Sejarah kelabu negeri ini
pernah terjadi di tahun 1998 silam. Ketika, Soeharto, presiden kala itu
terpilih untuk kesekian kalinya. Masyarakat yang selama ini diam, menyimpan
bara. Terjadilah amuk massa masif, terutama di wilayah Jawa.
Sebuah tuntutan agar
Soeharto lengser didengungkan. Hampir setiap hari, kala itu, demonstrasi terus
digelar. Tuntutannya satu: Soeharto turun dari tampuk kekuasaan.
Dan ujungnya, 13-14 Mei
1998. Demontrasi besar-besaran di gelar di Jakarta. Hari itu Jakarta mencekam.
Dan kerusuhan pun meletus.
Pada acara Soegeng Sarjadi
Syndicate (SSS) 18 Desember 2012 lalu, Prabowo menyampaikan pernyataan yang
cukup mengagetkan:
“Saya Letnan Jendral mantan
Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat yang hampir Kudeta, Menyesal
juga saya nggak jadi Kudeta”
Pernyataan ini mungkin
disampaikan tanpa ada niat sungguh-sungguh dari Prabowo, tapi pernyataan itu
mengingatkan kita akan luka sejarah yang pernah terjadi di negeri ini.
Luka
sejarah itu terjadi ketika peristiwa peralihan kekuasaan dari rezim Soeharto
yang digulingkan setelah tiraninya menguasai negeri ini selama 32 tahun
lamanya. Kemudian, pucuk kekuasaan pun beralih kepada wakil presiden BJ.
Habibie
yang kemudian menggantikan Suharto, menjadi Presiden Republik Indonesia. Namun
pada kenyataannya dulu, posisi jabatan itu “menggiurkan” petinggi lainnya dan
berusaha “mengambil-alih” kekuasaannya yang hingga saat ini masih penuh tanda
tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Dua Praduga Tuduhan kepada Pangkostrad Letjen
Prabowo
Dalam
sejarah yang tercatat di pikiran masyarakat Indonesia, Prabowo terkena dua
tuduhan serius di era peralihan kepemimpinan di tahun 1998.
Tuduhan yang pertama,
Prabowo disangka menjadi dalang kerusuhan yang terjadi di bulan mei 1998 yang
banyak merengut nyawa dan terjadinya penjarahan, Kerusuhan yang sangat
terindikasi melibatkan konflik yang terjadi di internal tubuh ABRI.
Bahkan Presiden Habibie membentuk Tim
Gabungan Pencari Fakta (TGPF)
untuk mencari keterlibatan Prabowo dalam kerusuhan 1998. Hingga sampai saat ini
hasil dari temuan TGPF tidak pernah disampaikan ke masyarakat luas secara
jelas, apa dan seberapa besar keterlibatan Prabowo pada kerusuhan yang terjadi
di tahun 1998 itu.
Tuduhan yang kedua,
Prabowo dicurigai akan mengambil alih paksa kekuasaan pasca tergulingnya
Presiden Soeharto dari kekuasaan yang digantikan oleh Presiden Habibie.
Kecurigaan
itu berawal dari laporan Panglima ABRI yang saat itu dijabat oleh Jendral
Wiranto melapor ke Presiden Habibie bahwa ada konsentrasi pergerakan pasukan
Kostrad dibawah komando Prabowo di sekitar kediaman Habibie, Yang kemudian
disimpulkan tindakan Prabowo itu upaya untuk melakukan Kudeta.
Pergerakan
pasukan Prabowo ini sangat dicemaskan oleh Presiden Habibie, karena Prabowo
sebagai Panglima Kostrad membawahi pasukan sebanyak 11.000 personel tentara
yang oleh Presiden Habibie disikapi dengan memerintahkan Wiranto untuk
memberhentikan Prabowo sebagai Pangkostrad dan diganti dengan Pangkostrad yang
baru agar bisa menarik mundur pasukan kostrad yang sudah memasuki kota Jakarta
pada waktu itu.
Keputusan
pemberhentian oleh Habibie inilah yang menyulut kemarahan Prabowo, ia menapik
tuduhan akan melakukan Kudeta terhadap Kepemimpinan Presiden Habibie.
Sebaliknya,
Prabowo justru beralasan bahwa pengerahan pasukan Kostrad di sekitar rumah
Habibie adalah atas perintah Wiranto sebagai Panglima ABRI untuk mengamankan
Presiden Habibie.
Kronologi “Gerakan Pasukan Liar” di Kediaman Presiden Habibie
tahun 1998
Pergantian
pucuk pimpinan negara dari Presiden Soeharto kepada Habibie berujung pada
pencopotan Letjen Prabowo Subianto dari posisi Pangkostrad.
Saat itu 22 Mei 1998,
Habibie yang baru satu hari dilantik menjadi Presiden RI memiliki segudang
masalah untuk diselesaikan, utamanya adalah ekonomi dan keamanan. Kondisi Ibu
Kota Jakarta saat itu mencekam dan tidak menentu. Bahkan, pengerahan pasukan
militer saat itu seakan kurang terkoordinasi.
Saat
baru tiba di Istana Negara, Presiden Habibie mendapat laporan dari
Menhankam/Panglima ABRI Jenderal Wiranto soal adanya pergerakan pasukan Kostrad
dari luar daerah menuju Jakarta.
Bahkan,
Jenderal Wiranto dalam laporannya saat itu menyatakan ada konsentrasi pasukan
tak dikenal di kediaman Presiden Habibie di Patra Kuningan, Jakarta dan di
Istana Merdeka.
“Dari laporan tersebut, saya berkesimpulan bahwa Pangkostrad
(Letjen Prabowo Subianto) bergerak sendiri tanpa sepengetahuan Pangab (Jenderal
Wiranto),” kata Habibie dalam buku ‘Detik-detik Yang Menentukan’ karya Bacharuddin Jusuf Habibie,
terbitan THC Mandiri setebal 574 halaman itu.
Habibie
sontak terkejut mendengar laporan tersebut. Dalam benaknya muncul berbagai
pertanyaan dan praduga.
Tak
butuh waktu lama, Habibie saat itu juga langsung memerintahkan Jenderal Wiranto
untuk mencopot Letjen Prabowo dari posisi Pangkostrad (Panglima Komando
Strategi Angkatan Darat), sebelum matahari tenggelam.
Jenderal
Wiranto lantas melaporkan juga kepada Presiden Habibie bahwa sang istri, Ainun
Habibie, beserta anak dan cucu telah diamankan prajurit ABRI menuju Wisma
Negara.
Hal
itu dilakukan untuk menjamin keamanan keluarga presiden karena banyaknya
pasukan tak dikenal yang berkeliaran kala itu.
“Saya
bertanya kepada diri saya, ‘Mengapa keluarga saya harus dikumpulkan di satu
tempat? Apakah tidak lebih aman jikalau anak-anak dan cucu-cucu saya tinggal di
tempatnya masing-masing dan dilindungi oleh Pasukan Keamanan Presiden? Mengapa
harus dikumpulkan di satu tempat,” kata Habibie dalam hati.
Selang
berapa jam kemudian, Letjen Prabowo datang menemui Presiden Habibie di Istana
Negara. Prabowo menanyakan soal pencopotannya. Dalam pertemuan itu, Presiden
Habibie menanyakan soal pergerakan pasukan dari luar Jakarta menuju Istana
Merdeka dan Kediamannya.
“Saya bermaksud untuk mengamankan presiden,” jawab Prabowo.
Namun
jawaban Prabowo itu dibantah Presiden Habibie. Menurutnya, keamanan presiden
menjadi tanggung jawab Paspampres, bukan Kostrad. Namun Prabowo berkata :
“Atas nama ayah saya, Prof Soemitro Djojohadikusumo dan ayah
mertua saya Presiden Soeharto , saya minta Anda memberikan saya tiga bulan
untuk tetap menguasai pasukan Kostrad,” kata Prabowo.
Namun
Habibie menjawab dengan nada tegas:
“Tidak! Sebelum matahari terbenam, Pangkostrad harus sudah diganti
dan kepada penggantinya diperintahkan agar semua pasukan di bawah komando
Pangkostrad harus segera kembali ke basis kesatuan masing-masing, dan saya
bersedia mengangkat anda menjadi duta besar di mana saja!”,” kata Habibie.
“Yang saya kehendaki adalah pasukan saya!” jawab Prabowo.
“Ini tidak mungkin, Prabowo,” tegas Habibie .
Ketika
perdebatan masih berlangsung seru, Habibie kemudian menuturkan bahwa Letjen
Sintong Panjaitan masuk sembari menyatakan kepada Prabowo bahwa waktu pertemuan
sudah habis.
“Jenderal,
Bapak Presiden tidak punya waktu banyak dan harap segera meninggalkan ruangan,”
kata Letjen Sintong Panjaitan yang saat itu menjabat sebagai penasihat militer
presiden.
Setelah
itu Prabowo menempati posisi baru sebagai Komandan Sekolah Staf Komando
(Dansesko) ABRI menggantikan Letjen Arie J Kumaat.
Prabowo
mengisahkan serah terima jabatan dilakukan secara sederhana dan tertutup.
“Belum
pernah ada perwira tinggi dipermalukan institusinya, seperti yang saya alami,”
kata Prabowo.
Selanjutnya,
Prabowo harus menjalani sidang Dewan Kehormatan Perwira. Prabowo disinyalir
terlibat dalam penculikan aktivis saat masih menjabat sebagai Danjen Kopassus.
15
Perwira tinggi bintang tiga dan empat mengusulkan ke Pangab agar Prabowo
dipecat.
“Saya paham, dewan ini sudah bersidang dengan susah payah selama
sebulan dan orang-orangnya berpengalaman. Maka, saya (acc) setuju,” kata Wiranto .
Dalam judul buku : Habibie, Prabowo, dan Wiranto
Bersaksi, (download versi DOC atauPDF) yang ditulis oleh Asvi Warman Adam dan Tim Kick Andy
menyatakan:
“Buku-buku yang ditulis Habibie, Wiranto, Fadli Zon dan Kivlan Zen
(termasuk satu bagian dari buku Sumitro Djojohadikusumo yang membela putranya)
boleh dikatakan sebagai buku putih yang mencoba menjelaskan posisi tokoh yang
bersangkutan, membela diri, dan menjelaskan kehebatan masing-masing. Namun di
sisi lain, buku itu juga mencari kambing hitam pada orang lain.” (DR. Asvi Warman Adam, sejarawan dan
ahli peneliti utama LIPI)
Asvi
Warman Adam menyebutkan bahwa telah terjadi perdebatan Pangkostrad Prabowo
dengan Presiden Habibie dikala itu :
“Dia mengatakan kepada saya waktu itu – tepatnya kami berdebat,
“Anda ini presiden apa? Anda presiden naif!” Saya jawab, “Masa bodo. Yang
penting saya presidennya. Saya yang menentukan. Titik!.” (B.J. Habibie, mantan presiden RI,
tentang Prabowo)
Maka,
Presiden Habibie pun menolak permintaan Pangkostrad Letjen Prabowo untuk
menunda pencopotannya. Di dalam bukunya pula, mantan presiden Habibie yang
dikala itu menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia menyatakan alasan
pencopotan Prabowo.
Semua
itu Habibie lakukan dikarenakan adanya pengerahan pasukan dari daerah menuju ke
Jakarta yang dilakukan Letjen Prabowo tanpa koordinasi dengan Menhankam /
Pangab Jenderal Wiranto.
Hal
itu sangat tidak baik saat itu, karena disaat kondisi Republik yang masih
genting, perbuatan Prabowo itu dapat mempengaruhi komandan lain untuk berbuat
sendiri-sendiri, tanpa koordinasi.
“Bukankah kemarin pada Rabu pagi tanggal 20 Mei 1998 saya telah
sampaikan kepada Pangab bahwa saya tidak akan menerima kepala staf angkatan
termasuk Pangkostrad sendiri-sendiri tanpa sepengetahuan atau permohonan
Pangab? Ini berarti gerakan pasukan dari Kostrad tanpa sepengetahuan Pangab,
tidak boleh saya tolerir,” kata
Habibie .
Namun
menurut Prabowo lain lagi, ia menyatakan:
“Dalam pertemuan hari Jumat, 22 Mei 1998, beliau bicaranya seperti
itu, bahwa Pak Harto yang minta. Tapi waktu di Hamburg, beliau mengatakan
negara superpower yang meminta.” (Prabowo
Subianto, tentang keputusan Habibie mencopotnya dari jabatan Pangkostrad)
Sedangkan
Wiranto lain lagi, ia menyatakan:
“Yang mampu atau yang mungkin melakukan kudeta hanyalah pangab.
Saya sendiri.” (Jenderal
(Purn) Wiranto, mantan Panglima TNI)
Sementara
itu, berdasarkan kesaksian penasihat militer Presiden Habibie, Letjen (Purn)
Sintong Panjaitan, situasi di jalan depan rumah Habibie di Patra Kuningan saat
itu sangat sumpek karena banyaknya prajurit ABRI. Anggota Kopassus dan
Paspampres kala itu berjubel di jalan yang lebarnya hanya sekitar 6 m.
Saat
itu Paspampres meminta agar personel Kopassus mundur dari area kediaman
Presiden Habibie. Namun, personel korps baret merah itu menolak.
Mereka
hanya mau pindah jika mendapat perintah langsung dari komandannya yang saat itu
adalah Danjen Kopassus Mayjen Muchdi PR. Saat itu mereka hanya menuruti
perintah agar mengamankan presiden.
Paspampres
yang kala itu di bawah komando Mayjen TNI Endriartono Sutarto pun gusar.
Pasalnya, saat itu mereka hanya dibekali peluru hampa. Sementara, personel
Kopassus saat itu dilengkapi peluru tajam.
Mayjen
Endriartono kemudian menghubungi Letjen Sintong Panjaitan meminta agar segera
dikirimkan peluru tajam.
Letjen
Sintong kemudian menghubungi bekas anak buahnya yang saat itu menjabat sebagai
Wadanjen Kopassus, Brigjen Idris Gasing. Letjen Sintong meminta agar Brigjen
Idris segera menarik pasukannya dari kediaman Presiden Habibie.
“Gasing coba perbaiki dulu posisi pasukanmu. Pasukan yang di
sini tarik ke sana dan yang di sini tarik ke situ. Kalau perlu adakan
koordinasi dengan Kodam Jaya agar semua dapat berjalan lancar,” kata Letjen
Sintong Panjaitan dalam buku ‘Perjalanan
Seorang Prajurit PARA KOMANDO’ terbitan Kompas.
Brigjen
Gasing lantas bertanya situasi saat itu. “Komandanmu (Mayjen Muchdi PR) sedang
sibuk menghadapi penggantian jabatan. Tarik pasukanmu malam ini juga. Kalau
terjadi apa-apa, nanti kau yang disalahkan,” jawab Letjen Sintong.
Brigjen
Gasing lantas melaksanakan perintah Letjen Sintong. Dia langsung berkoordinasi
dengan Panglima Kodam Jaya, Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin. Akhirnya, sebagian
personel Kopassus itu ditarik kembali ke Serang, Jawa Barat dan sebagian lagi
ke Kartosuro, Jawa Tengah.
Menurut Jenderal kepercayaan Prabowo soal Kerusuhan dan Isyu
Rencana Kudeta 1998
Walau sejumlah pihak menuding Letnan Jenderal (Letjen) Prabowo
Subianto sebagai otak kekacauan di Jakarta. Tetapi ada juga yang menilai
kerusuhan tersebut direncanakan oleh Jenderal Wiranto. Hal ini diceritakan oleh
Mayor Jenderal (Mayjen) Kivlan Zen dalam bukunya bertajuk ‘Konflik
dan Integrasi TNI-AD’
Kivlan menilai seharusnya Jenderal Wiranto tak perlu
meninggalkan Jakarta. Terlebih kepergiannya hanya untuk menjadi Inspektur
Upacara dalam rangka
serah terima tanggung jawab Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI) di Malang pada hari Kamis tanggal 14 Mei 1998. Padahal saat
itu Jakarta sudah genting. Pembakaran dan kerusuhan terjadi di mana-mana.
“Serah terima tanggung jawab PPRC ABRI dari Divisi I Kostrad
(Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) kepada Divisi II Kostrad walaupun
Pangkostrad (Panglima Kostrad) Letjen Prabowo Subianto telah menyarankan agar
tidak usah berangkat ke Malang,” tulis Kivlan pada halaman 85 di buku terbitan Institute
for Policy Studies tahun
2004 itu.
Prabowo
menilai hal ini tidak penting karena Kivlan telah menyiapkan perpindahan itu
semenjak Maret tahun 1998. Kala itu Kivlan masih menjabat Panglima Divisi II
Kostrad di Malang.
Selain
itu, menurut Kivlan, kekeliruan yang dilakukan oleh Wiranto adalah tidak
memberikan izin Mabes ABRI untuk meminjamkan pesawat Hercules untuk membawa
pasukan Kostrad dari Jawa Timur dan Makassar ke Jakarta.
“Karena
Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin sebagai Pangdam Jaya kekurangan pasukan dan meminta
ke Kostrad, maka Kostrad menyiapkan pasukan tersebut,” tulis Kivlan.
Karena
tidak mendapatkan ijin dari Mabes ABRI, maka dengan menggunakan biaya pribadi
Prabowo menyewa pesawat milik Mandala di Makassar dan pesawat milik Garuda di
Surabaya. Hal ini dilakukan karena keadaan mendesak.
Pasukan
inilah yang dinilai Habibie sebagai “pasukan liar” dan bisa membahayakan.
Sejumlah kalangan bahkan menuding Prabowo hendak melakukan kudeta.
Kivlan
mencatat setidaknya ada dua kekeliruan Wiranto strategis militer selama menjadi
Jenderal. Pertama adalah meninggalkan tempat dalam keadaan gawat dan kedua,
tidak menggunakan pasukan cadangan di saat genting.
Menilai
tidak bertanggungjawabnya Wiranto, maka beberapa pihak memutuskan untuk bertemu
dengan Prabowo di Markas Kostrad pada malam harinya.
Setiawan
Djodi, Adnan Buyung Nasution, Bambang Widjoyanto, Willibrordus Surendra Broto
Rendra yang kerap disapa WS Rendra, Fahmi Idris, Maher Algadri, Hashim
Djojohadikusumo, Amran Nasution, Din Syamsuddin , Fadli Zon , Amidhan, Iqbal
Assegraf, Hajriyanto Thohari, Kolonel Adityawarman dan Kivlan sendiri.
Kedatangan
mereka adalah meminta Prabowo untuk mengambil alih keamanan, seperti yang
dilakukan oleh mertuanya, Soeharto pada tahun 1965 yang saat itu menjabat
sebagai Panglima Kostrad.
Namun
permintaan itu tidak langsung di-iya-kan oleh Prabowo. Sebabnya, dia menilai
situasi tahun 1965 dan 1998 sangat berbeda.
“Masih
ada Panglima ABRI Jenderal Wiranto , KSAD Jenderal Subagyo HS, Wakil KSAD
Letjen Sugiono. Panglima Kostrad berada pada level ke-empat,” terang Kivlan.
Namun kenyataan berkata berbeda. Karena Tim
Gabungan Pencari Fakta (TGPF)
justru menyimpulkan bahwa pertemuan di Markas Kostrad tersebut sebagai rapat
untuk merancang kekacauan di Jakarta. Kivlan menilai TGPF melupakan hal
terpenting dalam menyimpulkan pertemuan tersebut.
Berikut
merupakan sedikit informasi berita tentang apa yang tengah terjadi pada waktu itu,
yang dilansir dari media online Kompas, 16 Mei 1998, mengenai ratusan penjarah
yang tewas terpanggang dan kondisi Jakarta saat itu :
“Ratusan
penjarah tewas terpanggang dalam peristiwa kerusuhan yang melanda Wilayah DKI
Jakarta sepanjang Kamis (14/5). Menurut Kadispen Mabes Polri Brigjen (Pol) Drs
Da’i Bachtiar, Jumat, jumlah korban yang tewas di wilayah DKI saja sekitar 200
orang. Jumlah itu belum termasuk 20 korban tewas akibat terjatuh saat berusaha
meloloskan diri dari kepungan asap dan api.”
“Sedangkan
di Kotamadya Tangerang, jumlah penjarah yang tewas terpanggang sekitar 100
orang. Jasad-jasad para korban sebagian besar dalam keadaan hangus.” (dari
Media Online Kompas, 16 Mei 1998).
Perang Panglima
Rivalitas, katakanlah
begitu antara Wiranto dengan Prabowo menyiratkan persaingan keduanya untuk
memperebutkan simpati Presiden Soeharto ketika itu. Meski kalangan militer
membantah hal tersebut, namun beberapa fakta menunjukkan ke arah itu.
Ketika
Wiranto menjabat Pangab, ada beberapa usulan Prabowo yang dimentahkannya.
Misalnya Prabowo ingin Kopassus mempunyai pasukan tank dan penerbang.
Jenderal Wiranto, seperti dalam bukunya “”Bersaksi
di Tengah Badai”” tahun
2003 mengatakan jika Kopassus punya tank dan pesawat, pasukan ini akan
kehilangan kekhususannya.
Soal
tank, biarlah pasukan kavaleri yang memilikinya, sedangkan pesawat, itu urusan
Penerbad.
Sudah
menjadi rahasia umum di kalangan ABRI waktu itu, bahwa Kopassus di bawah
Prabowo benar-benar memiliki sistem persenjataan yang mutakhir. Konon, setiap
senjata modern yang dimiliki pasukan elite asing, juga harus dipunyai Kopassus.
Wiranto Tegur Prabowo
Wiranto
sendiri tak pernah mengakui adanya rivalitas antara dirinya dengan Prabowo.
Misalnya, Wiranto setuju ketika Prabowo yang relatif sangat muda, 46 tahun,
sudah berbintang dua, dipromosikan menjadi Pangkostrad dengan pangkat Letjen.
