Mengenai Sejarah Batak dan kerajaan-kerajaan berikut raja-raja yang pernah ada
di dalamnya. Batak merupakan salah satu etnis unik di Indonesia, dan memiliki
peranan penting dalam sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia dalam
memperoleh kedaulatan dan kemerdekaannya. Tercatat bahwa Raja Sisingamangaraja
XII merupakan salah satu tokoh sejarah yang berperan dalam masa perjuangan
melawan kolonialisme Belanda di abad 19. Namun bila dipilah lebih detil, maka
akan tercatat kerajaan-kerajaan awal terbentuknya kerajaan Batak.
Peta kuno sumatra oleh Claudius Ptolomeus
I. Kerajaan Batak Tua
Berdasarkan informasi data yang dapat dikumpulkan, baik yang berasal dari
cerita rakyat, sejarahwan, kepustakaan dan riset; konon sekitar abad pertama
Masehi telah berdiri Kerajaan Batak (Pa’ta) berkedudukan di Batahan (sekitar kota Natal
sekarang). Wilayah kekuasaannya meliputi seluruh pantai barat Sumatera, dahulu
disebut pulau Andalas (Baca: Adda las) sampai ke bagian barat pulau Jawa yang
dihuni oleh suku Badui.
Sebutan/istilah
Badui berasal dari bahasa Austronesia purba
yang masih banyak dipergunakan oleh orang Batak sekarang, terdiri dari dua suku
kata, Ba-niadui (nun jauh disana).
Pada masa itu, bangsa Batak menganut suatu kepercayaan yang disebut Agama
Malim; pimpinannya disebut Raja Malim, dibantu oleh para Nabi yang disebut
Panurirang, dan para pengikutnya disebut Parmalim. Berkaitan dengan
pemerintahan, Raja Malim bertindak sebagai penasehat dan disebut
Paniroi/Sitiroi. (ahli ilmu bumi dari Iskandariah, bernama Claudius Ptolomeus,
menyebutnya Satyroy).
Kepala
pemerintahan yang disebut Sirajai Jolma bertindak sebagai Pemangku adat/Penegak
hukum (Executip). Terbetik berita, bahwa pada masa jayanya Kerajaan Batak telah
menjalin hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan lain seperti; Kerajaan Cola
(India), Kerajaan Ming (Cina) dan telah memiliki semacam Perguruan Tinggi
Parmalim di Gunungtua, dimana masih terdapat sisa-sisa peninggalannya hingga
sekarang, antara lain:
Candi Portibi,
Biaro Bahal,
Sitopaon (Sitopayan)
Candi Bara
Candi Pulo
Candi Sipamutung
Candi Tandihat I
Candi Tandihat II
Candi Sisangkilon
Candi Manggis
Candi-candi ini menandakan bahwa
orang batak telah mengenal pendidikan dan telah memiliki beradaban yang maju.
Sebuah peta kuno
yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani
yang berpusat di Alexandria, Mesir, pada abad ke-2 Masehi juga telah
menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga
bernama Barousai (Barus) yang di kenal menghasilkan wewangian dari kapur barus.
Bahkan, dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke
Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Fir’aun
sejak Ramses II atau sekitar 5.000 tahun sebelum Masehi.
Raja
dari Sriwijaya yang muncul kemudian dan berkuasa di pantai timur pulau Sumatra,
tidak pernah mengganggu keberadaan Kerajaan Batak di bagian barat; kabarnya,
karena mereka masih ada hubungan keluarga; sama sama keturunan keluarga
Sailendra, yaitu keluarga yang datang dari pulau Sai lam=Sai lan=Ceylon.
*.Di daerah Sumatra
bagian selatan, terdapat banyak nama/ istilah yang punya kesamaan dengan bahasa
Batak (Karakteristik Batak), antara lain:
Lampung =
Lampung(u) = semakin kumpul/bersatu.
Rajabasa =
Raja nabasa = Raja yang budiman.
Kubu
= Benteng pertahanan.
Dihubu
= Ditaklukkan / di rebut.
To lang bawang = Tulang bao (ejaan Batak) =
Paman dari istri.
Pada tahun 1024, Raja Rajendra Cola Dewa
dari negeri Cola menyerbu negeri Batak, hal ini kabarnya disebabkan
ketersinggungan Raja Cola Dewa I atas hubungan dagang antara Kerajaan Batak Tua
dengan Kerajaan Ming pada waktu itu, dan pada tahun 1029 Kerajaan Batak
Tua dapat ditaklukkan setelah berperang selama 5 tahun. Raja negeri Batak
ditangkap, tetapi tidak dibunuh; negeri itu ditinggalkan begitu saja tanpa pemerintahan.
II. Kerajaan Barus
Setelah jatuhnya
Kerajaan Batak Tua (Batahan) sekitar tahun 1030, berbareng dengan munculnya
kerajaan-kerajaan baru, pecahan dari Kerajaan Batak Tua, Raja Malim (Pimpinan
agama Malim) dari Gunungtua, menobatkan menantunya menjadi raja, Sirajai Jolma
(Kepala Pemerintahan) berkedudukan di Barus. Untuk menunjukkan bahwa dialah
yang mulamula/pertama menjadi raja di Kerajaan Batak Barus, maka dinamakanlah
Raja Mula.
Barus di
sebut sebagai kota tertua di Nusantara, karena mengingat dari seluruh kota di
Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal masehi oleh
literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syria, Armenia, China dan
sebagainya
Raja Mula digantikan oleh anaknya, yaitu Raja Donia, kemudian Raja Donia
digantikan oleh anaknya Raja Sorimangaraja Batak I (Sorimangaraja = Sri
Maharaja). Raja Sorimangaraja Batak I digantikan oleh anaknya yang kedua
bernama Nasiak Dibanua dan Nasiak Dibanua digantikan oleh anaknya, bergelar
Sorimangaraja Batak II.
Tradisi awal para Raja Batak Barus selalu mengambil isteri dari keluarga Raja
Malim; kebiasaan ini bertujuan demi menjaga keserasian pemerintahan (Konstelasi
politik); Raja Sorimangaraja Batak II memperisterikan putri Raja Malim juga,
yang melahirkan lima
orang putra baginya;
Siraja Bahar
Sinambeuk
Si Pakpak
Jonggolnitano
Raja Mangisori yang juga disebut Nagaisori.
Dari 5 orang putra Raja Sorimangaraja Batak II, hanya Sinambeuk yang mengambil
isteri dari keluarga Raja Malim, yaitu saudara perempuan dari Raja Malim
Mutiaraja. Dari perkawinannya itu, Sinambeuk memperoleh seorang putra yang
dinamakan Si Raja Batak; dia inilah yang kelak dikemudian hari mendirikan
perkampungan Sianjur Mulamula di tanah Toba.
Pada masa pemerintahan Raja Sorimangaraja Batak II, orang Melayu Pagarruyung
menyerbu Kerajaan Batak Barus; mereka dibantu oleh para saudagar Islam yang
datang dari Gujarat ;perang itu memakan banyak
korban. Melihat situasi yang tidak menguntungkan itu, Raja Sorimangaraja Batak
II telah memperhitungkan, bahwa dia akan kalah perang, dengan cepat dialihkan
kekuasaan pemerintahannya kepada Raja Malim Mutiaraja keponakannya itu
(Paraman), dengan perjanjian setelah situasi sudah kondusif, kerajaan itu harus
dikembalikan kepada ahli waris. Mereka mengikat perjanjian itu dengan suatu
ikhar tanda barang pusaka, yang mereka namakan
"Tabutabu sitara pullang, ia sian i
dalanna ro, ingkon tusi do dalanna sumuang," (Dari mana datangnya, harus
kesitu juga kembalinya)
Sejak peristiwa
pengalihan kekuasaan itu, Raja Mutiaraja memegang dua tampuk kepemimpinan,
yaitu: selaku pimpinan agama disebut Raja Malim dan selaku Kepala pemerintahan
(Sirajai Jolma), disebut Raja Uti. Pada awalnya, gelaran Kepala pemerintahan
itu disebut Raja Unte (baca: Utte), hal ini berkaitan dengan kebiasaan Raja
Mutiaraja selaku pimpinan agama (Raja Malim) yang selalu mempergunakan Jeruk
purut (Unte pangir) didalam upacara-upacara keagamaan. Disebut juga Mutiaraja
itu dengan sebutan Raja Mangalambung yang arti harfiahnya, menyamping/dari
samping, karena dia bukan dari ahli waris.
