Menurut Wiranto, Prabowo mengaku penculikan mahasiswa itu atas
inisiatifnya
Menurut
putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo itu, operasi intelijen yang
berbuntut penculikan tersebut sengaja tidak dilaporkan ke atasannya, KSAD atau
Pangab, karena dia tidak ingin merepotkan dan melibatkan Mabes ABRI.
Sudah
tentu jawaban Prabowo ini mengejutkan Wiranto. Memang, jika muncul adanya
dugaan rivalitas diantara kedua perwira tinggi itu, Wiranto lulusan AMN ’68 dan
Prabowo lulusan Akabri Darat ’74, banyak yang mengatakan hal itu untuk
memperebutkan kepercayaan dari Pak Harto.
Pada 16 Mei 1998 di
Wisma Yani, Menteng, Jakarta, Jenderal Wiranto didampingi Kassospol Letjen
Susilo Bambang Yudhoyono dan Assospol Kassospol Mayjen Mardiyanto menerima
Ketua Umum NU Gus Dur.
Pada
pertemuan tersebut, Wiranto mengajak NU untuk membantu upaya ABRI memulihkan
konsolidasi nasional dan mencari solusi terbaik menghadapi kemelut yang sedang
berlangsung waktu itu.
Dalam
kesempatan itu Gus Dur menyatakan dukungannya. Kemudian Wiranto menugaskan
Mayjen Mardiyanto untuk membuat pernyataan pers, berisi lima butir.
Salah
satu butirnya mengatakan NU sangat setuju keinginan Pak Harto untuk lengser
keprabon.
Entah
bagaimana, konsep pernyataan pers yang belum diteken Jenderal Wiranto itu
sampai ke tangan Letjen Prabowo, kemudian disampaikan ke Pak Harto malam hari.
Wiranto
menjelang tengah malam mendapat laporan perbuatan Prabowo tersebut. Menurut
Wiranto tindakan Prabowo yang sudah di luar jalur norma keprajuritan itu
membuat dirinya merasa diragukan kesetiaannya oleh Pak Harto.
Tanggal 17 Mei seusai subuh,
Wiranto datang ke Pak Harto di kediaman Jalan Cendana untuk mengklarifikasi
laporan Prabowo tersebut. Dari Pak Harto, Wiranto mengetahui secara lengkap apa
yang dilaporkan oleh Prabowo.
Tersirat
bahwa Wiranto telah berkhianat terhadap Pak Harto. Wiranto menjadi gundah. Dia
menyatakan jika Pak Harto sudah tidak lagi mempercayainya, dirinya siap mundur
dari jabatan, sambil meyakinkan bahwa apa yang dilaporkan Prabowo tidak benar
adanya. Namun Pak Harto menolak permintaan pengunduran diri Wiranto.
Usai
diterima Pak Harto, saat mau keluar, Wiranto berpapasan KSAD Jenderal Subagyo
HS, Pangkostrad Letjen Prabowo dan Pangdam Jaya Mayjen Sjafri’e Sjamsoeddin.
Disitulah
Jenderal Wiranto menumpahkan kekesalannya kepada Letjen Prabowo, disaksikan
Subagyo dan Sjafri’e.
Kemudian
Wiranto menanyakan maksud kedatangan mereka satu persatu. Subagyo mengatakan
dirinya dipanggil oleh Pak Harto, Prabowo mengaku datang atas inisiatifnya
sendiri, sedangkan Sjafri’e datang karena kebetulan lewat dan mampir. Tapi pagi
itu, hanya Subagyo yang diterima resmi oleh Presiden.
Dalam pertemuan itu Pak Harto menyatakan ingin mengeluarkan
Inpres tentang pemulihan keamanan dengan membentuk lembaga Komando
Operasi Pemulihan Keamanan dan Keselamatan Nasional. Pak Harto
bertanya apa KSAD siap menerima tugas itu?
Sebaliknya
Subagyo pun balik bertanya, bagaimana dengan posisi Jenderal Wiranto, sebagai
Panglima ABRI apakah otomatis diganti olehnya? Jika tidak, Subagyo tidak mau.
Dia
menyarankan agar pemegang atau pelaksana Inpres tersebut harus dipegang oleh
pimpinan ABRI sehingga tidak menimbulkan dualisme komando dalam tubuh ABRI.
Perasaan
Wiranto menjadi tak menentu atas sikap Pak Harto itu. Apakah ini pertanda
menurunnya kepercayaan Pak Harto terhadapnya? Hanya Pak Harto yang tahu.
Menurut
Wiranto, bagaimana mungkin sebuah komando operasional pemulihan keamanan
terpisah dari struktur komando Pangab selaku penanggung jawab keamanan
nasional?
Tanggal 18 Mei sore hari,
beberapa perwira tinggi menghadap Pak Harto di Cendana, secara terpisah. Hadir
Pangkostrad Letjen Prabowo, Pangdam Jaya Mayjen Sjafri’e, KSAD Jenderal
Subagyo, dan Pangab Jenderal Wiranto.
Masing-masing
melaporkan perkembangan situasi sesuai dengan ruang lingkup tugas dan
kewenangannya. Tidak ada pesan khusus Pak Harto kepada mereka.
Menurut
penuturan Mayjen Sjafri’e, ia datang ke Cendana hari itu sekitar pukul 15.00.
Juga dipanggil KSAD namun waktunya tidak bersamaan, tempatnya pun beda.
Sjafri’e
tidak tahu apa yang dibicarakan Pak Harto dengan KSAD. Dia hanya disuruh
menunggu oleh Pak Harto, sementara Pak Harto ke ruang lain untuk berbicara
dengan KSAD.
Saat
kembali, Pak Harto bertanya kepada Sjafri’e apa yang diketahuinya, Pangdam Jaya
itu menjawab cepat dan jelas soal Gus Dur yang menegaskan bahwa NU akan ikut
ABRI.
Namun
Pak Harto memotongnya, bukan itu yang dimaksud.” Coba kamu tanya ke KSAD,”
perintah Pak Harto. Sjafri’e pun menemui Subagyo di ruang lain. Berkumpullah di
ruang itu Sjafri’e, Subagyo dan Prabowo.
Kemudian datang Wiranto, dan kepada Pak Harto menyerahkan Inpres
No.16/1998, yang memberikan kewenangan kepadanya selaku Panglima Operasi
Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional. Pada saat menyerahkan, tidak
ada pesan Pak Harto untuk melaksanakannya. Wiranto pun memutuskan untuk tidak
menggunakan Inpres tersebut guna menghindari pertumpahan darah.
Hal
ini juga dibicarakannya dengan Kassospol Letjen Susilo Bambang Yudhoyono di
Mabes TNI Merdeka Barat. “Kalau begitu saya ikut jenderal,” kata Yudhoyono
sambil menyalami Wiranto.
Kamis 21 Mei 1998,
Presiden Suhato mengumumkan pengunduran dirinya. Sejak itulah momen-momen
penting terus bergulir. Pak Harto lengser digantikan oleh Wapres BJ Habibie.
Jumat 22 Mei 1998, Panglima Kostrad Letnan Jenderal
Prabowo Subianto bergegas memasuki halaman Istana, namun sebelum masuk dia
dicegah oleh Dan Paspampres Mayjen Endriartono Sutarto. “
“Maaf
Jenderal, semua perwira harus menanggalkan senjata sebelum bertemu Presiden,””
pinta Endriartono. Prabowo menahan perasaan sambil melepas pistolnya, dia pun
menemui Presiden BJ Habibie di ruang tamu Wisma Negara.
Kemudian terjadilah dialog seperti yang diuraikan Habibie dalam
bukunya “Detik-detik yang Menentukan”.
Buku itu ditanggapi serius oleh Prabowo. Maklum dialah yang paling terserempet
dari apa yang ditulis Habibie dalam buku itu. Dia ingin “meluruskan” apa yang
sebenarnya terjadi menurut penafsirannya.
Kemudian,
sempat terjadi dialog dalam bahasa Inggis, sebelum akhirnya Prabowo berbicara
dengan nada tinggi.
“Ini penghinaan bagi keluarga saya dan keluarga mertua saya
Presiden Soeharto . Anda telah memecat saya sebagai Pangkostrad,” tegas Prabowo
dikutip dalam buku“Prabowo:
Ksatria Pengawal Macan Asia” karya
Femi Adi Soempeno dan Firlana Laksitasari.
Habibie
menjawab, “Anda tidak dipecat, tapi jabatan anda diganti.”
Prabowo
balik bertanya, “Mengapa?” Habibie kemudian menjelaskan bahwa ia menerima
laporan dari Pangab bahwa ada gerakan pasukan Kostrad menuju Jakarta, Kuningan,
dan Istana Negara.
Terlepas
dari “benar” tidak buku itu, memang bisa dirasakan bahwa ketika itu terjadi
rivalitas meski sulit dibuktikan, antara Pangab Jenderal Wiranto dengan
Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto. Ada yang menyebut persaingan keduanya
mencuat sejak 1997, dimana ketika itu Wiranto menjabat kepala staf angkatan
darat sedangkan Prabowo sebagai Dan Kopassus.
Jenderal
Wiranto tetap berada di posisinya, beberapa kali ia menolak pinangan menjadi
calon wakil presiden, sedangkan Letjen Prabowo dimutasikan menjadi Dan Sesko
ABRI di Bandung.
Beberapa
waktu kemudian Wiranto menyetujui rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira (DKP)
untuk memberhentikan Letjen Prabowo dari dinas kemiliteran.
Selesaikah Perang Panglima? Dan Kini Menjadi
Perang Jenderal?
Sementara
itu, perseteruan, katakanlah begitu antara Wiranto dengan Prabowo tampaknya
sirna manakala keduanya ikut dalam konvensi Golkar tahun 2003.
Waktu
itu Wiranto mengungguli empat saingannya antara lain Prabowo. Masih mengenakan
jaket kuning Wiranto mendatangi dan menyalami Prabowo yang duduk di ujung,
keduanya bersalaman dan tertawa lepas.
Ini
membuktikan bahwa apa yang sebenarnya terjadi dari polemik peralihan kekuasaan
pada 1998 masih menjadi awan gelap dalam sejarah republik kita ini. Semuanya
hanyalah strategi politik dan perebutan kekuasaan semata, yang tak akan pernah
abadi.
Manusia
kadang tak pernah belajar, walau mengaku telah belajar. Semua hanyalah nafsu
duniawi semata, mirip Fir’aun yang menginginkan kaya raya, memproklamirkan
dirinya menjadi tuhan, merasa hebat, namun akhirnya mati jua hanya oleh nyamuk
kecil yang masuk ke telinganya?
Kerusuhan Mei 1998 Murni Operasi Militer!
Pemerintah
tidak penah menindaklanjuti dengan proses hukum soal laporan investigasi
disusun oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998.
Namu.n
anggota TGPF Sandyawan Sumardi mengatakan kasus Mei 1998 adalah tragedi
kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Dia memperkirakan kekacauan
pada tanggal 13, 14, dan 15 itu menewaskan 1.880 orang!
“Jumlah
korban jiwa itu sangat besar dibandingkan Perang Diponegoro,” kata Sandyawan di
kantornya di bilangan Kampung Melayu, Jakarta Timur.
Pemerintah
telah menyerahkan hasil penyelidikan TGPF Mei 1998 itu ke Kejaksaan Agung,
namun sampai saat ini belum ditindaklanjuti hingga penyidikan.
