Istri Presiden
Pada suatu
hari, istri Panglima Kostrad, Ny Soeharto kedatangan seorang penjual batu akik.
Si penjual adalah warga negara Indonesia keturunan India. Ny. Soeharto tidak
menunjukkan minat terhadap barang dagangannya. Si penjual pun menjual komoditas
lainnya, meramal nasib.
Mula-mula si
peramal menyebutkan masa lalu Siti Hartinah Soeharto. Merasa banyak kecocokan,
akhirnya nyonya rumah mita diteruskan meskipun hanya sekadar iseng. Hingga
kemudian si peramal itu berkata, "Madam, suami madam akan berdiri sama
tinggi dan duduk sama rendah dengan presiden yang sekarang."
Ny. Soeharto
tidak lantas percaya. Menjadi perwira tinggi AD saja sudah demikian berat
tugasnya. Si peramal pun tidak memaksa kliennya untuk percaya. Ia hanya perlu
bayaran sebagai imbalan jasa ramalannya. Akhirnya, dibayarlah si peramal itu
sesuai dengan yang diminta.
Pada tahun
1967, Sidang Istimewa MPRS secara aklamasi mengangkat Jenderal Soeharto sebagai
Pejabat Presiden. Ini berarti, Ny. Soeharto yang tadinya adalah istri prajurit
kini menjadi istri presiden. Menduduki jabatan presiden, baik oleh Soeharto
maupun istrinya tidak pernah terpikirkan sama sekali.
Ny. Soeharto
yang telah terbiasa dengan kehidupan di lingkungan angkatan bersenjata merasa
istilah "pejabat" mengandung arti kesementaraan. Namanya
"pejabat" artinya belum definitif. Jika MPRS menganggap tugasnya
sudah rampung, maka MPRS sangat mungkin mengangkat orang lain menjadi presiden
tanpa embel-embel "pejabat".
Perasaannya
mengatakan, jabatan suaminya itu tidak akan lama. Itulah sebabnya, pada saat
Jenderal Soeharto dilantik dan diambil sumpahnya oleh MPR, Ny. Soeharto
biasa-biasa saja di rumah dan tidak hadir menyaksikan peristiwa yang bersejarah
itu. Meskipun ia mengucapkan syukur kepada Tuhan yang menakdirkan suaminya
memimpin negeri ini. Namun, ia tetap belum merasa sebagai istri presiden. Sebab
menurutnya, Presiden RI masih Bung Karno. Padahal saat itu sebenarnya ia telah
menjadi ibu utama Indonesia dalam usia 44 tahun.
Pada saat
diangkat menjadi pejabat presiden, Jenderal Soeharto sempat menolak dengan
alasan tidak yakin mampu mengemban tugas berat. Ia juga beralasan tidak
mempersiapkan diri untuk memangku jabatan presiden. Setelah banyaknya desakan,
ia akhirnya bersedia meski dengan syarat dicoba dulu untuk satu tahun.
Pada bulan
Maret 1968, MPRS menggelar Sidang Umum ke-V. Kembali pimpinan partai politik
dan pejabat TNI Angkatan Darat mendesak agar Pak Harto menerima jabatan
presiden dengan alasan tidak ada tokoh nasional yang lain. Sekali lagi,
Soeharto menyatakan menolak. Namun, kali ini sikap keras kepalanya dapat
dilumpuhkan setelah mendapat penjelasan bahwa tugasnya itu adalah untuk membela
kepentingan rakyat. Soeharto yang selama puluhan tahun berperang demi rakyat
tergelitik hati nuraninya. Kalau menolak itu berarti takut. Sedangkan menolak
untuk membela kepentingan rakyat? Mustahil dilakukannya. Akhirnya ia pun
bersedia.
Pada tanggal
27 Maret 1968 MPRS mengangkat Pejabat Presiden Soeharto menjadi Presiden RI
ke-II. Ny. Siti Hartinah Soeharto yang tadinya tidak merasa menjadi istri
presiden akhirnya benar-benar menjadi ibu negara.
Pada masa
awal kegiatannya sebagai ibu negara, aktivitas sosialnya menjadi fokus
perhatiannya. Di samping itu, ia pun mulai memperhatikan istana kepresidenan
yaitu Istana Negara dan Istana Merdeka. Di luar Jakarta masih ada istana
kepresidenan lainnya yaitu Istana Bogor, Istana Cipanas, Istana Yogyakarta
(Gedung Agung), dan Istana Tampak Siring di Bali.
Meskipun
menata kembali istana kepresidenan, namun keluarga presiden lebih memilih
tinggal di rumah sendiri (Jln. Cendana). Alasannya, tinggal di rumah sendiri
lebih bebas, tidak jauh dari masyarakat, lebih sering bertemu masyarakat. Hal
ini berbeda dengan tinggal di istana. Di sana setiap tamu harus mencatatkan
diri, harus diperiksa, dan lain sebagainya. Sedangkan di rumah, seluruh
keluarga dapat bolak-balik keluar masuk dengan bebas.
Perubahan
dalam protokol istana dapat terlihat setelah Ibu Tien memberi perhatian untuk
membenahinya. Bangunan istana yang merupakan peninggalan zaman Belanda
rata-rata sangat kokoh. Tinggal kini diisi dengan berbagai perangkat yang
menonjolkan keindonesiaan. Maka, ukiran jati dari Jepara dalam ukuran besar
mengisi ruang-ruang istana. Selanjutnya, interior istana dipercantik dengan
pewarnaan yang menarik. Ruangan resepsi diberi karpet taiping. Warna merah
untuk Istana Merdeka dan warna hijau untuk Istana Negara.
Menu makanan
pun mendapat perhatian dari first lady. Kalau dulu yang disajikan adalah menu
Indonesia, maka untuk menghormati negara asal tamu kini diseimbangkan antara
menu Indonesia dengan menu asing. Dengan demikian, para tamu merasa dihormati
dan tetap dapat menikmati hidangan khas Indonesia.
Pemberian
cendera mata pun tak luput dari perhatiannya. Pada awal kedatangan tamu negara,
tidak ada persediaan apa-apa untuk tamu negara. Ketika Perdana Menteri Jepang
berkunjung, sounvenir yang diberikan adalah satu set kursi ukiran Jepara.
Selanjutnya diputuskan bahwa cendera mata haruslah benda-benda hasil kerajinan
Indonesia. Kalau tamu itu kepala negara, maka akan diberi keris emas buatan
Bali sedangkan istrinya akan diberi liontin emas. Pada saat itu harga emas
belum terlalu tinggi. Namun, dalam perkembangannya, souvenir untuk tamu negara
diubah menjadi sendok garpu dari perak buatan Yogyakarta.
Perayaan ulang
tahun kemerdekaan yang dihadiri para corp diplomatik yang ada di Jakarta
biasanya dimeriahkan dengan memotong tumpeng ukuran besar. Ibu Tien tampaknya
tidak sreg dengan kebiasaan tersebut. Akhirnya dicari pola lain untuk mengganti
kue tart. Selanjutnya pemotongan kue tart diganti dengan pemotongan tumpeng.
Masalahnya adalah siapa yang akan membuatnya. Akhirnya diputuskan pembuatan
tumpeng dilakukan di Cendana agar dapat terkontrol.
Lukisan-lukisan
penghias dinding istana pun tak luput dari perhatian ibu negara.
Lukisan-lukisan yang dianggap tidak cocok dimasukkan ke museum istana. Kemudian
dipilih lukisan-lukisan para pelukis Indonesia dari berbagai aliran.
Banyaknya
barang berharga peninggalan Presiden Soekarno membuat Ibu Tien memikirkan
perlunya tempat baru untuk menyimpannya. Kebetulan ada ruangan kosong di
paviliun kanan Istana Merdeka. Paviliun ini kemudian dijadikan museum istana
untuk menyimpan barang-barang berharga. Ibu Tien menganggap barang peninggalan
Bung Karno sebagai barang berharga. Sayangnya, penataan terhadap peninggalan
itu tidak begitu baik. Kalau tidak ditata, mungkin saja barang-barang tersebut
mudah hilang dan tak ada yang tahu. Ratu Juliana dari Kerajaan Belanda tercatat
sebagai tamu negara pertama yang mengunjungi museum istana.
Museum
istana menyimpan benda-benda koleksi budaya Indonesia dan cendera mata yang
berasal dari negara-negara sahabat untuk Presiden dan Ibu Tien. Museum itu juga
memiliki ruang tersendiri yang mengoleksi benda khusus. Ruang Raden Saleh
misalnya, menyimpan enam buah lukisan raden Saleh yang terkenal. Dua di
antaranya merupakan koleksi Kerajaan Belanda yaitu "Perkelahian dengan
Singa" dan "Penangkapan Diponegoro". "Perkelahian dengan
Singa" dikembalikan Ratu Juliana kepada pemerintah Indonesia ketika Presiden
dan Ibu Tien melakukan kunjungan kenegaraan ke Belanda tahun 1970.
Meskipun
ruang Istana Negara telah dipercantik, namun tidak menyisakan satu ruangan pun
untuk kantor Ibu Negara. Akhirnya Ibu Tien memilih ruangan duduk belakang di
rumahnya Jalan Cendana sebagai kantornya. Di tempat yang sederhana itu ia
menerima macam-macam tamu dari berbagai kalangan, organisasi, para pemimpin,
kalangan profesi, panitia amal, seminar, perlombaan, yayasan, paguyuban, sampai
kepada tamu-tamu penting seperti duta-duta besar negara asing yang ditempatkan
di Jakarta.
Di tempat
kediaman itu pula setiap tahunnya menerima ribuan tamu yang berbondong-bondong
datang untuk bersilaturahmi, saling memaafkan pada hari raya idulfitri. Sebab,
rumah di Cendana terbuka untuk siapa saja yang datang.
Di Istana
Merdeka memang ada ruangan kerja Ibu Negara. Di sini ia sering menerima tamu
penting seperti istri-istri duta besar atau tamu-tamu resmi lainnya.
Istana
Negara sering pula digunakan menjadi tempat berbagai konferensi yang diadakan
badan-badan internasional yang bergerak di bidang kesehatan, donor darah,
pendidikan, dan lain-lain. Ibu Tien Soeharto selalu hadir dan menyampaikan
pidatonya pada acara tersebut. Dalam salah satu pidatonya pernah mengatakan,
masalah kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang teramat
penting di samping keutuhan akan pangan, sandang, perumahan, dan pendidikan.
Istri-istri
kepala perwakilan dan badan-badan internasional pun sering diundang dalam acara
minum kopi (Coffee Morning) di istana. Di sini selain bertukar pikiran, mereka
juga disuguhi atraksi yang menarik, seperti kesenian tradisional, makanan khas
Indonesia, yang tujuannya agar undangan itu bisa lebih memahami kekayaan budaya
Indonesia. Acara Coffee Morning dengan demikian telah menjadi sarana promosi
wisata Indonesia.
Ibu Tien
juga adalah pencinta bunga, khususnya anggrek dan melati. Bunga adalah lambang
keindahan. Pada Pekan Industri Bunga Desember 1975 Ibu Tien menyampaikan pidato
yang berisi antara lain, bunga-bunga yang berwarna-warni dapat membuat
kehidupan ini serasa menyejukkan dan menggairahkan. Cinta terhadap bunga akan
menambah kecintaan terhadap tanah air yang indah ini. Cinta kepada keindahan
dapat memperhalus budi pekerti.
Sebagai
bekas pandu, perhatiannya pada gerakan kepanduan tidak pernah surut. Tahun 1961
gerakan kepanduan dilebut mejadi satu wadah yaitu Gerakan Pramuka. Tahun 1967
Ibu Tien termasuk dalam jajaran kepemimpinan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.
Pembinaan Pramuka memerlukan sarana yang memadai. Sedangkan di Cibubur terdapat
lahan yang luas milik Kwartir Nasional, tetapi karena kekurangan dana, lahan
itu terlambat pemanfaatannya bagi gerakan Pramuka. Setelah Ibu Tien diberi
wewenang untuk mengelolanya, barulah lahan seluas 233 ha itu diubah menjadi
lahan untuk rekreasi, sarana pendidikan, dan olahraga.
Taman Mini
Indonesia Indah
Ketika
mengunjungi Disneyland di Amerika Serikat dan menyaksikan taman budaya Timland
di Thailand, memberi inspirasi bagi Ibu Tien untuk membangun sebuah taman yang
menyajikan keindahan budaya dan lingkungan alam Indonesia. Ibu Tien amat
menyadari bahwa kekayaan alam dan budaya Indonesia tidak kalah dengan kekayaan
alam dan budaya negara lain. Membangun sebuah miniatur Indonesia menurutnya
adalah suatu keniscayaan.
Suaminya,
Pak Harto, selalu berkata bahwa Indonesia menjadi negara besar karena
sejarahnya yang panjang, perjuangan bangsanya yang hebat, dan kebudayaannya
yang tinggi. Betapa indahnya rumah-rumah adat dan betapa beraneka ragamnya
kebudayaan mulai dari Sabang sampai Merauke. Ia juga ketika berkunjung ke
berbagai daerah di tanah air melihat dengan mata kepala sendiri betapa indahnya
budaya bangsa Indonesia.
Pada bulan
Maret 1971, dalam rapat pleno Yayasan Harapan Kita, gagasan ini diutarakan.
Setelah memahami maksud dan tujuan dari gagasannya itu, tidak satu pun peserta
pertemuan yang tidak setuju. Semuanya mendukung gagasan Ibu Tien. Meskipun
demikian, dukungan dari masyarakat luas tidak didapat dengan mudah. Terjadi
perbedaan pendapat dalam menyikapi gagasan Ibu Tien itu.
Aksi-aksi
protes menentang pelaksanaan proyek pembangunan taman mini terus terjadi.
Lambat laun aksi demo semakin membesar. DPR yang terbentuk dari hasil Pemilu
1971 dan belum memiliki tata tertib maupun komisi-komisi, segera membentuk
panitia khusus untuk secara lugas mendudukkan persoalan pada relnya, agar
gagasan Ibu Tien itu lebih jelas, transparan, dan dipahami.
Setelah
melakukan public hearing dengan berbagai komponen seperti mahasiswa, pengurus
Yayasan Harapan Kita (YHK), Konsultan proyek, dan Gubernur DKI, Pansus DPR
menyimpulkan bahwa telah terjadi kesenjangan komunikasi dalam menanggapi proyek
itu. Masyarakat masih traumatis dengan berbagai proyek mercu suar yang pernah
dibangun pada masa Orde Lama. Di samping itu, ada beberapa pihak yang berusaha
memancing di air keruh, memanfaatkan isu proyek MMI sebagai isu politik untuk
kepentingan mereka. Pak Harto pernah berkata, "Saya tahu bahwa ada
kelompok tertentu yang ingin menjadikan proyek yang kami cita-citakan sebagai
isu politik."
Pansus DPR
akhirnya menanyakan berbagai pertanyaan kepada YHK. Salah satunya adalah
mengenai sasaran dari pembangunan miniatur Indonesia Indah yang dijawab oleh
YHK untuk membangun dan mempertebal rasa cinta tanah air dan bangsa; memupuk,
membina persatuan dan kesatuan bangsa; meningkatkan apresiasi, menjunjung
tinggi kebudayaan bangsa melalui upaya penggalian dan menghidupkan kembali
kebudayaan yang diwariskan nenek moyang; meningkatkan pariwisata serta menjadi
tempat promosi bagi daerah-daerah di seluruh Indonesia; memajukan kerajinan
rakyat dan sebagai tempat rekreasi yang bersifat pendidikan bagi rakyat.
Tindakan
Pansus DPR ini pada akhirnya dapat meredam suara-suara kontra yang sebelumnya
terdengar nyaring. Pembangunan proyek MII pun dapat dilanjutkan secara
bertahap. Semua pihak akhirnya memahami dan mengerti duduk persoalannya. Aksi
unjuk rasa pun berhenti sama sekali. Pembangunan proyek itu akhirnya dapat
dilanjutkan dengan suasana yang tenang.
Pada tanggal
27 Juni 1972 dimualilah pembangunan proyek MII di lokasi yang sekarang ini
berada (Cibubur). Luas tanah untuk proyek ini adalah 100 ha. Pembangunan
memakan waktu tiga tahun. Waktu ini adalah reltif cepat. Yang pertama dibangun
adalah peta maharaksasa Indonesia (arcipel Indonesia) yang merupakan miniatur
Indonesia dibangun di atas tanah seluas 8,5 ha. Arcipel itu menggambarkan
kepulauan nusantara di atas hamparan lautan (danau-danau buatan) yang sekaligus
berfungsi sebagai tempat rekreasi olah raga air. Di seputar arcipel itu berdiri
rumah adat dari 26 propinsi.
Selain itu
ada juga bangunan joglo yang terdiri dari Pendopo Agung Sasono Utomo dan Sasono
Langen Budoyo yang merupakan centrum seluruh rumah adat yang berdiri di atas
garis lurus menghadap ke barat segaris dengan Tugu Api Pancasila dan gerbang
TMII. Di sana juga ada Gedung Pusat Percontohan Niaga, Museum Indonesia,
rumah-rumah ibadah agama-agama resmi di Indonesia, gedung pusat pengelolaan,
taman buah, taman bunga, taman burung, air terjun buatan, fasilitas restoran
dan warung-warung, tempat pameran, teater, dan sebagainya.
Proyek
Miniatur Indonesia Indah berakhir ketika hasilnya berupa sebuah Taman Mini
Indonesia Indah diresmikan pada tanggal 20 April 1975. Dalam pidato acara
peresmian, Ibu Tien mengemukakan, "Ciri utama taman ini adalah penampilan
Indonesia yang besar dalam bentuknya yang kecil."
Ibu Tien
juga mengucapkan terima kasih kepada mereka yang tidak setuju pembangunan
proyek ini. Karena, "Ketidaksetujuan mereka itu sebenarnya ingin
mengingatkan kami agar kami tidak berbuat salah, dan dengan begitu mendorong kami
bekerja lebih hati-hati."
Ia memberi
apresiasi kepada seluruh masyarakat Indonesia. "Tanpa pengertian
itu," katanya, "taman ini tidak mungkin terselesaikan. Pembangunan
taman ini hanya mungkin terselesaikan dengan adanya gotong royong masyarakat
dan akan kami persembahkan kepada masyarakat." Ia mengatakan, sumbangannya
adalah sekadar melontarkan gagasan mengenai perlunya sebuah tempat yang bisa
menampung berbagai keunggulan bangsa, sedangkan pengerjaannya dilakukan oleh
seluruh komponen bangsa.
Taman mini
yang telah diresmikan itu dianggapnya baru pada tahap permulaan. "Taman
yang kita saksikan sekarang ini memang belum selesai. Nanti, Insya Allah masih
perlu dikembangkan dan diperluas lagi sehingga pengunjung akan mendapat
gambaran yang utuh mengenai Indonesia.
Presiden
Soeharto dalam pidato peresmiannya mengatakan berdirinya taman itu berkat hasil
gotong-royong seluruh rakyat Indonesia. "Tanpa keragu-raguan sedikit pun
saya mengatakan bahwa taman ini adalah milik seluruh bangsa Indonesia."
Pada tahun
1984, di taman itu telah berdiri sebuah teater film termegah yang lain dari
yang lain. Teater Film Keong Emas. Arsitekturnya menyerupai keong raksasa
berwarna kuning keemasan. Interiornya nyaman dan membuat siapa saja merasa
nikmat saat menonton film mengenai Indonesia yang Indah.
Pengakuan
secara formal diberikan oleh Asosiasi Pariwisata Asia Pasifik (PATA) terhadap
TMII yang menyerahkan PATA GOLD AWARD kepada Ibu Tien Soeharto oleh Presiden
PATA yang datang langsung ke Indonesia pada tanggal 19 Juli 1987. Tidak semua
objek wisata mendapat kesempatan untuk meraih penghargaan PATA. Pemberian
penghargaan itu karena TMII tidak sekadar sebagai tempat hiburan dan rekreasi,
melainkan juga TMII berhasil meningkatkan dan mengedepankan nilai-nilai luhur
budaya bangsa, sebagai sarana pembinaan generasi muda untuk memahami
kepribadian bangsa, dan teknologi modern yang dikembangkan TMII tetap berpijak
pada kepribadian bangsa.
Dua pekan
sebelumnya, Presiden Soeharto meresmikan Museum Keprajuritan di dalam komplek
TMII. Dalam museum ini digelar episode sejarah yang diwujudkan dalam bentuk
diorama, fragmen, patung dan relief, benda antik serta tokoh-tokoh pahlawan
Indonesia dari abad ke-7 sampai 19. Ibu Tien memiliki pandangan mengenai museum
sebagai bukan sekadar tempat kumpulan benda-benda mati. "Yang kita lihat
sebenarnya adalah penampilan kembali kisah-kisah yang panjang dan dalam dari
sejarah, pikiran dan cita-cita, pesan-pesan dan karya besar, kejayaan dan
kegembiraan masa lampau mungkin juga keruntuhan dan kepedihannya.
Jumlah
pengunjung TMII terus bertambah dari tahun ke tahun. Pada tahun 1988 jumlah
pengunjung mencapai 37 juta orang. Enam tahun kemudian telah membengkak menjadi
74 juta orang. Jumlah pengunjung pelajar dan mahasiswa terus meningkat setiap
tahunnya. Sedangkan fasilitas TMII pun terus mengalami penambahan dari tahun ke
tahun seiring dengan perkembangan zaman.
Perpustakaan
Nasional
Keberadaan gedung Perpustakaan Nasional yang megah di Jalan Salemba Jakarta sekarang ini tidak terlepas dari perhatian Ibu Tien akan pentingnya pengelolaan buku pustaka. Keberadaan perpustakan nasional itu sendiri memiliki riwayat yang panjang.
Keberadaan gedung Perpustakaan Nasional yang megah di Jalan Salemba Jakarta sekarang ini tidak terlepas dari perhatian Ibu Tien akan pentingnya pengelolaan buku pustaka. Keberadaan perpustakan nasional itu sendiri memiliki riwayat yang panjang.
Pada tanggal
24 April 1778 di Batavia berdiri lembaga ilmiah bernama Bataviaasch Genootschap
van Kunsten en Wetenschappen. Lembaga ini mengoleksi buku dari beberapa pejabat
yang bermurah hati. Pada akhir abad ke-19, perpustakan ini menerima terbitan
ilmiah dari berbagai sumber di bebrapa negara. Tahun 1913 Pemerintah Hindia
Belanda mewajibkan setiap penerbit untuk mengirimkan barang cetakannya kepada
perpustakaan itu. Maka, jadilah Bataviaasch Genootschap sebagai perpustakaan
terbesar di Asia karena banyaknya koleksi buku yang dimiliki.
Pada Perang
Dunia II, sumbangan buku dri penerbit otomatis berhenti. Selama Pemerintahan
Militer Jepang, lembaga ini sama sekali tidak berfungsi. Namun, koleksi buku
yang amat berharga sama sekali tidak diusik oleh balatentara Jepang, Sehingga
seluruh buku koleksi yang ada selamat melewati masa genting.
Setelah
Indonesia merdeka, perpustakaan itu masih berada di tangan swasta dan dikelola
oleh pustakawan Belanda. Tahun 1950, perpustakaan itu berganti menjadi
"Lembaga Kebudayaan Indonesia" dengan status tetap swasta namun
dipimpin oleh orang Indonesia. Namun, beratnya pengelolaan perpustakaan dan
minimnya anggaran, pada tahun 1962, Lembaga Kebudayaan Indonesia menghibahkan
seluruh kekayaannya kepada pemerintah Indonesia. Meskipun demikian nasibnya
tetap saja suram dan perpustakaan yang pernah menjadi terbesar di Asia itu
turun derajatnya menjadi bagian dari museum pusat.
Pada masa
Orde Baru, perhatian terhadap perpustakaan mulai pulih. Namun, itu bukan
masalah mudah mengingat lokasi perpustakaan menyebar di beberapa tempat. Adalah
Mastini Hardjoprakoso yang pada waktu itu menjabat kepala perpustakaan museum
pusat memiliki ide cemerlang mengangkat citra perpustakaan. Ia merancang
pameran surat-surat kabar. Berbagai berita yang pernah diterbitkan zaman
Gubernur Jenderal Daendels (1810), Raffles (1812), Perang Diponegoro (1825),
berdirinya Boedi Oetomo, Sumpah Pemuda, sampai media masaa yang terbit waktu
penjajahan Jepang hingga proklamasi dipamerkan.
Sayang,
pejabat dari P dan K tidak muncul. Pejabat dari Pusat Lembaga Perpustakaan juga
tidak ada yang datang. Yang memenuhi undangan malahan dari Departemen
Penerangan, Departemen Luar Negeri, dan para wartawan. Para wartawan inilah
yang menulis laporan tentang pameran itu.
Ulasan dan
komentar wartawan itu rupanya menarik perhatian Ibu Tien. Ibu Tien pun
merencanakan melihat pameran. Ibu Tien menunjukan minat yang besar terhadap
keberadaan perpustakaan yang merupakan dokumentasi sangat berharga dalam
perjalanan sejarah bangsa. Namun, ia juga menjumpai hal yang mengenaskan karena
melihat gudang tua yang lembab dan basah di mana tersimpan berbagai macam
terbitan dan dokumen yang sudah sangat lama.
Ia menyadari
pentingnya perawatan dokumen. "Dokumen-dokumen itu antara lain harus
tersimpan dengan baik dan teliti dalam Perpustakaan Nasional. Sekali dokumen
itu rusak atau hilang, maka kita kehilangan sumber yang tidak ternilai harganya
dan barangkali tidak pernah tergantikan untuk selama-lamanya. Sejak itu
tergerak hati saya untuk membangun gedung Perpustakaan Nasional yang memenuhi
syarat dan mampu menampung kebutuhan ke masa depan yang jauh," katanya.
Keinginan
Ibu Tien mendapat sambutan positif dari Pak Harto. Gagasan untuk membangun
Perpustakaan Nasional pun mendapat dukungan dari pengurus dan badan pendiri
Yayasan Harapan Kita.
Pada tanggal
8 Desember 1985 pembangunan gedung Perpustakaan Nasional dimulai. Gedung itu
dibangun dalam dua tahap. Tahap pertama selesai Desember 1986 dan tahap kedua
selesai Oktober 1988. Kini bangsa Indonesia bisa tersenyum telah memiliki
gedung perpustakaan nasional yang pantas dibanggakan.
Rumah Sakit
Perhatian Ibu Tien terhadap masalah kesehatan cukup besar. Tingginya angka kelahiran dan juga tingkat kematian ibu-anak pada saat persalinan membuatnya berpikir untuk membangun rumah sakit khusus. Di samping itu, kelahiran anak merupakan harapan baru bagi Indonesia masa depan yang lebih maju dan mampu bersaing dengan bangsa lain.
Perhatian Ibu Tien terhadap masalah kesehatan cukup besar. Tingginya angka kelahiran dan juga tingkat kematian ibu-anak pada saat persalinan membuatnya berpikir untuk membangun rumah sakit khusus. Di samping itu, kelahiran anak merupakan harapan baru bagi Indonesia masa depan yang lebih maju dan mampu bersaing dengan bangsa lain.
Pada tahun
1974 dimulailah pembangunan Rumah Sakit Anak dan Bersalin yang terletak di
Jalan S. Parma Jakarta. Peresmian RSAB dilaksanakan pada hari Ibu 1979.
Sementara
itu, tingginya penderita jantung di Indonesia dan kurangnya fasilitas kesehatan
yang memadai membuatnya berpikir untuk membangun rumah sakit khusus melayani
penderita jantung. Sebab, banyak orang Indonesia yang menderita penyakit
jantung terpaksa harus berobat ke luar negeri karena tidak tersedia
perawatannya di sini.
Enam tahun
setelah peresmian RSAB, di lokas yang sama diresmikan Rumah Sakit Jantung
Harapan Kita. Meskipun memakai nama Harapan Kita, juga Taman Mini Indonesia
Indah dan Perpuskaan Nasional, seluruh pengelolaannya diserahkan kepada
pemerintah. Tidak dilakukan oleh Yayasan Harapan Kita.
Inilah
sumbangan Ibu negara bagi bangsa Indonesia yang akan dikenang selalu oleh
masyarakat Indonesia. TI, Dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar