Latar Belakang Sri Sultan Hamengkubuwono X Mencalonkan Diri Menjadi Capres 2009 – 2014
Sejak Pangeran Mangkubumi. Sultan Hamengkubuwono adalah patriotik
Mudah-mudahan kita dapat menyajikan/memperkenalakan beberapa Capres untuk priode 2009-1014
MENGAPA SAYA MENERIMA DESAKAN GERAKAN TIM PELANGI PERUBAHAN UNTUK MENCALONKAN DIRI SEBAGAI KANDIDAT PRESIDEN RI 2009-2014?
Pada bulan April 2006, beberapa teman dari Jakarta – diantaranya Soegeng Sarjadi, Sukardi Rinakit (SSS), Kristanto Hartadi (Sinar Harapan), Nico (Sinar Harapan), Sudaryanto (Pergerakan Kebangsaan) Jusuf Suroso (SSS) Yanto Sugiharto (wartawan) -- menemui saya di Kraton Kilen, Yogyakarta. Kedatangan mereka untuk mendiskusikan masa depan bangsa dan negara. Sebab jelang 10 tahun reformasi, arahnya makin tidak jelas. Dalam diskusi itu berkembang wacana politik masa depan, termasuk sosok pemimpin yang ideal, yang mampu menjawab tuntutan rakyat. Jawaban saya waktu itu, “ya mari kita lakukan bersama-sama”. Saya minta kepada teman-teman untuk mencermati situasi yang masih terus berkembang.
Suhu politik nasional terus berkembang dengan semakin dekatnya pelaksanaan pemilu 2009. Beberapa lembaga survey mulai melakukan jejak pendapat tentang sosok calon presiden, dan nama saya tercantum dalam polling tersebut. Namun hasil jejak pendapat lembaga survey itu cukup dinamis. Oleh karena itu ketika nama saya berada di urutan atas, saya tidak merasa besar kepala. Sebaliknya, ketika ada di urutan bawah saya tidak kecil hati. Dinamika jejak pendapat ini menarik perhatian banyak kalangan dan masyarakat. Dan dengan berjalannya waktu, aspirasi tadi terdengar oleh pihak-pihak lain. Beberapa teman dan komunitas masyarakat datang menemui saya dan mendorong saya agar bersedia menjadi calon presiden 2009. Intinya, saya didaulat untuk melakukan perubahan lewat kesediaan menjadi calon Presiden pada pemilu 2009 melalui apa yang mereka sebut dengan ‘Gerakan Pelangi Perubahan’.
Alasan mereka kurang lebih sama, reformasi baru dalam tataran membebaskan rakyat dari belenggu kekuasaan yang otoriter ke kehidupan yang demokratis. Rakyat bebas berbicara, berunjuk rasa sekedar menentang kenaikan harga. Namun, reformasi belum berhasil mengantarkan rakyat bebas berkreasi, ber-ekspreasi, berproduksi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain reformasi gagal mengantarkan rakyat hidup lebih sejahtera lahir batin. Bahkan, pemenuhan kebutuhan pokok rakyat mulai dari garam sampai pesawat terbang bergantung pada substitusi impor.
Dalam kapasitas saya sebagai Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat, Gubernur/ Kepala Daerah DI Yogyakarta maupun pribadi saya ikut prihatin. Merasa ikut bertanggungjawab terhadap perkembangan terakhir pasca reformasi ini. Namun sesuai dengan konstitusi kedudukan saya sebagai Sultan tidak bisa berbuat banyak untuk membantu rakyat. Keberadaan Kesultanan Yogyakarta terbatas sebagai simbol budaya. Sebagai Gubernur DI Yogyakarta pada era otonomi Daerah Tingkat II, dan saat itu pula keistimewaan Yogyakarta mulai dipertanyakan. Sebagai pribadi bukan hanya prihatin dan berpangku tangan, saya ikut bertanggung jawab terhadap masa depan bangsa dan negara. Maka, ketika ada yang mendorong saya untuk maju menjadi Calon Presiden saya terima kasih. Yang jelas saya tidak berambisi pada kekuasaan apalagi harta. Sesuai dengan kedudukan saya selama ini, saya tidak butuh apa-apa lagi, baik materiil maupun immaterial. Maka, kalau saya harus berkiprah di kancah nasional semata-mata untuk mengabdikan sisa umur saya pada negara dan rakyat Indonesia, sesuai dengan pesan mendiang almarhum Hamengku Buwono IX.
Di tengah-tengah kehidupan masa kini yang cenderung pragmatis, Yogyakarta tidak terelakan dari serbuan gaya hidup seperti itu. Saya berusaha untuk tetap mempertahakan nilai-nilai budaya, serta usaha menjaga kelestarian lingkungan Yogyakarta. Sesuai dengan kultur budaya masyarakat kita yang paternalistik, saya dituntut memberikan keteladanan bagi segenap warga masyarakat. Satu hal yang tidak mudah untuk dilakukan adalah kebiasaan raja-raja dimasa lalu yang mempunyai lebih dari satu isteri. Dan sudah menjadi tradisi, manakala seorang raja tidak memiliki anak laki-laki sebagai calon pengganti, salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan melakukan poligami. Tetapi saya berkeputusan untuk tidak melakukan itu. Mengapa ? Karena trah Kesultanan Yogyakarta bukan hanya saya, tetapi masih ada saudara saya yang lain.
Paska reformasi memang telah melahirkan banyak anak-anak muda di panggung politik nasional. Tetapi ternyata dalam waktu 10 tahun terakhir ini belum ada tanda-tanda lahirnya pemimpin baru yang mampu menjawab berbagai problematik dan tantangan masa depan bangsa ini. Krisis ekonomi yang terjadi ternyata berimbas pada krisis multi-dimensi, termasuk krisis kepemimpinan. Sementara kita belum bisa keluar akibat krisis 1998, kini sudah dihadapkan pada krisis global yang dampaknya lebih dasyat lagi. Ini tantangan warga bangsa ini untuk menghadapinya, termasuk memilih calon pemimpin yang mampu dan memiliki konsep untuk menghadapi krisis global tersebut.
Selasa 28 Oktober 2008 lalu. saya harus menjawab pertanyaan dan desakan warga bangsa ini, tentang kesiapan saya untuk mengantarkan mereka menuju masa depan Indonesia kearah yang lebih baik, dengan jalan saya harus bersedia menjadi presiden periode 2009-2014. Adapun tugas yang terutama adalah untuk menyiapkan konsep bagaimana Indonesia keluar dari krisis baru dan mengantarkan pemimpin masa depan bangsa ini.
Kesanggupan saya untuk menerima daulat rakyat ini berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
Pertama, meski terlahir dalam lingkungan istana kerajaan, semangat keberpihakan kepada rakyat dan komitmen pada perjuangan bangsa selalu tertanam dalam diri saya. Karena komitmen seperti itu telah menjadi pilihan sikap dan tradisi keluarga. Komitmen Kasultanan Yogyakarta pada perjuangan bangsa Indonesia tidak perlu diragukan lagi.
Dalam buku otobiograpi Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang berjudul “Tahta Untuk Rakyat”, jelas sekali digambarkan bagaimana keberpihakan beliau pada rakyat telah lama menjadi semangat dan jiwa yang melekat pada diri sultan-sultan Yogyakarta dalam menjalankan kepemimpinannya. Semangat dan jiwa keberpihakan pada rakyat ini juga merupakan pengamalan dari konsep filosofis “Manunggaling Kawulo-Gusti”, yang berarti bersatunya rakyat dengan pemimpin dalam mewujudkan cita-cita bersama.
Sejarah membuktikan bahwa Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat mampu menjalankan komitmennya untuk membela kepentingan rakyatnya. Hamangku, Hamengku dan Hamengkoni, dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran serta meningkatkan kualitas hidup rakyat. Bukti sejarah ini juga diungkap dengan jelas dalam memoar Rahmi Hatta (isteri Mohammad Hatta), Mohammad Roem (Diplomat RI pada masa awal kemerdekaan), SK Trimurti (Istri Sayuti Melik – penulis naskah Proklamasi) dan TB. Silalahi, Frans Seda serta Rosihan Anwar (tokoh Pers Indonesia nasional) yang juga dimuat dalam buku “Tahta untuk Rakyat” ini.
Sejarah mencatat bagaimana semangat keberpihakan pada rakyat ini telah menempatkan Yogyakarta menjadi bagian yang penting dalam perjuangan panjang menuju kemerdekaan dan kedaulatan NKRI.
Sejak berdirinya tahun 1755, Kasultanan Yogyakarta menunjukkan perlawanannya pada VOC. Bahkan jauh sebelumnya, saat Sultan Pertama masih bergelar Pangeran Mangkubumi, beliau sudah bahu membahu bersama rakyat melawan VOC. Sikap anti VOC ini yang membuat para ulama dan kiai lalu menggabungkan diri dengan perjuangannya. Lalu terbentuklah jaringan ulama nusantara yang kuat di sepanjang jalur Blora, Madiun, Pekalongan, Banyumas hingga Cirebon.
Dalam bidang keagamaan, Sri Sultan Hamengku Buwono I juga memberikan perhatian yang besar pada masalah spiritualitas dan kegamaan. Dan kasultanan memberikan penghormatan yang tinggi terhadap para kiai atau ulama tarekat yang saat itu dianggap sebagai orang suci. Konsep keraton sebagai kekalifahan juga hasil dari pemikiran para ulama. Dari sini, komunitas-komunitas Islam yang dipimpin ulama menggunakan mesjid sebagai kegiatan umat dan bahkan memberikan kesempata para ulama keraton untuk naik haji ke Mekkah.
Perlawanan terhadap kolonialisme ini diteruskan oleh Sultan berikutnya, hingga masa Daendels sebagai Gubernur Jenderal Belanda dan masa jatuhnya kekuasaan di tanah Jawa ke tangan Inggris pada akhir tahun 1811. Sebagai konsekwensi atas perlawanannya, Yogyakarta diserang bertubi-tubi, dan Sultan pada masa itu ditangkap dan diasingkan. Perlawanan demi perlawanan terus terjadi, termasuk pecahnya Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro dari tahun 1825-1830.
Semangat perlawanan kepada kaum penjajah ini terus berlangsung, tidak hanya dengan mengangkat senjata, tetapi juga dalam wujud perjuangan intelektual, yang ditandai dengan lahirnya Budi Utomo. Pada masa pendudukan Jepang, keberpihakkan pada rakyat ditunjukkan secara lebih taktis. Pada masa itu, Sri Sultan menggerakkan pembangunan selokan irigasi yang dikenal dengan Selokan Mataram sepanjang 50 kilometer lebih untuk menghindari rakyatnya dari kerja paksa (rodi).
Selain keberpihakan pada rakyat, kasultanan Yogyakarta juga berpandangan ke depan dalam konsep kebangsaannya. Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman mengeluarkan amanat yang dikenal dengan nama Maklumat 5 September 1945, yang berisikan ketegasan Nageri Ngayogyakarto Hadiningrat dan Negeri Paku Alaman yang bersifat kerajaan merupakan Daerah Istimewa Yogyakarta dan menjadi bagian dari Republik Indonesia. Dan dukungan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia ini sudah final.
Komitmen dukungan pada NKRI dibuktikan dengan kiprahnya pada masa-masa awal kemerdekaan. Dalam memoarnya, Rahmi Hatta menulis bagaimana kasultanan dengan rela hati menggaji kabinet Presiden Soekarno, termasuk presiden dan wakil presidennya. Bukti kecintaan yang tulus pada Republik ini. Dalam masa-masa sulit itu, Yogyakarta juga pernah dua kali difungsikan sebagai ibu kota RI, yakni pada tahun 1946 dan pada tahun 1949 dengan pertimbangan bahwa Yogyakarta lebih aman dan bahwa pihak kasultanan bersama dengan rakyat Yogyakarta menunjukkan dukungan tegas mereka pada semangat dan cita-cita revolusi.
Konsistensi kecintaan terhadap Indonesia juga terlihat dari penolakan kasultanan terhadap iming-iming kekuasaan dari Belanda pada masa-masa agresi militer I dan II. Sri Sultan waktu itu dengan tegas menolak permintaan Belanda agar tidak ikut campur dalam masalah RI dan Belanda. Dan berangkat dari kasus ini pula kemudian Serangan Umum 1 Maret 1949 dirancang bersama dengan Tentara Rakiyat Indonesia untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Republik Indonesia masih ada.
Semboyan “Tahta untuk Rakyat” tetap relevan dalam era demokrasi saat ini. Bersama-sama dengan mahasiswa dan rakyat, menggelorakan reformasi tahun 1998. Apel akbar atau Pisowanan Agung untuk menggemakan reformasi, yang ternyata berhasil menumbangkan rezim Orde Baru. Pada tahun 2006, dalam sebuah orasi budaya dan politik bertajuk “Malam Bhakti Pertiwi”, dengan kesadaran penuh saya menyatakan tidak bersedia lagi menjadi Guberbur DIY setelah selesainya masa bhakti pada tahun 2008. Di hadapan rakyat, Saya menegaskan pentingnya untuk mengaktualisasikan Roh Yogyakarta dengan roh baru, roh kemajuan, roh demokrasi yang berkeadilan, sesuai akar budaya yang dimiliki dan tantangan masa depan. Sebagaimana tersirat dalam puisi “Kesaksian” yang saya bacakan dalam orasi waktu itu. Suara hati nurani rakyat adalah suara yang harus di dengar, dan atas dasar itu pula seorang pemimpin harus bersikap. Hati rakyat dan hati pemimpin haruslah satu untuk bersama-sama mewujudkan masa depan bangsa yang cerah.
Kedua, saya memang bagian dari Reformasi di Indonesia. Jadi, ini adalah tanggung jawab saya juga untuk meluruskan dan menuntaskan agenda-agendanya.
Sepuluh tahun sudah perjalanan reformasi yang dikumandangkan sejak tahun 1998 lalu. Kini segenap rakyat bisa meng-evaluasi apakah dalam sepuluh tahun ini telah terjadi perubahan ke arah yang lebih baik. Apakah agenda-agenda reformasi telah berjalan sesuai dengan harapan mereka. Apakah demokrasi yang ada saat ini benar-benar dirasakan membawa perbaikan bagi kesejahteraan bangsa dan rakyatnya. Hanya rakyatlah yang bisa menjawab. Dan Pemilu 2009 ini akan menjadi penentu. Penentu apakah rakyat masih percaya dengan janji-janji seperti menjelang pemilu 1999 dan 2004 lalu?
Sejak saat digulirkannya reformasi, saya tidak hanya menunjukkan keberpihakan pada rakyat dalam wujud sikap politik, tetapi juga dalam laku kultural. Saya tergugah untuk ikut turun ke jalan, begitu ada kabar bahwa Yogyakarta akan dilanda kerusuhan. Dan syukurlah situasi di Yogyakarta akhirnya kembali damai dan tenteram. Saya juga berkesempatan untuk bersama-sama dengan teman-teman mengeluarkan Dekalarsi Ciganjur. Sebagai laku kultural, saya juga mendukung lewat laku puasa dan doa. Dan dari awal saya pesankan bahwa reformasi haruslah berjalan dengan damai, tanpa kekerasan, sebagaimana tarmaktub dalam “Maklumat Yogyakarta” yang saya bacakan di depan lebih dari sejuta manusia yang berkumpul di Alun-Alun Utara waktu itu. Dan jika saya dipercaya untuk melaksanakan agenda reformasi ini, mari kita lakukan bersama.
Ketiga, keterlibatan saya dalam Reformasi bukan sekadar dipaksa oleh mahasiswa. Dengan penuh kesadaran, saya mendukung Reformasi karena bangsa Indonesia membutuhkan perubahan.
Perubahan harus dilakukan dan reformasi adalah gerbang utamanya. Tetapi, reformasi bukanlah hanya order baru minus Soeharto lalu selesai, mengingat rezim Orba adalah ibarat rangkaian gerbong-gerbong kereta api yang tidak cukup diganti masinisnya saja. Reformasi bukanlah hanya sekedar penerbitan undang-undang yang baru dan selesai. Reformasi bukan pula hanya penggantian pucuk manajemen atau re-alokasi anggaran. Setelah sepuluh tahun berjalan, belum banyak terjadi perubahan dan perbaikan yang bisa dinikmati oleh rakyat.
Bangsa ini sudah tercabut dari budayanya dan melupakan jati diri bangsanya. Agenda reformasi harus dilanjutkan secara menyeluruh, termasuk pembentukan karakter bangsa, sehingga mampu menghantarkan bangsa ini menuju pemulihan kehidupan yang lebih baik sejajar dengan bangsa-bangsa didunia. Kita harus ciptakan sejarah peradaban baru yang membanggakan bagi segenap karya cipta bangsanya.
Keempat, pentingnya untuk menanamkan kesatuan dan persatuan bangsa dengan menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, dan UUD’45 dan menjaga keberagaman budaya.
Kesatuan dan persatuan bangsa dengan menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945 serta Bhinneka Tunggal Ika adalah harga mati yang harus terus ditegakkan dan dipelihara segenap Bangsa Indonesia. Pemerintah harus mampu bersikap tegas dalam melindungi dan mengayomi seluruh bangsa secara adil, tanpa membedakan golongan, keyakinan, dan agama.
Pancasila harus menjadi dasar dan arahan dari semua kebijakan yang ada. Ini adalah ideologi yang harus tetap dipegang teguh, tidak boleh digantikan. Dan UUD 1945 haruslah menjiwai semua peraturan perundangan yang ada demi terjaganya persatuan Indonesia dan tercapainya cita-cita mewujudnya keadilan sosial dan masyarakat yang adil dan makmur.
Bhinneka Tunggal Ika harus menjadi strategi kebudayaan dan menjaga nilai-nilai dan kearifan-kearifan lokal yang selama ini telah menjadi sumber kekuatan. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan, dan oleh karena itu pentingnya bagi generasi muda untuk menjaga harmoni, menjauhi sikap fanatisme sempit dan saling curiga, dan menempatkan perbedaan sebagai rahmat. Semangat persaudaraan lintas agama dan lintas suku, etnis dalam konteks keberagaman harus disebarkan dalam bingkai toleransi sehingga melahirkan persaudaraan antar sesama anak bangsa.
Kelima, reformasi yang semula merupakan harapan rakyat telah gagal, tercemar oleh kehadiran rezim yang korup. Korupsi telah merusak pranata sosial, melibatkan aparat penegak hukum dan pengawasan (jaksa, polisi hakim, anggota DPR dll) melahirkan disparitas sosial dan ekonomi tinggi dan maraknya usaha perdagangan ilegal, perilaku anarkisme telah menjadi gejala umum, politik premanisme dan maraknya organisasi para-militer meluluh-lantakan semangat ke-bhinnekaan. Jiwa dan semangat reformasi telah pudar menjadi anti-klimaks, ketika negara tidak mampu lagi menjamin adanya kepastian hukum.
Keenam, disorientasi para penyelenggara negara (eksekutif, yudikatif, dan legislatif), tidak menjunjung tinggi daulat rakyat. Kekuasaan seharusnya tidak dilihat sebagai tujuan, tetapi harus diletakan sebagai sarana untuk melayani rakyat. Sikap dasar pelayanan yang demikianlah yang harus selalu dipegang teguh. Syarat sebagai pemimpin ada empat hal: Pertama, harus bisa mengayomi seluruh rakyat. Kedua, berani mengambil keputusan dan tegas dalam menjalankan peraturan-perundangan. Ketiga, satunya kata dan perbuatan. Harus berani mengatakan yang benar itu benar dan salah itu salah. Keempat, tidak mempunyai ambisi lain kecuali upaya mensejahterakan rakyatnya. Sikap ini harus dilakukan para penyelenggara negara.
Ketujuh, kehadiran saya, bila dianggap pantas dan layak untuk memimpin bangsa Indonesia, saya akan merestorasi kembali sistem penyelenggaraan negara dan mendongkrak lahirnya calon-calon pemimpin baru berkelas dunia untuk melanjutkan tongkat kepemimpinan nasional.
Karena negera ini memerlukan seorang negarawan yang berkelas dunia, bukan sekedar politisi, atau karena ketua partai. Negeri ini memerlukan pemimpin yang bisa diterima seluruh golongan masyarakat. Pemimpin yang tidak melihat sekat-sekat golongan dan kepentingan. Berkuasa tetapi tidak menguasai. Pemimpin yang tidak ambivalen. Pemimpin yang transendetal, yang mampu berbicara melalui kerja nyata dan memberi suri tauladan. Sebagai pemimpin, negarawan harus mampu dan mau bekerja keras untuk mengikis berbagai kesenjangan yang ada, baik sosial maupun ekonomi.
Sebab tantangan Indonesia di masa datang akan semakin kompleks. Maka kesadaran kebangsaan dengan jiwa dan roh baru harus menjadi tekad dan komitmen bersama seluruh bangsa. Negara ini harus ditopang pemerintahan yang akuntabel, yang berpihak kepada rakyat.
Gerakan Tim Pelangi Perubahan Harus Diwujudkan
Tatkala bandul pendulum mulai bergerak menjauh dari amanat reformasi, rakyat mendesakkan kembali pentingnya pelurusan dan penuntasan reformasi. Reformasi bukanlah hanya order baru minus Soeharto lalu selesai. Mengingat, rezim Orba adalah ibarat rangkaian gerbong-gerbong kereta api yang tidak cukup diganti masinisnya saja. Reformasi bukanlah hanya sekedar penerbitan undang-undang yang baru dan selesai. Reformasi bukan pula hanya penggantian pucuk manajemen atau re-alokasi anggaran.
Dan rakyat kembali kecewa. Ketika reformasi yang dimotori para mahasiswa menjadi tidak terkontrol dan akhirnya kembali berakhir menjadi permainan para elit politik. Lembaga-lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif kini lagi-lagi didominasi orang-orang yang tidak paham tentang makna hakikat dan tujuan reformasi. Mereka-mereka yang dulu menjadi penonton aksi demo mahasiswa dan rakyat kini menjadi penguasa, elit politik (penguasa dan pengusaha) seolah-olah yang menentukan nasib rakyat dan negeri ini. Jiwa dan semangat reformasi telah pudar menjadi anti-klimaks.
Dan anti-klimaks ini nampak sebagai usaha by design oleh elit-elit anti-reformasi, yang memang sudah dilancarkan sejak bergulirnya reformasi, antara lain dengan menunggangi demonstrasi damai menjadi kebrutalan, dan ganti menuduhkan sangkaan makar atau komunis terhadap para aktifis pergerakan, dengan membentuk kelompok-kelompok reformasi tandingan yang menghadang para mahasiswa, dan dengan tetap mempertahankan kadernya di lembaga-lembaga kenegaraan. Akibatnya, rakyat kembali menjadi obyek dan bukan subyek dari reformasi itu sendiri. Mayoritas rakyat tetap marjinal.
Itulah sebabnya, saya sepakat bahwa ‘Agenda Reformasi’ harus dilanjutkan secara menyeluruh, termasuk pembentukan karakter bangsa sehingga mampu menghantar menuju pemulihan kehidupan yang lebih baik dan sejajar dengan bangsa-bangsa di dunia. ‘Gerakan Tim Pelangi Perubahan’ melalui restorasi agenda reformasi ingin menghadirkan sejarah peradaban baru yang membanggakan bagi segenap rakyat Indonesia.
Bangsa ini sudah tercabut dari budayanya dan melupakan jati diri bangsa. Sementara, reformasi yang telah digulirkan rakyat sejak tahun 1998 lalu – yang diharapkan akan menjadi titik balik perbaikan bangsa – ternyata masih mandul dan bahkan kehilangan gaung dan tajinya. Setelah sepuluh tahun berjalan, belum banyak terjadi perubahan dan perbaikan yang bisa dinikmati oleh rakyat. Korupsi masih saja merajalela, disparitas sosial dan ekonomi yang tinggi, praktek demokrasi kekuasaan, anarkisme yang menguat di tengah masyarakat, maraknya organisasi para-militer, lunturnya semangat ke-bhinneka-an, politisasi hukum, dan sebagainya merupakan bukti betapa lemahnya institusi yang bernama “negara”. Karena sudak tideak mampu menjamin rasa aman dan tiadeanya kepastian hukum.
‘Gerakan Tim Pelangi Perubahan’ menyadari bahwa untuk bisa membawa bangsa ini seperti cita-cita ketika negeri ini di proklamirkan, bangsa ini memerlukan seorang negarawan, bapak bangsa bukan sekadar politikus. Negeri ini memerlukan pemimpin yang bisa diterima seluruh golongan masyarakat. Pemimpin yang bisa melayani dan melindungi seluruh rakyatnya. Tidak hanya melindungi kepentingan kelompok, apalagi hanaya untuk kepentingan keluarganya. Pemimpin yang tidak melihat batas-batas golongan dan kepentingan. Berkuasa tetapi tidak menguasai. Pemimpin yang tidak ambivalen. Pemimpin yang transendetal, yang mampu menyerap suara hati rakyat dan menjawabnya melalui kerja nyata dan suri tauladan. Pemimpin yang mampu mengayomi, menciptakan rasa aman dan rasa keadilan bagi seluruh rakyat.
Menyadari bahwa tantangan Indonesia pada tahun-tahun mendatang akan semakin kompleks, maka kesadaran kebangsaan dengan jiwa dan semangat serta nilai-nilai luhur budaya bangsanya harus menjadi komitmen dasar pembangunan seluruh bangsa ini. Untuk itu Negara ini harus ditopang pemerintahan yang akuntabel, yang berpihak kepada rakyat sesuai dengan tuntutan Agenda Reformasi untuk mensejahterakan rakyatnya. Menejemen penyelenggaraan negara untuk kemakmuran rakyat, bukan demi kantong segelintir elite politik atau penguasa dan keluarganya.
Apakah ‘Gerakan Tim Pelangi Perubahan’ akan berhasil? Terpulang pada hasil kerja keras baik Tim Pelangi Perubahan maupun HB X itu sendiri. Harapan kita, eksekusi kehendak bebas kita – lewat pikiran, perkataan, maupun perbuatan – semakin menambah kebaikan bagi sesama dan diri kita. Atas dasar itulah, ‘Gerakan Pelangi Perubahan’ hadir. Selanjutnya, saya serahkan kembali kepada rakyat Indonesia. Karena, buat saya bukan menang atau kalah. Tetapi, kemuliaan Tuhan menggelora di muka bumi persada Indonesia