Senin, 16 Januari 2017

Hubungan Putri Prabu Airlangga dan Laut Selatan




Kerajaan Kediri, yang juga disebut Kerajaan Panjalu adalah sebuah kerajaan yang berdiri antara tahun 1042-1222 dengan Ibu Kota Dahanapura disingkat Daha, yang terletak di tepi Sungai Brantas di Kota Kediri. Meski Dahanapura bermakna 'kota api', namun nama itu dimaksudkan sebagai simbol ke-maskulin-an kekuasaan yang menganut faham patriarkhi.

Nama Dahanapura terdapat dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Utunggadewa pada tahun 1042. Hal ini sesuai dengan Serat Calon Arang bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan sudah pindah ke Daha.

Pada akhir November 1042 itu, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan tahta. Pembelahan kerajaan ini terjadi akibat puteri mahkota Airlangga dari Permaisuri Sri Sanggramawijaya Dharmaprasadha Utunggadewi, yang menduduki jabatan, Rakryan Mahamantri Hino, menolak menduduki tahta.

Penolakan itu ditandai dengan memilihnya sang puteri mahkota menjadi pertapa dan Bhikkuni yang bergelar Kilisuci. Menurut, Ki Tuwu, pengamat sejarah Kediri, sebagian besar masyarakat Kediri mempercayai bahwa tempat pertapaan Dewi Kilisuci yang dikenal dengan Gua Selomangleng di Desa Pojok Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, bisa tembus ke Laut Selatan, tempat di mana Nyi Roro Kidul berada.

"Gua ini terbentuk dari batu andesit hitam yang berukuran cukup besar. Ada dua lobang besar kiri dan kanan, gua ini sendiri menghadap ke timur. Di masing-masing ruangan dihiasi relief dan di masing-masing ruangan utama ada bilik. Bilik kanan dihiasa dwarapala dan di bilik sebelah kiri ada relief patung naga raja, bilik itulah yang dipercaya sebagai pintu gaib menuju Laut Selatan," kata Ki Tuwu, pada merdeka.com.

Ditambahkan Ki Tuwu, tembusnya bilik tersebut hingga ke kerajaan Laut Selatan memang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. "Konon ceritanya, Dewi Kilisuci memilih sebagai pertapa dan petunjuk dari penguasa laut selatan," tambahnya.

Meski hanya mitos, namun masyarakat Kediri dan sekitarnya tidak berani sembarangan bermain di tempat pertapaan tersebut. Selain menghormati gua pertapaan itu merupakan peninggalan sejarah yang harus tetap dilestarikan.

"Hubungan antara Dewi Kilisuci dengan penguasa Laut Selatan dalam dimensi gaib tujuannya adalah untuk menjaga harmonisasi keberlangsungan kekuasaan kerajaan Kediri atau Panjalu," lanjut Ki Tuwu.

Sedangkan keberadaan Kerajaan Panjalu diketahui dengan adanya prasasti Sirah Keting tahun 1104 yang dikeluarkan Sri Jayawarsa. Raja-raja sebelum Sri Jayawarsa adalah Sri Samarawijaya. Kerajaan Panjalu selalu dikisahkan kalah dalam perang melawan Janggala.

Baru saat di bawah pemerintahan Sri Jayabhaya, Panjalu berhasil menaklukkan Kerajaan Janggala dalam pertempuran di Hantang sebagaimana tercatat dalam prasasti Hantang (1135), yang berbunyi Panjalu Jayati (Panjalu Yang Berkemenangan).

Pada masa Sri Jayabhaya inilah, Kerajaan Panjalu mengalami masa keemasan. Wilayah kerajaan diketahui meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatera.

Seperti diketahui, semenjak Airlangga mundur dari tahta (Lengser Kaprabon Madeg Pandhita) menjadi pertapa yang menggunakan gelar Rishi Gentayu, tahta Kerajaan Panjalu dibagi dua melalui upacara pembelahan kerajaan di Belahan oleh Mpu Bharada. Sri Mapanji Garasakan, menjadi Raja Janggala. Sri Samarawijaya menjadi Raja Panjalu. Nama Sri Samarawijaya ditemukan dalam prasasti Pamwatan (1042). Raja-raja Panjalu setelah Sri Samarawijaya adalah:

1.Sri Jayawarsa Digwijaya Sastraprabhu
Berdasarkan prasasti Sirah Keting (1104) dan Prasasti Mruwak (1108).

2.Sri Bameswara Sakalabhuwana Tustikarana Sawarniwariwiryya Parakrama DigjayaUtunggadewa
Berdasarkan prasasti Padelegan I (1117), prasasti Panumbangan (1120),dan prasasti Tangkilan (1130).

3.Sri Maharaja Sang Panji Jayabhaya Sri Warmeswara Madusudanawatara AninditaSuhtrsingha Parakrama Utunggadewa

Merupakan raja terbesar Panjalu, berdasarkanprasasti Ngantang (1135), prasasti Talan (1136), dan Kakawin Bharatayuddha (1157).

4.Sri Sarweswara Janardarawatara Wijaya Agrajasama Singhanadani WaryawiryaParakrama Digjaya Utunggadewa
Berdasarkan prasasti Padelegan II (1159), prasastiKahyunan (1161).

5.Sri Aryeswara Madusudanawatara Arijayamukha
Berdasarkan prasasti Angin (1171).

6. Sri Kroncaryyadhipa Bhuwanapalaka Parakrama Anindita Digjaya Utunggadewa Sri Gandra Berdasarkan prasasti Jaring (1181).

7.Sri Kamesywara Triwikrama Awatara Aniwariwirya Parakrama Anindita Digjaya Utunggadewa Berdasarkan prasasti Ceker (1182) dan Kakawin Smaradahana.

8.Sri Kertajaya yang menggunakan nama abhiseka Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Utunggadewa
Berdasarkan prasasti Galunggung(1194), Prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Wates Kulon atauLawadan (1205), Nagarakretagama, dan Pararaton.

Kerajaan Panjalu-Kadiri runtuh pada masa pemerintahan Kertajaya seperti dikisahkan dalam Pararaton dan Nagarakretagama. Pada tahun 1222 Kertajaya berselisih melawan Kaum Brahmana yang menolak untuk menyembahnya sebagai titisan Wisynu.

Para pendeta kemudian meminta perlindungan kepada Ken Arok akuwu Tumapel. Ken Arok memanfaatkan kesempatan itu. Pada saat Kertajaya menyatakan bahwa tidak ada yang bisa mengalahkannya selain Bhattara Guru, maka Ken Arok menobatkan diri sebagai Bhattara Guru.

Perang antara Kadiri dengan Tumapel pun terjadi. Menurut cerita, dalam pertempuran dekat desa Ganter, pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan pasukan Kertajaya. Dengan demikian berakhirlah masa Kerajaan Kadiri, yang sejak saat itu kemudian menjadi bawahan Tumapel yang di masa Wisynuwarddhana diubah menjadi Singhasari.

Setelah Ken Arok mengalahkan Kertajaya, Kadiri menjadi wilayah bawahan (sakawat-bhumi) Tumapel. Ken Arok mengangkat Sri Jayasabha, putra Kertajaya menjadi raja bawahan di Glangglang. Kadiri dirajai oleh Mahisa Wunga Teleng putra Ken Arok dengan Ken Dedes.

Sri Jayasastra menggantikan Sri Jayasabha. Mahisa Wunga Teleng mangkat dan kedudukannya sebagai Raja Kadiri digantikan Panji Tohjaya, putera Ken Arok dengan Ken Umang. Namun tak lama Panji Tohjaya berkuasa, dalam sebuah kerusuhan ia tewas. Nararya Seminingrat menjadi Raja Kadiri karena menikah dengan Nararya Waning Hyun, puteri Mahisa Wunga Teleng. Nararya Seminingrat naik tahta dengan nama abhiseka Sri Wisynuwarddhana.

Untuk mengikat kekerabatan, Wisynuwarddhana mengikat perbesanan dengan Sri Sastrajaya menikahkan puterinya yang bernama Nararya Turukbali dengan putera Sri Sastrajaya yang bernama Jayakatwang. Pada masa kekuasaan Kertanegara, Jayakatwang memberontak terhadap Singhasari.

Setelah berhasil menguasai Singhasari dan membuat Kertanegara terbunuh, Jayakatwang memindahkan dan membangun kembali Kerajaan Kadiri dengan memindahkan pusat kekuasaan di Glangglang ke Kadiri. Namun kekuasaan itu hanya berlangsung kurang dari satu tahun karena serangan yang dilancarkan pasukan Mongol yang mendapat bantuan pasukan Sanggramawijaya, menantu Kertanegara.

Tidak ada komentar:

Barus 1000 tahu yang lalu

PELETAKAN BATU PERTAMA PEMBANGUNAN TUGU RAJA TOGA LAUT PARDEDE DI LUMBAN JABI-JABI - BALIGE

Setelah terbentuknya panitia pembangunan Tugu Raja Toga Laut Pardede di Jakarta oleh beberapa keturunan Raja toga Laut Pardede yang berdomisili di jakarta sekitarnya (sejabodetabek)
maka diputuskanlah agar semua keturunan Raja Toga Laut Pardede ikut serta dalam Napak tilas show force keliling kota Balige pada tanggal 18 Agustus 2007, dengan rute dimulai Losmen Toga Laut Tawar, Tugu Naga Baling, Makam Raja Bona Ni Onan Pardede & Raja Paindoan Pardede dan ber akhir di Lumban Jabi-jabi / Tugu Raja Toga Laut Pardede, yang kemudian dengan kata-kata sambutan, oleh Tokoh-tokoh Sonak malela dll.