Seirama
dengan penggelaran itu, muncullah kebiasaan sesajenan yang membedakan pimpinan
agama dengan Kepala pemerintahan; Jika seseorang ingin berhubungan dengan
pimpinan agama Raja Malim, maka sesajenannya adalah kambing warna putih
(Hambing sibontar), tetapi jika ingin berhubungan dengan Kepala
pemerintahan Raja Uti, maka sesajenannya adalah kambing warna hitam
(Hambing silintom).
Perkiraan Sorimangaraja Batak II tentang perang itu menunjukkan kebenarannya;
dan bersama anaknya Sinambeuk, mati terbunuh dalam perang. Pada zaman itu sudah
menjadi kebiasaan, bahwa semua keturunan raja yang kalah perang harus dibunuh
agar tidak muncul kerajaan baru yang akan balas dendam; maka demi keselamatan,
setelah Raja Sorimangaraja Batak II terbunuh, para keluarga raja melarikan
diri. Konon kabarnya, setelah beberapa generasi kemudian, terbetiklah berita,
bahwa:
Keturunan Si Raja Bahar bermukim di Desa
Garo (Garo = Pisang) Karo.
Keturunan Si Raja Batak, anak dari
Sinambeuk, bermukim di Toba.
Keturunan Si Raja Pakpak, bermukim di Dairi
(Dai Ri).
Keturunan Jonggol ni Tano yang
memperanakkan Raja Pandudu dan Raja Mante (Mantela) bermukim di Aceh Pidie
(apakah Pidie dari kata Pudi ? ).
Keturunan Nagaisori (Raja Mangisori),
bermukim di Daerah Singkil & Tapak Tuan.
Dan perkembangan agama Islam di Barus sangat pesat. Orang Batak yang pertama
masuk agama Islam di Barus adalah seorang guru pencak silat, bernama Guru
Marnangkok; dan banyaklah orang Batak masuk memeluk agama Islam di Barus.
Setelah penaklukan Kerajaan Barus, penguasa negeri itu dan para saudagar Islam
negeri baru berbasis Islam yang mereka namakan Negeri Fansur, orang Batak
meyebutnya Pansur.(baca: Paccur).
III. Kerajaan Pea Langge
Pada masa jabatan Raja Malim/Raja Uti II, para nabi bersepakat untuk mendirikan
kembali Negeri Batak disebelah utara Barus, yang mereka namakan Negeri Pea
Langge ; penduduk setempat menyebut Raja Uti dengan sebutan Raja Uteh.
Raja pun silih berganti ; Raja Malim/Raja Uti II digantikan oleh Raja
Malim/Raja Uti III ; Raja Malim /Raja Uti III digantikan oleh Raja Malim /Raja
Uti IV.
Pada masa Raja Malim / Raja Uti IV, Raja Negeri Fansur yang mengalahkan
Kerajaan Barus menyerbu Kerajaan Batak Pea Langge. Dan setelah Ompu Bada (Ompu
Bada = Panglima Perang) mati terbunuh, maka takluklah negeri itu. Raja
Malim/Raja Uti IV dan pengikutnya menyingkir ke suatu pulau di lautan Hindia,
disebelah barat Pea Langge.; sesuai dengan bentuk pulaunya, dinamakanlah pulau
itu, Pulo Munsung Babi. (Sekarang dinamakan Pulau Babi, Kecamatan Pulau
Banyak).
Sejak itu, raja Malim / Raja Uti IV dengan para penggantinya Raja Malim/Raja
Uti V, VI dan Raja Malim/Raja Uti VII, disebutlah dengan sebutan Raja dari
Pulau Munsung Babi.
* Nama Raja Uti II dan para
penggantinya, belum dapat diketahui (mohon info).
IV. Kerajaan Sianjurmulamula
Sebagaimana telah disampaikan diatas,bahwa sebelum Sorimangaraja Batak II mati
terbunuh, dia sempat mengalihkan kekuasaannya kepada Raja Malim Mutiaraja.
Setelah Kerajaan Batak Barus jatuh ketangan musuhnya, didalam situasi yang
serba semraut, Mutiaraja memerintahkan si Raja Batak keponakannya/berenya
itu ( berumur 19 tahun) agar melarikan diri kesuatu tempat yang
ditunjukkannya dan merahasiakan bahwa dia adalah keturunan raja dari Barus ;
dengan membawa seruas bambu yang berisikan dua gulungan surat (dokumen),
terdiri dari;
Pustaka Tombaga Holing yang berisikan ilmu
kemiliteran,
Pustaka Surat Agong yang berisikan ilmu
Tata Negara.
Dikemudian
hari, para pencerita membuat pesan itu menjadi cerita mitos, maka muncullah
mitologi si Raja Batak turun dari langit didalam seruas bambu.
Madekdek sian langit, mapultak sian bulu
Selanjutnya, berangkatlah si
Raja Batak menuju tempat yang dimaksudkan oleh Mutiaraja pamannya itu; susah
payahnya diperjalanan naik gunung turun lembah.
Di suatu hari, dalam
kondisi capek kelelahan, istirahatlah dia disuatu tempat, lalu duduk diatas
sebongkah batu datar/batu ceper yang dinamakannya batu peristirahatan (Batu
Pangulonan) akan tetapi dikemudian hari, dinamakanlah Batu Hobol, ada juga
yang menyebut Batu Hobon. Setelah tenaganya pulih kembali, dilanjutkanlah
perjalanan; ketika letih dan kehausan; tak disangka ditemukannya sebuah umbul
air, lalu minumlah dia melepas dahaga, maka dinamakannyalah umbul air itu Aek
sipaulak hosa loja yang berarti: umbul air pemulih tenaga.
Sampailah ia ditempat
yang dituju, yaitu sebuah Gua batu yang dipesankan oleh pamannya Mutiaraja
(Raja Malim/ Raja Uti I); dan dinamakannyalah gua itu Liang Raja Uti. (Liang =
Gua).
(Batu
pangulonan, Aek sipaulak hosa loja, Gua Raja Uti, maupun Pusuk Buhit, terletak
di daerah Kabupaten Samosir sekarang).
Konon menurut berita, selang beberapa waktu setelah jatuhnya Barus, Mutiaraja
gelar Raja Malim/Raja Uti I, diam-diam dalam rahasia, dia bersama puterinya,
datang dari Barus ke Toba mencari si Raja Batak keponakanya itu; mereka
berjumpa dan bermalam di Gua batu/Liang Raja Uti selama dua malam. Dalam
pertemuannya itu, Mutiaraja gelar Raja Malim/Raja Uti I, mengamanahkan kepada
Si Raja Batak untuk mempersiapkan berdirinya kembali kerajaan Batak.
Bendera Kerajaan Batak
(Dinasti Raja raja Batak Barus, Raja
Malim/Raja Uti I s/d VII)
Keterangan :
Hitam = Lambang
kerahasiaan / Hahomion.
Putih = Lambang Kesucian / Habadiaon.
Merah = Lambang kekuatan / Hagogoon
Bintang kuning = Lambang Kekuasaan
tertinggi.
V. Kerajaan Bakkara.
Sebelum kita cerita tentang kemunculan
kerajaan Batak di Bakkara, bahwa berdasarkan informasi data yang dapat
dikumpulkan, Raja Manghuntal lahir pada tahun 1520, dan dinobatkan
menjadi Raja Sisingamangaraja I pada tahun 1550 oleh Raja Uti VII di Pulau
Munsung Babi.
*. Dalam Sejarah umum, tercatat bahwa
Portugis telah menaklukkan negeri Malaka pada tahun 1511, berarti, Raja
Manghuntal (Sisingamangaraja I), belum lahir pada waktu
itu.
Berdasarkan silsilah yang sudah baku dikalangan orang Batak Toba, Raja
Manghuntal adalah generasi yang ketujuh dari Si Raja Batak; jika di
hitung-hitung satu generasi adalah 25 (dua puluh lima ) tahun, dalam arti
sudah pantas punya anak, maka Si Raja Batak tentulah
sudah lahir, 175 tahun lebih dahulu dari Raja Manghuntal, yaitu sekitar
tahun 1345; dan jika Si Raja Batak berumur 19 tahun pada waktu menyingkir dari
Barus, maka Si Raja Batak diperkirakan tiba di Toba sekitar tahun 1364.
Sebagaimana
telah disampaikan diatas (di bagian III) bahwa setelah Kerajaan Pea Langge
jatuh ketangan musuhnya, Raja Malim/Raja Uti IV bersama para pengikut setianya,
menyingkir ke Pulau Munsung Babi. Berita tentang raja-raja Batak yang bermukim
di Pulau Munsung Babi (Pulau Babi) terbenam begitu lama tapi exsistensi
keberadaannya masih terbesit di Toba.
Perjanjian
Sorimangaraja Batak II dengan Raja Malim Mutiaraja yang ditandai dengan barang
pusaka
Tabutabu sitarapullang, ia sian i dalanna
ro, ingkon tusi do dalanna sumuang
Lama sesudah itu,
setelah beberapa generasi kemudian, sampailah berita kepada raja Manghuntal di
Bakkara, bahwa Raja Malim/Raja Uti VII, ada bermukim di Pulau Munsung babi,
maka disuatu waktu, berangkatlah raja Manghuntal kesana untuk membicarakan
perjanjian yang dibuat oleh leluhurnya Sorimangaraja Batak II.
Sehubungan dengan
niatan itu, Raja Malim /Raja Uti VII, terlebih dahulu meneliti kemampuan Raja
Manghuntal (test uji coba termasuk kesaktian). Setelah Raja Malim /Raja
Uti VII meyakininya, maka sepakatlah untuk mengembalikan kekuasaan atas
Kerajaan Batak kepada Raja Manghuntal (ahli waris), sesuai dengan perjanjian.
Didalam acara
penobatannya pihak Raja Uti disimbolkan, mulai dari Raja Uti I s/d Raja Uti
VII, menyerahkan kembali kekuasaan atas kerajaan Batak sesuai perjanjian, dan
sebagai tanda pengembalian, secara simbolik, diserahkanlah 7 (tujuh) macam
barang pusaka, yaitu:
Piso Solam Debata (Keris Batak) tanda
pemegang kekuasaan kerajaan .
Hujur siringis, siungkap mata mual (Tombak,
pembuka mata air).
Tumtuman sutora malam, Tali tali harajaon
(Mahkota)
Ulos Sandehuliman, siambat api (Kain/Ulos
pemadam api permusuhan, bahwa tidak akan ada permusuhan antara Raja/Kepala
pemerintahan dengan Raja Malim pimpinan agama).
Lage silintong pinartaraoang omas, lapik
panortoran ni Raja (Tikar permadani, alas tempat Raja menari).
Tabu tabu sitarapullang, ia sian i
dalanna ro, ingkon tusi do dalanna sumuang (perjanjian).
Gajah sibontar, pangurupi di nadokdok
(Gajah putih simbol tanggung jawab).
Pada Acara
pelantikannya, disebutlah Raja Manghuntal dengan gelaran Sisingamangaraja I
(pemula Dinasti Sisingamangaraja); dan setelah pengembalian itu, berakhirlah
masa pemerintahan dinasti Raja Uti; maka, dengan demikian, terwujudlah apa yang
dicita-citakan/ direncanakan oleh Si Raja Batak bersama Mutiaraja. Kerajaan
Batak berdiri kembali dibawah pemerintahan dinasti Sisingamangaraja,
berkedudukan di Bakkara.
Silsilah Raja – raja di Kerajaan
Bakkara;
Singamangaraja II, Ompu Raja Tinaruan
Singamangaraja III, Raja Itubungna.
Singamangaraja IV, Tuan Sorimangaraja.
Singamangaraja V, Raja Pallongos.
Singamangaraja VI, Raja Pangolbuk.
Singamangaraja VII, Ompu Tuan Lumbut.
Singamangaraja VIII, Ompu Sotaronggal.
Singamangaraja IX, Ompu Sohalompoan.
Singamangaraja X, Ompu Tuan Na Bolon.
Singamangaraja XI, Ompu Sohahuaon,
Singamangaraja XII, Patuan Bosar, gelar
Ompu Pulo Batu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar