Orang Simalungun sejak dulu sudah hidup dalam kebiasaan mitologis dan cukup beragam, sayangnya tradis ini nyaris punah akibat penetrasi zending yang mengharamkan segala sesuatu yang berbau “heiden”. Kalau orang Toba mempunyai mitos Siraja Batak turun dari langit di Pusuk Buhit (bahasa Melayu Puncak Bukit) dan menyebar ke seluruh Toba, maka Simalungun juga punya mitologi yang cukup menarik di simak.
Konon, menurut legenda yang tertulis dalam Pustaha Ahar Mulajadi dikisahkan bahwa pada awalnya ada tiga dewata yang bertahta di langit (Nagori Atas) yakni Tuhan Sahine-hine, Tuhan Tobal Dunia dan Tuhan Naga Padokahni Aji. Mereka sepakat menciptakan manusia (eh, mirip gaya pantheon dewa Yunani ya?) untuk menghuni Nagori Tongah (Dunia Tengah). Tuhan Sahine-hine memulainya dengan membentuk patung tanah menyerupai manusia. Setelah patung dibentuk, seorang utusan disuruh membawa hosah hagoluhan (nafas kehidupan) ke Nagori Tongah untuk selanjutnya ditempatkan di bawah hidung patung tadi. Hosah hagoluhan itu dibawa dengan cara menggemgam di dalam telapak tangan. Sang utusan diingatkan untuk tidak membuka gemgamannya hingga ia tiba di bumi. Dalam perjalanan menuju bumi, sang utusan berniat melihat bagaimana bentuk hosah hagoluhan yang ada dalam genggaman tangannya. Ketika ia membuka gemgamannya, saat itu juga hosah hagoluhan keluar dan segera berubah wujud menjadi benda angkasa. Inilah awal terjadinya matahari, bulan dan bintang.
Sang utusan dengan rasa menyesal kembali ke Nagori Atas dan melaporklan perbuatannya kepada Tuhan Sahine-hine. Tuhan Sahine-hine memaafkan keteledoran sang utusan, lalu ia kembali membawa hosah hagoluhan ke bumi. Tetapi seperti perjalanan pertama, d tengah jalan utusan tersebut kembali membuka gemgamannya da segera hosah hagoluhan berubah wujud menjadi angin (logou) dan api (apuy). Rupanya utusan ini bukanlah utusan yang baik, sebab dalam perjalanan menuju bumi, ia kembali membuka gemgamannya. Hosah hagoluhan pun berubah wujud menjadi laut, hewan, pegunungan dan tumbuh-tumbuhan. Kini Tuhan Sahine-hine tidak memberi ampun lagi dan mengusir utusan tersebut dari Nagori Atas (Kayangan). Ia kemudian dikenal sebagai begu-begu naso tokka atau pangulu ni hajungkaton (pemimpin roh-roh jahat) yang selalu berusaha merusak manusia.
Tugas membawa hosah hagoluhan kini diserahkan kepada utusan lain bernama Aji Adil Moradil. Utusan kali ini ternyata jujur dan mematuhi perintah Tuhan Sahine-hine, sehingga hosah hagoluhan sampai di Nagori Tongah (bumi). Ia membuka genggaman tangannya di bawah hidung patung, sehingga hosah hagoluhan masuk ke dalam hidung patung tersebut. Seketika itu juga patung berubah wujud menjadi seorang pria yang gagah perkasa. Ia disebut Tuhan Parlobei (Orang Pertama Penghuni Bumi) dan selanjutnya Tuhan Tobal Dunia menempatkannya di Nagore (orang Simalungun menyebutnya Nagur) suatu tempat di Banua Holing (India Selatan). Tetapi kemudian Tuhan Tobal Dunia melihat ada suatu yang kurang dalam diri manusia tersebut. Ia meminta Aji Adil Moradil menanyakan Tuhan Sahine-hine siapakah perempuan pendamping Tuhan Parlobei. Atas perintah Tuhan Sahine-hine, Aji Adil Moradil menyuruh Tuhan Parlobei meakukan ritual pemujaan kepada Tuhan Sahine-hine. Di tempat pemujaan, Tuhan Parlobei manurduk demban (memberi sekapur sirih) dan dayok binatur (makanan adat Simalungun dari daging ayam). Setela ritual pemujaan, Aji Adil Moradil menyuruh Tuhan Parlobei menyadap pohon aren (bona ni bagod) dan meminum airnya. Selanjutnya sisa air tuak (bagod) tadi disemburkan pada batang bagod yang disadap tadi. Semua perintah itu dijalankan Tuhan Parlobei dengan baik. Ketika ia menyemburkan sisa air tuak tadi ke batang bagod yang disadapnya, serta merta batang bagod tadi menjelma menjadi seorang gadis cantik. Wanita itu diberi nama Panakboru Bolon (perempuan utama) yang kemudian menjadi istri Tuhan Parlobei. Inilah perkawinan pertama di muka bumi (partongah jabuanni jolma naparlobei i tanoh on). Merekalah nenek moyang semua umat manusia di bumi ini.
Panakboru Bolon melahirkan tiga orang anak, dua lakik-laki dan satu perempuan. Kedua anak itu diberinama Sang Majadi (putera sulung) dan Satara Manggun (putera bungsu), sedangkan anak perempuan diberi nama Sang Mainim. Ketika Sang Majadi dan Satara Manggun menginjak dewasa, ayah mereka menyuruh keduanya pergi merantau mencari rezeki ke negeri subur dan makmur. Dengan merakit sebuah perahu (solu) yang terbuat dari kayu ingul, kedua kakak beradik ini pergi mengarungi lautan lepas menuju pesisir Timur Sumatera (Pulou Porsa) dan tiba di Nagori Asih (Aceh sekarang). Di tempat ini mereka mendirikan perkampungan dan membuka ladang.
Perkawinan Sang Majadi dengan Si Dayang Matabur Mahobur, seorang gadis dari daerah lain memberi mereka tiga anak, dua perempuan dan satu laki-laki. Kedua perempuan diberi nama Nandorhaya Di Bulan dan Nandorhaya Di Ari, sedangkan nama laki-laki disebut Sormaliat. Selanjutnya Sormaliat kawin dengan Rongga Huning, purti pamannya sendiri. Dari perkawinan ini mereka memperoleh seorang anak laki-laki yang diberi nama si Anas Bondailing. Selanjutnya si Anas Bondailing kawin dengan seorang puteri dewa bernama Sidayang Naguratta. Mereka memperoleh seorang anak laki-laki dan diberi nama Pakpak Mularaja. Sebelum Sidayang Naguratta kembali ke langit (kayangan), ia berjanji untuk tetap memberkati puteranya dan seluruh keturunanya. Dari langit ia menyuruh seekor burung besar Nanggordaha (Garuda) menyampaikan kitab dewa bernama Pustaha Jati berisikan ajaran Habonaron Do Bona, yakni kitab yang berisi sejumlah peraturan dan tuntunan hidup. Pakpak Mularaja kawin dengan Sidayang Susur Tuah, seorang bidadari yang diturunkan ibunya dari kayangan (langit). Dari perkawinan ini mereka memperoleh dua laki-laki, salah seorang bernama Sang Ni Alam Naguratta.
Ketika Sang Ni Alam Naguratta menginjak dewasa, ia pergi merantau meninggalkan Nagori Asih dan akhirnya mendirikan perkampungan di Nagur Raja (Nagaraja Kab. Sergai sekarang). Ia menetapkan ajaran Habonaron Do Bona (kebenaran adalah pangkal segalanya). Ia melihat daerah itu sangat indah dan tanahnya mengandung sima-sima (lapisan lumut penyubur tanah), sehingga ia memberi nama sima-sima ni na lungun (tanah subur di tempat sunyi) untuk nama ladang yang di bukanya di suatu tempat yang dikenal juga dengan nama Harangan Pulou Lungun. Para budak (jolma tuhe-tuhe) Sang Ni Alam Naguratta menyebutnya tanoh Sibaloengoen (Tanah Simalungun). Karena kesaktiannya, Sang Ni Alam Naguratta berhasil mendirikan kerajaan di tempat itu dan diberi nama Harajaon Nagur (Kerajaan Nagur).
Setelah beberapa lama Nagur berdiri, kerajaan semakin ramai, kawula Nagur pun banyak yang datang dari negeri seberang, ada dari Jayu, ada dari Campa, dari Siam bahkan dari Pagarruyung dan negeri Tebba serta Haru. Mereka tunduk di bawah Duli Raja Nagur Damanik dan menjadi Anakboru pada Raja Nagur. Karena mereka berasal dari kaum wira gagah berani, maka dikawinkanlah mereka dengan puteri-puteri Nagur yang cantik dan diangkat menjaedi panglima (Raja Goraha). Rupa-rupanya muncul perselisihan di antara panglima itu dengan Raja Nagur sendiri. Maka bermufakatlah mereka di Pamatang Nagur, menetapkan keputusan sebagai berikut:
- Adat istiadat Nagur dan daerah taklukannya yang diperintah panglima adalah satu adanya yaitu adat istiadat Nagur sejak tiba di Pulou Porsa Sumatera.
- Masing-masing panglima diberi wilayah dan kelompok pengenal untuk mencegah kekacauan dan menjamin ketertiban dan kemaslahatan Kerajaan Nagur. Kepada Panglima Raja Banua Sobou dan Parnabolon disebut mereka kelompok Saragih karena mereka satu aturan (Sada Ragih) dan ditugaskan berkuasa di sekitar daerah Raya sekarang, Silampuyang, Sipoldas, Talun Saragih di Bandar dan Padang (daerah Tebingtinggi) sampai ke laut. Panglima Tanduk Banua Raja Saniang Naga panglima sakti pemilik naga berkuasa mulai dari Nagasaribu sampai ke Girsang Sipangan Bolon dan Tanjung Bolon di dekat pantai Timur Pulau Sumatera dari kelompok marga Sinaga, seterusnya Panglima Raja Banua Purba ditugaskan berkuasa di sekitar Purba, Silimahuta sampai ke Panei dan Silou hingga mencapi ujung sungai ular di Selat Malaka, dan terakhir Raja Nagur sendiri bermarga Damanik tetap diakui sebagai raja diraja yang berkuasa atas seluruh wilayah kerajaan. Setelah itu, pecah perang silih berganti melawan orang Jayu dari pantai timur Sumatera dan orang Banua Holing, maka di tengah peperangan yang menghebat, kelaparan dan wabah penyakit, keturunan dan rakyat Nagur menyelamatkan diri ke seberang (hu dipar) sampai ke daratan di seberang Nagur yang sekarang dikenali sebagai Samosir. Di sana mereka beranak pinak dan sebagian kembali rindu (malungun) kembali ke Nagur dan bertemu dengan saudara-saudaranya di sana. Mereka pun hidup makmur dan sejahtera kemudian di tengah-tengah pegunungan yang hijau dan subur itu. Demikianlah legenda tentang asal-usul manusia Simalungun penghuni pulau Sumatera.
- Keempat marga panglima ini boleh saling kawin kecuali di antara sesama kelompok marga itu sendiri, karena akan merusak kembali perdamaian dan tata tertib yang telah disepakati (na dob iriahkon).
- Keempatnya harus satu kata (sasahap), satu musyawarah (sapanriah), satu perasaan (sapangahapan) dan satu harga diri (saparmaluan) melawan pihak-pihak yang merusak ketertiban dan perdamaian dan yang mencoba merusak Habonaron Do Bona dan setia bekerjasama (sapangambei manoktok hitei) untuk tujuan bersama.
Juga dari DisertasiPdt. Dr. Jan Jahaman Damanik (STT Jakarta, 2009), tesis saya sendiri dan tesisi Pdt. Richard Siboro serta tulisan dan arsip Taralamsyah Saragih dan Kantor Pusat GKPS Pematangsiantar).
sumber: Dearmawanto Munthe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar