Strategi
gerilya yang diterapkan para gerilyawan pribumi dalam Perang Aceh
(1873-1914) begitu banyak memakan korban dari pihak KNIL. Teknik
bertempur konvensional yang diterapkan KNIL yaitu bertempur secara
frontal dengan jumlah besar tidak efektif ketika yang dihadapi adalah
para gerilyawan yang menyerang secara mendadak dan tidak terduga.
Berbagai pertempuran mendadak dalam jarak dekat menjadikan persenjataan
modern kala itu menjadi tidak efisien, korban semakin banyak berjatuhan
yang tentunya meruntuhkan moril pasukan reguler KNIL.
Lalu
munculah sebuah gagasan membentuk pasukan khusus yang efektif
menghadapi gerilyawan. Pasukan yang beradaptasi dengan gaya perang kaum
gerilyawan. Pasukan ini dibentuk pada tanggal 20 April 1890 dengan
fungsi sebagai counter guerilla.
Menurut
Paul van’t Veer, pasukan ini dibentuk atas prakarsa dari Teuku Muhamad
Arif, seorang Jaksa Kepala di Kutaraja, Aceh. Pastinya Teuku Muhamad
Arif adalah orang Indonesia yang pro Belanda setelah pendudukan Belanda
di Aceh dimulai. Dia memberi nasehat kepada Gubernur Militer Belanda di
Aceh, Jenderal van Teijn juga Kepala Staf-nya J.B. van Heutsz, untuk
membentuk sebuah unit-unit tempur kecil infanteri yang memiliki
mobilitas tinggi.
Untuk
keperluan ini, ditunjuklah GGJ Nootten seorang kapten infantry KNIL
untuk membentuk pasukan yang diberi nama Korps Marechaussee te voet
(Korps Polisi Militer berjalan kaki) dan sekaligus menjadi komandan
pertamanya. Pembentukan
pasukan ini tidaklah sulit, tahun 1889, Komando Tentara Belanda di Aceh
sudah menyusun dua detasemen pengawalan mobil yang memiliki kemampuan
antigerilya.
Anggotanya
direkrut dari pasukan –pasukan terbaik KNIL dari berbagai etnik ,
selain eropa dan afrika kebanyakan keturunan Jawa, Ambon atau Manado.
Setiap unit Marsose terdiri dari 20 orang dengan dipimpin seorang sersan
Belanda yang dibantu seorang kopral pribumi. Setiap pasukan biasanya
terdiri dari satu peleton yang terdiri dari 40 orang dan dipimpin
seorang Letnan Belanda.
Secara
keseluruhan, korps Marsose terdiri dari 1.200 orang—dari berbagai
bangsa. Marsose adalah pasukan gerak cepat dengan seragam hijau dengan
tanda garis bengkok warna merah pada lengan dan leher terdapat gari
merah. Pasukan ini, selain dipersenjatai karaben modern, juga
dipersenjatai dengan senjata tradisional seperti klewang, rencong dan
sebagainya. Hal
ini sangat berguna dalam perang jarak dekat, man to man, seperti yang
dilakukan para gerilyawan pribumi. Marsose berusaha mengikuti gaya
berperang ini karena gerilya kaum gerilyawan begitu efektif menggempur
KNIL yang biasa menang dalam front besar namun repot ketiuka diserang
mendadak. Pasukan ini tentunya terlatih dalam peperangan di hutan
menghadapi serangan gerilyawan.
Marsose
bukan pasukan tempur biasa seperti yang berkembang pada pergantian abad
XIX ke XX. Marsose tidak seperti KNIL, mereka memiliki karakter sendiri
dalam bertempur. Mereka tidak terlalu mengandalkan senjata api,
melainkan klewang mereka untuk mengahabisi lawannya dalam jarak dekat.
Marsose lebih terlihat seperti jawara dibanding tentara reguler pada
umumnya. Senjata api tetap mereka pegang dan akan digunakan bila keadaan
terpaksa. Sepertihalnya
gerilyawan, pasukan Marsose tidak memerlukan logistik yang terlalu
banyak seperti pasukan biasa. Marsose selalu hampir memasuki hutan untuk
mencari para gerilyawan dan sebisa mungkin menangkap
pemimpinnya—perburuan itu dilakukan selama berhari-hari.
Operasi-operasi
tempur yang terkenal oleh Marsose antara lain Perang Aceh (1873-1914)
yang melambungkan nama Marsose sebagai pasukan yang efektif menumpas
gerilya sekaligus brutal dan menakutkan, menewaskan Sisingamangaraja XII
pada 17 Juni 1907 sekaligus mengakhiri perlawanan di daerah Tapanuli.
Cerita-cerita Marsose Pribumi.
Walau,
Marsose pasukan elit, bukan berarti pasukan ini hanya terdiri orang
Belanda maupun Eropa lain. Banyak orang pribumi yang menjadi anggota
Marsose. Orang pribumi bahkan bisa menjadi Marsose yang baik dibanding
orang-orang Eropa yang menjadi serdadu KNIL umumnya tidak bisa
menyesuaikan diri dengan iklim tropis. Banyak diantara Marsose adalah
orang-orang dengan kemampuan seperti jawara yang ada di Banten yang ahli
dalam berkelahi.
Satu
dari banyak anggota Marsose pribumi yang cukup diakui jasanya adalah
W.C. Ferdinandus. W.C. Ferdinandus adalah pemuda kelahiran 19 Februari
1883 di Haruku, Saparua. Seperti banyak pemuda disana yang ingin
bertualang sebagai serdadu KNIL, Ferdinandus pada tanggal 1 Maret 1906
mendaftarkan diri sebagai KNIL di Ambon—teeken soldadu istalahnya pada
waktu itu. Pagi hari tanggal 12 Desember 1908 di Dondo—sebuah daerah di
Nusa tenggara Barat sekarang ini—sekelompok Marsose bergerak. Salah satu
dari mereka adalah W.C. Ferdinandus bergerak dibawah komando dari
Letnan Satu de Vries untuk menyerang markas pemberontak di pantai utara.
Marie Langa, pimpinan pemberontak itu membangun kubu pertahanan didekat
Watoe Ngere. W.C. Ferdinandus adalah salah satu dari sekian banyak
pasukan dari Letnan Satu De Vries. Pasukan yang dipimpin De Vries itu
terdiri dari tiga brigade Marsose dengan kekuatan 50 karaben. Dan
sekelompok strapan yang terdiri dari tiga puluh orang.
Pasukan
beserta strapannya itu berangkat ke Nio Panda, mereka tiba pukul 2
sore. Mereka beristirahat, sebelum bergerak pada pukul 22.00 malam.
Malam itu, De Vries, memimpin pasukannya mengintai benteng musuh itu
dari atas. Dalam kegelapan malam mereka bergerak. Mereka melintasi jalan
yang berat dan terjal. Mereka mencapai daerah tujuan mereka denganm
susah payah dan dari jauh mengintai lawan mereka dalam kegelapan malam
itu.
Pada
pukul 8 pagi, 12 Desember 1908, Letnan Satu de Vries membagi tiga
pasukannya, satu pasukan dibawah sersan van Rijen, satu pasukan dibawah
pimpinan sersan Ambon dan satu pasukan lagi dibawah pimpinan Kopral
Katuuk. Ketiga pasukan itu bergerak mengelilingi benteng diam-diam. W.C.
Ferdinandus adalah Marsose pertama yang menaiki benteng. Didalam
benteng, W.C. Ferdinandus dan penyerang lain berhasil menembak tiga
musuh dalam benteng dan membuat gerilyawan lain melarikan diri ke utara,
sementara itu di utara sudah menunggu pasukan pimpinan Kopral Katuuk.
Akhir dari serangan itu adalah, beberapa musuh melarikan diri dan
benteng direbut. Majalah Trompet juga pernah menampilkan profil salah
prajurit marsose lain, salah satunya dalah Robert Talumewo. Pemuda dari
Langoan kelahiran 11 September 1882 dan teeken soldadu pada 6 Agustus
1904 di Manado. Karena keberaniannya ketika menjadi serdadu reguler
biasa di KNIL, dia akhirnya dimutasikan ke Marsose.
Ada
Marsose Jawa bernama Redjakrama. Pemuda kelahiran Kedungwaru,
Bagelen—Kabupaten Purworejo sekarang—tahun 1867. Diusianya yang ke-18,
tahun 1885 dia teeken soldadu di Gombong. Setehun kemudian Redjakrama
dikirim ke Aceh untuk pertama kalinya. Tahun 1887 Redjakrama ditempatkan
di Sulawesi. Tanggal 21 Desember 1888, Redjakrama resmi menjadi kopral
dan 2 Oktober 1890 sudah menjadi seorang sersan. Sebuah prestasi hebat
untuk seorang pemuda kampung yang tidak terpelajar macam dirinya. Pada 2
Oktober 1901, Redjakrama dimutasikan ke Marsose. Sebagai Marsose
Redjakrama telah menunjukan keberaniannya—seperti yang dimuat dalam
majalah Trompet. Pada 26 Juni 1904, Sersan Redjakrama ditugaskan di
daerah Beureuleueng, Pidie—Nangroe Aceh Darussalam sekarang.
“Sementara
berkelahi ini, maka satu bahagian dari kumpulan musuh darai Pang
Andahtahan sekuat-kuatnya didalam dua rumah dari sini mereka pasang pada
Marsose. Cuma dengan pendek saja, pasangan dari musuh dibalas oleh
Marsose, lantas Marsose tarik jatuh dinding dari kedua rumah. Ini
pekerjaan dikerjakan oleh brigade, dimana terdapat sesan Redjakrama yang
telah enam bulan lamanya pegang komando dari brigade ini yang telah
menunjuk gagah beraninya. Ini onderofficer biasa terdapat
ditempat-tempat yang ada dan sikapnya ada satu contoh yang bagus buat
soldadu-soldadu. Yang perlu sabar dan tiada hilang otak sehat, sebab
brigade terdiri dihadapan musuh yang tahan dengan sekuat-kuatnya
dirumah-rumah dimana seperti dekking, musuh memakai karung-karung dengan
beras. Contoh yang gagah berani dari sesan Redjakrama yang pertama kali
masuk rumah, ada sebegitu rupa sehingga dituruti oleh brigade, yang
bikin kalah musuh dan sesungguh-sungguhnya.”
Cerita
keberanian yang juga dimuat di Majalah Trompet adalah Simon
Leiwakabessy. Ia pensiunan kopral yang tinggal di Ambon. Leiwakabessy
lahir di Tial, Ambon pada 25 Januari 1870 dan teeken soldadu di Ambon
pada 8 Maret 1894. sebelum ditempatkan di Marsose, Leiwakabessy termasuk
anggota pasukan dari Batalyon 3 yang beberapa kali pindah tugas
dibeberapa tempat di Indonesia.
“Overvalling
musuh disebelah selatan dari Cot Bamboton (Troeseb Pidie) pada tanggal
24 Agustus 1903. Agar supaya menyemu musuh, maka keluarlah Letnan
Darlang pada tanggal 24 Agustus jam 3 pagi dari Didok dengan satu
brigade ke selatan dari Troeseb yang terdapat di terrain yang
berbukit-bukit. Yang lain brigadenya mendapat opdract pada jam 7 pagi
marsch ke lapang, disebelah dari kaki utara dari bukit-bukit dan disana
diajak musuh dengan vurren yang biasa dari pihak itu mereka pasang pada
compagnie. Waktu pagi hari, maka Letnan Darlang 2 orang Aceh Aceh disatu
cot boleh jadi ini 2 orang ada Wachtpost dari musuh. Dengan tiada
diketahui oleh musuh, maka brigadenya Letnan Darlang di itu bukit dan
dengan ati-ati naik keatas. Sampai dekat diatasnya bukit, maka kelihatan
10 orang Aceh, yang ada tidur ditanah. Tempo satu dari diantara musuh
bangun dan berdiri dan tunggu lama tiadalah baik, bertentangan dengan
mereka boleh lihat di compagnie maka Darlang dan beberapa Marsose-nya
storm pada musuh. Marsose Leiwakabessy yang oleh sebab kurang kader dan
juga oleh sebab gagah berani-nya dan cepat biasanya ditunjuk seperti
komandan dari spits lari kemuka dengan lewati 2 temannya dan
sekonyong-konyong berada ditengah-tengah dari musuh yang lari. 2 orang
musuh ditembak mati oleh Leiwakabessy. Tempo Leiwakabessy lihat, bahwa
lain-lain musuh lari kebawah, maka dengan beberapa temannya dari spits
ia ambil jalan pendek dan potong pas dari musuh. Dengan ini, maka ia
tembak lagi 4 orang musuh mati. Oleh sebab gagah beraninya dari
Leiwakabessy, maka jatuh didalam tangan kita 6 orang musuh dengan
senjata-senjatanya, 3 beamont dan 3 senapan voorlaad.”
Stephanus
Melfibossert Anthony pemuda kelahiran 3 Juni 1872 di Ambon dan teeken
Soldadutanggal 27 Agustus 1890 di Ambon. S.M. Anthony terpilih untuk
dimasukan ke korps Marsose pada 13 April 1897 lalu terlinbat dalam
ekspedisi militer KNIL di beberapa tempat seperti Aceh, Timor juga
Sulawesi Selatan. Dia memiliki cerita keberaniannya sebagai seorang
Marsose dalam benteng Sala Banga di daerah Mandar, Sulawesi Selatan.
Peristiwa oitu terjadi pada 20 Oktober 1914.
“Waktu
bestorming benteng tersebut, maka naiklah kopral Anthony, biarpun musuh
tahan dengan begitu kuat dan lawan pada compagnie dengan gagah berani
stormladder dan biasa pertama dimuka waktu bongkar rintangan-rintangan
dimana pekerjaan ini menuntut banyak kekuatan. Sesudahnya dengan banyak
susah pekerjaan lamanya satu setengah jam dikerjakan dan satu lubang
diborstwering dibikin, maka dengan segera Anthony storm kemuka dengan
lagti 3 militairen lain kedalam benteng. Sesudahnya itu ia pasang pada
musuh yang dekat padanya, sehingga mereka tiada bisa apa lagi, sehingga
troep dibelakang bisa mendapat kesempatan ke borstwering.”
Masih
banyak lagi cerita heroik yang menggambarkan keberanian para Marsose
pribumi—dimata masyarakat kolonial—yang termuat di majalah Trompet.
Marsose-marsose pribumi tadi telah membuktikan bahwa dirinya adalah
seorang prajurit yang membela bendera Ratu Belanda. Bagaimanapun,
Marsose pribumi adalah bagian penting dalam korps Marsose, dari segi
jumlah pastinya lebih banyak dan sebagai prajurit rendahan mereka siap
melakukan hal-hal berat yang mungkin saja tidak mau dilakukan oleh
perwira maupun bintara Belanda. Sebagai prajurit mereka siap untuk
melawan siapa saja yang menajdi musuh ratu Belanda di Hindia Belanda.
Mereka tidak takut melawan siapa saja termasuk gerilyawan di Aceh.
Perang Aceh dan gerilyawannya yang tidak kenal menyerah adalah bagian
terpenting dalam sejarah Marsose selain korps dan anggota Marsose itu
sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar