Batak Mandeling merupakan salah satu suku di indonesia yang terletak di provinsi sumatera utara kabupaten Mandeling Natal.
1. Sejarah Mandeling
Kitab Nagarakretagama yang
mencatat perluasan wilayah Majapahit sekitar 1365 M, menyebut nama Mandailing.
Munculnya nama Mandailing pada suku akhir abad ke 14 menunjukkan adanya satu
bangsa dan wilayah bernama Mandailing yang telah muncul sebelum
abad itu..
Dengan demikian "tidak
disangsikan lagi bahwa bersandar ungkapan dalam itu yang dapat
diperkirakan sesuai dengan perkembangan sejarah, di Mandailing sudah berkembang
suatu masyarakat yang homogen. Dan sebagai wilayah lain di Sumatra yang
diungkapkan oleh Prapanca (dalam Nagarakretagama) seperti Minangkabau, Siak,
Panai, Aru dan lain-lain, demikian Mandailing bahwa masyarakatnya yang tumbuh
itu, entah luas, besar ataupun kecil, terphimpun dalam suatu ketatanegaraan
kerajaan".
Setelah nama Mandailing dicatat dalam kitab Nagarakretagama
di abad ke 14, kemudian beberapa abad berikutnya tak ada lagi nama Mandailing
disebut. Selama lebih lima
abad lamanya Mandailing seakan-akan hilang sejarahnya. Baru pada abad ke 19
ketika Belanda mulai menguasai Mandailing, baru berbagai tulisan mengenainya
dan masyarakatnya dibuat oleh beberapa pejabat kolonial.
2. Na Itam Na Robi
Zaman sebelum masuknya Islam ke
Mandailing, orang Mandailing menyebut zaman itu na itom na robi, artinya, zaman
purba yang hitam atau gelap, yakni jahiliah. Sebelum Islam, masyarakat
Mandailing adalah masyarakat si pele begu, yakni masyarakat yang memuja roh
leluhur mereka.
Sampai sekitar awal abad ke-20,
sisa-sisa dari agama kuno itu masih tampak bekasnya dalam kehidupan masyarakat
Mandailing. meskipun agama Islam telah merata menjadi panutan orang Mandailing.
Di beberapa tempat misalnya masih dilakukan orang upacara pemanggilan roh yang
disebut pasusur begu atau marsibaso yang sangat dikutuk oleh ulama.
Amalan si pele begu melibatkan
upacara meminta pertolongan roh leluhur buat mengatasi misalnya bencana alam seperti
musim kemarau panjang yang merusak tanaman padi penduduk. Orang-orang yang
pernah menyaksikan upacara itu sulit membantah lantaran turunnya hujan lebat di
tengah kemarau panjang setelah selesainya upacara ritual itu dilakukan.
Namun iman orang-orang Mandailing sebagai pemeluk
agama Islam menganggap perbuatan itu, dosa yang mesti dihindari, mendorong
masyarakat Mandailing membuang sama sekali sisa-sisa warisan si pele begu. Alim
ulama masyarakat Mandailing telah menapis/menyaring amalan dan perubatan dari
zaman na itom na robi dan mengekalkan amalan dan perbuatan yang tidak
bertentangan dengan Islam
3. Perang Padri (1816-1833)
Masa
masuknya Islam sebelum
serbuan Kaum Paderi, disebut oleh orang Mandailing maso silom na itom
(masa
Islam yang hitam). Pada masa itu agama Islam dianut orang Mandailing
bercampur aduk dengan pele begu (agama tradisi). Berapa lama keadaan itu
berlangsung tidak diketahui dengan pasti.Perubahan besar berlaku dengan
serbuan
Kaum Paderi dari Minangkabau ke Mandailing sekitar 1820 dan membawa apa
yang
dijolok oleh orang Mandailing sebagai silom Bonjol (Islam Bonjol), yakni
"satu mazhab Islam yang mencita-citakan kemurnian".
Dengan serbuan Kaum Paderi itu
maka bergantilah maso silom na lom-lom (Islam hitam) dengan apa yang disebut
orang Mandailing maso silom na bontar (masa Islam putih) atau maso silom Bonjol
(masa Islam Bonjol). Hitam barangkali merujuk kepada warna biru nila (gelap)
pakaian penentang-penentang Paderi.
Tombak and lembing dari zaman Paderi
Orang Mandailing menyebutnya
demikian kerana Kaum Paderi menyerbu Mandailing dari Bonjol, dan Kaum Paderi
yang mengembangkan agama Islam di masa itu umumnya berpakaian warna putih. Masa
penyerbuan Paderi itu terkadang disebut orang Mandailing maso di na rinca (di
zaman Tuanku Nan Renceh), seorang Imam Paderi.
Pecahnya Perang Paderi dan
disusuli kemasukan Belanda mencetuskan perantauan orang-orang Mandailing ke
Semenanjung Malaysia
di abad ke-19. Gerombolan Mandailing ini terlibat dalam Perang Rawa 1848,
Perang Pahang (Perang Orang Kemaman), 1857-1863, Perang Selangor (Porang
Kolang), 1867-1873 dan Perang Perak, 1875-1876.
4. Na Mora Na Toras
Sebelum masa Pendudukan Jepang di Indonesia, atau pada masa pra-kemerdekaan, dalam masyarakat
Mandailing yang mendiami satu kawasan tertentu, terdapat tokoh-tokoh pemimpin
tradisional yang lazim disebut Na Mora Na Toras. Mereka merupakan pemimpin
dalam bidang pemerintahan dan adat.
Secara harfiah perkataan Na Mora
Na Toras berarti Yang Dimuliakan (dan) Yang Dituakan. Pengertian demikian
menunjukkan bahwa mereka yang berkedudukan sebagai Na Mora Na Toras (semuanya
lelaki), merupakan tokoh-tokoh yang dimuliakan dan dituakan dalam masyarakat
Mandailing.
Orang-orang atau tokoh pemimpin
yang disebut sebagai Na Mora adalah kaum bangsawan dari golongan marga tanah.
Mereka terdiri daripada raja-raja dan kerabat dekatnya yang satu keturunan atau
satu marga. Di Mandailing Julu yang digolongkan sebagai Na Mora ialah raja-raja
bermarga Lubis dan kerabat terdekat mereka. Sedangkan di kawasan Mandailing
Godang yang digolongkan sebagai Na Mora ialah raja-raja bermarga Nasution dan
kerabat dekat mereka.
Tokoh-tokoh pemimpin yang disebut
sebagai Na Toras bukan merupakan golongan bangsawan, sebab mereka tidak berasal
dari marga tanah. Namun para Na Toras mempunyai kedudukan yang terhormat dalam
masyarakat Mandailing sebab mereka mengemban sebagai pemegang atau penguasa
adat dalam sesuatu kerajaan. Artinya, untuk memutuskan apakah sesuatu upacara
adat dapat dilakukan atau tidak, misalnya dalam perkahwinan, harus mendapat
persetujuan Goruk-Goruk Apinis dan kemudian disetujui oleh Na Mora Na Toras dan
baru disahkan oleh Raja Panusunan Bulung.
Pada hakikatnya sebutan Na Mora
Na Toras mendukung dua macam pengertian sekaligus. Pengertiannya yang pertama
ialah tokoh-tokoh pemimpin tradisional itu sendiri sebagai pribadi.
Pengertiannya yang kedua ialah lembaga kepimpinan yang mereka dukung bersama.
Tokoh-tokoh pemimpin tradisional
dan lembaga kepemimpinan sama-sama disebut sebagai Na Mora Na Toras terdapat
pada setiap kerajaan kecil yang dinamakan banua atau huta. Sebagai kerajaan,
masing-masing banua atau huta mempunyai wilayah sendiri yang jelas
batas-batasnya dan ditempati sejumlah penduduk serta mempunyai pemerintahan
sendiri.
Tindak-tanduk
mereka ditata oleh
aturan yang tersirat atau tersurat, sebab dalam menjalankan tugas
tokoh-tokoh pemimpin tersebut hanya dapat bertindak sesuai dengan aturan
adat dan mereka menggunakan perlengkapan dan
lambang-lambang. Misalnya sidang peradilan adat dilakukan di Sopo Godang
(balai
sidang) dan dihadirkan lambang keadilan berupa patung kayu, Sangkalon
Sipangan
Anak Sipangan Boru, dan dilengkapkan dengan burangir (sirih adat).
Kompleks SopoGodang dan Bagas Godang
Tapi apabila penguasa militer
Jepang menghapuskan kerajaan-kerajaan kecil di Mandailing di tahun 1942 dan
disusuli masa kemerdekaan beberapa tahun kemudian, para raja dan pemimpin
tradisional sekaligus lembaga kepemimpinan Na Mora Na Toras hilang kekuasaan
mereka dalam menjalankan pemerintahan dalam masyarakat Mandailing. Namun dalam
pengaturan dan pengawasan adat, mereka masih berfungsi sampai sekarang meskipun
kekuasaan mereka tidak sebesar dulu.
Gambar: suasana kampung mendeling pada tahun 1910
Tidak ada komentar:
Posting Komentar