Tiga/Pasar/Pekan di Simalungun
PIR GOTOK… PIR GOTOK, GOTOK……
Guru Tahuak seorang yang sakti dan bisa melihat masa depannya. Dia merupakan salah satu dari keturunan Sitanggang Lipan yang hidup di sebuah kampung di Samosir. Sebagai seorang sakti, Guru Tahuak tak ingin tinggal di suatu tempat dan wilayah. Demikian dengan saudara-saudaranya yang lain sebelum bersebar ke berbgai tempat dan wilayah. Menurutnya suatu kesaktian tidak berkembang kalau selalu menetap di suatu tempat. Apalagi kesaktian yang dimiliki bukan untuk menguasai orang lain. Sudah lama Guru Tahuak ingin meninggalkan Samosir. Keinginan itu suatu malam mulai terwujud ketika ada suatu panggilan melalui mimpi. Dia mendengar suara yang berteriak dari kejauhan. Namun suara itu seperti mengejeknya. “Guru Tahuak, kalau memang engkau orang sakti datanglah kemari,” begitu kira-kira panggilan itu.
Maksud panggilan itu belum tahu persis seperti apa. Apakah benar-benar mau mengejeknya atau sekedar warna-warni dalam tidur. “Tidak,” katanya dalam hati. “Aku jarang bermimpi kalau tidur.” Memang benar, Guru Tahuak selalu tenang dalam tidurnya dan hampir tidak bermimpi. Tidur pada suatu malam itu agaknya tak bisa lagi tanpa suatu mimpi. Apalagi mimpi itu cukup punya arti. Hatinya kuat mengatakan kalau panggilan untuk keluar dari Samosir harus dilaksanakan. Dengan panggilan melalui mimpi itu Guru Tahuak selalu yakin kalau kesaktiannya sedang dibutuhkan untuk mengalahkan musuh atau mengusir hewan-hewan pemangsa manusia. Sebagai orang yang belum punya istri, Guru Tahuak juga sudah terlalu sering diajak meredakan pertengkaran antar lumban, kampung kecil. Bersama saudara-saudaranya menangkap kerbau liar dan binatang pemangsa dari hutan-hutan di tempat-tempat berbukit tinggi.
Kokok ayam pertama dia duduk bersimpuh sejenak mendengar suara angin danau dan dari arah bebukitan. Tanda-tanda kuat dari arah angin itu akan membawanya keluar dari Samosir. Suara angin melesak-lesak. Ombak danau sesekali menghempas ke tembok pantai yang berbatu-batu. Itu pertanda angin dari Utara masih berhembus. Berarti hembusan angin Utara itu berkejaran sampai ke teluk di arah Tenggara. Angin Utara itu juga yang mempengaruhi perputaran gelombang danau yang sudah lama diperhatikannya sehari-hari.
Gelombang danau seakan selalu ingin berputar pada musim angin dan mengelilingi semenanjung Samosir. Namun gelombang yang berputar itu akan berhenti di tepi daratan sepanjang hasundutan atau bagian Barat. Pada kokok ayam kedua dia mulai bergegas mempersiapkan semua perlengkapannya, terutama selembar sungkit untuk pijakannya sampai ke teluk seberang. Sungkit, jenis daun hutan yang mirip daun bambu itu biasa digunakan orang-orang sakti mengarungi hamparan danau. Daun tersebut akan tenggelam sendiri di danau setelah Guru Tahuak menginjak daratan teluk.
Kokok ayam berkali-kali didengar Guru Tahuak ketika hendak menginjak sungkitnya. Lalu dia bertanya: “Apa lagi gerangan yang kurang?” Dia sudah pegang tongkat saktinya yang mirip tunggal panaluan. Semua isi gajutnya juga segera diperiksa; tak ada yang kurang! Namun dia tiba-tiba sadar kalau di dalam tas pundi-pundi itu ada sebutir renteng niambalungan, telur ayam. Ini menjadi tanda dari kokok ayam yang berkali-kali itu. Lalu Guru Tahuak berpaling ke arah ayam itu. Namun ayam jantan mira sialtongnya yang selalu setia mengikutinya sudah berlari dan langsung terbang ke pundaknya.
“Ue, alogo. ullushon mahami,” Guru Tahuak melengkapi tabas atau mantranya dengan permintaan itu. Dia meminta agar angin menghembuskan mereka segera ke tempat yang dituju. Tidak begitu lama angin Utara berhembus dan mendorong tubuhnya di atas sungkit. Sungkit itupun dibawa gelombang ke arah teluk di Tenggara. Dari teluk Tenggara itulah guru Tahuak bergerak ke arah Timur. Sebentar lagi matahari akan muncul.
Daratan teluk Tenggara masih penuh rumput-rumput liar dan berduri. Semua rumput-rumput itu tumbuh menghalangi batu-batu besar. Kalau matahari mulai muncul jalan setapak ke arah Timur akan tampak. Guru Tahuak sejenak tertegun dengan sembulan asap di kejauhan, persis di bawah ketinggian gemunung pinggir danau bagian Timur. Sayup-sayup suara juga kedengaran. Terkadang bercampur dengan suara teriakan dan tangisan. Sejenak dia ragu. Lalu dia turun ke pinggir danau untuk menghilangkan rasa ragunya. Guru Tahuak mereguk air danau beberapa kali. Ayam jantannya juga ikutan-ikutan minum air danau itu.
Kembali ke atas batu tempatnya berdiri. Dipandangnya ulang asap di kejauhan. Matahari mulai muncul. “Kuurrrrk… kuurrrk….” Dipanggil ayam jantannya sebelum berlari menerobos rimbunan rumput-rumput liar di teluk itu. Semakin mendekat ke arah asap yang terlihatnya, suara-suara itu semakin jelas. Suara-suara itu benar-benar tangisan ibu-ibu dan kaum perempuan. Namun Guru Tahuak mencoba mencari tempat berpijak di bebukitan untuk melihat semua tangisan itu lebih jelas. Setelah memperhatikan tak ada gelagat dan siasat di antara tangisan itu, dia turun ke desa yang sudah dihancur leburkan peperangan.
“Inang, apa yang telah terjadi dengan kampung kalian ini?” salah seorang dari ibu yang bersedih di kampung itu dicoba tanya Guru Tahuak. Ibu itu telah kehilangan suami dan dua orang anaknya, melebihi kesedihan perempuan-perempuan tetangganya di situ. “Kami tak bisa berlari ke arah gunung. Di sini ada raja kami Sinaga. Dia dan ulubalangnya dikejar-kejar penyerang kampung ini ke arah gunung sana,” itulah pengakuan ibu itu sambil terisak dan menunjuk arah gunung. Dengan sekejap juga Guru Tahuak mengikuti petunjuk ibu itu karena darahnya tersirap. Dia tahu siapa yang harus dibela.
Dengan ilmu saktinya, Guru Tahuak tidak kesulitan mengendus ke arah gunung. Di suatu tempat di gunung itu dia bertemu dengan sekelompok orang. “Hei, siapakah kalian?” Guru Tahuak seperti membentak. Sekelompok orang itu berlumuran darah dan memar. “Apakah kalian yang dikejar-kejar musuh dari kampung sana?”
Salah seorang dari orang-orang yang memar dan berdarah itu kelihatan masih segar meskipun wajahnya menunjukkan kesedihan. “Tuhu mai, raja nami. naso uhum naso adat ro raja sian Purba naeng mangaromrom hami dohot hutanami,” demikianlah Raja Sinaga menceritakan keadaan. Kelompok Raja Purba datang hendak menaklukkan mereka dan kampung yang dirajai Raja Sinaga. Mendengar itu Guru Tahuak memohon agar dia dapat terlibat melawan serangan yang mungkin masih akan dilakukan Raja Purba. Mereka turun bersama ke bawah, kampung pinggir danau. Di kampung itu semua penduduk diajak Guru Tahuak setiap malam berkumpul dan siang hari dapat kembali ke tempat dan pekerjaan masing-masing. Pada malam hari beberapa orang lelaki diajaknya menjaga harbangan, gerbang kampung itu. Di gerbang kampung itulah mereka selalu menghalau dan menaklukkan pasukan Raja Purba.
Raja Sinaga merasa nyaman kembali memimpin penduduk dan melindungi seisi kampung itu. Namun dia merasa berhutang budi kepada Guru Tahuak. Horja (pesta kampung) dan gondang (upacara dengan musik batak) lalu dia lakukan untuk menunjukkan kegembiraan dan sekaligus hutang budinya kepada Guru Tahuak. Diumumkan kepada orang banyak kalau Guru Tahuak layak menjadi menantunya. Jadilah Guru Tahuak memperistri salah seorang putri Raja Sinaga. “Alai munsat mahamu, amang hela, tapi berangkatlah kalian, menantuku…,” pesan Raja Sinaga “…berangkat ke negeri yang jauh.”
Guru Tahuak sangat mengerti akan pesan dari mertuanya. Maka dia bersama Boru Sinaga pergi ke negeri yang jauh itu melewati bebukitan dan hutan-hutan keramat. Mereka dibekali Raja Sinaga dengan naniura (ikan yang diragi) dan ulos hela, tenunan untuk sang menantu. Di tengah perjalanan mereka menyantap ikan yang diragi itu. Di situ banyak pohon nira dan beberapa orang penyadap nira mulai lewat. Dari salah seorang dari penyadap nira itu kebetulan mengaku Sinaga juga. Sinaga penyadap nira itu sudah yatim-piatu. Mereka mengajaknya ke negeri yang jauh.
Singkat cerita, guru Tahuak sudah menemukan sebuah tempat yang nyaman di negeri yang jauh. “Lungun ni hutanta on, ate. Kampung kita ini sunyi sepi ya,” begitu kata istri Guru Tahuak. Tempatnya dia sebut harangan Sitanggang. Namun kalau mertua dan handai tolan Sitanggang dikunjungi selalu terucap: “Ba lungundo tutu huta munaon. Memang sungguh sepi dan sunyi kampung kalian ini.” Sekitar kampung Sitanggang itu kemudian sering disebut Sibalungun. Di hutan itu ada pohon-pohon tualang dan mata air bersih yang berhulu ke sungai besar di sekitarnya. Ke sanalah anak mereka bernama Ompu Maringan dinobatkan sebelum menjadi penguasa tempat itu. Sinaga penyadap nira itu juga tumbuh dan memperistrikan seorang perempuan dari Silopakipon, kaum dari seberang pulau dan masih mengeramatkan sungai-sungai. Sehari-hari penyadap nira itu setia kepada Guru Tahuak. Namun dia tak ingin setia kepada Ompu Maringan, anak Guru Tahuak. Tidak lama Ompu Maringan menjadi raja di situ, mangkatlah Guru Tahuak dan dimakamkan di tanah sekitar. Pesan terakhir Guru Tahuak kepada penyadap nira itu agar setia kepada anaknya.
Suatu kali Sinaga penyadap nira tergesa-gesa menjumpai Ompu Maringan. “Piiiir gotok, goootoook…. Begitulah katanya, raja nami,” penyadap nira itu menirukan suara seekor tupai yang terperangkap di hodong, pelepah enau yang disadapnya.
“Apa maksudmu, lae?” dengan heran Ompu Maringan ingin mengerti dengan pir gotok, gotok yang diucapkan Sinaga penyadap nira itu.
“Tupai itu rupanya bisa berbicara setelah terperangkap. Akan kuulang perkataannya: piiir goootook, goootoook…. Hansit nai hona atip-atip, betapa sakit kena perangkap. Tupai itu memang terperangkap ke atip-atipku di pohon nira. Tapi aku sangat kasihan untuk membunuhnya.”
Ompu Maringan tidak ingin bertanya lebih jauh meskipun kurang percaya seekor tupai bisa berbicara atau menyatakan kesedihannya. “Aku ingin membuktikan,” katanya kepada Sinaga penyadap nira. Sebelum tiba di tempat kejadian tiba-tiba Sinaga penyadap nira ingin meminta janji kepada Ompu Maringan: “Saya tak ingin membohongi raja. Tapi raja harus berani bersumpah: kalau tupai itu benar-benar bisa bicara, aku harus menggantikanmu menjadi raja. Bisa bersumpah?”
Dengan lugu dan baik hati Ompu Maringan mengangkat sumpah yang diinginkan. Di bawah pokok nira itu terwujudlah muslihat Sinaga penyadap nira. Tupai itu kedengarannya betul-betul bisa bicara dan menyatakan kesedihannya terperangkap di pokok enau. Namun sebelumnya istri Sinaga penyadap nira sudah bersembunyi di balik rimbunan sekitarnya menirukan suara tupai bisa bicara.
Hari itu juga Ompu Maringan menyerahkan kerajaannya kepada Sinaga penyadap nira. Jadilah Sinaga itu menggantikan Ompu Maringan menjadi raja di sekitarnya. Suatu ketika dalam kerajaan Sinaga datanglah kaum Silopakipon untuk mencari salah seorang putrinya yang hilang, yaitu istri Sinaga yang sudah menjadi raja itu. Sinaga tak bisa berbuat apa-apa dengan gerombolan Silopakipon yang begitu ramai. Gerombolan itu sempat dilihat Ompu Maringan dari kejauhan. Lalu Ompu Maringan menyuruh Sinaga bersembunyi ke seberang sungai. Dari tempatnya menyuruh Sinaga menyeberang sungai, diarahkannya gerombolan Silopakipon itu ke tempat persembunyian Sinaga. Gerombolan Silopakipon itu menemukan Sinaga dalam persembunyiannya. Namun dia kemudian disuruh kaum Silopakipon membangun istananya segera di tempat persembunyian itu dengan syarat: “Kamu harus membuat nama tempat ini Tana Jaoa.” Tana Jaoa itu diartikan negeri orang dari kejauhan atau seberang pulau. Kaum Silopakipon itu memang datang dari negeri jauh dan masih menganut Hindu. Ucapan Tana Jaoa itu lama-lama disebut menjadi Tanoh Jawa. Begitulah kira-kira asal-usul Tanah Jawa Simalungun yang ada sampai sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar