Rabu, 04 Agustus 2010

Budaya Indonesia di Mata Dunia

Mari kita pelihara dan lestarikan:

Bukanlah hal yang aneh kalau budaya Indonesia menjadi perhatian Dunia, baik Seni tari, alat musik, seni Suara maupun tradisi Religi seperti upacara adat, pencak silat (bela diri). Semua ini dimiliki semua suku bangsa yang ada di Indonesia mulai dari Ujung Barat Aceh dan suku bangsa yang di ujung Barat Indonesia.

Oleh karenanya mari kita pelihara dan kembangkan agar dunia tahu ini adalah milik Bangsa Indonesia.

clip_image002 clip_image004

clip_image006 clip_image008

clip_image010 clip_image012

clip_image014 clip_image016

clip_image018 clip_image020

clip_image022 clip_image024

clip_image026 clip_image028

Hingga sekarang ada 6 budaya Indonesia diakui secara Internasional

Dalam beberapa waktu ini telah terjadi klaim-mengklaim berbagai budaya Indonesia oleh Malaysia. Setelah sekian lama, akhirnya perjuangan untuk mendapatkan pengakuan UNESCO secara Internasional akhirnya tercapai juga. Dan atas pengakuan itu, Malaysia pun seharusnya merasa malu.

Berikut adalah budaya-budaya yang diakui oleh UNESCO sebagai budaya Indonesia antara lain :
clip_image029

1. WAYANG KULIT
UNESCO pada tanggal 7 November 2003 telah MENETAPKAN bahwa WAYANG KULIT adalah warisan budaya dunia yang BERASAL DARI INDONESIA.
Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata I Gede Ardika mengungkapkan, sejak 7 November 2003 lalu Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO) telah mengakui wayang sebagai World Master Piece of Oral and Intangible Heritage of Humanity.
clip_image0302. KERIS
United Nation Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) yang merupakan organisasi bidang pendidikan dan kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) MENGUKUHKAN KERIS INDONESIA sebagai karya agung warisan kemanusiaan milik seluruh bangsa di dunia. "Dunia telah mengakui keberadaan keris Indonesia, sekaligus mendapat penghargaan dunia sejak 25 November 2005," kata pendiri sekaligus Direktur Museum Neka Ubud, Pande Wayan Suteja Neka, Kamis (17/7).
clip_image0313. BATIK
Perjuangan Indonesia untuk mendapatkan pengakuan dunia atas batik sebagai warisan budaya asli Indonesia tidak sia-sia. United Nation Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) DIPASTIKAN akan mengukuhkan tradisi batik sebagai salah satu budaya warisan dunia ASLI INDONESIA pada Oktober 2009 mendatang di Perancis.
Demikian dikatakan oleh Direktur Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Tjetjep Suparman di Surakarta, Selasa (2/6/2009). “Butuh waktu tiga tahun untuk pengajuannya,” katanya. Sebelumnya, wayang dan keris juga telah mendapat pengakuan yang sama dari UNESCO beberapa waktu lalu.
“Enam negara yang merupakan perwakilan dari UNESCO telah melakukan pengkajian terhadap budaya batik,” kata Tjetjep. Setelah melakukan kajian serta verifikasi selama tiga tahun, akhirnya terdapat pengakuan terhadap budaya batik sebagai budaya MILIK INDONESIA. “Penetapannya pada 28 September 2009 besok,” kata Tjetjep. Sedangkan pengukuhannya baru akan dilakukan pada 2 Oktober 2009 di Perancis.
Sementara itu, perusahaan swasta produsen film dokumenter asal Malaysia, yakni KRU Sdn. Bhd. telah membuat film berjudul "Batik". Di situ dijelaskan bahwa batik Malaysia BERASAL DARI BATIK JAWA yang telah didesain menurut kultur Melayu di Malaysia. Begitu pula sejarah datangnya batik Jawa ke negara Malaysia.
Ada satu hal lagi yang lebih penting: MALAYSIA TIDAK PERNAH MEMATENKAN BATIK, karena BATIK MILIK INDONESIA. Yang dipatenkan oleh Malaysia HANYA MOTIF DAN CORAK, BUKAN BATIKNYA. "Kita sudah bicara dengan pihak budaya Malaysia dan mereka katakan tidak pernah patenkan batik. Yang dipatenkan motif dan coraknya," kata Sekretaris I Penerangan & Humas KBRI Kuala Lumpur, Malaysia, Eka A Suripto, Jumat (16/11/2007). Eka mengaku sudah melihat motif atau corak yang dipatenkan Malaysia dan bentuknya berbeda. "Motif Malaysia itu jarang. Kecuali kalau kita bisa buktikan. Dia tidak berani memakai motif batik Solo atau Pekalongan," imbuhnya.
Walaupun meskipun Malaysia tidak mematenkan batik, pemerintah RI tetap HARUS MEMATENKAN BATIK ke UNESCO - PBB untuk mengantisipasi adanya klaim batik oleh negara asing di masa-masa mendatang. Dan penetapan maupun pengukuhannya rencananya akan dilakukan pada tanggal 28 September 2009 dan 2 Oktober 2009 di Paris, Perancis.
4. RASA SAYANGE
Rasa Sayange
Reffrain:
Rasa sayange... rasa sayang sayange...
Eeee lihat dari jauh rasa sayang sayange
Bait:
Mana kancil akan dikejar, kedalam pasar cobalah cari...
Masih kecil rajin belajar, sudah besar senanglah diri
Si Amat mengaji tamat, mengaji Qur'an di waktu fajar...
Biar lambat asal selamat, tak kan lari gunung dikejar
Kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi...
Kalau ada umurku panjang, boleh kita berjumpa lagi
Pemerintah Malaysia akhirnya menyerah soal polemik lagu Rasa Sayange. Menteri Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Malaysia Rais Yatim telah bertemu dengan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Dalam pertemuan itu, MALAYSIA MENGAKUI BAHWA LAGU RASA SAYANGE ADALAH MILIK INDONESIA.
Ketua Umum DPP Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI) Dharma Oratmangun mengatakan, dalam kunjungan ke Malaysia, lahir kesepahaman antara Jero Wacik dan Rais Yatim. "Persoalan lagu Rasa Sayange selesai. Secara de facto, Malaysia mengakui itu milik Indonesia," kata Dharma pada tanggal 12 November 2007.
clip_image032

5. REOG PONOROGO
Pemerintah Malaysia akhirnya MENGAKUI BAHWA REOG PONOROGO ADALAH MILIK INDONESIA. Tetapi, memang kebudayaan tersebut telah disebarkan di Johor dan Selangor oleh masyarakat Ponorogo yang tinggal di Malaysia sejak bertahun-tahun lalu.
"Reog tetap masih MILIK BANGSA INDONESIA," ujar Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Zainal Abidin Mohammad Zin dari atas mobil pengeras suara milik pendemo, di depan Kantor Kedubes Malaysia, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis, 29 November 2007.
Zainal yang mengenakan baju koko berwarna biru itu, juga menegaskan sejarah berkembangnya Reog Ponorogo yang di Malaysia disebut sebagai Tarian Barongan.
"Sejarahnya rakyat Ponorogo pernah hijrah ke Johor dan Selangor. Anak cucu dari rakyat ini mengembangkan kebudayaan Reog Ponorogo yang mereka bawa dari Ponorogo. Namun, tetap saja asal-usul budaya ini tetap MILIK BANGSA INDONESIA," paparnya.
clip_image0336. TARI PENDET
Perlu diketahui di sini bahwa pemerintah Kerajaan Malaysia TIDAK PERNAH MENGKLAIM Tari Pendet sebagai budaya asal negara tersebut. Iklan pariwisata Malaysia yang menampilkan Tari Pendet adalah DIBUAT OLEH SWASTA, yakni Discovery Channel yang berbasis di Singapura. Discovery Channel Singapore pun tidak memiliki relasi apapun dengan pemerintah Diraja Malaysia.
Discovery Channel Singapore pun sudah meminta maaf atas kelalaian tersebut dan menyatakan dengan jelas bahwa TARI PENDET ADALAH MILIK INDONESIA, BUKAN MILIK MALAYSIA.
Dengan demikian, Tari Pendet yang muncul di film promosi Enigmatic Malaysia bukanlah promosi wisata Malaysia. Bukan juga diproduksi dan didanai oleh kementerian pariwisata, kementerian kebudayaan Malaysia atau PH Malaysia, tapi dibuat oleh Discovery Channel yang berbasis di Singapura.
DC Asia Inc pun sudah mengakui bahwa kesalahan ada di staf bagian promosi mereka. DC Asia Inc pun sudah menyatakan permohonan maaf atas kesalahan itu kepada kementerian pariwisata Indonesia.
Tuduhan Malaysia telah mengklaim tari Pendet Bali itu tidak benar. Dan DC menyatakan tari Pendet itu milik Malaysia juga tidak benar, yang benar tari Pendet itu memang milik Indonesia dan Bali.
Sekarang udah kelihatan siapa yang bener dan siapa yang tidak. Kita tidak perlu caci maki bikin rusuh. Yang penting adalah bagaimana kita bisa mencintai dan melestarikan budaya kita sendiri sehingga tidak dicuri oleh negara lain.
UNESCO rencananya akan meresmikan batik di Paris, 2 Oktober 2009, mari kita semua pakai batik, untuk menghargai kerja pemerintah kita sehingga akhirnya batik diakui oleh masyarakat internasional.

Sabtu, 22 Mei 2010

Tata Cara Pelaksanaan adat -8

BAB VI

TATA CARA ADAT

AMPANG

-Tata Acara dan Urutan Sistem Pernikahan Adat Na Gok
1. Mangarisika.

Adalah kunjungan utusan pria yang tidak resmi ke tempat wanita dalam rangka penjajakan. Jika pintu terbuka untuk mengadakan peminangan maka pihak orang tua pria memberikan tanda mau (tanda holong dan pihak wanita memberi tanda mata). Jenis barang-barang pemberian itu dapat berupa kain, cincin emas, dan lain-lain.
2. Marhori-hori Dinding/marhusip.

Pembicaraan antara kedua belah pihak yang melamar dan yang dilamar, terbatas dalam hubungan kerabat terdekat dan belum diketahui oleh umum.

3. Marhata Sinamot.

Pihak kerabat pria (dalam jumlah yang terbatas) datang oada kerabat wanita untuk melakukan marhata sinamot, membicarakan masalah uang jujur (tuhor).

4. Pudun Sauta.

Pihak kerabat pria tanpa hula-hula mengantarkan wadah sumpit berisi nasi dan lauk pauknya (ternak yang sudah disembelih) yang diterima oleh pihak parboru dan setelah makan bersama dilanjutkan dengan pembagian Jambar Juhut (daging) kepada anggota kerabat, yang terdiri dari :

A.Kerabat marga ibu (hula-hula)

B.Kerabat marga ayah (dongan tubu)

C.Anggota marga menantu (boru)

D.Pengetuai (orang-orang tua)/pariban, Diakhir kegiatan Pudun Saut maka pihak keluarga wanita dan pria bersepakat menentukan waktu Martumpol dan Pamasu-masuon.

5. Martumpol (baca : martuppol).

Penanda-tanganan persetujuan pernikahan oleh orang tua kedua belah pihak atas rencana perkawinan anak-anak mereka dihadapan pejabat gerejab.. Tata cara Partumpolon dilaksanakan oleh pejabat gereja sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tindak lanjut Partumpolon adalah pejabat gereja mewartakan rencana pernikahan dari kedua mempelai melalui warta jemaat, yang di HKBP disebut dengan Tingting (baca : tikting). Tingting ini harus dilakukan dua kali hari minggu berturut-turut. Apabila setelah dua kali tingting tidak ada gugatan dari pihak lain baru dapat dilanjutkan dengan pemberkatan nikah (pamasu-masuon).

6. Martonggo Raja atau Maria Raja.

Adalah suatu kegiatan pra pesta/acara yang bersifat seremonial yang mutlak diselenggarakan oleh penyelenggara pesta/acara yang bertujuan untuk :

A. Mempersiapkan kepentingan pesta/acara yang bersifat teknis dan non teknisb..

B. Pemberitahuan pada masyarakat bahwa pada waktu yang telah ditentukan ada pesta/acara pernikahan dan berkenaan dengan itu agar pihak lain tidak mengadakan pesta/acara dalam waktu yang bersamaan.
C. Memohon izin pada masyarakat sekitar terutama dongan sahuta atau penggunaan fasilitas umum pada pesta yang telah direncanakan.
7. Manjalo Pasu-pasu Parbagason (Pemberkatan Pernikahan).
A. Pengesahan pernikahan kedua mempelai menurut tatacara gereja (pemberkatan pernikahan oleh pejabat gereja).

B. Setelah pemberkatan pernikahan selesai maka kedua mempelai sudah sah sebagai suami-istri menurut gereja.

C.Setelah selesai seluruh acara pamasu-masuon, kedua belah pihak yang turut serta dalam acara pamasu-masuon maupun yang tidak pergi menuju tempat kediaman orang tua/kerabat orang tua wanita untuk mengadakan pesta unjuk

D.Pesta unjuk oleh kerabat pria disebut Pesta Mangalap parumaen (baca : parmaen)

8. Pesta Unjuk.

Suatu acara perayaan yang bersifat sukacita atas pernikahan putra dan putri.

Ciri pesta sukacita ialah berbagi jambar :

[a]. Jambar yang dibagi-bagikan untuk kerabat parboru adalah jambar juhut (daging) dan jambar uang (tuhor ni boru) dibagi menurut peraturan.

.Jambar yang dibagi-bagikan bagi kerabat paranak adalah dengke (baca : dekke) dan ulos yang dibagi menurut peraturan. Pesta Unjuk ini diakhiri dengan membawa pulang pengantin ke rumah paranak.
9. Mangihut di ampang (dialap jual).

Yaitu mempelai wanita dibawa ke tempat mempelai pria yang dielu-elukan kerabat pria dengan mengiringi jual berisi makanan bertutup ulos yang disediakan oleh pihak kerabat pria.

10. Ditaruhon Jual.

Jika pesta untuk pernikahan itu dilakukan di rumah mempelai pria, maka mempelai wanita dibolehkan pulang ke tempat orang tuanya untuk kemudian diantar lagi oleh para namborunya ke tempat namborunya. Dalam hal ini paranak wajib memberikan upa manaru (upah mengantar), sedang dalam dialap jual upa manaru tidak dikenal.
11. Paranak makan bersama di tempat kediaman si Pria (Daulat ni si Panganon)


A. Setibanya pengantin wanita beserta rombongan di rumah pengantin pria, maka diadakanlah acara makan bersama dengan seluruh undangan yang masih berkenan ikut ke rumah pengantin pria.
B. Makanan yang dimakan adalah makanan yang dibawa oleh pihak parboru
12. Paulak Une.


A. Setelah satu, tiga, lima atau tujuh hari si wanita tinggal bersama dengan suaminya, maka paranak, minimum pengantin pria bersama istrinya pergi ke rumah mertuanya untuk menyatakan terima kasih atas berjalannya acara pernikahan dengan baik, terutama keadaan baik pengantin wanita pada masa gadisnya (acara ini lebih bersifat aspek hukum berkaitan dengan kesucian si wanita sampai ia masuk di dalam pernikahan).

B. Setelah selesai acara paulak une, paranak kembali ke kampung halamannya/rumahnya dan selanjutnya memulai hidup baru.

13. Manjahe.

Setelah beberapa lama pengantin pria dan wanita menjalani hidup berumah tangga (kalau pria tersebut bukan anak bungsu), maka ia akan dipajae, yaitu dipisah rumah (tempat tinggal) dan mata pencarian.
14. Maningkir Tangga (baca : manikkir tangga)


A. Beberapa lama setelah pengantin pria dan wanita berumah tangga terutama setelah berdiri sendiri (rumah dan mata pencariannya telah dipisah dari orang tua si laki-laki) maka datanglah berkunjung parboru kepada paranak dengan maksud maningkir tangga (yang dimaksud dengan tangga disini adalah rumah tangga pengantin baru).
B. Dalam kunjungan ini parboru juga membawa makanan (nasi dan lauk pauk, dengke sitio tio dan dengke simundur-mundur).Dengan selesainya kunjungan maningkir tangga ini maka selesailah rangkaian pernikahan adat na gok.

(bersambung-9)

Jumat, 26 Maret 2010

Akhirnya Tugu Raja Toga Laut di resmikan !

Setelah beberapa lama pembangunan tugu sempat berhenti sehubungan dengan kesibukan-kesibukan yang tidak terelakkan dari pengurus di Jakarta terutama ketua pembangunan yaitu Bapak Bolden Pardede. Keberhasilan dari Pembangunan tidak terlepas dari keseriusan beliau disamping pengurus yang berada di bona pasogit /Balige.
Ada keistemewaan lokasi pembangunan tugu tersebut dimana berdiri dua Tugu dua marga dengan latar belakang yang berbeda dan era yang berbeda pula, ditanah marga Pardede yang tidak terlepas dari sejarah perjuangan/pengorbanan Indonesia khususnya Batak toba :
1- Raja Toga Laut Pardede adalah penguasa lokasi tersebut yang namanya Lumban Jabijabi,
Lumban ini pernah melahirkan seorang tokoh yang cukup dikenal baik di Indonesia bahkan di eropah yang bernama Guru Somalaing Pardede di eropah namanya Guru Somalaing Aji Pardede sebagai toko spritual Batak disamping pejuang penasehat dan panglima Sisingamangaraja XII.
2- Mayor Jenderal Anumerta D.I. Panjaitan (1925-1965).


Jenderal kelahiran Balige, Tapanuli yang bernama lengkap Donald Isac Panjaitan, ini masuk militer pada jaman pendudukan Jepang. Setelah lebih dulu mengikuti latihan Gyugun, ia selanjutnya ditugaskan di Gyugun Pekanbaru, Riau. Setelah kemerdekaan RI, ia merupakan salah seorang pembentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Keberhasilan Mayor Jenderal Anumerta D.I. Panjaitan membongkar rahasia kiriman senjata dari Republik Rakyat Cina (RRC) untuk Partai Komunis Indonesia (PKI) serta penolakannya terhadap rencana PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri atas buruh dan tani, membuat dirinya masuk daftar salah satu perwira Angkatan Darat yang dimusuhi oleh PKI. Kebencian PKI itu kemudian berujung pada aksi penculikan serta pembunuhan dirinya saat pemberontakan Gerakan 30 September 1965.
Memang diakui letak lokasi Tugu berada di pusat kota dan strategis, oleh karenanya Belada pra kemerdekaan menguasai dengan paksa perkampungan Raja Toga Laut dan didirikan pusat kegiatan Belanda, hingga kemerdekaan.
Dengan Berkat Tuhan Yang Maha Esa akhirnya pendirian Tugu Raja Toga Laut boleh dikatakan selesai yang di putuskan oleh Panitia pesta peresmian Tugu yang diketuai oleh saudara Samson Pardede dan seketaris Sahala Pardede dilaksanakan pada tanggal 23 dan 24 Juni 2010 di Lumban Jabijabi Balige.
Bagi keturunan Raja Toga Laut yang ingin mendapat kan Informasi lengkapa dapat menghubungi seketariat panitia Pesta an Sahala Pardede HP: 0812-6443-0133 dengan alamat Losmen Toga Laut Tawar Balige, atau Bapak Bolden Pardede di Jakarta .

Kamis, 11 Februari 2010

Misteri Sisingamangaraja XII

Surat Sisingamangaraja ke Hatorusan

clip_image002 clip_image004

Surat menyurat antara dua kerajaan Batak, yakni Kerajaan Sisingamangaraja (Ada 12 Dinasti) dengan Kerajaan Batak lainnya, yakni Kerajaan Maritim Batak, yakni Kerajaan Hatorusan sering berlangsung sejak dahulu kala.
Kedua kerajaan ini memadukan kekhasan filosofi dan kekayaan kebudayaan batak. Dinasti Hatorusan dengan pendirinya Raja Uti dianggap sebagai tokoh spiritual dalam agama Sisingamaraja, Parmalim.
Di Barus sendiri, terdapat dua kerajaan Batak yang saling mendukung satu sama lainnya. Yang pertama, Kesultanan Dinasti Pardosi yang menjadi penguasa di Barus Hulu dan Kesultanan Dinasti Hatorusan (Pasaribu) yang menjadi penguasa di Hilir.
Sebuah surat, yang pernah terekam, dikirim oleh pihak dinasti SM Raja ke dinasti Hatorusan (Tuanku di Ilir) sebagai sebuah protes mengenai kedekatan pihak Hatorusan dengan pihak Belanda (Eropa) yang saat itu diyakini akan membawa malapetaka. Sebuah keyakinan yang terwujud dengan penjajahan Belanda di tanah Batak.
Gambar di atas merupakan, stempel kerajaan di atas surat yang dikirim pihak Sisingamangaraja ke Hatorusan. Uli Kozok menuliskannya dalam tulisannya: The Seals of The Last Sisingamangaraja. Surat tersebut dikirim pada tahun 1887.
Untuk lebih lengkapnya surat tersebut dapat di lihat di : Perpustakaan Nasional RI, di Jakarta, No. Vt. 158b.
Stempel yang sama juga pernah dikirimkan pihak Belanda di Padang Panjang. Dimana Sisingamangaraja mengumumkan bahwa dia sudah mengirim utusannya ke pihak Gubernur Jenderal Belanda di Batavia. Surat tersebut pernah dicetak kembali dan diterjemahkan dalam Lumbantobing (1967: 103)

Keristen, Parmalim atau Islam Sisingamangaraja XII

clip_image006

Selama ini banyak kontroversi yang muncul di masyarakat tentang agama yang dianut Sisingamangaraja XII.Ada yang mengatakan beragama Kristen, Islam, bahkan tidak sedikit yang menyebut beragama Parmalin.

Menurut sebagian orang, Parmalin merupakan agama aslinya orang Batak Menurut peneliti sejarah dari University of Hawaii, Minoa, Amerika Prof Uli Kozok, Raja Sisingamangaraja XII bukan beragama Islam, Kristen, maupun Parmalin, melainkan beragama Batak asli. “Dia bukan Kristen, Islam, atau Parmalin. Agama aslinya orang-orang Batak ada khusus, bukan Parmalin.

Kalau Parmalin campuran Islam dan Kristen”, papar Uli di Medan kemarin. Ketika agama Parmalin berkembang di Tanah Batak, Sisingamangaraja XII sendiri sudah berada di Dairi dalam pengungsian menghindari serbuan-serbuan tentara Belanda. “Jadi agama Sisingamangaraja XII adalah Batak asli yang usianya jauh lebih tua dari agama Parmalin”, bebernya.

Pada bagian lain peneliti senior ini menjelaskan, dalam melakukan komunikasi dengan pihak luar melalui surat, Sisingamangaraja XII ternyata menggunakan tiga jenis stempel berbeda. Hal itu diketahui dari cap yang dibubuhkan pada surat-suratnya yang ditujukan ke Pemerintah Belanda maupun Zending Kristen IL Nomensen. “Sisingamangaraja XII telah melakukan tiga kali percobaan dalam pembuatan stempel untuk berhubungan dengan pihak lain. Stempel yang ketiga bentuknya lebih baik dan sempurna dari dua stempel sebelumnya,” kata Uli Kozok. Ada empat surat Sisingamangaraja XII yang saat ini sedang dia teliti, tiga surat ditujukan kepada Zending Kristen IL Nomensen dan satu surat ditujukan kepada Pemerintah Hindia Belanda.

IL Nomensen sebenarnya sangat tidak suka terhadap Sisingamangaraja XII karena sangat menentang kehadirannya di tanah Batak. Bahkan IL Nomensen pernah mengatakan musuh abadi Pemerintah Belanda dan Zending Kristen adalah Sisingamangaraja XII. “Nommensen pula yang memanggil tentara Belanda agar masuk ke tanah Batak dengan menggunakan pasukan yang terdiri atas orangorang Jawa, Manado, dan Maluku.

Saat ini keempat surat-surat asli Sisingamangaraja XII tersebut masih tersimpan dengan cukup baik di Wuppertal Jerman,”ujarnya. Justru paling menarik di stempel dan isi surat itu, kata Uli, Sisingamangaraja XII tidak menggunakan aksara Batak Toba, sebagai daerah asalnya. Namun,sudah menggunakan campuran aksara Batak Mandailing Angkola, Arab Melayu, dan huruf kawi. Itu membuktikan campuran budaya sudah masuk pada masa itu. Selain itu, Sisingamangaraja XII sebenarnya tidak mengenal huruf dan tulisan. Untuk itu, digunakan dua orang juru tulis dalam persoalan surat- menyurat, yakni Heman Silaban dan Manse Simorangkir.  Kedua juru tulisnya tersebut merupakan alumni Zending IL Nomensen yang kemudian berbelok arah memihak Sisingamangaraja karena tidak lulus dalam ujian menjadi guru.

Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial Unimed Ichwan Azhari mengatakan, masih banyak misteri yang masih perlu diteliti lebih jauh tentang Sisingamangaraja XII, baik tentang hidupnya, surat-suratnya, maupun agamanya. Tentang kematiannya juga masih menjadi misteri. Kalau benar Sisingamangaraja XII di tembak mati oleh serdadu Belanda bernama Christopel, kenapa dia tidak naik pangkat seperti layaknya pasukan-pasukan Belanda lainnya yang berhasil mematahkan perlawanan-perlawanan musuh. “Begitu juga dengan surat-suratnya yang sudah berusia lebih dari 100 tahun. Kita tidak mengetahui apa sebenarnya isinya. Semua ini masih menjadi tanda tanya di kalangan sejarawan”, ujarnya.

Rabu, 27 Januari 2010

Sudahkah tepat Demokrasi yang kita anut - 2

B. Torehan Kolonial
Negara Indonesia secara yuridis memang baru berdiri pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan demikian, jika berbicara demokrasi Indonesia mustinya dibicarakan sejak Indonesia merdeka tersebut. Akan tetapi dalam perspektif waktu, kehadiran Republik Indonesia sesungguhnya melalui proses yang panjang, terutama masa Kolonial. Jika demokrasi dipandang sebagai pagam yang anti otokrasi, maka sesungguhnya demokrasi memiliki akar juga di masa Kolonial. Untuk itu sebagai kajian historis, perlu kiranya dilacak akar-akar demokrasi yang pernah diciptakan pada masa kolonial.
Negara Kolonial (Hindia Belanda) sesungguhnya bukan sebuah negara demokrasi. Akan tetapi di negeri induknya dijalankan sistem pemerintahan demokrasi. Ide-ide demokrasi berpengaruh terhadap pemikiran para pejabat kolonial, sehingga banyak muncul pemikiran untuk mengubah tatanan pemerintahan yang dianggapnya sebagai “feudal”. Percobaan demokrasi di Indonesia pada masa Kolonial dimulai dari tingkat desa. Ini sangat menarik untuk dicermati karena banyak pengamat yang mengatakan bahwa demokrasi merupakan sistem yang asli di Indonesia, terutama di tingkat desa.
Pertanyaannya mengapa ujicoba demokrasi dimulai dari desa?
Jan Breman (1979) mengemukakan bahwa paham yang mengatakan bahwa desa-desa di Jawa yang dikatakan sebagai desa demokratis sesungguhnya konstruksi kolonial. Desa-desa yang dikatakan “asli”, sebelum mendapat sentuhan Kolonial adalah kepanjangan tangan atau bagian dari sistem feudal yang lebih tinggi dalam tatanan masyarakat Jawa. Hal ini sesuai dengan temuan Wasino (2008) yang membuktikan bahwa di wilayah pusat kekuasaan Jawa, Surakarta tidak ada pemilihan kepala desa hingga awal kemerdekaan. Desa-desa di wilayah tersebut merupakan desa-desa yang terlambat menerima pengaruh Kolonialisme.
Menurut Schiecke (1929) desa-desa di Jawa bukanlah sebuah rumah tangga tertutup yang dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Desa-desa itu sesungguhnya bagian dari struktur dualistik dari sistem kerajaan Jawa yang mendasarkan diri pada pembagian wilayah terdiri dari lingkungan keraton dan desa. Kepala desa merupakan penghubung antara petani dengan administrasi kerajaan. Situasi ini berlangsung sejak abad ke-7 hingga abad ke -18. Kepala-kepala desa diangkat berdasarkan keturunan, dan yang masih dianggap setia kepada administrasi kerajaan. Sejak abad XIX, Pemerintah Kolonial Belanda secara`resmi berkuasa atas wilayah Jawa. Sejak itu ada pemikiran bagaimana menguasai pemerintahan hingga tingkat desa agar dapat digunakan sebagai pendukung kebijakan-kebijakan Kolonial.
Salah satu caranya adalah memangkas hubungan feodal masyarakat Jawa dengan cara memperkuat institusi desa. Daendels pada tahun 1809 mulai memperkenalkan sebuah sistem pemungutan suara pada tingkat paling bawah. Di Cirebon, yang termasuk dalam wilayah Priangan di desa-desa yang lebih besar diangkat dua orang kepala ( Kuwu atau mantri dan dan prenta atau pretinggi). Sementara itu pada desa-desa yang lebih kecil hanya diangkat seorang parenta atau lurah. Dukuh-dukuh yang kurang dari enam keluarga digabungkan ke desa terdekat dan penduduknya dipaksa pindah ke sana. Tradisi pemilihan kepala desa yang dibuat di Cirebon awal abad XIX itu berkembang di kebanyakan desa-desa yang dikuasi secara langsung oleh Pemerintah Kolonial Belanda, misalnya di Pati di Jawa Tengah (Husken,1998).
Tradisi pemilihan kepala desa itu yang kini berlanjt dan dikenal sebagai demokrasi desa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa demokrasi yang menjadi ikon masyarakat desa pada saat ini asal-usulnya adalah sebuah konstruksi Kolonial.
Pada level nasional, awal mula berkembangnya gagasan dan konsep demokrasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan situasi sosial politik masa kolonial pada tahun-tahun pertama abad ke-20 yang ditandai dengan beberapa perkembangan penting: Pertama, mulai terbuka terhadap arus informasi politik di tingkat global. Kedua, “migrasi” para para aktifis politik berhaluan radikal Belanda, umumnya mereka adalah para buangan politik, ke Hindia Belanda. Di wilayah yang baru ini mereka banyak memperkenalkan ide-ide dan gagasan politik modern kepada para pemuda bumiputera. Dapat dicatat disini para “migran politik’ tersebut antara lain; Bergsma, Baars, Sneevliet, dan beberapa yang lain. Ketiga, transformasi pendidikan di kalangan masyarakat pribumi (van Niel,1984).
Pemikiran tentang demokrasi mengelora di sejumlah aktivis pergerakan. Maka terbentuklah organisasi-organisasi yang berhaluan politik untuk menyuarakan suara rakyat di dalam sebuah sistem Kolonial. Suara-suara itu ada yang disalurkan melalui parlemen dan ada yang di di luar parlemen Hindia Belanda yang dikenal sebagai Volksraad atau Dewan Rakyat. Banyak anggota partai politik yang tidak bersedia duduk dalam parlemen Hindia Belanda itu, seperti para aktivis PNI, ISDV, NIP, dan sebagainya. Mereka dikenal sebagai kaum nasionalis radikal. Akan tetapi banyak juga, yang dikenal sebagai kaum nasionalis moderat yang bersedia duduk di Parlemen untuk memperjuangkan nasib rakyat Indonesia dalam lembaga demokrasi bentukan Belanda itu (Budi Utomo, 1995).
Saya kira perlu dikemukakan secara khusus tentang lembaga yang dinamakan Volsraad ini karena merupakan tempat berlatih demokrasi prosedural pasca Indonesia merdeka. Lemabaga ini d ibentuk sebagai dampak gerakan nasional serta perubahan yang mendasar di seluruh dunia dengan selesainya Perang Dunia I (1914-1918).
Volksraad dibentuk pada tanggal 16 Desember 1916 (Ind. Stb. No. 114 Tahun 1917) dengan dilakukannya penambahan bab baru yaitu Bab X dalam Regeerings Reglement 1914 yang mengatur tentang pembentukan Volksraad. Pembentukan tersebut baru terlaksana pada tahun 1918 oleh Gubernur Jeneral Mr. Graaf van Limburg Stirum.
Volksraad sebagai sebuah lembaga dalam konteks Indonesia sebagai wilayah jajahan pada saat itu memang hanya merupakan basa basi politik pemerintahan kolonial.
Lewat pemilihan yang bertingkat-tingkat dan berbelit, komposisi keanggotaan Volksraad pada mulanya tidak begitu simpatik.
Pemilihan orang untuk mengisi jabatan Volksraad diawali dengan pembentukan berbagai “Dewan Kabupaten” dan “Haminte Kota”, di mana setiap 500 orang Indonesia berhak memilih “Wali Pemilih” (Keesman). Kemudian Wali Pemilih inilah yang berhak memilih sebagian anggota Dewan Kabupaten. Kemudian setiap provinsi mempunyai “Dewan Provinsi”, yang sebagian anggotanya dipilih oleh Dewan Kabupaten dan Haminte Kota di wilayah provinsi tersebut. Sebagian besar anggota Dewan Provinsi yang umumnya dari bangsa Belanda, diangkat oleh Gubenur Jenderal. Susunan dan komposisi Volksraad yang pertama (1918) beranggotakan 39 orang (termasuk ketua), dengan perimbangan:
1. Dari jumlah 39 anggota Volksraad, orang Indonesia Asli melalui “Wali Pemilih” dari “Dewan Provinsi” berjumlah 15 anggota (10 orang dipilih oleh “Wali Pemilih” dan 5 orang diangkat oleh Gubernur Jenderal)
2. Jumlah terbesar, atau 23 orang, anggota Volksraad mewakili golongan Eropa dan golongan Timur Asing, melalui pemilihan dan pengangkatan oleh Gubernur Jenderal (9 orang dipilih dan 14 orang diangkat).
3. Adapun orang yang menjabat sebagai ketua Volksraad bukan dipilih oleh dan dari anggota Volksraad sendiri, melainkan diangkat oleh mahkota Nederland (Marbun, 1992).
Kebanyakan anggota Volksraad berasal dari dewan-dewan Kota Praja dan keresidenan, dan sebagian lagi diangkat oleh gubernur jenderal. Ketika itu telah terpilih 10 dari 15 orang bumiputra yang dicalonkan. Sutherland menyebutkan bahwa ada empat orang bupati yang menjadi anggota dewan rakyat saat pembentukannya, yaitu: Koesoemo Oetojo, Djajadiningrat, Koesoemojoedo dan Soejono. Sutherland (1983:178).
Dalam perkembangannya, Volksraad mengalami peubahan jumlah anggota.
Pada tahu 1927, lembaga ini terdiri dari seorang ketua yang diangkat oleh raja Belanda dengan anggota 55 orang. Ketika itu anggota dari kalangan bumiputra hanya 25 orang. Pada tahun 1930, Volksraad terdiri dari 1 orang ketua, dan 60 orang anggota. Anggota Volksraad dari kalangan bumiputra sebanyak 30 orang.
Setelah banyak orang Indonesia yang berpengalaman dalam dewan rakyat, maka muncul beberapa usul anggota untuk mengubah susunan dan pengangkatan Volksraad ini agar dapat dijadikan tahap menuju Indonesia merdeka, namun selalu ditolak. Salah satunya adalah “Petisi Sutardjo” pada tahun 1935 yang berisi "permohonan kepada Pemerintah Belanda agar diadakan pembicaraan bersama antara Indonesia dan Berlanda dalam suatu perundingan mengenai nasib Indonesia di masa yang akan datang", atau Gerakan Indonesia Berparlemen dari Gabungan Politik Indonesia. Petisi ini juga ditolak pemerintah kolonial Belanda.

C. Demokrasi Parlementer/ Liberal
Setelah Hindia Belanda berada di bawah pendudukan Jepang, lembaga Volksraad dibubarkan. Sistem pemerintahan menjadi sistem pemerintahan militer, sehingga demokrasi sama sekali mengalami kemandegan. Kondisi ini baru mengalami perubahan berarti setelah Indonesia merdeka.
Momentum historis perkembangan demokrasi setelah kemerdekaan di tandai dengan keluarnya Maklumat No. X pada 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Hatta. Dalam maklumat ini dinyatakan perlunya berdirinya partai-partai politik sebagai bagian dari demokrasi, serta rencana pemerintah menyelenggarakan pemilu pada Januari 1946. Maklumat Hatta berdampak sangat luas, melegitimasi partai-partai politik yang telah terbentuk sebelumnya dan mendorong terus lahirnya partai-partai politik baru. Pada tahun 1953 Kabinet Wilopo berhasil menyelesaikan regulasi pemilu dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 Pemilu. Pemilu multipartai secara nasional disepakati dilaksanakan pada 29 September 1955 (untuk pemilhan parlemen) dan 15 Desember 1955 (untuk pemilihan anggota konstituante).
Pemilihan Umum Indonesia 1955 adalah pemilihan umum pertama di Indonesia dan diadakan pada tahun 1955. Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia yang paling demokratis. Pemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif; beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya pimpinan Kartosuwiryo. Dalam keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas di daerah rawan digilir datang ke tempat pemilihan. Pemilu akhirnya pun berlangsung aman.
Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah. Pemilu ini dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini
diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu,
Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia mendapatkan 57 kursi DPR dan 119 kursi Konstituante (22,3 persen), Masyumi 57 kursi DPR dan 112 kursi Konstituante (20,9 persen), Nahdlatul Ulama 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante (18,4 persen), Partai Komunis Indonesia 39 kursi DPR dan 80 kursi Konstituante (16,4 persen), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (2,89 persen). Partaipartai lainnya, mendapat kursi di bawah 10. Seperti PSII (8), Parkindo (8), Partai Katolik (6), Partai Sosialis Indonesia (5). Dua partai mendapat 4 kursi (IPKI dan Perti). Enam partai mendapat 2 kursi (PRN, Partai Buruh, GPPS, PRI, PPPRI, dan Partai Murba). Sisanya, 12 partai, mendapat 1 kursi (Baperki, PIR Wongsonegoro, PIR Hazairin, Gerina, Permai, Partai Persatuan Dayak, PPTI, AKUI, PRD, ACOMA dan R. Soedjono Prawirosoedarso.
Pemilu pertama nasional di Indonesia ini dinilai berbagai kalangan sebagai proses politik yang mendekati kriteria demokratis, sebab selain jumlah parpol tidak dibatasi, berlangsung dengan langsung umum bebas rahasia (luber), serta mencerminkan pluralisme dan representativness. Fragmentasi politik yang kuat berdampak kepada ketidakefektifan kinerja parlemen hasil pemilu 1955 dan pemerintahan yang dibentuknya. Parlemen baru ini tidak mampu memberikan terobosan bagi pembentukan pemerintahan yang kuat dan stabil, tetapi justru mengulangi kembali fenomena politik sebelumnya, yakni “gonta-ganti” pemerintahan dalam waktu yang relatif pendek.
Ketidakefektifan kinerja parlemen memperkencang serangan-serangan yang mendelegitimasi parlemen dan partai-partai politik pada umumnya. Banyak kritikan dan kecaman muncul, bahkan tidak hanya dilontarkan tokoh-tokoh “anti demokrasi”.
Hatta dan Syahrir menuduh para politisi dan pimpinan partai-partai politik sebagai orang yang memperjuangkan kepentingannya sendiri dan keuntungan kelompoknya, bukan mengedepankan kepentingan rakyat. Namun begitu, mereka tidak menjadikan demokrasi parlementer sebagai biang keladi kebobrokan dan kemandegan politik. Hal ini berbeda dengan Soekarno yang menempatkan demokrasi parlementer atau demokrasi liberal sebagai sasaran tembak. Soekarno lebih mengkritik pada sistemnya.
Kebobrokan demokrasi liberal yang sedang diterapkan, dalam penilaian Soekarno, merupakan penyebab utama kekisruhan politik. Maka, yang paling mendesak untuk keluar dari krisis politik tersebut adalah “mengubur” demokrasi liberal yang dalam pandangannya tidak cocok untuk dipraktikkan di Indonesia. Akhirnya, Soekarno menyatakan demokrasi parlementer tidak dapat digunakan untuk revolusi, “parliamentary democracy is not good for revolution”.
Pemilu 1955 tidak dilanjutkan sesuai jadwal pada lima tahun berikutnya, 1960.
Hal ini dikarenakan pada 5 Juli 1959, dikeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945

Bersambung ….

Sudahkah tepat Demokrasi yang kita anut-1

A. Pendahuluan

Jika orang berbicara “demokrasi”, maka yang muncul dalam benak kita adalah sebuah sistem politik yang menekankan suara rakyat sebagai penentu kebijakan. Memang, secara asal katanya demokrasi atau “democracy”, berasal dari kata “demos” dan “kratos’, sebuah bahaya Yunani yang berari kekuasaan di tangan rakyat. Harus diakui memang “konsep demokrasi” sesunguhnya berasal dari dunia pemikiran politik Yunani. Dalam karya klasik Yunani yang berjudul Polis, demokrasi mengacu pada konstitusi (sistem pemerintahan) tempat rakyat yang lebih miskin lebih bisa menggunakan kekuasaan untuk membela kepentingan mereka yang acap kali berbeda dengan kepentingan kaum kaya dan kaum bangsawan (Loytard,1996:214).
Dalam impelementasinya di Yunani, demokrasi dalam pengertian sistem pengambilan suara dilakukan secara langsung. Konsep demokrasi yang berkembang dalam alam pemikiran Yuniani itu kemudian banyak berpengaruh terhadap sistem pemerintahan di Eropa, Amerika, Afrika dan termasuk Indonesia. Demokrasi pada saat ini telah dianggap sebagai suatu sistem pemerintahan yang paling baik dibandingkan dengan sistem pemerintahan lain, seperti otokrasi, dan oligarkhi.
Demokrasi sesungguhnya secara konseptual lebih ditekankan pada sumber kekuasaan dibandingkan dengan cara memerintah. Di dunia Barat pada sekitar abad ke -19, ide demokrasi meliputi sistem perwakilam parlemen, hak-hak sipil dan dan politik lain seperti keinginan liberal. Indonesia pada masa itu dibawah sebuah kekuasaan asing yang di negeri induknya menerapkan demokrasi, tetapi di negeri jajahan tidak demikian.
Pada saat ini, Indonesia menerapkan tatanan pemerintahan yang demokratis. Hal ini terbukti adanya Pemilihan Umum setiap lima tahun sekali untuk meminta suara rakyat dalam menentukan partai politik mana yang dapat memerintah di negeri ini.
Dalam tatanan ini, dapat dikatakan bahwa suara rakyat adalah “Suara Tuhan”, maka para calon wakil rakyat berkampanye sekuat tenaga untuk menjual program, figur, dan “image” agar mendapat dukungan rakyatnya. Harus disadari bahwa tatanan politik masyarakat menuju sebuah tatatan yang demokratis tidak muncul serta merta. Hal itu memerlukan sebuah proses dialog kesejarahan yang panjang. Pertanyaannya adalah sejak kapan tatanan demokrasi itu
dikenal dan diterapkan di “Indonesia”? , bagaimana perkembangannya, dan bagaimana wujudnya. Pertanyaan-pertanyaan itu akan dicoba untuk menjadi bahan pembahasan kita.

Sejak Kemerdekaan Republik Indonesia hingga kini belum ada System Demokrasi yang mampu membuat Rakyat Indonesia dapat menikmatii kemerdekaannya, belum ada yang benar-benar menyentuh.

Daftar Perdana Menteri Indonesia

Perdana Menteri Indonesia adalah pimpinan kabinet dalam pemerintahan Republik Indonesia yang pernah ada dari tahun 1947 hingga tahun 1959.

A#

I#

Mulai menjabat

Selesai menjabat

Perdana Menteri

Foto

Partai

1.

1.

14 November 1945

3 Juli 1947

Sutan Sjahrir

clip_image001

PSI [1]

2.

2.

3 Juli 1947

29 Januari 1948

Amir Sjarifoeddin

clip_image002

PSI [1]

3.

3.

29 Januari 1948

16 Januari 1950

Mohammad Hatta [2]

clip_image003

Non partai

4.

4.

16 Januari 1950

5 September 1950

Abdul Halim

clip_image004

Non partai

5.

5.

5 September 1950

26 April 1951

Muhammad Natsir

clip_image005

Masyumi [3]

6.

6.

26 April 1951

1 April 1952

Sukiman Wirjosandjojo

clip_image007

Masyumi [3]

7.

7.

1 April 1952

30 Juli 1953

Wilopo

clip_image008

PNI [4]

8.

8.

30 Juli 1953

11 Agustus 1955

Ali Sastroamidjojo(Periode ke 1)

clip_image009

PNI [4]

9.

9.

11 Agustus 1955

20 Maret 1956

Burhanuddin Harahap

clip_image010

Masyumi [3]

10.


20 Maret 1956

9 April 1957

Ali Sastroamidjojo(Periode ke 2)

clip_image009[1]

PNI [4]

11.

10.

9 April 1957

9 Juli 1959

Djuanda Kartawidjaja

clip_image011

PNI [4]


setelah 9 Juli 1959 posisi ini dihapuskan

Bersambung ….

Barus 1000 tahu yang lalu

PELETAKAN BATU PERTAMA PEMBANGUNAN TUGU RAJA TOGA LAUT PARDEDE DI LUMBAN JABI-JABI - BALIGE

Setelah terbentuknya panitia pembangunan Tugu Raja Toga Laut Pardede di Jakarta oleh beberapa keturunan Raja toga Laut Pardede yang berdomisili di jakarta sekitarnya (sejabodetabek)
maka diputuskanlah agar semua keturunan Raja Toga Laut Pardede ikut serta dalam Napak tilas show force keliling kota Balige pada tanggal 18 Agustus 2007, dengan rute dimulai Losmen Toga Laut Tawar, Tugu Naga Baling, Makam Raja Bona Ni Onan Pardede & Raja Paindoan Pardede dan ber akhir di Lumban Jabi-jabi / Tugu Raja Toga Laut Pardede, yang kemudian dengan kata-kata sambutan, oleh Tokoh-tokoh Sonak malela dll.