Jumat, 16 Desember 2016

Tragedi 1998: Gerakan “Pasukan Liar”, Oleh Prabowo atau Wiranto? (2)



Menurut Wiranto, Prabowo mengaku penculikan mahasiswa itu atas inisiatifnya
Menurut putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo itu, operasi intelijen yang berbuntut penculikan tersebut sengaja tidak dilaporkan ke atasannya, KSAD atau Pangab, karena dia tidak ingin merepotkan dan melibatkan Mabes ABRI.
Sudah tentu jawaban Prabowo ini mengejutkan Wiranto. Memang, jika muncul adanya dugaan rivalitas diantara kedua perwira tinggi itu, Wiranto lulusan AMN ’68 dan Prabowo lulusan Akabri Darat ’74, banyak yang mengatakan hal itu untuk memperebutkan kepercayaan dari Pak Harto.
Pada 16 Mei 1998 di Wisma Yani, Menteng, Jakarta, Jenderal Wiranto didampingi Kassospol Letjen Susilo Bambang Yudhoyono dan Assospol Kassospol Mayjen Mardiyanto menerima Ketua Umum NU Gus Dur.
Pada pertemuan tersebut, Wiranto mengajak NU untuk membantu upaya ABRI memulihkan konsolidasi nasional dan mencari solusi terbaik menghadapi kemelut yang sedang berlangsung waktu itu.
Dalam kesempatan itu Gus Dur menyatakan dukungannya. Kemudian Wiranto menugaskan Mayjen Mardiyanto untuk membuat pernyataan pers, berisi lima butir.
Salah satu butirnya mengatakan NU sangat setuju keinginan Pak Harto untuk lengser keprabon.
Entah bagaimana, konsep pernyataan pers yang belum diteken Jenderal Wiranto itu sampai ke tangan Letjen Prabowo, kemudian disampaikan ke Pak Harto malam hari.
Wiranto menjelang tengah malam mendapat laporan perbuatan Prabowo tersebut. Menurut Wiranto tindakan Prabowo yang sudah di luar jalur norma keprajuritan itu membuat dirinya merasa diragukan kesetiaannya oleh Pak Harto.
Tanggal 17 Mei seusai subuh, Wiranto datang ke Pak Harto di kediaman Jalan Cendana untuk mengklarifikasi laporan Prabowo tersebut. Dari Pak Harto, Wiranto mengetahui secara lengkap apa yang dilaporkan oleh Prabowo.
Tersirat bahwa Wiranto telah berkhianat terhadap Pak Harto. Wiranto menjadi gundah. Dia menyatakan jika Pak Harto sudah tidak lagi mempercayainya, dirinya siap mundur dari jabatan, sambil meyakinkan bahwa apa yang dilaporkan Prabowo tidak benar adanya. Namun Pak Harto menolak permintaan pengunduran diri Wiranto.
Usai diterima Pak Harto, saat mau keluar, Wiranto berpapasan KSAD Jenderal Subagyo HS, Pangkostrad Letjen Prabowo dan Pangdam Jaya Mayjen Sjafri’e Sjamsoeddin.
Disitulah Jenderal Wiranto menumpahkan kekesalannya kepada Letjen Prabowo, disaksikan Subagyo dan Sjafri’e.
Kemudian Wiranto menanyakan maksud kedatangan mereka satu persatu. Subagyo mengatakan dirinya dipanggil oleh Pak Harto, Prabowo mengaku datang atas inisiatifnya sendiri, sedangkan Sjafri’e datang karena kebetulan lewat dan mampir. Tapi pagi itu, hanya Subagyo yang diterima resmi oleh Presiden.
Dalam pertemuan itu Pak Harto menyatakan ingin mengeluarkan Inpres tentang pemulihan keamanan dengan membentuk lembaga Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Keselamatan Nasional. Pak Harto bertanya apa KSAD siap menerima tugas itu?
Sebaliknya Subagyo pun balik bertanya, bagaimana dengan posisi Jenderal Wiranto, sebagai Panglima ABRI apakah otomatis diganti olehnya? Jika tidak, Subagyo tidak mau.
Dia menyarankan agar pemegang atau pelaksana Inpres tersebut harus dipegang oleh pimpinan ABRI sehingga tidak menimbulkan dualisme komando dalam tubuh ABRI.
Perasaan Wiranto menjadi tak menentu atas sikap Pak Harto itu. Apakah ini pertanda menurunnya kepercayaan Pak Harto terhadapnya? Hanya Pak Harto yang tahu.
Menurut Wiranto, bagaimana mungkin sebuah komando operasional pemulihan keamanan terpisah dari struktur komando Pangab selaku penanggung jawab keamanan nasional?
Tanggal 18 Mei sore hari, beberapa perwira tinggi menghadap Pak Harto di Cendana, secara terpisah. Hadir Pangkostrad Letjen Prabowo, Pangdam Jaya Mayjen Sjafri’e, KSAD Jenderal Subagyo, dan Pangab Jenderal Wiranto.
Masing-masing melaporkan perkembangan situasi sesuai dengan ruang lingkup tugas dan kewenangannya. Tidak ada pesan khusus Pak Harto kepada mereka.
Menurut penuturan Mayjen Sjafri’e, ia datang ke Cendana hari itu sekitar pukul 15.00. Juga dipanggil KSAD namun waktunya tidak bersamaan, tempatnya pun beda.
Sjafri’e tidak tahu apa yang dibicarakan Pak Harto dengan KSAD. Dia hanya disuruh menunggu oleh Pak Harto, sementara Pak Harto ke ruang lain untuk berbicara dengan KSAD.
Saat kembali, Pak Harto bertanya kepada Sjafri’e apa yang diketahuinya, Pangdam Jaya itu menjawab cepat dan jelas soal Gus Dur yang menegaskan bahwa NU akan ikut ABRI.
Namun Pak Harto memotongnya, bukan itu yang dimaksud.” Coba kamu tanya ke KSAD,” perintah Pak Harto. Sjafri’e pun menemui Subagyo di ruang lain. Berkumpullah di ruang itu Sjafri’e, Subagyo dan Prabowo.
Kemudian datang Wiranto, dan kepada Pak Harto menyerahkan Inpres No.16/1998, yang memberikan kewenangan kepadanya selaku Panglima Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional. Pada saat menyerahkan, tidak ada pesan Pak Harto untuk melaksanakannya. Wiranto pun memutuskan untuk tidak menggunakan Inpres tersebut guna menghindari pertumpahan darah.
Hal ini juga dibicarakannya dengan Kassospol Letjen Susilo Bambang Yudhoyono di Mabes TNI Merdeka Barat. “Kalau begitu saya ikut jenderal,” kata Yudhoyono sambil menyalami Wiranto.
Kamis 21 Mei 1998, Presiden Suhato mengumumkan pengunduran dirinya. Sejak itulah momen-momen penting terus bergulir. Pak Harto lengser digantikan oleh Wapres BJ Habibie.
Jumat 22 Mei 1998, Panglima Kostrad Letnan Jenderal Prabowo Subianto bergegas memasuki halaman Istana, namun sebelum masuk dia dicegah oleh Dan Paspampres Mayjen Endriartono Sutarto. “
“Maaf Jenderal, semua perwira harus menanggalkan senjata sebelum bertemu Presiden,”” pinta Endriartono. Prabowo menahan perasaan sambil melepas pistolnya, dia pun menemui Presiden BJ Habibie di ruang tamu Wisma Negara.
Kemudian terjadilah dialog seperti yang diuraikan Habibie dalam bukunya “Detik-detik yang Menentukan”. Buku itu ditanggapi serius oleh Prabowo. Maklum dialah yang paling terserempet dari apa yang ditulis Habibie dalam buku itu. Dia ingin “meluruskan” apa yang sebenarnya terjadi menurut penafsirannya.
Kemudian, sempat terjadi dialog dalam bahasa Inggis, sebelum akhirnya Prabowo berbicara dengan nada tinggi.
“Ini penghinaan bagi keluarga saya dan keluarga mertua saya Presiden Soeharto . Anda telah memecat saya sebagai Pangkostrad,” tegas Prabowo dikutip dalam buku“Prabowo: Ksatria Pengawal Macan Asia” karya Femi Adi Soempeno dan Firlana Laksitasari.
Habibie menjawab, “Anda tidak dipecat, tapi jabatan anda diganti.”
Prabowo balik bertanya, “Mengapa?” Habibie kemudian menjelaskan bahwa ia menerima laporan dari Pangab bahwa ada gerakan pasukan Kostrad menuju Jakarta, Kuningan, dan Istana Negara.
Terlepas dari “benar” tidak buku itu, memang bisa dirasakan bahwa ketika itu terjadi rivalitas meski sulit dibuktikan, antara Pangab Jenderal Wiranto dengan Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto. Ada yang menyebut persaingan keduanya mencuat sejak 1997, dimana ketika itu Wiranto menjabat kepala staf angkatan darat sedangkan Prabowo sebagai Dan Kopassus.
Jenderal Wiranto tetap berada di posisinya, beberapa kali ia menolak pinangan menjadi calon wakil presiden, sedangkan Letjen Prabowo dimutasikan menjadi Dan Sesko ABRI di Bandung.
Beberapa waktu kemudian Wiranto menyetujui rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira (DKP) untuk memberhentikan Letjen Prabowo dari dinas kemiliteran.
Selesaikah Perang Panglima? Dan Kini Menjadi Perang Jenderal?
Sementara itu, perseteruan, katakanlah begitu antara Wiranto dengan Prabowo tampaknya sirna manakala keduanya ikut dalam konvensi Golkar tahun 2003.
Waktu itu Wiranto mengungguli empat saingannya antara lain Prabowo. Masih mengenakan jaket kuning Wiranto mendatangi dan menyalami Prabowo yang duduk di ujung, keduanya bersalaman dan tertawa lepas.
Ini membuktikan bahwa apa yang sebenarnya terjadi dari polemik peralihan kekuasaan pada 1998 masih menjadi awan gelap dalam sejarah republik kita ini. Semuanya hanyalah strategi politik dan perebutan kekuasaan semata, yang tak akan pernah abadi.
Manusia kadang tak pernah belajar, walau mengaku telah belajar. Semua hanyalah nafsu duniawi semata, mirip Fir’aun yang menginginkan kaya raya, memproklamirkan dirinya menjadi tuhan, merasa hebat, namun akhirnya mati jua hanya oleh nyamuk kecil yang masuk ke telinganya?
Kerusuhan Mei 1998 Murni Operasi Militer!
Pemerintah tidak penah menindaklanjuti dengan proses hukum soal laporan investigasi disusun oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998.
Namu.n anggota TGPF Sandyawan Sumardi mengatakan kasus Mei 1998 adalah tragedi kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Dia memperkirakan kekacauan pada tanggal 13, 14, dan 15 itu menewaskan 1.880 orang!
“Jumlah korban jiwa itu sangat besar dibandingkan Perang Diponegoro,” kata Sandyawan di kantornya di bilangan Kampung Melayu, Jakarta Timur.
Pemerintah telah menyerahkan hasil penyelidikan TGPF Mei 1998 itu ke Kejaksaan Agung, namun sampai saat ini belum ditindaklanjuti hingga penyidikan.
Dia menuding Kejaksaan Agung tidak berniat menyelesaikan kasus kejahatan kemanusiaan itu dengan alasan menunggu terbentuknya Pengadilan Hak Asasi Ad Hoc.
Sandyawan menilai pemerintah sejatinya sejak awal tidak pernah menginginkan pembentukan TGPF. Tim ini terbentuk atas desakan negara-negara sahabat untuk mencari tahu penyebab kerusuhan dan penuntasannya. Komisi itu melibatkan semua departemen.
Lagi pula hasil dari temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bentukan Presiden Habibie untuk mencari keterlibatan Prabowo dalam kerusuhan 1998, juga tidak pernah disampaikan ke masyarakat luas secara jelas.
Apa dan mengapa serta seberapa besar keterlibatan tokoh tentara seperti Prabowo, Wiranto dan juga tokoh-tokoh sipil lainnya seperti Amin Rais, Sri Bintang Pamungkas dan juga orang-orang yang mengadakan pertemuan dengan Prabowo di Markas Kostrad pada malam harinya. pada kerusuhan yang terjadi di tahun 1998 itu, semua tak jelas dan tak ada laporan resmi yang pasti.
Sampai sekarang misalnya, kasus pembunuhan dan pemerkosaan massal itu sungguh sulit diungkap. “Kerusuhan Mei adalah operasi militer murni,” Sandyawan menegaskan.
Temuan tim pencari fakta di beberapa kota, seperti Medan, Jakarta, Solo, Lampung, Palembang, dan Surabaya kian membuktikan keterlibatan militer. Dia menyebutkan kerusuhan di kota-kota itu selalu terjadi dengan sistematis, jumlah korban banyak, dan luas.
Meski begitu mantan Panglima ABRI Jenderal Wiranto dan bekas Komandan Jenderal Kopassus Letnan Jenderal Prabowo Subianto disebut-sebut bertanggung jawab dalam kerusuhan Mei telah membantah.
Pernyataan Prabowo tentang Kudeta diatas, harusnya juga menjadi momen penting kita sebagai warga negara yang menuntut kejelasan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada era itu.
Apalagi saat ini Prabowo maju menjadi capres pada pemilu 2014. Bisa jadi pun Wiranto ikut kembali. Bijakkah calon pemimpin yang masih terbelenggu masalah sejarah kelam bangsa ini mengajukan diri untuk menjadi pemimpin bangsa???
Berapa banyak anak bangsa yang telah meregang nyawa pada tahun 1998 dari Sabang hingga Merauke untuk melepas rantai dari belenggu New Order atau Orde Baru agar jauh-jauh lebih bebas menerima dan mendapat segala informasi seperti sekarang?
Alangkah lebih Bijak jika calon pemimpin itu membersihkan namanya dari luka sejarah yang terjadi dalam proses kelam bangsa ini.
Berilah pendidikan positif bagi rakyat dan generasi muda bangsa ini tentang bagaimana melihat seorang pemimpin. Jangan biarkan sifat mudah melupakan sejarah yang dimiliki sebagian besar masyarakat menjadi kebiasaan dalam proses bernegara bangsa ini.
Banyak kalangan berpendapat, sebaiknya tokoh-tokoh yang terlibat langsung dengan peristiwa seputar 21 Mei 1998, mengungkapkan apa yang mereka tahu dan rasakan. Dengan demikian masyarakat sendiri yang akan menilai siapa yang benar siapa yang tidak benar. Atau biarkanlah sejarah mengalir seperti apa adanya?

Jika memang ingin menjadi Pemimpin Bangsa dengan niat yang baik, maka awalilah dengan niat yang baik pula. Bersihkanlah nama dari noda sejarah. Karena rekam jejak atau track record, sejatinya tak akan pernah bisa dihapus. Karena Sejarah adalah Fakta, dan Fakta adalah Sejarah. Semoga bermanfaat. Wassalam.

Tidak ada komentar:

Barus 1000 tahu yang lalu

PELETAKAN BATU PERTAMA PEMBANGUNAN TUGU RAJA TOGA LAUT PARDEDE DI LUMBAN JABI-JABI - BALIGE

Setelah terbentuknya panitia pembangunan Tugu Raja Toga Laut Pardede di Jakarta oleh beberapa keturunan Raja toga Laut Pardede yang berdomisili di jakarta sekitarnya (sejabodetabek)
maka diputuskanlah agar semua keturunan Raja Toga Laut Pardede ikut serta dalam Napak tilas show force keliling kota Balige pada tanggal 18 Agustus 2007, dengan rute dimulai Losmen Toga Laut Tawar, Tugu Naga Baling, Makam Raja Bona Ni Onan Pardede & Raja Paindoan Pardede dan ber akhir di Lumban Jabi-jabi / Tugu Raja Toga Laut Pardede, yang kemudian dengan kata-kata sambutan, oleh Tokoh-tokoh Sonak malela dll.