Kamis, 26 Januari 2012

Sikap seorang Parmalim


Bagiku Parmalimku, Bagimu Agamamu !!!

SIPAHALIMA-Umat Parmalim meninggalkan lokasi peribadatan Komplek Bale Pasogit usai

melangsungkan ritual Sipahalima di Hutatinggi, Laguboti, Jumat (15/7).

PERASAAN mereka seperti komunitas marjinal di tanah kelahiran sendiri. Mereka dianggap sebagai ancaman atas kemapanan. Citra buruk sebagai orang yang tak beradab melekat pada mereka. Padahal, dalam ajaran atau kepercayaan yang mereka anut, mereka dilarang makan babi, anjing, apalagi darah. Ini tentang mereka, para Penghayat (penganut agama asli orang Batak; Parmalim).

Togu Marudut Sirait, seorangWiraswasta yang tinggal di Jalan Seksama, Gang Rela, Simpang Limun Medan, tak pernah lupa peristiwa, bagaimana guru mengusirnya keluar. Kata Togu, ekspresi wajah guru yang mengusirnya tampak kejam. Sang guru bukan hanya berkata sinis, bahkan memandang Togu jijik seperti nazis yang tak kunjung hilang.

“Semua itu hanya gara-gara saya tidak mau mengikuti pelajaran agama, karena saya pikir itu bukan agama saya. Apa yang salah dengan itu? Bukankah itu hal yang biasa?” katanya kepada analisa, Jumat (15/7) pasca kegiatan ritual Sipahalima di Huta Tinggi, Lagu Boti.

Kala itu dia masih duduk di kelas I Sekolah Menengah Atas (SMA). Guru agama yang mengusir Togu, merasa tersinggung ketika Togu meninggalkan kelas, beberapa saat sebelum pelajaran agama dimulai. Memang sang guru bertanya pada Togu, mengapa dia keluar? Togu menjawab, karena dia tidak menganut agama itu. Guru bertanya mengenai agama Togu. Dijawabnya, Parmalim. Guru kaget dan langsung mengusir Togu keluar kelas.

“Dia (guru) bilang, kalau bukan penganut agama ini, silahkan keluar,” kisahnya mengenang peristiwa itu.

Saat diluar kelas, sang Kepala Sekolah heran melihat Togu berada di luar kelas, lantas dia mendekati Togu, bertanya mengapa dia berada di luar kelas. Togu menjawab apa adanya. Mendengar jawaban Togu, Kepala Sekolah memintanya untuk datang ke ruangannya. “Saya duduk berhadapan dengan Kepala Sekolah, tak lama guru yang mengusir saya tadi pun dipanggil. Saat itu ada beberapa guru lain disana,” bebernya.

Ternyata tak Sendirian, Masih Banyak yang Lain

Selama di ruangan kepala sekolah, Togu pun menjelaskan tentang agama yang dianutnya. Diakui Togu, penjelasan panjang lebar yang diutarakannya, mengenai parmalim sulit diterima kepala sekolah beserta guru-guru lainnya. Pria bertubuh tinggi ini bilang, kening mereka berkerut saat mendengar penjelasan Togu. Dia tak menyerah, Togu bilang, kalaupun sekolah ini tidak mengijinkan seorang parmalim untuk bersekolah di sekolah itu, dia akan keluar. Kepala sekolah bingung, akhirnya setelah berembuk, sekolah pun menetapkan sebuah hari khusus pelajaran agama parmalim.

Rupanya, saat peristiwa itu merebak ke seluruh siswa, satu persatu siswa mulai berani terus terang, kalau mereka juga seorang parmalim. Selama ini siswa-siswa parmalim itu ‘pura-pura’ menjadi seorang penganut agama lain, agar diterima bersekolah di sekolah umum.

Faktanya, kejadian seperti itu bukanlah pertama kali dialami Togu atau anak-anak penganut Parmalim lainnya. Secara pribadi, Togu mengalami kendala selama dia menjalani proses pendidikan sembilan tahun (SD-SMP-SMA). Itu belum termasuk stigma buruk yang didapatinya dari sesama kawannya, ketika mengetahui agama yang dianutnya adalah Parmalim. Menurut Togu, masyarakat kerap salah kaprah dan sibuk dengan pikiran sendiri. Masyarakat tidak tahu tapi bersikap sok tahu. Parahnya, mereka tidak memiliki keinginan untuk mencari tahu. Paling tidak demi pengetahuannya sendiri.

“Kenapa tidak berprinsip bagiku agamaku, bagimu agamamu,” keluhnya.

Acara perkawinan agama Parmalim

Hal serupa juga dialami Rinto Sitorus (25), seorang penganut Parmalim asal Jakarta. Katanya, meskipun sudah berulangkali menjelaskan agama yang dianutnya kepada rekan-rekan kerjanya, tapi tak satu pun juga yang mengerti. “Karena saya berasal dari Tapanuli, teman-teman disana langsung berpikir bahwa saya adalah seorang kristen. Saya katakan tidak, saya bilang saya seorang Parmalim. Mereka malah bingung dan bertanya-tanya,” jelasnya kepada analisa, sebelum ritual Sipahalima dilangsungkan.

Untungnya perusahaan tempat dia bekerja tidak begitu mempersoalkan agama yang dianutnya, Rinto pun tak perduli dengan pendapat dan pikiran orang lain. Secara khusus, Rinto sudah menjelaskan kepada rekan-rekannya perihal Parmalim. Dia juga mengambil contoh tentang agama asli yang dianut orang Jawa (Kejawen).

Bale Parpitaan adalah tempat untuk mengugamohon atau tempat untuk meniatkan sajian yang hendak dipersembahkan oleh Ihutan, sedang Bale Pangaminan adalah untuk tempat perkumpulan para umat Ugamo Malim dan dapat di tempati menjadi tempat tinggal selama menunaikan upacara upacara.

“Bahkan saya juga tunjukkan kepada mereka foto, pun berita di koran; ulasan mengenai Parmalim. Tetap saja, tiap akhir tahun saya selalu ditanya, kenapa tidak pulang untuk Natalan. Capek deh,” bilangnya dengan logat Jakarta yang kental.

Terlepas dari itu, diungkapkan Rinto, Parmalim yang dianutnya ini adalah suatu pegangan iman yang diyakininya. Dia beragama parmalim bukan karena orang tuanya menganut Parmalim. “Mungkin saat saya masih kecil ditanya pertanyaan ini, saya akan jawab karena ikut orangtua. Kalau sekarang, saat dewasa seperti ini, saya jawab, ini pilihanku, bukan karena keturunan,” ujarnya.

Begitupun dengan Rizky (20), mahasiswa Universitas Medan (Unimed) ini, sengaja datang dari Kota Medan untuk mengikuti ritual Sipaha Lima di Huta Tinggi, Lagu Boti. Saat ditanya apa agamanya di KTP, Rizky menjawab ‘Kristen’. Pasalnya, dia belum berani untuk mengakui Parmalim sebagai agama di KTP-nya. Katanya sikapnya ini bukanlah bermaksud menghianati diri dan para leluhur. Justru hal ini sengaja dilakukannya karena ketahuandirinya. Rizky sadar negara belum bisa menerima Parmalim sebagai sebuah agama. Dia ingin mengecap pendidikan yang bermanfaat bagi masa depannya.

“Sistem itu terlalu kuat, saya hanya sendiri. Saya tak mampu merobohkan sistem. Jadi sikap saya, berdamai dan berkompromi dengan sistem yang ada. Terpenting saya berhasil dan bisa bermanfaat bagi diri, keluarga dan agama saya, Parmalim,” pungkasnya.

1 komentar:

dewanto mengatakan...

Memang ada tidak butuh pengakuan agama hidup di mana saja , asal tidak menganggu yang lain pesan ini saya kira berlaku bagi semua agama ,tidak saling menganggu dan menghakimi

Barus 1000 tahu yang lalu

PELETAKAN BATU PERTAMA PEMBANGUNAN TUGU RAJA TOGA LAUT PARDEDE DI LUMBAN JABI-JABI - BALIGE

Setelah terbentuknya panitia pembangunan Tugu Raja Toga Laut Pardede di Jakarta oleh beberapa keturunan Raja toga Laut Pardede yang berdomisili di jakarta sekitarnya (sejabodetabek)
maka diputuskanlah agar semua keturunan Raja Toga Laut Pardede ikut serta dalam Napak tilas show force keliling kota Balige pada tanggal 18 Agustus 2007, dengan rute dimulai Losmen Toga Laut Tawar, Tugu Naga Baling, Makam Raja Bona Ni Onan Pardede & Raja Paindoan Pardede dan ber akhir di Lumban Jabi-jabi / Tugu Raja Toga Laut Pardede, yang kemudian dengan kata-kata sambutan, oleh Tokoh-tokoh Sonak malela dll.