Jumat, 16 Desember 2016

Tragedi 1998: Gerakan “Pasukan Liar”, Oleh Prabowo atau Wiranto? (1)



  




Sejarah kelabu negeri ini pernah terjadi  di tahun 1998 silam. Ketika, Soeharto, presiden kala itu terpilih untuk kesekian kalinya. Masyarakat yang selama ini diam, menyimpan bara. Terjadilah amuk massa masif, terutama di wilayah Jawa.
Sebuah tuntutan agar Soeharto lengser didengungkan. Hampir setiap hari, kala itu, demonstrasi terus digelar. Tuntutannya satu: Soeharto turun dari tampuk kekuasaan.
Dan ujungnya, 13-14 Mei 1998. Demontrasi besar-besaran di gelar di Jakarta. Hari itu Jakarta mencekam. Dan kerusuhan pun meletus.
Pada acara Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) 18 Desember 2012 lalu, Prabowo menyampaikan pernyataan yang cukup mengagetkan:
“Saya Letnan Jendral mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat yang hampir Kudeta, Menyesal juga saya nggak jadi Kudeta”
Pernyataan ini mungkin disampaikan tanpa ada niat sungguh-sungguh dari Prabowo, tapi pernyataan itu mengingatkan kita akan luka sejarah yang pernah terjadi di negeri ini.
Luka sejarah itu terjadi ketika peristiwa peralihan kekuasaan dari rezim Soeharto yang digulingkan setelah tiraninya menguasai negeri ini selama 32 tahun lamanya. Kemudian, pucuk kekuasaan pun beralih kepada wakil presiden BJ.
Habibie yang kemudian menggantikan Suharto, menjadi Presiden Republik Indonesia. Namun pada kenyataannya dulu, posisi jabatan itu “menggiurkan” petinggi lainnya dan berusaha “mengambil-alih” kekuasaannya yang hingga saat ini masih penuh tanda tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Dua Praduga Tuduhan kepada Pangkostrad Letjen Prabowo
Dalam sejarah yang tercatat di pikiran masyarakat Indonesia, Prabowo terkena dua tuduhan serius di era peralihan kepemimpinan di tahun 1998.
Tuduhan yang pertama, Prabowo disangka menjadi dalang kerusuhan yang terjadi di bulan mei 1998 yang banyak merengut nyawa dan terjadinya penjarahan, Kerusuhan yang sangat terindikasi melibatkan konflik yang terjadi di internal tubuh ABRI.
Bahkan Presiden Habibie membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk mencari keterlibatan Prabowo dalam kerusuhan 1998. Hingga sampai saat ini hasil dari temuan TGPF tidak pernah disampaikan ke masyarakat luas secara jelas, apa dan seberapa besar keterlibatan Prabowo pada kerusuhan yang terjadi di tahun 1998 itu.
Tuduhan yang kedua, Prabowo dicurigai akan mengambil alih paksa kekuasaan pasca tergulingnya Presiden Soeharto dari kekuasaan yang digantikan oleh Presiden Habibie.
Kecurigaan itu berawal dari laporan Panglima ABRI yang saat itu dijabat oleh Jendral Wiranto melapor ke Presiden Habibie bahwa ada konsentrasi pergerakan pasukan Kostrad dibawah komando Prabowo di sekitar kediaman Habibie, Yang kemudian disimpulkan tindakan Prabowo itu upaya untuk melakukan Kudeta.
Pergerakan pasukan Prabowo ini sangat dicemaskan oleh Presiden Habibie, karena Prabowo sebagai Panglima Kostrad membawahi pasukan sebanyak 11.000 personel tentara yang oleh Presiden Habibie disikapi dengan memerintahkan Wiranto untuk memberhentikan Prabowo sebagai Pangkostrad dan diganti dengan Pangkostrad yang baru agar bisa menarik mundur pasukan kostrad yang sudah memasuki kota Jakarta pada waktu itu.
Keputusan pemberhentian oleh Habibie inilah yang menyulut kemarahan Prabowo, ia menapik tuduhan akan melakukan Kudeta terhadap Kepemimpinan Presiden Habibie.
Sebaliknya, Prabowo justru beralasan bahwa pengerahan pasukan Kostrad di sekitar rumah Habibie adalah atas perintah Wiranto sebagai Panglima ABRI untuk mengamankan Presiden Habibie.
Kronologi “Gerakan Pasukan Liar” di Kediaman Presiden Habibie tahun 1998
Pergantian pucuk pimpinan negara dari Presiden Soeharto kepada Habibie berujung pada pencopotan Letjen Prabowo Subianto dari posisi Pangkostrad.
Saat itu 22 Mei 1998, Habibie yang baru satu hari dilantik menjadi Presiden RI memiliki segudang masalah untuk diselesaikan, utamanya adalah ekonomi dan keamanan. Kondisi Ibu Kota Jakarta saat itu mencekam dan tidak menentu. Bahkan, pengerahan pasukan militer saat itu seakan kurang terkoordinasi.
Saat baru tiba di Istana Negara, Presiden Habibie mendapat laporan dari Menhankam/Panglima ABRI Jenderal Wiranto soal adanya pergerakan pasukan Kostrad dari luar daerah menuju Jakarta.
Bahkan, Jenderal Wiranto dalam laporannya saat itu menyatakan ada konsentrasi pasukan tak dikenal di kediaman Presiden Habibie di Patra Kuningan, Jakarta dan di Istana Merdeka.
“Dari laporan tersebut, saya berkesimpulan bahwa Pangkostrad (Letjen Prabowo Subianto) bergerak sendiri tanpa sepengetahuan Pangab (Jenderal Wiranto),” kata Habibie dalam buku ‘Detik-detik Yang Menentukan’ karya Bacharuddin Jusuf Habibie, terbitan THC Mandiri setebal 574 halaman itu.
Habibie sontak terkejut mendengar laporan tersebut. Dalam benaknya muncul berbagai pertanyaan dan praduga.
Tak butuh waktu lama, Habibie saat itu juga langsung memerintahkan Jenderal Wiranto untuk mencopot Letjen Prabowo dari posisi Pangkostrad (Panglima Komando Strategi Angkatan Darat), sebelum matahari tenggelam.
Jenderal Wiranto lantas melaporkan juga kepada Presiden Habibie bahwa sang istri, Ainun Habibie, beserta anak dan cucu telah diamankan prajurit ABRI menuju Wisma Negara.
Hal itu dilakukan untuk menjamin keamanan keluarga presiden karena banyaknya pasukan tak dikenal yang berkeliaran kala itu.
“Saya bertanya kepada diri saya, ‘Mengapa keluarga saya harus dikumpulkan di satu tempat? Apakah tidak lebih aman jikalau anak-anak dan cucu-cucu saya tinggal di tempatnya masing-masing dan dilindungi oleh Pasukan Keamanan Presiden? Mengapa harus dikumpulkan di satu tempat,” kata Habibie dalam hati.
Selang berapa jam kemudian, Letjen Prabowo datang menemui Presiden Habibie di Istana Negara. Prabowo menanyakan soal pencopotannya. Dalam pertemuan itu, Presiden Habibie menanyakan soal pergerakan pasukan dari luar Jakarta menuju Istana Merdeka dan Kediamannya.
“Saya bermaksud untuk mengamankan presiden,” jawab Prabowo.
Namun jawaban Prabowo itu dibantah Presiden Habibie. Menurutnya, keamanan presiden menjadi tanggung jawab Paspampres, bukan Kostrad. Namun Prabowo berkata :
“Atas nama ayah saya, Prof Soemitro Djojohadikusumo dan ayah mertua saya Presiden Soeharto , saya minta Anda memberikan saya tiga bulan untuk tetap menguasai pasukan Kostrad,” kata Prabowo.
Namun Habibie menjawab dengan nada tegas:
“Tidak! Sebelum matahari terbenam, Pangkostrad harus sudah diganti dan kepada penggantinya diperintahkan agar semua pasukan di bawah komando Pangkostrad harus segera kembali ke basis kesatuan masing-masing, dan saya bersedia mengangkat anda menjadi duta besar di mana saja!”,” kata Habibie.
“Yang saya kehendaki adalah pasukan saya!” jawab Prabowo.
“Ini tidak mungkin, Prabowo,” tegas Habibie .
Ketika perdebatan masih berlangsung seru, Habibie kemudian menuturkan bahwa Letjen Sintong Panjaitan masuk sembari menyatakan kepada Prabowo bahwa waktu pertemuan sudah habis.
“Jenderal, Bapak Presiden tidak punya waktu banyak dan harap segera meninggalkan ruangan,” kata Letjen Sintong Panjaitan yang saat itu menjabat sebagai penasihat militer presiden.
Setelah itu Prabowo menempati posisi baru sebagai Komandan Sekolah Staf Komando (Dansesko) ABRI menggantikan Letjen Arie J Kumaat.
Prabowo mengisahkan serah terima jabatan dilakukan secara sederhana dan tertutup.
“Belum pernah ada perwira tinggi dipermalukan institusinya, seperti yang saya alami,” kata Prabowo.
Selanjutnya, Prabowo harus menjalani sidang Dewan Kehormatan Perwira. Prabowo disinyalir terlibat dalam penculikan aktivis saat masih menjabat sebagai Danjen Kopassus.
15 Perwira tinggi bintang tiga dan empat mengusulkan ke Pangab agar Prabowo dipecat.
“Saya paham, dewan ini sudah bersidang dengan susah payah selama sebulan dan orang-orangnya berpengalaman. Maka, saya (acc) setuju,” kata Wiranto .
Dalam judul buku : Habibie, Prabowo, dan Wiranto Bersaksi, (download versi DOC atauPDF) yang ditulis oleh Asvi Warman Adam dan Tim Kick Andy menyatakan:
“Buku-buku yang ditulis Habibie, Wiranto, Fadli Zon dan Kivlan Zen (termasuk satu bagian dari buku Sumitro Djojohadikusumo yang membela putranya) boleh dikatakan sebagai buku putih yang mencoba menjelaskan posisi tokoh yang bersangkutan, membela diri, dan menjelaskan kehebatan masing-masing. Namun di sisi lain, buku itu juga mencari kambing hitam pada orang lain.” (DR. Asvi Warman Adam, sejarawan dan ahli peneliti utama LIPI)
Asvi Warman Adam menyebutkan bahwa telah terjadi perdebatan Pangkostrad Prabowo dengan Presiden Habibie dikala itu :
“Dia mengatakan kepada saya waktu itu – tepatnya kami berdebat, “Anda ini presiden apa? Anda presiden naif!” Saya jawab, “Masa bodo. Yang penting saya presidennya. Saya yang menentukan. Titik!.” (B.J. Habibie, mantan presiden RI, tentang Prabowo)
Maka, Presiden Habibie pun menolak permintaan Pangkostrad Letjen Prabowo untuk menunda pencopotannya. Di dalam bukunya pula, mantan presiden Habibie yang dikala itu menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia menyatakan alasan pencopotan Prabowo.
Semua itu Habibie lakukan dikarenakan adanya pengerahan pasukan dari daerah menuju ke Jakarta yang dilakukan Letjen Prabowo tanpa koordinasi dengan Menhankam / Pangab Jenderal Wiranto.
Hal itu sangat tidak baik saat itu, karena disaat kondisi Republik yang masih genting, perbuatan Prabowo itu dapat mempengaruhi komandan lain untuk berbuat sendiri-sendiri, tanpa koordinasi.
“Bukankah kemarin pada Rabu pagi tanggal 20 Mei 1998 saya telah sampaikan kepada Pangab bahwa saya tidak akan menerima kepala staf angkatan termasuk Pangkostrad sendiri-sendiri tanpa sepengetahuan atau permohonan Pangab? Ini berarti gerakan pasukan dari Kostrad tanpa sepengetahuan Pangab, tidak boleh saya tolerir,” kata Habibie .
Namun menurut Prabowo lain lagi, ia menyatakan:
“Dalam pertemuan hari Jumat, 22 Mei 1998, beliau bicaranya seperti itu, bahwa Pak Harto yang minta. Tapi waktu di Hamburg, beliau mengatakan negara superpower yang meminta.” (Prabowo Subianto, tentang keputusan Habibie mencopotnya dari jabatan Pangkostrad)
Sedangkan Wiranto lain lagi, ia menyatakan:
“Yang mampu atau yang mungkin melakukan kudeta hanyalah pangab. Saya sendiri.” (Jenderal (Purn) Wiranto, mantan Panglima TNI)
Sementara itu, berdasarkan kesaksian penasihat militer Presiden Habibie, Letjen (Purn) Sintong Panjaitan, situasi di jalan depan rumah Habibie di Patra Kuningan saat itu sangat sumpek karena banyaknya prajurit ABRI. Anggota Kopassus dan Paspampres kala itu berjubel di jalan yang lebarnya hanya sekitar 6 m.
Saat itu Paspampres meminta agar personel Kopassus mundur dari area kediaman Presiden Habibie. Namun, personel korps baret merah itu menolak.
Mereka hanya mau pindah jika mendapat perintah langsung dari komandannya yang saat itu adalah Danjen Kopassus Mayjen Muchdi PR. Saat itu mereka hanya menuruti perintah agar mengamankan presiden.
Paspampres yang kala itu di bawah komando Mayjen TNI Endriartono Sutarto pun gusar. Pasalnya, saat itu mereka hanya dibekali peluru hampa. Sementara, personel Kopassus saat itu dilengkapi peluru tajam.
Mayjen Endriartono kemudian menghubungi Letjen Sintong Panjaitan meminta agar segera dikirimkan peluru tajam.
Letjen Sintong kemudian menghubungi bekas anak buahnya yang saat itu menjabat sebagai Wadanjen Kopassus, Brigjen Idris Gasing. Letjen Sintong meminta agar Brigjen Idris segera menarik pasukannya dari kediaman Presiden Habibie.
“Gasing coba perbaiki dulu posisi pasukanmu. Pasukan yang di sini tarik ke sana dan yang di sini tarik ke situ. Kalau perlu adakan koordinasi dengan Kodam Jaya agar semua dapat berjalan lancar,” kata Letjen Sintong Panjaitan dalam buku ‘Perjalanan Seorang Prajurit PARA KOMANDO’ terbitan Kompas.
Brigjen Gasing lantas bertanya situasi saat itu. “Komandanmu (Mayjen Muchdi PR) sedang sibuk menghadapi penggantian jabatan. Tarik pasukanmu malam ini juga. Kalau terjadi apa-apa, nanti kau yang disalahkan,” jawab Letjen Sintong.
Brigjen Gasing lantas melaksanakan perintah Letjen Sintong. Dia langsung berkoordinasi dengan Panglima Kodam Jaya, Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin. Akhirnya, sebagian personel Kopassus itu ditarik kembali ke Serang, Jawa Barat dan sebagian lagi ke Kartosuro, Jawa Tengah.
Menurut Jenderal kepercayaan Prabowo soal Kerusuhan dan Isyu Rencana Kudeta 1998
Walau sejumlah pihak menuding Letnan Jenderal (Letjen) Prabowo Subianto sebagai otak kekacauan di Jakarta. Tetapi ada juga yang menilai kerusuhan tersebut direncanakan oleh Jenderal Wiranto. Hal ini diceritakan oleh Mayor Jenderal (Mayjen) Kivlan Zen dalam bukunya bertajuk ‘Konflik dan Integrasi TNI-AD’ 
Kivlan menilai seharusnya Jenderal Wiranto tak perlu meninggalkan Jakarta. Terlebih kepergiannya hanya untuk menjadi Inspektur Upacara dalam rangka serah terima tanggung jawab Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di Malang pada hari Kamis tanggal 14 Mei 1998. Padahal saat itu Jakarta sudah genting. Pembakaran dan kerusuhan terjadi di mana-mana.
“Serah terima tanggung jawab PPRC ABRI dari Divisi I Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) kepada Divisi II Kostrad walaupun Pangkostrad (Panglima Kostrad) Letjen Prabowo Subianto telah menyarankan agar tidak usah berangkat ke Malang,” tulis Kivlan pada halaman 85 di buku terbitan Institute for Policy Studies tahun 2004 itu.
Prabowo menilai hal ini tidak penting karena Kivlan telah menyiapkan perpindahan itu semenjak Maret tahun 1998. Kala itu Kivlan masih menjabat Panglima Divisi II Kostrad di Malang.
Selain itu, menurut Kivlan, kekeliruan yang dilakukan oleh Wiranto adalah tidak memberikan izin Mabes ABRI untuk meminjamkan pesawat Hercules untuk membawa pasukan Kostrad dari Jawa Timur dan Makassar ke Jakarta.
“Karena Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin sebagai Pangdam Jaya kekurangan pasukan dan meminta ke Kostrad, maka Kostrad menyiapkan pasukan tersebut,” tulis Kivlan.
Karena tidak mendapatkan ijin dari Mabes ABRI, maka dengan menggunakan biaya pribadi Prabowo menyewa pesawat milik Mandala di Makassar dan pesawat milik Garuda di Surabaya. Hal ini dilakukan karena keadaan mendesak.
Pasukan inilah yang dinilai Habibie sebagai “pasukan liar” dan bisa membahayakan. Sejumlah kalangan bahkan menuding Prabowo hendak melakukan kudeta.
Kivlan mencatat setidaknya ada dua kekeliruan Wiranto strategis militer selama menjadi Jenderal. Pertama adalah meninggalkan tempat dalam keadaan gawat dan kedua, tidak menggunakan pasukan cadangan di saat genting.
Menilai tidak bertanggungjawabnya Wiranto, maka beberapa pihak memutuskan untuk bertemu dengan Prabowo di Markas Kostrad pada malam harinya.
Setiawan Djodi, Adnan Buyung Nasution, Bambang Widjoyanto, Willibrordus Surendra Broto Rendra yang kerap disapa WS Rendra, Fahmi Idris, Maher Algadri, Hashim Djojohadikusumo, Amran Nasution, Din Syamsuddin , Fadli Zon , Amidhan, Iqbal Assegraf, Hajriyanto Thohari, Kolonel Adityawarman dan Kivlan sendiri.
Kedatangan mereka adalah meminta Prabowo untuk mengambil alih keamanan, seperti yang dilakukan oleh mertuanya, Soeharto pada tahun 1965 yang saat itu menjabat sebagai Panglima Kostrad.
Namun permintaan itu tidak langsung di-iya-kan oleh Prabowo. Sebabnya, dia menilai situasi tahun 1965 dan 1998 sangat berbeda.
“Masih ada Panglima ABRI Jenderal Wiranto , KSAD Jenderal Subagyo HS, Wakil KSAD Letjen Sugiono. Panglima Kostrad berada pada level ke-empat,” terang Kivlan.
Namun kenyataan berkata berbeda. Karena Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) justru menyimpulkan bahwa pertemuan di Markas Kostrad tersebut sebagai rapat untuk merancang kekacauan di Jakarta. Kivlan menilai TGPF melupakan hal terpenting dalam menyimpulkan pertemuan tersebut.
Berikut merupakan sedikit informasi berita tentang apa yang tengah terjadi pada waktu itu, yang dilansir dari media online Kompas, 16 Mei 1998, mengenai ratusan penjarah yang tewas terpanggang dan kondisi Jakarta saat itu :
“Ratusan penjarah tewas terpanggang dalam peristiwa kerusuhan yang melanda Wilayah DKI Jakarta sepanjang Kamis (14/5). Menurut Kadispen Mabes Polri Brigjen (Pol) Drs Da’i Bachtiar, Jumat, jumlah korban yang tewas di wilayah DKI saja sekitar 200 orang. Jumlah itu belum termasuk 20 korban tewas akibat terjatuh saat berusaha meloloskan diri dari kepungan asap dan api.”
“Sedangkan di Kotamadya Tangerang, jumlah penjarah yang tewas terpanggang sekitar 100 orang. Jasad-jasad para korban sebagian besar dalam keadaan hangus.” (dari Media Online Kompas, 16 Mei 1998).
Perang Panglima

Rivalitas, katakanlah begitu antara Wiranto dengan Prabowo menyiratkan persaingan keduanya untuk memperebutkan simpati Presiden Soeharto ketika itu. Meski kalangan militer membantah hal tersebut, namun beberapa fakta menunjukkan ke arah itu.
Ketika Wiranto menjabat Pangab, ada beberapa usulan Prabowo yang dimentahkannya. Misalnya Prabowo ingin Kopassus mempunyai pasukan tank dan penerbang.
Jenderal Wiranto, seperti dalam bukunya “”Bersaksi di Tengah Badai”” tahun 2003 mengatakan jika Kopassus punya tank dan pesawat, pasukan ini akan kehilangan kekhususannya.
Soal tank, biarlah pasukan kavaleri yang memilikinya, sedangkan pesawat, itu urusan Penerbad.
Sudah menjadi rahasia umum di kalangan ABRI waktu itu, bahwa Kopassus di bawah Prabowo benar-benar memiliki sistem persenjataan yang mutakhir. Konon, setiap senjata modern yang dimiliki pasukan elite asing, juga harus dipunyai Kopassus.
Wiranto Tegur Prabowo
Wiranto sendiri tak pernah mengakui adanya rivalitas antara dirinya dengan Prabowo. Misalnya, Wiranto setuju ketika Prabowo yang relatif sangat muda, 46 tahun, sudah berbintang dua, dipromosikan menjadi Pangkostrad dengan pangkat Letjen.
Padahal waktu itu masih banyak rekan seangkatan Prabowo (Akabri ‘74) berpangkat colonel bahkan mungkin Letkol. Perwira yang juga menonjol waktu itu adalah Pangdam Jaya Mayjen Safri’e Sjamsoeddin, keduanya satu angkatan di Akabri Darat.
Apakah langkah saya ini merupakan tindakan orang yang merasa disaingi atau terancam kedudukannya? Kalau demikian halnya, maka saya berangkali termasuk golongan orang yang sangat bodoh, mempromosikan pesaing saya, “kata Wiranto kepada Yuddi Chrisnandi, tokoh muda Partai Golkar, dalam bukunya“ ‘Reformasi TNI Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia”’.
Menurut catatan, Prabowo dan Sjafri’e adalah perwira yang paling cemerlang saat itu. Keduanya masuk dalam pasukan elite Kopassus, bolak-balik ke Timtim. Sjafri’e sejak perwira pertama berada di Paswalpres (kini Paspampres, Red). Sampai ia menjabat Dan Grup A dengan pangkat kolonel di pasukan tersebut. Karena jabatannya itu, kemanapun Presiden Soeharto pergi, Sjafri’e paling jauh hanya dua-tiga langkah dari Presiden.
Ketika Kolonel Sjafri’e dipromosikan sebagai Danrem Suryakencana Bogor, Kolonel Prabowo menjadi Wakil Komandan Kopassus. Keduanya terus beriringan. Prabowo kemudian dipromosikan menjadi Dan Kopassus, berpangkat Brigjen. Sjafri’e pun ditarik ke Jakarta menjadi Kasdam. Pangkatnya juga naik menjadi Brigjen.
Sementara itu Kopassus di bawah Brigjen Prabowo terus berkembang baik personel maupun peralatannya. Jabatan Dan Kopassus diubah menjadi Danjen Kopassus, bintang di pundak Prabowo bertambah satu menjadi Mayjen. Sementara itu Sjafri’e pun menjadi Pangdam Jaya berpangkat Mayjen.
Tidak banyak Danjen Kopassus yang langsung dari jabatan itu langsung menjadi Panglima Kostrad. Barangkali cuma dua perwira, yakni Dan Kopassus Brigjen Kuntara dan Mayjen Prabowo.
Biasanya seorang koman dan Kopassus harus menjadi Pangdam terlebih dulu, setelah dari Danjen, sebelum dipromosikan menjadi Pangkostrad. Tapi Prabowo memang istimewa ketika itu. Dan, seperti dikemukakan di atas Pangab Jenderal Wiranto tidak mengganjalnya.
Kalangan internal militer tak menganggap isu soal rivalitas antara Wiranto dengan Prabowo sebagai sesuatu hal yang menganggu konsolidasi ABRI. Begitupun dengan dugaan adanya pengelompokan perwira yang pro-Wiranto dan yang pro-Prabowo, tidak memiliki argumentasi yang kuat sebagai indikasi adanya pengelompokan dalam tubuh militer.
Sebagai mana lazimnya, jika militer saat itu bertindak pro-Wiranto karena jabatannya sebagai Pangab, sedangkan Prabowo mengendalikan pasukan yang ruang lingkupnya lebih kecil, yaitu Kostrad.
Ketika penculikan mahasiswa sekitar Maret-April 1998 yang dilakukan oleh oknum Kopassus, nama Pangkostrad Letjen Prabowo terseret demikian halnya dengan Danjen Kopassus Mayjen Muchdi PR. Di dalam kalangan militer sendiri, mungkin banyak yang tidak tahu operasi dan tujuan penculikan tersebut.
Jenderal Wiranto kemudian mengeluarkan telegram No. STR/441/1998 tertanggal 20 Maret 1998 yang menginstruksikan jajaran ABRI yang terlibat penculikan itu untuk diproses dan diinstruksikan agar melepas para aktivis yang diculik.
Internal ABRI memperkirakan penculikan itu diketahui oleh Pak Harto sebagai Presiden, meski sejauh mana kebenaran pekiraan itu sulit dibuktikan. Awal Mei 1998, Pangab Jenderal Wiranto di depan Kassospol Letjen Susilo Bambang Yudhoyono, dan Kepala Bais ABRI Mayjen Zacky Anwar Makarim menegur keras Letjen Prabowo.
bersambung.........


Tidak ada komentar:

Barus 1000 tahu yang lalu

PELETAKAN BATU PERTAMA PEMBANGUNAN TUGU RAJA TOGA LAUT PARDEDE DI LUMBAN JABI-JABI - BALIGE

Setelah terbentuknya panitia pembangunan Tugu Raja Toga Laut Pardede di Jakarta oleh beberapa keturunan Raja toga Laut Pardede yang berdomisili di jakarta sekitarnya (sejabodetabek)
maka diputuskanlah agar semua keturunan Raja Toga Laut Pardede ikut serta dalam Napak tilas show force keliling kota Balige pada tanggal 18 Agustus 2007, dengan rute dimulai Losmen Toga Laut Tawar, Tugu Naga Baling, Makam Raja Bona Ni Onan Pardede & Raja Paindoan Pardede dan ber akhir di Lumban Jabi-jabi / Tugu Raja Toga Laut Pardede, yang kemudian dengan kata-kata sambutan, oleh Tokoh-tokoh Sonak malela dll.