Isteri ke 3 Tuan Sorimangaraja yaitu Siboru Sanggul Haomasan lebih duluan melahirkan daripada isteri ke 2
(Siboru Biding Laut), karena itu Siboru Biding Laut selalu bermuram durja dan selalu “mangandung”(meratap). Dalam “andungnya” sering sekali keluar kata-kata penyesalan, kata-kata putus asa, karena pada masa itu seorang wanita yang sudah kawin belum dianggap sebagai perempuan apabila belum melahirkan keturunan untuk menyambung tali kehidupannya. Kendati sudah lama kawin, Mulajadi Nabolon Debata Natolu belum memberikan Siboru Biding Laut keturunan untuk membuktikan dia sebagai perempuan yang sempurna. Tentunya sekarang pikiran seperti itu sudah bukan zamannya lagi, tidak mempunyai keturunan tidak semata-mata karena kekurangan isteri, bisa juga si suami, kendati demikian masih ada juga orang, khususnya orang Batak yang masih menganut pemikiran manusia zaman dulu, dan itu dijadikan pembenaran untuk berpoligami.
( Khusus Perkawinan antara Tuan Sorimangaraja dengan Siboru Biding Laut akan dibahas lebih lanjut pada Episode SEJARAH DAN LEGENDA MARGA-MARGA KELOMPOK NAIRASAON. )
Sebagaimana diceritakan bahwa Siboru Biding Laut lama tidak diberikan keturunannya, dalam keputus asaannya di menceburkan diri ke danau, tetapi dia tidak tenggelam. Tubuhnya terombang ambing di danau kian kemari, dipermainkan ombak seperti nasib yang mempermain-mainkan kehidupannya. Entah berapa lama dia terobang-ambing sampai akhirnya terdapar di daratan, begitu sadar dia memandang nanar ke kejauhan, ke arah Dolok Pusuk Buhit.
Ternayata Tuan Sorimangaraja sedang mencarinya di sekitar Sianjurmulamula, karena tidak ketemu, diapun menyeberangi danau sambil “martonggo” agar Mulajadi Nabolon menyelamatkan “persinondukna” Siboru Biding Laut.
Doanya terkabul, diseberang danau dia menemukan Siboru Biding Laut dalam kebingungannya, dia membawa isterinya kea rah “habinsaran”. Disuatu tempat yang dirinya subur, Tuan Sorimangaraja mendirikan (mamukka) pemukiman bagi mereka.
Tetapi memang dasarnya Tuan Sorimangaraja yang tidak pernah bisa berdiam diri, diapun meninggalkan perkampungan mereka, berkelana entah kemana.
Bermula dari panggilan-panggilan tersebut, akhirnya orang lain lebih mengenal mereka dan keturunannya kemudian dengan sebutan NAIAMBATON, NAIRASAON dan NAISUANON. Keturunan mereka menjadi kelompok marga-marga di kemudian hari.
Dengan demikian maka kelompok marga-marga Batak menjadi 5 induk, yaitu :
- Kelompok LONTUNG, untuk keturunan si Raja Lontung anak Sariburaja dengan Siboru Pareme;
- Kelompok BORBOR, untuk keturunan Limbong Mulana, Sagala Raja, Silau Raja ( Malau Raja ) dan siRaja Borbor anak Sariburaja dengan Nai Mangiring Laut, sekarang ini sering disebut dengan BORBOR MARSADA.
- Kelompok NAIAMBATON, untuk semua keturunan Tuan Sorimangaraja dari isteri pertama Siboru Anting Sabungan ( Siboru Paromas ), sekarang ini sering disebut dengan PARNA ( Parsadaan Naiambaton/ Pomparan Naiambaton).
- Kelompok NAIRASAON, untuk semua keturunan Tuan Sorimangaraja dari isteri kedua SIBORU BIDING LAUT, yang adalah adik kandung si Boru Paromas.
- Kelompok NAISUANON, untuk semua keturunan Tuan Sorimangaraja dari isteri ketiga SIBORU SANGGUL HAOMASAN.
Pada cerita berikut, tidak semua marga-marga akan diterangkan, dan kebenaran dari cerita-cerita itu kembali kepada masing-masing marga, karena pada dasarnya Legenda adalah cerita rekaan (khayalan) yang bisa benar bisa tidak, tetapi paling tidak cerita tersebut pernah beredar di tengah-tengah masyarakat.
Salah satu yang sangat penting menjadi pijakan dalam mengikuti cerita Legenda adalah : TIDAK LEBIH DAHULU APRIORI/KONTRA, apabila cerita tersebut tidak sesuai dengan apa yang kita tau atau pernah kita dengar. Penolakan terhadap legenda akan menbuat kita tidak akan dapat mendalami dan memahami nilai-nilai yang tersembunyi pada cerita tersebut.
Perlu juga disepakati, bahwa penulisan cerita/legenda ini bukan untuk mengurangi keimanan seseorang dan bukan pula mengajak pembaca untuk kembali ke “hasipelebegu on “ karena nilai-nilai pada cerita/legenda Batak adalah filsafat, berbeda dengan nilai-nilai religi.
KELOMPOK MARGA KETURUNAN SI RAJA LONTUNG.
Konon, si Raja Lontung sepeninggal ayahandanya berpetualang, hidup berdua dengan ibunya Siboru Pareme ditengah hutan. Ketika sudah makin dewasa, Siboru Pareme menuruh anaknya untuk berumah tangga dan pergi ke rumah tulangnya ke Sianjurmulamula, dia berpesan agar mencari paribannya untuk dijadikan isteri yang wajah mirip dengan wajah ibunya.
Si Raja Lontung pun mengerti pesan ibunya, diapun beranhkat menuju Sianjurmulamula sebagaimana dipesankan karena disanalah tempat tinggal tulangnya. Namun di tengah jalan dia bertemu dengan seorang wanita yang benar-benarpinang dibelah dua dengan ibunya Siboru Pareme. Dia pun berpikir bahwa wanita inilah paribannya yang diceritakan ibunya, maka dengan sangat antusias diapun menyampaikan maksud dan tujuannya (tembak langsung). Si wanita sama sekali tidak memberikan penolakan, karena memang dia adalah Siboru Pareme yang tak lain ibu dari si Raja Lontung. Dia telah merencanakan semua itu, ketika si Raja Lontung pergi seperti yang dia minta untuk menemui tulangnya di Sianjurmulamula, Siboru Pareme mengambil jalan pintas mendahului si Raja Lontung ke suatu tempat yang pasti harus dilalui si Raja Lontung.
Setelah melakukan hubungan terlarang dengan “ito”nya Tuan Sariburaja, sekarang hubungan terlarang (incest)dilakukan dengan anaknya sendiri ( Hampir sama dengan cerita Sangkuriang di daerah Parahyangan).
Raja Lontung mempunyai 7 anak laki-laki dan 2 anak perempuan dari perkawinannya dengan Siboru Pareme yang kemuadian menjadi marga sampai sekarang, yaitu :
1.Toga Sinaga
2.Toga Situmorang
3.Toga Pandiangan
4.Toga Nainggolan
5.Toga Simatupang
6.Toga Aritonang
7.Toga Siregar
Sedangkan ke 2 putrinya
- Si Boru Anak Pandan kawin dengan Sihombing dan
- Siboru Panggabean kawin dengan Simamora,
Sampai sekarang masih ada perbedaan pendapat tentang anak tertua si Raja Lontung, apakah Toga Sinaga atau Toga Situmorang. Sebagian orang mengatakan bahwa Toga Sinagalah yang tertua, tetapi Toga Situmorang lebih duluan kawin dengan boru Limbong, sedangkan Toga Sinaga belum juga. Karena belum mendapat wanita untuk isterinya, Sinaga berkata kepada Situmorang supaya dicomblangi (dipadomu-domu) dengan adik isterinya. Situmorang berkata, bisa saja asal kau memanggil abang kepada saya, Sinaga pun setuju. Jadilah Sinaga kawin dengan adik isteri (adik ipar) Situmorang, dan oleh karena itulah antara Sinaga dan Situmorang saling memanggil abang pada acara-acara tertentu. Sinaga menjadi abang dari Situmorang karena lebih duluan lahir (anak tertua) dari si Raja Lontung, lazim juga disebut sebagai “ haha partubu”, sedangkan Situmorang menjadi abang karena isteri Sinaga adalah adik dari isterinya, lazim juga disebut sebagai “ haha ni parrajaon” karena menjadi si abangan pada acara adat “hula-hula mereka marga Limbong”.
Seperti sudah pernah disebutkan sebelumnya, marga pertama dalam masyarakat Batak adalah Limbong dan Sagala. Kalau dalam penyusunan Tarombo/Silsilah
- si Raja Batak ditempatkan pada generasi Pertama (I ), maka
- marga Limbong dan Sagala ada pada generasi III dan
- Malau (anak Silau Raja ) pada generasi ke IV.
- Tuan Sariburaja adalah adik dari Limbong sama-sama generasi III, maka
- si Raja Lontung adalah generasi ke IV.
.
KELOMPOK MARGA KETURUNAN SI RAJA BORBOR.
Si Raja Borbor sama halnya dengan si Raja Lontung adalah generasi ke IV. Si Raja Borbor kawin dengan putrid Jau. Putri Jau yang dimaksud disini bulanlah si Jau yang menjadi pewaris marga-marga di Nias, tetapi karena tidak diketahui darimana asal usulnya. (sekali lagi membuktikan bahwa pada saat itu sudah ada manusia lain selain keturunan si Raja Batak ).
Banyak versi yang menjelaskan keturunan si Raja Borbor, tetapi dalam konteks ini tidak akan dibahas perbedaan=perbedaan tersebut, karena pada dasarnya perbedaan-perbedaan itu telah menjadikan keturunan si Raja Borbor makin kuat ikatan persaudaraannya dalam IKATAN BORBOR MARSADA.
Anak dari si Raja Borbor sebagaimana yang diakui dalam Ikatan Borbor Marsada (masuk pada generasi ke V ) adalah :
1. Raja Hatorusan
2. Tuan Sidamanik
3. Datu Singar Harahap
4. Parapat
5. Matondang
6. Sipahutar
7. Sitarihoran
8. Gurning
9. Rambe
10. Sarusuk
Kendati pada generasi ke V sudah menjadi Marga yang ada sekarang, tetapi ada juga marga pada saat itu menurunkan marga yang lebih muda pada generasi VI, VII dan seterusnya sampai generasi XIV, contohnya marga HUTASUHUT yang merupakan keturunan dari marga HARAHAP adalah genarasi XIV dari si Raja Batak.
Sampai dengan saat ini, marga-marga yang tergabung dalam Ikatan Borbor Marsada tetap terjalin persaudaraan yang erat, baik di bonapasogit maupun di parserahan, mereka menganut istilah “sijolojolo tubu” yaitu : si sada lulu anak si sada lulu boru.Ke dalam kelompok Ikatan Borbor Marsada ini termasuk juga keturunan dari LIMBONG MULANA, SAGALA RAJA, SILAU RAJA (MALAU RAJA ).
KELOMPOK MARGA KETURUNAN NAI AMBATON.
Sumber marga-marga yang tergabung dalam Nai Ambaton ( Parna ) ada beberapa versi, ada yang mengatakan bahwa anak Nai Ambaton yaitu Tuan Sorbadijulu mempunyai satu anak yaitu Suliraja, ada pula yang mengatakan bahwa anak Tuan Sorbadijulu mempunyai 5 orang anak, dan ada pula yang mengatakan 4 anak laki-laki dan 1 perempuan.
Versi yang mengatakan 5 orang menggabungkan Sinahampang sebagai anak langsung dari Tuan Sorbadijulu, sedangkan versi lain mengatakan, Sinahampang adalah anak dari Simbolon Tua.
Kebenaran versi yang dipakai oleh pihak Parna biarlah mereka yang lebih mengetahui, jangan menjadi perdebatan yang tidak berarti, tetapi penulis disini mengetengahkan versi yang mengatakan bahwa anak Tuan Sorbadijulu adalah 4 dan 1 perempuan.
Pada kelompok marga Parna, pemakaian marga yang ada sekarang ini dimulai dari generasi ke V dari si Raja Batak, yaitu marga Simbolon, Tamba, Saragi dan Munte.
Dari ke 5 marga di atas melahirkan marga-marga baru hingga sekarang ini, yang merupakan marga paling banyak dalam satu kelompok marga dan masih teguh menganut paham “sisada lulu anak sesada lulu boru”, artinya belum ada sesama marga dalam kelompok marga Parna yang sudah saling mengawini.
- Anak perempuan Tuan Sorbadijulu adalah siboru Pinta Haomasan, diperkirakan inilah yang menjadi istri pertama dari Silahisabungan yang melahirkan Silahiraja.
- Dari keturunan Simbolon Tua yang sudah menjadi marga ( Simbolon ) lahir marga-marga baru yaitu : Tinambunan, Tumanggor, Maha, Pinayungan, dan Nahampun.
- Dari keturunan Tamba Tua yang sudah menjadi marga ( Tamba ) lahir marga-marga baru yaitu: Siallagan, Rumahorbo, Napitu.
- Dari salah seorang buyut Tamba Tua dari cicitnya Datu Parngongo adalah Guru Sojoloan atau juga sering disebut Guru Sitindion, dari sini melahirkan marga-marga baru yang sekarang ini lebih sering disebut Siopat Ama, yaitu marga : Sidabutar, Sijabat, Siadari dan Sidabalok.
- Dari keturunan Saragi Tua yang sudah menjadi marga (Saragi) lahir marga-marga baru yaitu : Simalango, Saing, Simarmata, Nadeak, Sidabungke juga marga-marga yang ada di Dairi/Phakpak dan Karo seperti : Basirun, Bolahan, Akarbejadi, Kaban, Jurung dan Telun.
- Dari Saragi Tua ini juga yang menjadi marga-marga klan Parna yang ada di Simalungun seperti Saragih Sumbayak, Saragih Garingging, Saragih Turnip, Saragih Dajawak, Saragih Dasalak. Kesemuanya itu, tempat leluhir mereka adalah dari Toba ( Samosir). Percabangan-percabangan marga ini berkembang juga sampai ke tanah Karo.
- Dari keturunan Munthe Tua yang sudah menjadi marga ( Munthe ) lahir pula marga-marga baru yaitu : Sitanggang, Sigalingging, Manihuruk, Sidauruk, Turnip dan Sitio.
- Tetapi ada pula dari keturunan Munthe Tua yang lain melahirkan marga-marga baru yang ada di Simalungun, Karo, Dairi/Phakphak, seperti Ginting Munthe, Dali Munthe, Tendang, Banuarea, Beringin, Gaja dan Berasa.Sampai saat ini, apabila orang berkenalan dan sama-sama merupakan keturunan dari Nai Ambaton (Parna), mereka akan merasa seperti saudara sendiri, dan tetap menganut paham Batak “ Sisada lulu anak sisada lulu boru”.
Dari sekian banyak jumlah marga Batak ( Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, Dairi/Phakphak), boleh dikatakan 20% masuk dalam klan Nai Ambaton ( Parna ). Pernah dulu ada anekdot kalau ada laki-laki dan perempuan yang sudah tua dan belum kawin disebut….. “sai songon Nai Ambaton “, artinya saking banyaknya marga-marga yang tidak boleh saling kawin yang masuk dalam kelompok Nai Ambaton, para anak – borunya sulit mendapat jodoh, sampai tua belum kawin sehingga yang lambat kawin diibaratkan dengan Nai Ambaton.
Kalau kita amati dalam tarombo-tarombo Batak, maka permulaan marga yang tergabung dalam kelompok Nai Ambaton ( Parna ) dimulai pada generasi ke V hingga generasi ke XII dari si Raja Batak. Jadi masih ada yang termasuk marga-marga muda.
Banyak legenda dan cerita yang terjadi pada sejarah Parna sampai sekarang, antara lain Legenda Tabu-tabu Gumbang, siboru Sileang Nagarusta, Marhati Ulubalang, Raja Sidabutar yang terkenal sampai sekarang dengan makamnya, maupun Sibatu Gantung di Sibaganding Parapat.
KELOMPOK MARGA KETURUNAN NAI SUANON.
Nai Suanon semasa gadisnya bernama Siboru Sanggul Haomasan, adalah istri ketiga Tuan Sorimangaraja yang melahirkan si Suanon. Setelah dewasa, si Suanon digelari Tuan Sorbadibanua.
Sama halnya dengan Siboru Biding Laut istri kedua Tuan Sorimangaraja, Siboru Sanggul Haomasan juga sulit mendapat keturunan. Disuatu waktu, Siboru Sanggul Haomasan berjalan-jalan ditepi hutan, bertemu dengan seorang wanita tua yang tidak tau darimana datangnya. Ketika si wanita tua bertanya kepada Siboru Sanggul Haomasan, dia tidak bisa menjawab dengan tepat pertanyaan itu, lalu kata si wanita tua :
“ Tardok do ho boru ni raja namalo jala na bisuk, alai tung sungkun-sungkun hi dang taralusi ho onpe ingkon bernitdo parniahapanmu paima-ima tunas ni siubeonmu”. ( Kau termasuk putri raja yang pintar dan bijaksana, tetapi pertanyaanku tak dapat kau jawab, jadi ingatlah akan susah engkau mendapatkan keturunan.)
Setelah berbagai usaha, martonggo (berdoa) kepada Mulajadi Nabolon, akhirnya datanglah pesan kepada Tuan Sorimangaraja bahwa dia akan memperoleh keturunan dari Siboru Sanggul Haomasan apabila dapat menemukan semua persyaratan yang disampaikan Mulajadi Nabolon melalui Borusibasopaet, adapaun syarat yang harus ditemukan Tuan Sorimangaraja adalah :
1. Sebatang kayu besar yang dapat mendirikan sebuah rumah, kayu itu ditemukan di Daerah Angkola (Tapanuli Selatan sekarang ).
2. Hati besi untuk ditempa jadi pisau sakti, dapat ditemukan di sungai Buarbuar dekat Barus ( Tapanuli Tengah sekarang).
3. Kerbau sitikko (melingkar) tanduk, si opat pusoran, sijambe ihur sebagai persembahan kepada Mulajadi Nabolon.
Setelah terpenuhi, diadakanlah upacara martonggo, diiringi bunyi Gondang Sabangunan. Tuan Sorimangaraja dan istrinya Siboru Sanggul Haomasan didaulat untuk menari. Persembahan dan doa Tuan Sorimangaraja diterima Mulajadi Nabolon.
Tiba waktunya, istrinya Siboru Sanggul Haomasan melahirkan seorang anak yang dinamai si Suanon ( Tuan Sorbadibanua).
- Tuan Sorbadibanua setelah kawin mendiami (tinggal ) di Lumban Gorat (dekat daerah Balige sekarang ), sedangkan saudaranya yang lain yaitu
- Tuan Sorbadijulu tinggal di Pangururan (Samosir) dan
- Tuan Sorbadijae tinggal di Sibisa (Uluan).
Si Suanon atau Tuan Sorbadibanua kawin dengan Nai Anting Malela tetapi lama tidak punya anak. Menurut “datu” dia akan beroleh anak apabila, Nai Anting Malela akan memperoleh keturunan apabila “marimbang matua” ( bermadu ). Mendengar itu, suka tidak suka Nai Anting Malela mengijinkan Tuan Sorbadibanua untuk kawin lagi. Masalahnya, perempuan yang akan dinikahi yang sulit di dapat. Saking gusarnya, Tuan Sorbadibanua meminta ijin untuk berburu di hutan untuk melupakan segala “parsorion” yang dialaminya. Dalam perburuannya, tak satupun binatang buruan yang didapat, akhirnya dia tertidur di bawah sebatang pohon besar. Dalam tidurnya, diantara sadar dan mimpi dia didatangi sesosok wanita cantik namun ketika tersadar, tak ada bekasnya, bayangannyapun tidak, namun lapat-lapat terdengar olenya suara yang berkata :
"Percikkanlah ramuan obat yang kamu bawa ke kiri dan ke kanan masing-masing sebanyak 7 kali lalu melangkahlah engkau ke-arah kanan".
Tuan Sorbadibanua menuruti perintah suara tersebut, entah darimana datangnya tiba-tiba terlihat olehnya seorang wanita berparas ayu, merekapun bertegur sapa dan berkenalan, perempuan itu bernama BORU SIBASOPAET. Tuan Sorbadibanua pun membawa perempuan itu ke kampungnya untuk dijadikan madu Nai Anting Malela.
Mengenai istri kedua Tuan Sorbadibanua ini menurut legenda adalah manusia hutan yang tidak punya saudara (mapultak sian batu madabu sian langit ). Dia menerima pinangan Tuan Sorbadibanua dengan syarat jagan sekali-kali menyebut dia putri dari hutan belantara yang tidak punya “hula-hula” yang tidak punya saudara. Syarat tersebut disetujui Tuan Sorbadibanua.
Legenda lain mengatakan, Boru Basopaet adalah manusia biasa yang tersesat di hutan ketika terpisah dari rombongannya. Mereka berasal dari tanah Jau ( Jawa ) bersama rombongan pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Raden Wijaya datang ke pinggiran danau Toba di dekat Balige sekarang, Boru Basopaet sendiri adalah adik perempuan Raden Wijaya.
Kedatangan pasukan Majapahit ke Pulau Morsa ( Andalas/Sumatera ) adalah dalam rangka memperluas wilayah kerajaan. Mereka sampai di tepian danau Toba setelah menaklukkan kerajaan Sriwijaya di Palembang, kerajaan Batanghari di Jambi sekarang, Kerajaan Portibi dan Muara Takus di perbatasan Tapanuli Selatan, Jambi dan Sumatera Barat sekarang.
Di daerah yang ditaklukkan tersebut, pasukan Majapahit mendirikan candi sebagai pertanda mereka pernah menguasai wilayah itu, antara lain Candi Portibi dan Candi Muara Takus. Sampai sekarang kedua candi tersebut masih ada walau kurang terawat.
Setelah perkawinan Tuan Sorbadibanua dengan Boru Basopaet, mereka mencari-cari rombongan dari Kerajaan Mojopahit, merekapun bertemu. Mengetahui adeknya telah kawin dengan Tuan Sorbadibanua, Raden Wijayapun menjalin hubungan persaudaraan dengan Tuan Sorbadibanua. Mereka menjadi teman akrab.
Pada setiap wilayah yang ditaklukkan oleh pasukan Mojopahit, mereka membawa para pemuda yang ada, dipilih yang gagah berani dan dijadikan pasukan kerajaan.
Pada suatu kesempatan, Raden Wijaya berbincang-bincang dengan “laenya” Tuan Sorbadibanua, dia berkeinginan mencari pemuda gagah berani untuk dijadikan prajurit perwira. Tuan Sorbadibanua mengajukan salah seorang ponakannya ( berenya) yang bernama si GAJA untuk dilatih menjadi prajurit. Dia seorang yang tampan gagah, tubuhnya besar tapi sangat nakal, ada-ada saja ulahnya yang membuat orang lain selalu menghindar kalau bertemu dengannya, tak ada yang berani melawan karena disamping tubuhnya yang besar dia juga memiliki kesaktian. Ketika ditawarkan kepadanya, dengan sangat sukacita dia menerima, maka berangkatlah dia bersama pasukan Majapahit yang pulang ke Jayadwipa.
Di kerajaan Majapahit, si Gaja dapat menempatkan diri, dia berlatih dengan tekut dan bersemangat. Karena dasarnya dia sudah memiliki kesaktian, maka “Diklat” prajurit yang diikutinya berjalan lancer, malah dikesempatan-kesempatan tertentu dialah yang menjadi pelatih para prajurit yang lain.
Si Gaja menjadi prajurit yang disegani ditengah-tengah pasukan kerajaan. Bersama si Gaja banyak juga pemuda-pemuda gagah dari Pulau Morsa (Sumatera) yang dibawa Raden Wijaya untuk dijadikan prajurit kerajaan, karena sudah kenal sejak semula dengan si Gaja, mereka sering latihan bersama, berperang bersama.
Sudah disebutkan di atas, si Gaja ini orang yang suka usil dan nakal, kendati sudah berada di kerajaan Majapahit keusilan dia tidak berkurang, malah dengan tambahan ilmu yang didapatnya bertambah juga kenakalan-kenakalannya, namun sering juga dia lebih duluan bertanya kepada teman-temannya yang berasal dari Sumatra apa yang akan mereka lakukan. Teman-temannya berkata : GAJAIMADA ISI. Artinya: perbuatlah sesukamu disitu.
Orang-orang atau prajurit yang berasal dari wilayah lain yang mendengar pembicaraan mereka berpikir bahwa sebutan itu ditujukan sebagai panggilan kepada si Gaja yang mereka kenal gagah berani sehingga berkesimpulan bahwa nama prajurit perwira ini adalah : GAJAMADA.Sejak itu Gajamada itu menjadi panggilan resminya.
Ada juga cerita lain yang menyebutkan bahwa si Gaja kawin dengan gadis dari Pulau Dewata ketika pasukan Majapahit menaklukkan salah satu kerajaan di pulau itu. Perempuan itu bernama si MADE, dan dari perkawinan mereka memperoleh anak yang biberi nama GAJAMADE, yaitu perpaduan antara nama si Gaja dan si Made karena mereka berasal dari pulau yang berbeda, dan lama kelamaan GAJAMADE berubah panggilan menjadi GAJAMADA.
Manapun yang benar dari legenda tersebut tetapi tetap mengaikan bahwa Gajamada masih mempunyai darah Batak. (Kata Legenda dan cerita).
Anting Malela akhirnya hidup bermadu dengan Boru Sibasopaet, hanya dengan demikian impian hatinya memperoleh keturunan dapat tercapai sebagimana petunjuk Mulajadi Nabolon.
Dari perkawinan Tuan Sorbadibanua dengan Anting Malela lahir 5 orang anak mereka yaitu :
1. Sibagot Nipohan,
2. Sipaettua,
3. Silahisabungan,
4. Siraja Oloan,
5. Siraja Hutalima.
Perkawinan Tuan Sorbadibanua dengan Boru Sibasopaet juga melahirkan anak, tetapi lahirnya anak tersebut ditandai dengan hal-hal yang tidak logika.
Pertama keluar dari rahim Boru Sibasopaet segumpal daging, tidak ada bentuk, si Boru Basopaet sangat sedih dan menangis karena yang dilahirkan bukan bentuk manusia, disamping itu akan timbul perasaan malu apabila orang lain mengetahuinya. Untuk menutupi kejadian tersebut dia menyembunyikan gumpalan daging tadi di tumpukan sekam padi (sobuon).
Demikianlah, si Boru Sibasopaet berlaku biasa sekan tidak terjadi apa-apa, tetapi hatinya luluh lantak bila teringat kejadian yang menimpanya. Dalam kesedihannya dia selalu mengasingkan diri di tepi hutan dan menangis disana. Suatu ketika, terdengar olehnya suara disela-sela suara suitan burung elang yang terbang melayang-layang di atas kampong mereka. Dengan kesaktiannya, hanya si Boru Sibasopaet yang dapat mengerti suara tersebut. Suara tersebut berkata bahwa pada waktunya gumpalan daging yang dia sembunyikan akan pecah, dari dalamnya akan keluar bayi mungil dan agar dinamai sesuai dengan tempat dia disembunyikan.
Benarlah kata suara tersebut, gumpalan daging itupun pecah dan dari dalamnya keluarlah seorang bayi mungil berparas tampan, tangisannya membahana memenuhi rumah mereka. Sesuai pesan yang didengar dan disampaikan kepadanya, si Boru Sibasopaet memberi nama kepada orok tersebut seperti nama tempat di disembunyikan yaitu : SOBU, karena dia disembunyikan di tumpukan SOBUON.
Kelahiran kedua juga demikian, hanya berupa gumpalan daging yang tidak berbentuk. Si Boru Sibasopaet menyembunyikan gumpalan daging itu diantara tumpukan kayu bakar ( soban, sumban ). Setelah gumpalan daging tadi pecah keluar pula bayi mungil yang kemudian diberi nama sesuai tempatnya disembunyikan : SUMBA, karena disembunyikan di tumpukan sumban.
Anak ketiga juga demikian halnya, lahir hanya berbentuk gumpalan daging, si Boru Sibasopaet menyembunyilan di salean yang sudah hitam pekat (naipos-iposon), setelah pecah dan keluar bayi mungil kepadanya diberikan nama sesuai tempat dia disembunyikan : NAIPOSPOS.
Dengan demikian maka anak Tuan Sorbadibanua ada 8 orang, lima orang dari isteri pertama Nai Anting Malela dan 3 orang dari Boru Sibasopaet. Anak Tuan Sorbadibanua ini termasuk pada generasi ke V dari si Raja Batak. Pada generasi ini nama anak Tuan Sorbadibanua yang menjadi marga sampai sekarang adalah POHAN dan NAIPOSPOS.
Dari anak-anak Tuan Sorbadibanua terlahir marga-marga yang sangat banyak dan terkenal sampai sekarang, masing-masing dari :
SIBAGOT NIPOHAN : disamping marga POHAN, keturunannya melahirkan marga-marga baru,
- Anak pertama Tuan Sihubil melahirkan marga: TAMPUBOLON.
- Anak kedua Tuan Somanimbil melahirkan marga : SIAHAAN, SIMANJUNTAK, HUTAGAOL.
- Anak ketiga Tuan Dibangarna melahirkan marga : PANJAITAN, SILITONGA, SIAGIAN, SIANIPAR.
- Dan anak keempat Sonak Malela melahirkan marga : SIMAGUNSONG, MARPAUNG, NAPITUPULU dan PARDEDE.
Dari anak pertama PANGULU PONGGOK lahir marga : HUTAHAEAN, ARUAN dan HUTAJULU.
Dari anak kedua : PARTANO, lahir marga-marga : SIBARANI, SIBUEA dan SARUMPAET.
Dari anak ketiga : PARDUNGDANG lahir marga-marga : PANGARIBUAN dan HUTAPEA.