Dia menuding Kejaksaan Agung tidak berniat menyelesaikan kasus
kejahatan kemanusiaan itu dengan alasan menunggu terbentuknya Pengadilan
Hak Asasi Ad Hoc.
Sandyawan
menilai pemerintah sejatinya sejak awal tidak pernah menginginkan pembentukan
TGPF. Tim ini terbentuk atas desakan negara-negara sahabat untuk mencari tahu
penyebab kerusuhan dan penuntasannya. Komisi itu melibatkan semua departemen.
Lagi pula hasil dari temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bentukan Presiden Habibie untuk
mencari keterlibatan Prabowo dalam kerusuhan 1998, juga tidak pernah
disampaikan ke masyarakat luas secara jelas.
Apa
dan mengapa serta seberapa besar keterlibatan tokoh tentara seperti Prabowo,
Wiranto dan juga tokoh-tokoh sipil lainnya seperti Amin Rais, Sri Bintang
Pamungkas dan juga orang-orang yang mengadakan pertemuan dengan Prabowo di
Markas Kostrad pada malam harinya. pada kerusuhan yang terjadi di tahun 1998
itu, semua tak jelas dan tak ada laporan resmi yang pasti.
Sampai
sekarang misalnya, kasus pembunuhan dan pemerkosaan massal itu sungguh sulit
diungkap. “Kerusuhan Mei adalah operasi militer murni,” Sandyawan
menegaskan.
Temuan
tim pencari fakta di beberapa kota, seperti Medan, Jakarta, Solo, Lampung,
Palembang, dan Surabaya kian membuktikan keterlibatan militer. Dia menyebutkan
kerusuhan di kota-kota itu selalu terjadi dengan sistematis, jumlah korban
banyak, dan luas.
Meski
begitu mantan Panglima ABRI Jenderal Wiranto dan bekas Komandan Jenderal
Kopassus Letnan Jenderal Prabowo Subianto disebut-sebut bertanggung jawab dalam
kerusuhan Mei telah membantah.
Pernyataan
Prabowo tentang Kudeta diatas, harusnya juga menjadi momen penting kita sebagai
warga negara yang menuntut kejelasan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada
era itu.
Apalagi
saat ini Prabowo maju menjadi capres pada pemilu 2014. Bisa jadi pun Wiranto
ikut kembali. Bijakkah calon pemimpin yang masih terbelenggu masalah sejarah
kelam bangsa ini mengajukan diri untuk menjadi pemimpin bangsa???
Berapa banyak anak bangsa yang telah meregang nyawa pada tahun
1998 dari Sabang hingga Merauke untuk melepas rantai dari belenggu New
Order atau Orde Baru
agar jauh-jauh lebih bebas menerima dan mendapat segala informasi seperti
sekarang?
Alangkah
lebih Bijak jika calon pemimpin itu membersihkan namanya dari luka sejarah yang
terjadi dalam proses kelam bangsa ini.
Berilah
pendidikan positif bagi rakyat dan generasi muda bangsa ini tentang bagaimana
melihat seorang pemimpin. Jangan biarkan sifat mudah melupakan sejarah yang
dimiliki sebagian besar masyarakat menjadi kebiasaan dalam proses bernegara
bangsa ini.
Banyak
kalangan berpendapat, sebaiknya tokoh-tokoh yang terlibat langsung dengan
peristiwa seputar 21 Mei 1998, mengungkapkan apa yang mereka tahu dan rasakan.
Dengan demikian masyarakat sendiri yang akan menilai siapa yang benar siapa
yang tidak benar. Atau biarkanlah sejarah mengalir seperti apa adanya?
Jika memang ingin menjadi Pemimpin Bangsa dengan niat yang baik,
maka awalilah dengan niat yang baik pula. Bersihkanlah nama dari noda sejarah.
Karena rekam jejak atau track record,
sejatinya tak akan pernah bisa dihapus. Karena Sejarah adalah Fakta, dan Fakta
adalah Sejarah. Semoga bermanfaat. Wassalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar