-laki yang menyelesaikan kerjanya berkumpul di kedai pada sore hari. Mereka berbincang-bincang, menyanyi, memain kartu, bercatur dan menonton televisi, sambil minum tuak. Pada umumnya seorang petani biasa minum tuak beberapa gelas sehari. Pada tahun 1997 segelas tuak berharga Rp. 300 di desa LNH. Kalau laki-laki, baik yang muda maupun yang tua minum tuak di kedai, tetapi jarang terdapat perempuan yang minum tuak di kedai bersama laki-laki, kecuali pemilik kedai atau isterinya. Ada juga laki-laki yang membeli tuak di kedai dan membawa botol yang terisi tuak ke rumahnya atau ke rumah kawannya untuk minum tuak di situ.
Sedangkan di kota Medan, laki-laki Batak Toba tidak tentu mempunyai kebiasaan minum tuak. Menurut informasi dari beberapa perantau Batak Toba dan observasi serta wawancara di lapo tuak, kebiasaan minum tuak tidak berhubungan dengan status sosial-ekonominya, melainkan berkaitan dengan tahap generasi migran. Dengan kata lain, perantau generasi pertama yang berasal dari Tapanuli Utara lebih cenderung minum tuak di Medan: bukan hanya orang-orang yang berstatus rendah sosial-ekonominya seperti tukang becah, tetapi yang agak tinggi stasus sosial-ekonominya seperti pegawai negeri juga minum tuak. Segelas tuak di Medan harganya kurang lebih Rp. 300 juga.
Pemakaian Tuak pada Kesempatan Tertentu untuk Kaum Wanita
Biasanya kaum wanita Batak Toba tidak minum tuak. Namun demikian, menurut tradisi Batak Toba, wanita yang baru melahirkan anak minum tuak untuk memperlancar air susunya dan berkeringat banyak guna mengeluarkan kotoran-kotoran dari badannya.
Selama saya berada di desa LNH, seorang wanita muda melahirkan anak. Mertuanya menyediakan tuak untuk wanita tersebut, dan dia minum tuak setiap kali merasa haus. Dia minum tuak sebagai gantinya air minum, selama paling sedikit satu minggu setelah melahirkan anak.
Tetapi tidak tentu semua wanita Batak Toba yang baru melahirkan anak minum tuak. Wanita-wanita yang tinggal di kota-kota di perantauan seperti Medan biasanya tidak minum tuak, walaupun melahirkan anak. Mereka lebih cenderung minum bir hitam, susu atau obat sesuai dengan kemampuannya dan kesukaannya untuk memperlancar air susunya.
Wanita tua pada umumnya mengakui bahwa mereka minum tuak ketika melahirkan anak semasa mudanya. Tetapi sebagian wanita muda yang tinggal di kampung tidak pernah minum tuak selama menyusui anaknya. Mereka menjelaskan alasan tidak minum tuak bahwa mereka merasa pening kalau minum tuak.
Penggunaan Tuak dalam Upacara Adat
Tuak yang ada hubungannya dengan adat adalah tuak tangkasan: tuak yang tidak bercampur dengan raru. Tuak aslinya manis. Tuak yang manis disebut tuak na tonggi dalam bahasa Batak Toba. Karena tuak itu berasal dari mayang bagot, maka perlu diketahui legenda keberadaan batang bagot. Seorang tokoh adat yang tinggal di Balige memberitahukan legenda tersebut sebagai berikut:
Putri si boru Sorbajati dipaksa orang tuanya kawin dengan seorang laki-laki cacat yang tidak disukainya. Tetapi karena tekanan orang tua yang sudah penerima uang mahal, si boru Sorbajati meminta agar dibunyikan gendang di mana dia menari dan akan menentukan sikap. Sewaktu menari di rumah, tiba-tiba dia melompat ke halaman sehingga terbenam ke dalam tanah. Kemudian dia menjelma tumbuh sebagai pohon bagot, sehingga tuak itu disebut aek (air) Sorbajati.
Karena perbuatan yang membunuh diri itu dianggap sebagai perbuatan terlarang, maka tuak tidak dimasukkan pada sajian untuk Dewata. Tuak hanya menjadi sajian untuk roh-roh nenek moyang, orang yang sudah meninggal dan sebagainya. Tuak bermasuk sebagai minuman adat pada dua upacara adat resmi, yaitu (1) upacara manuan ompu-ompu dan (2) upacara manulangi.
Ketika orang yang sudah bercucu meninggal, ditanam beberapa jenis tanaman di atas tambak. Tambak pada aslinya merupakan kuburan dari tanah yang terlapis, tetapi kuburan modern yang terbentuk dari semen pula disebut tambak. Menurut aturan adat, air dan tuak harus dituangkan pada tanaman di atas tambak. Tetapi sekarang ini biasanya yang dituangkan hanya air saja, atau paling-paling tuak yang mengandung alkohol.
Dalam upacara manulangi, para keturunan dari seseorang nenek memberikan makanan secara resmi kepada orang tua tersebut yang sudah bercucu, dimana turunannya meminta restu, nasehat dan pembagian harta, disaksikan oleh pengetua-pengetua adat. Pada waktu memberikan makanan harus disajikan air minum serta tuak. Menurut informasi dari tokoh-tokoh adat dan observasi secara langsung, air minum dan tuak dua-duanya tetap disajikan kepada orang tua yang disulangi.
Tulisan di atas adalah Artikel ilmiah dari seorang berkebangsaan Jepang bernama Shigehiro IKEGAMI. Selama enam tahun sejak tahun 1992, beliau mempelajari dinamika sosial dan kebudayaan dalam masyarakat Batak Toba.
Selengkapnya dapat dilihat di
Rabu, 20 Mei 2009
PUSUK BUHIT, GUNUNG LELUHUR BATAK
PUSUK BUHIT, GUNUNG LELUHUR BATAK
14 05 2008
Konon Siboru Deak Parujar turun dari langit. Dia terpaksa meninggalkan kahyangan karena tidak suka dijodohkan dengan Siraja Odap-odap. Padahal mereka berdua sama-sama keturunan dewa. Dengan alat tenun dan benangnya, Siboru Deak Parujar yakin menemukan suatu tempat persembunyian di benua bawah. Alhasil, dia tetap terpaksa minta bantuan melalui burung-suruhan Sileang-leang Mandi agar Dewata Mulajadi Nabolon berkenan mengirimkan sekepul tanah untuk ditekuk dan dijadikan tempatnya berpijak. Namun sampai beberapa kali kepul tanah itu ditekuk-tekuk, tempat pijakan itu selalu diganggu oleh Naga Padoha Niaji. Raksasa ini sama jelek dan tertariknya dengan Siraja Odap-odap melihat kecantikan Siboru Deak Parujar. Akhirnya Siboru Deak Parujar mengambil siasat dengan makan sirih. Warna sirih Siboru Deak Parujar kemudian semakin menawan Naga Padoha Niaji. Dia mau tangannya diikat asal yang membuat merah bibir itu dapat dibagi kepadanya. Namun setelah kedua tangan berkenan diikat dengan tali pandan, Siboru Deak Parujar tidak memberikan sirih itu sama sekali dan membiarkan Naga Padoha Niaji meronta-ronta sampai lelah.
Bumi yang diciptakan oleh Siboru Deak Parujar terkadang harus diguncang gempa. Gempa itulah hasil perilaku Naga Padoha Niaji. Namun ketika guncangan itu mereda Siboru Deak Parujar mulai merasa kesepian dan mencari teman untuk bercengkerama. Tanpa diduga dan mengejutkan, diapun bertemu dengan Siraja Odap-Odap dan sepakat menjadi suami-istri yang melahirkan pasangan manusia pertama di bumi dengan nama Raja Ihat dan Itam Manisia. Pasangan manusia pertama inilah yang menurunkan Siraja Batak sebagai generasi keenam dan menjadi leluhur genealogis orang Batak.
Umumnya orang Batak percaya kalau Siraja Batak diturunkan langsung di Pusuk Buhit, sebuah bekas gunung vulkanis dekat Pangururan (ibukota Kabupaten Samosir).
Pusuk Buhit Difoto dari TELE 13 Mei 2008
Siraja Batak kemudian membangun perkampungan di salah satu lembah gunung tersebut dengan nama Sianjur Mula-mula Sianjur Mula Tompa yang masih dapat dikunjungi sampai saat ini sebagai model perkampungan pertama. Letak perkampungan itu berada di garis lingkar Pusuk Buhit,. di lembah Sagala dan Limbong Mulana. Ada dua arah jalan daratan menuju Pusuk Buhit. Satu dari arah Tomok (bagian Timur) dan satu lagi dari dataran tinggi Tele.
Perkampungan Siraja Batak Difoto tanggal TELE 13 Mei 2008
Di depan pemukiman ini, berkisar 100m ada sebuah tempat suci yang diyakini sebagian orang Batak sebagai tempat harta kekayaan dari Guru Tatea Bulan yang bernama Batu Hobon.
Batu Hobon Difoto tanggal 13 Mei 2008
Sebelum menaiki puncak Pusuk Buhit Anda perlu berkeliling lingkar jalan tersebut sambil menikmati pemandangan ke kawasan hijau lembah, bukit, dan arah Danau Toba. Celah di bagian lingkar Timur Pusuk Buhit juga ada air hangat yang mengandung belerang jika angin pegunungan Bukit Barisan ternyata membuat badan semakin dingin menjelang malam.
Tempat Pemandian Air Panas Si Naibaho Difoto tanggal 13 Mei 2008
Setelah itu Anda dapat meneruskan rencana mencapai puncak Pusuk Buhit lewat jalan dan petunjuk dari perkampungan itu. Ketinggian Pusuk Buhit mencapai 1077 meter dari permukaan danau. Semoga dari puncak Pusuk Buhit Anda merasa akan dapat mencapai langit waktu bintang-bintang berkedipan di angkasa sebelum matahari terbit.
Sumber dari : simarmata.wordpress.com
Selasa, 31 Maret 2009
Anak Raja Toga Laut Pardede mencari Jodoh
HUTUR BALLUK
Lumban Jabijabi - Balige
Alkisah dimulai dari sebuah keluarga Raja Toga laut Pardede yang bermukim di lumban Jabijabi Balige, (sekarang tugu Panjaitan berdiri,dan dprd). Sudah tiga hari hujan tidak henti-hentinya membasahi bumi, Sedangkan keluatga dekat dalam keadaan khawatir menunggu kelahiran anak pertama dari Raja Toga Laut , bersamaan suara guntur terdengar suara bayi, mendadak seisi rumah bergembira, segala puji-pujian dilantunkan sanak keluarganya kepada oppu Mulajadi Na Bolom (pada saat itu belum ada agama samawi)
Seorang anak laki-laki (putra pertama) telah hadir dalam keluarga Raja Toga Laut Pardede, yang diberi nama "Hutur Baluk" dari seorang ibu boru Samosir
Memang apa yang dikatakan orangtua "dang dao tumis sian bonana", begitulah suatu perumpamaan tentang perangi Hutur Baluk yang hampir sama dengan perangai dari Raja Toga Laut Pardede setelah Hutur BAluk beranjak dewasa, kebijaksanaan, kharisma dan ketangkasan dan sebagainya sangat menonjol
Pada suatu hari setelah Hutur Baluk dewasa sang ibu menyuruh anaknya untuk pergi martandang kekampung Tulamgnya, karena ibunya sangat ingin bermenantukan boru dari itonya sendiri, keinginan ibunya tidak ditolaknya, setelah mohon doa restu dari kedua orang tuanya, Hutur Balukpun berangkatlah kekampung Tulangnya, dengan berbekal sedikit pengetahuan tentang tabiat dari tulangnya yang terbilang keras, untuk itu dia dibekali dengan strategi menghadapi tulangnya yang baik hati itu.
Singkat cerita Hutur Balukpun sampailah kekampung Tulangnya, sesampai dirumah tulangnya, dia ditegur seorang wanita setengah berumur "Siapa kau tanyanya", HUtur Balukpun menjawabdengan penuh hormat karena tahu wanita itu adalah pasti Nantulangnya, sembari dia menyodorkan tangannya untuk menyalam wanita itu "Ahu si Hutur do nan tulang" sian Balige. "Ba ho do i hape bere, tu jabu ma hita", sambut Nan tulangnya dengan senang dan gembira akan kehadiran berenya (anak dari edanya yang kawin dengan Raja Toga Laut Pardede yang bernama Ramot Parulian boru Samosir}
"Rumita bahen jo minuman ni pariban mon", seru Nantulangnya memanggil Borunya sambil mengasi tahu anak namborunya dari BAlege datang."Olo Inong" sebuah suara dari arah dapur menjawab, Hutur Baluk mendengar suara itu saja sudah membayangkan kecantikan boru tulanngnya, diapun tidak sabar melihat boru tulangnya yang berna si Rumita. Seorang gadis desa muncul dari dapur dengan membawa secangkir minuman,Mata Hutur Baluk tidak lepas memandangi sang gadis si boru tulang, meskipun gadis desa yang masih terbilang belia, namun kecantikannya lumayan mempesona. Tingkah Hutur Baluk tidak lepas dari perhatian nantulangnya.
"Satokin nai mulak ma tulang mu sian pasar", tegur nantulangnya membelah keheningan, Hutur tersentak akan seruan nantulangnya.Tidak berapa lama muncul seorang laki-laki yang sudah berumur dan sangat berwibawa. Hutur Baluk Tahu pasti itu Tulangnya , tanpa menunggu nantulangnya memeperkenalkannya dia langsung menyalami Tulangnya. "Siapa kau" tanya pendek dengan bahasa toba samosir yang sangat medok. Anakni Amang ( sebuah panggilan terhadap besan)par Balige do hasida, Oo, jawabnya singkat, "sudah makan kau" tanya tulangnya lagi, kembali sang nantulang menjawab "tetapi menunggu tulangnya dia katanya baru mau makan". Maka merekapunmakan bersama-sama
Tulang Hutur Baluk dikenal di Onan Runggu samosir sebagai Paruma Bolon, dan sangat berwibawa dan tegas dalam memutuskan sesuatu, kepribadian tulangnya tersebut dari awal sudah diberi tahu oleh Ibunya, Tulangnya sudah mengerti apa tujuan Hutur Baluk Datang,oleh karena itu sang tulang akan menguji berenya untuk mengetahui sejauh mana tanggung jawab berenya itu kalau borunya si Rumita jadian dengan Hutur BAluk, apakah sama besar tanggung jawabnya dengan Bapaknya si Raja Toga LAut
Didalam tradisi Batak apabila orang tua menyuruh anaknya pergi berkunjung (martandang) ke kampung tulangnya maka siorang tua sudah cukup yakin bahwa sianak tidak akan mempermalukan mereka, secara tidak langsung mereka ingin memberitahu besannya (hula-hulanya) bahwa mereka telah berhasil mendidik anak mereka dengan baik, dan layak untuk diambil sebagai menantu.
Oleh karena itu Tulang Hutur paruma bolon mulai menatar berenya, mulai dari bertani (ke hauma), betrnak (marmahan) kerbau samapai adu kanuragan berupa berpencak silat , semuanya dapat dilalu Hutur Baluk dengan baik, Tulangnya pun sangat bangga akan berenya itu, dan sikapnyapun berobah, sangat menyayangi berenya tersebut.
Hutur Baluk selalu berusaha mendekati Rumita si boru tulang tetapi selalu sia-sia, meskipun demikian HUtur Baluk tidak terlalu kesepian atau jenuh di kampung tulangnya kebetulan ito dari Rumita ada tiga orang. (Putra dari pa Ruma Bolon ada tiga orang. 1- Op.Sori Batu.2- Op. Raja podi. 3- Raja Baringin), dengan mereka-mereka inilah Hutur Baluk bergaul selama di Onan Runggu Samosir kampung Tulangnya.
Setelah berapa lama Hutur Balukun berniat pulang ke BAlige, sedangkan niatnya untuk memeprsunting boru tulangnya (boru samosir) mengalami kendala karena Rumita telah dijodohkan tulanngnya kepada pria lain namun demikian Tulangnya mencoba menjodohkannya dengan adik Rumita,tetapi Hutur Baluk tidak begitu tertarik karena dia sudah termakan pandangan pertama pada Rumita, Dengan berjiwa besar Hutur baluk menolak niat baik tulangnya, sebagai anak Raja Hutur Baluk memohon pamit pada tulangnya.
"Tulang mulak ma jolo ahu tulang, alana nunga tung mansai masihol ahu tu dainang di huta," Hutur berpamitan dengan alasan rindu kepada ibunya, mendengar kata-kata berenya si Nantulang Miris, dia merasakan kekecewaan berenya. NAmun Hutur Baluk tidak seperti dugaan nantulangnya, bagi dia kewajibannya sebagai anak dan juga bere sudah dilaksanakan, dalam adat batak apabila seorang anak laki-laki berniat untuk berumah tangga , maka orang tuanya menyuruh anaknya martandang kekampung tulangnya atau harus terlebih dahulu menjajakinya(menanyai) Tulangnya,
Seperti dikatakan diatas tadi Hutur Baluk tidak terlalu kecewa setelah mengetahui tambatan hati dalam pandangan pertama Rumita telah dijodohkan, dengan diantar semua keluarga tulangnya Hutur BAluk pun pulang ke Balige, dengan dioleholehi seperangkat pusaka oleh tulangnya.Sesampainya di Balige Hutur Baluk berusaha menunjukkan kegembiraan didepan Inongnya(ibunya),
"Bagaimana amang, kabar tulang dan nan tulangmu" tanya Ibunya pada HUtur Baluk, "Tulang dan Nantulang sehat-sehat saja dan aka Lae dan pariban itu semua baik-baik sama aku kata Hutur Baluk menyenangkan hati Ibunya, Cantikkan boru tulang mu si Rumitan itu, susul ibunya bertanya pada Hutur Baluk tak sabar, Cantik sekalipun Inong, tetapi sudah dijodohkan tulang rupanya, jadi aku terlambat kata Hutur Baluk sambil ketawa, takut dia melihat kedua orang tuanya kecewa. "Apa kau bilang" seru ibunya setengah berteriak, "Si Rumitan dijodohkan dengan orang lain tanpa sepengetaguanku!, lanjut ibunya dengan penuh kekecewaan.
"Sudahlah, memang kita yang salah", potong among nya Hutur Baluk si Raja Toga Laut Pardede, meredakan kekecewaan isterinya si boru samosir. "Semua orang akan berebut mengambil borunya lae si paruma Bolon menjadi menantunya, siapa cepat pasti dia yang dapat, kalau tidak cepat dan tangkas aku dulu belum tentu boruni rajai dapatku", kata Siraja Toga Laut Pardede sambil guyon memujimuji isterinya, akhirnya Siboru Samosir ibunya Hutur Balukpun dapat tenang, tidak mengumpat dan marah-marah lagi, meskipun dalam hatinya dia sedih dan kecewa. Tetapi melihat anaknya sedikitpun tidak menunjukkan kekecewaan, si boru samosirpun dapat memaklumi, sembari mengamati anaknya si Hutur Baluk dalam hatinya dia berkata sendiri bahwa anaknya bukan lah pemuda sembarangan, sejak anaknya Hutur Baluk Sepulang dari kampung Tulangnya bertamabh cakap,matang Ganteng, pintar, dan sakti, Si Boru Samosir yakin itonya pasti mengajari anaknya dengan bermacam-maca ilmu, hal inilah yang membuat si ibu tenang, masalah jodoh anaknya sangat banyak anak gadis orang yang berebut jadi isteri dari anakku itu pikir si boru Samosir membesarkan hatinya.
Suatu hari Hutur Baluk berpamitan dengan kedua orang tuanya karena dia denga kawan-kawannya mau jalan-jalan (martandang) ke uluan , Raja Toga Laut hanya berpesan kepada anaknya agar tidak membuat masalah dikampung orang, danbertingkah lakulah seperti anak raja (Raja pangalahom), mudah-mudahan kau akan mendapat hal-hal yang baik (parsaulian), setelah mendapat bekal dari orang tuanya diapun berangkat dengan kawan-kawannya.
Hutur Baluk sekedar mengikuti kawan-kawan saja karena mereka sudah cukup lama berpisah, selama ditinggal nya pergi kekampung tulangnya di Onan runggu Samosir, mereka sampai ke sibisa martandang dari kampung yang satu kekampung yang lain, disetiap kampung mereka diterima dengan baik karena ke empat pemuda tersebut bertingkah laku baik dan sopan santu layaknya anak raja. Dua kawan Hutur Baluk sudah mendapat pasangan tambatan hati, namun Hutur Baluk belum juga tergerak hatinya untuk menggoda anak gadis disetiap kampung yang singgahi mereka, hingga kahirnya tinggal dua orang mereka belum menemui pasangan yang cocok , sedangkan teman nya yang dua orang lagi sudah asyik bercengkrama dengan pasangannya yang bermarga boru Manurung dan boru Torus, berselang berapa lama kawannya yang bermarga Siahaan pun menemui gadis idamannya boru sirait, melihat kawannya yang bermarga siahaan itu juga sudah mendapat pasangan Hutur Balukpun merasa kecil hati, sebenarnya tanpa disadari cukup banyak gadis-gadis mengharap Hutur Baluk melirik mereka dan mangajaknya marhusip- husip (berbincang bincang). akhirnya tingal dia sendiri yang belum mempunyai pasangan, tanpa diduganya melintas dihadapannya seorang anak gadis yang mirip dengan boru tulangnya si Rumita boru Samosir, dia tersentak dari lamunannya dan langsung menegur anak gadis tersebut: " Rumita!" tegur Hutur Baluk sekenanya, sigadis tersebutpun menoleh ke arah Hutur Baluk, "ahai ito", jawab sigadis dengan suara yang lembut , membuat Hutur Baluk terpana sambil berbisik dihatinya, tak kusangka bisa aku menemui gadis yang rupawan mirip dengan boru tulangku bahkan lebih manis lagi, suaranyapun mirip dengan Rumita, hanya lesung pipitnya mebuat perbedaannya dengan Rumita. Penemuan tersebut membuat Hutur Baluk tidak perduli lagi akan ajakan teman-temannya untuk pulang, "Kalianlah duluan jawabnya tegas. Karena mereka berteman sejak kecil maka teman-temanyapu tidak tega meninggalkan Hutur Baluk sendirian di Uluan.
Setelah tiga hari merekapunpulang ke Balige, dengan membawa kenangan manis, mereka telah menemui jodoh mereka, tinggal pelamaran dari pihak orang tua mereka kepihak keluarga perempuan.
Setelah tiba saatnya maka berangkat lah utusan si RAja Toga LAut Pardede ke Uluan melamar si Boru Parnoboto boru Sirait. untuk menjadi Parsoduk bolon (isteri) dari Raja Hutur Baluk Pardede
Sekianlah dulu turi-turian ini disajikan kalau ada kurang dan lebihnya mohon dimaafkan, kami sangat mengharap perbaikan-perbaikan, agar tidak sebatas wacana kisah tersebut diatas.
Catatan:
1- Semoga dapat menambah kecintaan pada nak keturunan Raja toga Laut-Thp.
2- Untuk menambah motivasi bagi keturunan Raja toga Laut Pardede, kami mengharapkan tulisan-tulisan baik berupa mytos dan cerita orang tua kita - Thanks
3- dan dapat menghubungi e'mail: "Togapard@yahoo.com"
Senin, 02 Maret 2009
PERLU KITA MENGENAL YANG AKAN MENJADI PEMIMPIN N.K.R.I. YANG PLURALISTIK.
Latar Belakang Sri Sultan Hamengkubuwono X Mencalonkan Diri Menjadi Capres 2009 – 2014
Sejak Pangeran Mangkubumi. Sultan Hamengkubuwono adalah patriotik
Mudah-mudahan kita dapat menyajikan/memperkenalakan beberapa Capres untuk priode 2009-1014
MENGAPA SAYA MENERIMA DESAKAN GERAKAN TIM PELANGI PERUBAHAN UNTUK MENCALONKAN DIRI SEBAGAI KANDIDAT PRESIDEN RI 2009-2014?
Pada bulan April 2006, beberapa teman dari Jakarta – diantaranya Soegeng Sarjadi, Sukardi Rinakit (SSS), Kristanto Hartadi (Sinar Harapan), Nico (Sinar Harapan), Sudaryanto (Pergerakan Kebangsaan) Jusuf Suroso (SSS) Yanto Sugiharto (wartawan) -- menemui saya di Kraton Kilen, Yogyakarta. Kedatangan mereka untuk mendiskusikan masa depan bangsa dan negara. Sebab jelang 10 tahun reformasi, arahnya makin tidak jelas. Dalam diskusi itu berkembang wacana politik masa depan, termasuk sosok pemimpin yang ideal, yang mampu menjawab tuntutan rakyat. Jawaban saya waktu itu, “ya mari kita lakukan bersama-sama”. Saya minta kepada teman-teman untuk mencermati situasi yang masih terus berkembang.
Suhu politik nasional terus berkembang dengan semakin dekatnya pelaksanaan pemilu 2009. Beberapa lembaga survey mulai melakukan jejak pendapat tentang sosok calon presiden, dan nama saya tercantum dalam polling tersebut. Namun hasil jejak pendapat lembaga survey itu cukup dinamis. Oleh karena itu ketika nama saya berada di urutan atas, saya tidak merasa besar kepala. Sebaliknya, ketika ada di urutan bawah saya tidak kecil hati. Dinamika jejak pendapat ini menarik perhatian banyak kalangan dan masyarakat. Dan dengan berjalannya waktu, aspirasi tadi terdengar oleh pihak-pihak lain. Beberapa teman dan komunitas masyarakat datang menemui saya dan mendorong saya agar bersedia menjadi calon presiden 2009. Intinya, saya didaulat untuk melakukan perubahan lewat kesediaan menjadi calon Presiden pada pemilu 2009 melalui apa yang mereka sebut dengan ‘Gerakan Pelangi Perubahan’.
Alasan mereka kurang lebih sama, reformasi baru dalam tataran membebaskan rakyat dari belenggu kekuasaan yang otoriter ke kehidupan yang demokratis. Rakyat bebas berbicara, berunjuk rasa sekedar menentang kenaikan harga. Namun, reformasi belum berhasil mengantarkan rakyat bebas berkreasi, ber-ekspreasi, berproduksi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain reformasi gagal mengantarkan rakyat hidup lebih sejahtera lahir batin. Bahkan, pemenuhan kebutuhan pokok rakyat mulai dari garam sampai pesawat terbang bergantung pada substitusi impor.
Dalam kapasitas saya sebagai Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat, Gubernur/ Kepala Daerah DI Yogyakarta maupun pribadi saya ikut prihatin. Merasa ikut bertanggungjawab terhadap perkembangan terakhir pasca reformasi ini. Namun sesuai dengan konstitusi kedudukan saya sebagai Sultan tidak bisa berbuat banyak untuk membantu rakyat. Keberadaan Kesultanan Yogyakarta terbatas sebagai simbol budaya. Sebagai Gubernur DI Yogyakarta pada era otonomi Daerah Tingkat II, dan saat itu pula keistimewaan Yogyakarta mulai dipertanyakan. Sebagai pribadi bukan hanya prihatin dan berpangku tangan, saya ikut bertanggung jawab terhadap masa depan bangsa dan negara. Maka, ketika ada yang mendorong saya untuk maju menjadi Calon Presiden saya terima kasih. Yang jelas saya tidak berambisi pada kekuasaan apalagi harta. Sesuai dengan kedudukan saya selama ini, saya tidak butuh apa-apa lagi, baik materiil maupun immaterial. Maka, kalau saya harus berkiprah di kancah nasional semata-mata untuk mengabdikan sisa umur saya pada negara dan rakyat Indonesia, sesuai dengan pesan mendiang almarhum Hamengku Buwono IX.
Di tengah-tengah kehidupan masa kini yang cenderung pragmatis, Yogyakarta tidak terelakan dari serbuan gaya hidup seperti itu. Saya berusaha untuk tetap mempertahakan nilai-nilai budaya, serta usaha menjaga kelestarian lingkungan Yogyakarta. Sesuai dengan kultur budaya masyarakat kita yang paternalistik, saya dituntut memberikan keteladanan bagi segenap warga masyarakat. Satu hal yang tidak mudah untuk dilakukan adalah kebiasaan raja-raja dimasa lalu yang mempunyai lebih dari satu isteri. Dan sudah menjadi tradisi, manakala seorang raja tidak memiliki anak laki-laki sebagai calon pengganti, salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan melakukan poligami. Tetapi saya berkeputusan untuk tidak melakukan itu. Mengapa ? Karena trah Kesultanan Yogyakarta bukan hanya saya, tetapi masih ada saudara saya yang lain.
Paska reformasi memang telah melahirkan banyak anak-anak muda di panggung politik nasional. Tetapi ternyata dalam waktu 10 tahun terakhir ini belum ada tanda-tanda lahirnya pemimpin baru yang mampu menjawab berbagai problematik dan tantangan masa depan bangsa ini. Krisis ekonomi yang terjadi ternyata berimbas pada krisis multi-dimensi, termasuk krisis kepemimpinan. Sementara kita belum bisa keluar akibat krisis 1998, kini sudah dihadapkan pada krisis global yang dampaknya lebih dasyat lagi. Ini tantangan warga bangsa ini untuk menghadapinya, termasuk memilih calon pemimpin yang mampu dan memiliki konsep untuk menghadapi krisis global tersebut.
Selasa 28 Oktober 2008 lalu. saya harus menjawab pertanyaan dan desakan warga bangsa ini, tentang kesiapan saya untuk mengantarkan mereka menuju masa depan Indonesia kearah yang lebih baik, dengan jalan saya harus bersedia menjadi presiden periode 2009-2014. Adapun tugas yang terutama adalah untuk menyiapkan konsep bagaimana Indonesia keluar dari krisis baru dan mengantarkan pemimpin masa depan bangsa ini.
Kesanggupan saya untuk menerima daulat rakyat ini berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
Pertama, meski terlahir dalam lingkungan istana kerajaan, semangat keberpihakan kepada rakyat dan komitmen pada perjuangan bangsa selalu tertanam dalam diri saya. Karena komitmen seperti itu telah menjadi pilihan sikap dan tradisi keluarga. Komitmen Kasultanan Yogyakarta pada perjuangan bangsa Indonesia tidak perlu diragukan lagi.
Dalam buku otobiograpi Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang berjudul “Tahta Untuk Rakyat”, jelas sekali digambarkan bagaimana keberpihakan beliau pada rakyat telah lama menjadi semangat dan jiwa yang melekat pada diri sultan-sultan Yogyakarta dalam menjalankan kepemimpinannya. Semangat dan jiwa keberpihakan pada rakyat ini juga merupakan pengamalan dari konsep filosofis “Manunggaling Kawulo-Gusti”, yang berarti bersatunya rakyat dengan pemimpin dalam mewujudkan cita-cita bersama.
Sejarah membuktikan bahwa Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat mampu menjalankan komitmennya untuk membela kepentingan rakyatnya. Hamangku, Hamengku dan Hamengkoni, dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran serta meningkatkan kualitas hidup rakyat. Bukti sejarah ini juga diungkap dengan jelas dalam memoar Rahmi Hatta (isteri Mohammad Hatta), Mohammad Roem (Diplomat RI pada masa awal kemerdekaan), SK Trimurti (Istri Sayuti Melik – penulis naskah Proklamasi) dan TB. Silalahi, Frans Seda serta Rosihan Anwar (tokoh Pers Indonesia nasional) yang juga dimuat dalam buku “Tahta untuk Rakyat” ini.
Sejarah mencatat bagaimana semangat keberpihakan pada rakyat ini telah menempatkan Yogyakarta menjadi bagian yang penting dalam perjuangan panjang menuju kemerdekaan dan kedaulatan NKRI.
Sejak berdirinya tahun 1755, Kasultanan Yogyakarta menunjukkan perlawanannya pada VOC. Bahkan jauh sebelumnya, saat Sultan Pertama masih bergelar Pangeran Mangkubumi, beliau sudah bahu membahu bersama rakyat melawan VOC. Sikap anti VOC ini yang membuat para ulama dan kiai lalu menggabungkan diri dengan perjuangannya. Lalu terbentuklah jaringan ulama nusantara yang kuat di sepanjang jalur Blora, Madiun, Pekalongan, Banyumas hingga Cirebon.
Dalam bidang keagamaan, Sri Sultan Hamengku Buwono I juga memberikan perhatian yang besar pada masalah spiritualitas dan kegamaan. Dan kasultanan memberikan penghormatan yang tinggi terhadap para kiai atau ulama tarekat yang saat itu dianggap sebagai orang suci. Konsep keraton sebagai kekalifahan juga hasil dari pemikiran para ulama. Dari sini, komunitas-komunitas Islam yang dipimpin ulama menggunakan mesjid sebagai kegiatan umat dan bahkan memberikan kesempata para ulama keraton untuk naik haji ke Mekkah.
Perlawanan terhadap kolonialisme ini diteruskan oleh Sultan berikutnya, hingga masa Daendels sebagai Gubernur Jenderal Belanda dan masa jatuhnya kekuasaan di tanah Jawa ke tangan Inggris pada akhir tahun 1811. Sebagai konsekwensi atas perlawanannya, Yogyakarta diserang bertubi-tubi, dan Sultan pada masa itu ditangkap dan diasingkan. Perlawanan demi perlawanan terus terjadi, termasuk pecahnya Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro dari tahun 1825-1830.
Semangat perlawanan kepada kaum penjajah ini terus berlangsung, tidak hanya dengan mengangkat senjata, tetapi juga dalam wujud perjuangan intelektual, yang ditandai dengan lahirnya Budi Utomo. Pada masa pendudukan Jepang, keberpihakkan pada rakyat ditunjukkan secara lebih taktis. Pada masa itu, Sri Sultan menggerakkan pembangunan selokan irigasi yang dikenal dengan Selokan Mataram sepanjang 50 kilometer lebih untuk menghindari rakyatnya dari kerja paksa (rodi).
Selain keberpihakan pada rakyat, kasultanan Yogyakarta juga berpandangan ke depan dalam konsep kebangsaannya. Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman mengeluarkan amanat yang dikenal dengan nama Maklumat 5 September 1945, yang berisikan ketegasan Nageri Ngayogyakarto Hadiningrat dan Negeri Paku Alaman yang bersifat kerajaan merupakan Daerah Istimewa Yogyakarta dan menjadi bagian dari Republik Indonesia. Dan dukungan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia ini sudah final.
Komitmen dukungan pada NKRI dibuktikan dengan kiprahnya pada masa-masa awal kemerdekaan. Dalam memoarnya, Rahmi Hatta menulis bagaimana kasultanan dengan rela hati menggaji kabinet Presiden Soekarno, termasuk presiden dan wakil presidennya. Bukti kecintaan yang tulus pada Republik ini. Dalam masa-masa sulit itu, Yogyakarta juga pernah dua kali difungsikan sebagai ibu kota RI, yakni pada tahun 1946 dan pada tahun 1949 dengan pertimbangan bahwa Yogyakarta lebih aman dan bahwa pihak kasultanan bersama dengan rakyat Yogyakarta menunjukkan dukungan tegas mereka pada semangat dan cita-cita revolusi.
Konsistensi kecintaan terhadap Indonesia juga terlihat dari penolakan kasultanan terhadap iming-iming kekuasaan dari Belanda pada masa-masa agresi militer I dan II. Sri Sultan waktu itu dengan tegas menolak permintaan Belanda agar tidak ikut campur dalam masalah RI dan Belanda. Dan berangkat dari kasus ini pula kemudian Serangan Umum 1 Maret 1949 dirancang bersama dengan Tentara Rakiyat Indonesia untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Republik Indonesia masih ada.
Semboyan “Tahta untuk Rakyat” tetap relevan dalam era demokrasi saat ini. Bersama-sama dengan mahasiswa dan rakyat, menggelorakan reformasi tahun 1998. Apel akbar atau Pisowanan Agung untuk menggemakan reformasi, yang ternyata berhasil menumbangkan rezim Orde Baru. Pada tahun 2006, dalam sebuah orasi budaya dan politik bertajuk “Malam Bhakti Pertiwi”, dengan kesadaran penuh saya menyatakan tidak bersedia lagi menjadi Guberbur DIY setelah selesainya masa bhakti pada tahun 2008. Di hadapan rakyat, Saya menegaskan pentingnya untuk mengaktualisasikan Roh Yogyakarta dengan roh baru, roh kemajuan, roh demokrasi yang berkeadilan, sesuai akar budaya yang dimiliki dan tantangan masa depan. Sebagaimana tersirat dalam puisi “Kesaksian” yang saya bacakan dalam orasi waktu itu. Suara hati nurani rakyat adalah suara yang harus di dengar, dan atas dasar itu pula seorang pemimpin harus bersikap. Hati rakyat dan hati pemimpin haruslah satu untuk bersama-sama mewujudkan masa depan bangsa yang cerah.
Kedua, saya memang bagian dari Reformasi di Indonesia. Jadi, ini adalah tanggung jawab saya juga untuk meluruskan dan menuntaskan agenda-agendanya.
Sepuluh tahun sudah perjalanan reformasi yang dikumandangkan sejak tahun 1998 lalu. Kini segenap rakyat bisa meng-evaluasi apakah dalam sepuluh tahun ini telah terjadi perubahan ke arah yang lebih baik. Apakah agenda-agenda reformasi telah berjalan sesuai dengan harapan mereka. Apakah demokrasi yang ada saat ini benar-benar dirasakan membawa perbaikan bagi kesejahteraan bangsa dan rakyatnya. Hanya rakyatlah yang bisa menjawab. Dan Pemilu 2009 ini akan menjadi penentu. Penentu apakah rakyat masih percaya dengan janji-janji seperti menjelang pemilu 1999 dan 2004 lalu?
Sejak saat digulirkannya reformasi, saya tidak hanya menunjukkan keberpihakan pada rakyat dalam wujud sikap politik, tetapi juga dalam laku kultural. Saya tergugah untuk ikut turun ke jalan, begitu ada kabar bahwa Yogyakarta akan dilanda kerusuhan. Dan syukurlah situasi di Yogyakarta akhirnya kembali damai dan tenteram. Saya juga berkesempatan untuk bersama-sama dengan teman-teman mengeluarkan Dekalarsi Ciganjur. Sebagai laku kultural, saya juga mendukung lewat laku puasa dan doa. Dan dari awal saya pesankan bahwa reformasi haruslah berjalan dengan damai, tanpa kekerasan, sebagaimana tarmaktub dalam “Maklumat Yogyakarta” yang saya bacakan di depan lebih dari sejuta manusia yang berkumpul di Alun-Alun Utara waktu itu. Dan jika saya dipercaya untuk melaksanakan agenda reformasi ini, mari kita lakukan bersama.
Ketiga, keterlibatan saya dalam Reformasi bukan sekadar dipaksa oleh mahasiswa. Dengan penuh kesadaran, saya mendukung Reformasi karena bangsa Indonesia membutuhkan perubahan.
Perubahan harus dilakukan dan reformasi adalah gerbang utamanya. Tetapi, reformasi bukanlah hanya order baru minus Soeharto lalu selesai, mengingat rezim Orba adalah ibarat rangkaian gerbong-gerbong kereta api yang tidak cukup diganti masinisnya saja. Reformasi bukanlah hanya sekedar penerbitan undang-undang yang baru dan selesai. Reformasi bukan pula hanya penggantian pucuk manajemen atau re-alokasi anggaran. Setelah sepuluh tahun berjalan, belum banyak terjadi perubahan dan perbaikan yang bisa dinikmati oleh rakyat.
Bangsa ini sudah tercabut dari budayanya dan melupakan jati diri bangsanya. Agenda reformasi harus dilanjutkan secara menyeluruh, termasuk pembentukan karakter bangsa, sehingga mampu menghantarkan bangsa ini menuju pemulihan kehidupan yang lebih baik sejajar dengan bangsa-bangsa didunia. Kita harus ciptakan sejarah peradaban baru yang membanggakan bagi segenap karya cipta bangsanya.
Keempat, pentingnya untuk menanamkan kesatuan dan persatuan bangsa dengan menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, dan UUD’45 dan menjaga keberagaman budaya.
Kesatuan dan persatuan bangsa dengan menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945 serta Bhinneka Tunggal Ika adalah harga mati yang harus terus ditegakkan dan dipelihara segenap Bangsa Indonesia. Pemerintah harus mampu bersikap tegas dalam melindungi dan mengayomi seluruh bangsa secara adil, tanpa membedakan golongan, keyakinan, dan agama.
Pancasila harus menjadi dasar dan arahan dari semua kebijakan yang ada. Ini adalah ideologi yang harus tetap dipegang teguh, tidak boleh digantikan. Dan UUD 1945 haruslah menjiwai semua peraturan perundangan yang ada demi terjaganya persatuan Indonesia dan tercapainya cita-cita mewujudnya keadilan sosial dan masyarakat yang adil dan makmur.
Bhinneka Tunggal Ika harus menjadi strategi kebudayaan dan menjaga nilai-nilai dan kearifan-kearifan lokal yang selama ini telah menjadi sumber kekuatan. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan, dan oleh karena itu pentingnya bagi generasi muda untuk menjaga harmoni, menjauhi sikap fanatisme sempit dan saling curiga, dan menempatkan perbedaan sebagai rahmat. Semangat persaudaraan lintas agama dan lintas suku, etnis dalam konteks keberagaman harus disebarkan dalam bingkai toleransi sehingga melahirkan persaudaraan antar sesama anak bangsa.
Kelima, reformasi yang semula merupakan harapan rakyat telah gagal, tercemar oleh kehadiran rezim yang korup. Korupsi telah merusak pranata sosial, melibatkan aparat penegak hukum dan pengawasan (jaksa, polisi hakim, anggota DPR dll) melahirkan disparitas sosial dan ekonomi tinggi dan maraknya usaha perdagangan ilegal, perilaku anarkisme telah menjadi gejala umum, politik premanisme dan maraknya organisasi para-militer meluluh-lantakan semangat ke-bhinnekaan. Jiwa dan semangat reformasi telah pudar menjadi anti-klimaks, ketika negara tidak mampu lagi menjamin adanya kepastian hukum.
Keenam, disorientasi para penyelenggara negara (eksekutif, yudikatif, dan legislatif), tidak menjunjung tinggi daulat rakyat. Kekuasaan seharusnya tidak dilihat sebagai tujuan, tetapi harus diletakan sebagai sarana untuk melayani rakyat. Sikap dasar pelayanan yang demikianlah yang harus selalu dipegang teguh. Syarat sebagai pemimpin ada empat hal: Pertama, harus bisa mengayomi seluruh rakyat. Kedua, berani mengambil keputusan dan tegas dalam menjalankan peraturan-perundangan. Ketiga, satunya kata dan perbuatan. Harus berani mengatakan yang benar itu benar dan salah itu salah. Keempat, tidak mempunyai ambisi lain kecuali upaya mensejahterakan rakyatnya. Sikap ini harus dilakukan para penyelenggara negara.
Ketujuh, kehadiran saya, bila dianggap pantas dan layak untuk memimpin bangsa Indonesia, saya akan merestorasi kembali sistem penyelenggaraan negara dan mendongkrak lahirnya calon-calon pemimpin baru berkelas dunia untuk melanjutkan tongkat kepemimpinan nasional.
Karena negera ini memerlukan seorang negarawan yang berkelas dunia, bukan sekedar politisi, atau karena ketua partai. Negeri ini memerlukan pemimpin yang bisa diterima seluruh golongan masyarakat. Pemimpin yang tidak melihat sekat-sekat golongan dan kepentingan. Berkuasa tetapi tidak menguasai. Pemimpin yang tidak ambivalen. Pemimpin yang transendetal, yang mampu berbicara melalui kerja nyata dan memberi suri tauladan. Sebagai pemimpin, negarawan harus mampu dan mau bekerja keras untuk mengikis berbagai kesenjangan yang ada, baik sosial maupun ekonomi.
Sebab tantangan Indonesia di masa datang akan semakin kompleks. Maka kesadaran kebangsaan dengan jiwa dan roh baru harus menjadi tekad dan komitmen bersama seluruh bangsa. Negara ini harus ditopang pemerintahan yang akuntabel, yang berpihak kepada rakyat.
Gerakan Tim Pelangi Perubahan Harus Diwujudkan
Tatkala bandul pendulum mulai bergerak menjauh dari amanat reformasi, rakyat mendesakkan kembali pentingnya pelurusan dan penuntasan reformasi. Reformasi bukanlah hanya order baru minus Soeharto lalu selesai. Mengingat, rezim Orba adalah ibarat rangkaian gerbong-gerbong kereta api yang tidak cukup diganti masinisnya saja. Reformasi bukanlah hanya sekedar penerbitan undang-undang yang baru dan selesai. Reformasi bukan pula hanya penggantian pucuk manajemen atau re-alokasi anggaran.
Dan rakyat kembali kecewa. Ketika reformasi yang dimotori para mahasiswa menjadi tidak terkontrol dan akhirnya kembali berakhir menjadi permainan para elit politik. Lembaga-lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif kini lagi-lagi didominasi orang-orang yang tidak paham tentang makna hakikat dan tujuan reformasi. Mereka-mereka yang dulu menjadi penonton aksi demo mahasiswa dan rakyat kini menjadi penguasa, elit politik (penguasa dan pengusaha) seolah-olah yang menentukan nasib rakyat dan negeri ini. Jiwa dan semangat reformasi telah pudar menjadi anti-klimaks.
Dan anti-klimaks ini nampak sebagai usaha by design oleh elit-elit anti-reformasi, yang memang sudah dilancarkan sejak bergulirnya reformasi, antara lain dengan menunggangi demonstrasi damai menjadi kebrutalan, dan ganti menuduhkan sangkaan makar atau komunis terhadap para aktifis pergerakan, dengan membentuk kelompok-kelompok reformasi tandingan yang menghadang para mahasiswa, dan dengan tetap mempertahankan kadernya di lembaga-lembaga kenegaraan. Akibatnya, rakyat kembali menjadi obyek dan bukan subyek dari reformasi itu sendiri. Mayoritas rakyat tetap marjinal.
Itulah sebabnya, saya sepakat bahwa ‘Agenda Reformasi’ harus dilanjutkan secara menyeluruh, termasuk pembentukan karakter bangsa sehingga mampu menghantar menuju pemulihan kehidupan yang lebih baik dan sejajar dengan bangsa-bangsa di dunia. ‘Gerakan Tim Pelangi Perubahan’ melalui restorasi agenda reformasi ingin menghadirkan sejarah peradaban baru yang membanggakan bagi segenap rakyat Indonesia.
Bangsa ini sudah tercabut dari budayanya dan melupakan jati diri bangsa. Sementara, reformasi yang telah digulirkan rakyat sejak tahun 1998 lalu – yang diharapkan akan menjadi titik balik perbaikan bangsa – ternyata masih mandul dan bahkan kehilangan gaung dan tajinya. Setelah sepuluh tahun berjalan, belum banyak terjadi perubahan dan perbaikan yang bisa dinikmati oleh rakyat. Korupsi masih saja merajalela, disparitas sosial dan ekonomi yang tinggi, praktek demokrasi kekuasaan, anarkisme yang menguat di tengah masyarakat, maraknya organisasi para-militer, lunturnya semangat ke-bhinneka-an, politisasi hukum, dan sebagainya merupakan bukti betapa lemahnya institusi yang bernama “negara”. Karena sudak tideak mampu menjamin rasa aman dan tiadeanya kepastian hukum.
‘Gerakan Tim Pelangi Perubahan’ menyadari bahwa untuk bisa membawa bangsa ini seperti cita-cita ketika negeri ini di proklamirkan, bangsa ini memerlukan seorang negarawan, bapak bangsa bukan sekadar politikus. Negeri ini memerlukan pemimpin yang bisa diterima seluruh golongan masyarakat. Pemimpin yang bisa melayani dan melindungi seluruh rakyatnya. Tidak hanya melindungi kepentingan kelompok, apalagi hanaya untuk kepentingan keluarganya. Pemimpin yang tidak melihat batas-batas golongan dan kepentingan. Berkuasa tetapi tidak menguasai. Pemimpin yang tidak ambivalen. Pemimpin yang transendetal, yang mampu menyerap suara hati rakyat dan menjawabnya melalui kerja nyata dan suri tauladan. Pemimpin yang mampu mengayomi, menciptakan rasa aman dan rasa keadilan bagi seluruh rakyat.
Menyadari bahwa tantangan Indonesia pada tahun-tahun mendatang akan semakin kompleks, maka kesadaran kebangsaan dengan jiwa dan semangat serta nilai-nilai luhur budaya bangsanya harus menjadi komitmen dasar pembangunan seluruh bangsa ini. Untuk itu Negara ini harus ditopang pemerintahan yang akuntabel, yang berpihak kepada rakyat sesuai dengan tuntutan Agenda Reformasi untuk mensejahterakan rakyatnya. Menejemen penyelenggaraan negara untuk kemakmuran rakyat, bukan demi kantong segelintir elite politik atau penguasa dan keluarganya.
Apakah ‘Gerakan Tim Pelangi Perubahan’ akan berhasil? Terpulang pada hasil kerja keras baik Tim Pelangi Perubahan maupun HB X itu sendiri. Harapan kita, eksekusi kehendak bebas kita – lewat pikiran, perkataan, maupun perbuatan – semakin menambah kebaikan bagi sesama dan diri kita. Atas dasar itulah, ‘Gerakan Pelangi Perubahan’ hadir. Selanjutnya, saya serahkan kembali kepada rakyat Indonesia. Karena, buat saya bukan menang atau kalah. Tetapi, kemuliaan Tuhan menggelora di muka bumi persada Indonesia
Barus 1000 tahu yang lalu
PELETAKAN BATU PERTAMA PEMBANGUNAN TUGU RAJA TOGA LAUT PARDEDE DI LUMBAN JABI-JABI - BALIGE
maka diputuskanlah agar semua keturunan Raja Toga Laut Pardede ikut serta dalam Napak tilas show force keliling kota Balige pada tanggal 18 Agustus 2007, dengan rute dimulai Losmen Toga Laut Tawar, Tugu Naga Baling, Makam Raja Bona Ni Onan Pardede & Raja Paindoan Pardede dan ber akhir di Lumban Jabi-jabi / Tugu Raja Toga Laut Pardede, yang kemudian dengan kata-kata sambutan, oleh Tokoh-tokoh Sonak malela dll.