Padahal
waktu itu masih banyak rekan seangkatan Prabowo (Akabri ‘74) berpangkat colonel
bahkan mungkin Letkol. Perwira yang juga menonjol waktu itu adalah Pangdam Jaya
Mayjen Safri’e Sjamsoeddin, keduanya satu angkatan di Akabri Darat.
Apakah langkah saya ini merupakan tindakan orang yang merasa
disaingi atau terancam kedudukannya? Kalau demikian halnya, maka saya
berangkali termasuk golongan orang yang sangat bodoh, mempromosikan pesaing
saya, “kata Wiranto kepada Yuddi Chrisnandi, tokoh muda Partai Golkar, dalam
bukunya“ ‘Reformasi TNI Perspektif Baru
Hubungan Sipil-Militer di Indonesia”’.
Menurut
catatan, Prabowo dan Sjafri’e adalah perwira yang paling cemerlang saat itu. Keduanya
masuk dalam pasukan elite Kopassus, bolak-balik ke Timtim. Sjafri’e sejak
perwira pertama berada di Paswalpres (kini Paspampres, Red). Sampai ia menjabat
Dan Grup A dengan pangkat kolonel di pasukan tersebut. Karena jabatannya itu,
kemanapun Presiden Soeharto pergi, Sjafri’e paling jauh hanya dua-tiga langkah
dari Presiden.
Ketika
Kolonel Sjafri’e dipromosikan sebagai Danrem Suryakencana Bogor, Kolonel
Prabowo menjadi Wakil Komandan Kopassus. Keduanya terus beriringan. Prabowo
kemudian dipromosikan menjadi Dan Kopassus, berpangkat Brigjen. Sjafri’e pun
ditarik ke Jakarta menjadi Kasdam. Pangkatnya juga naik menjadi Brigjen.
Sementara
itu Kopassus di bawah Brigjen Prabowo terus berkembang baik personel maupun
peralatannya. Jabatan Dan Kopassus diubah menjadi Danjen Kopassus, bintang di
pundak Prabowo bertambah satu menjadi Mayjen. Sementara itu Sjafri’e pun
menjadi Pangdam Jaya berpangkat Mayjen.
Tidak
banyak Danjen Kopassus yang langsung dari jabatan itu langsung menjadi Panglima
Kostrad. Barangkali cuma dua perwira, yakni Dan Kopassus Brigjen Kuntara dan
Mayjen Prabowo.
Biasanya
seorang koman dan Kopassus harus menjadi Pangdam terlebih dulu, setelah dari
Danjen, sebelum dipromosikan menjadi Pangkostrad. Tapi Prabowo memang istimewa
ketika itu. Dan, seperti dikemukakan di atas Pangab Jenderal Wiranto tidak
mengganjalnya.
Kalangan
internal militer tak menganggap isu soal rivalitas antara Wiranto dengan
Prabowo sebagai sesuatu hal yang menganggu konsolidasi ABRI. Begitupun dengan
dugaan adanya pengelompokan perwira yang pro-Wiranto dan yang pro-Prabowo,
tidak memiliki argumentasi yang kuat sebagai indikasi adanya pengelompokan
dalam tubuh militer.
Sebagai
mana lazimnya, jika militer saat itu bertindak pro-Wiranto karena jabatannya
sebagai Pangab, sedangkan Prabowo mengendalikan pasukan yang ruang lingkupnya
lebih kecil, yaitu Kostrad.
Ketika
penculikan mahasiswa sekitar Maret-April 1998 yang dilakukan oleh oknum
Kopassus, nama Pangkostrad Letjen Prabowo terseret demikian halnya dengan
Danjen Kopassus Mayjen Muchdi PR. Di dalam kalangan militer sendiri, mungkin
banyak yang tidak tahu operasi dan tujuan penculikan tersebut.
Jenderal
Wiranto kemudian mengeluarkan telegram No. STR/441/1998 tertanggal 20 Maret
1998 yang menginstruksikan jajaran ABRI yang terlibat penculikan itu untuk
diproses dan diinstruksikan agar melepas para aktivis yang diculik.
Internal
ABRI memperkirakan penculikan itu diketahui oleh Pak Harto sebagai Presiden,
meski sejauh mana kebenaran pekiraan itu sulit dibuktikan. Awal Mei 1998,
Pangab Jenderal Wiranto di depan Kassospol Letjen Susilo Bambang Yudhoyono, dan
Kepala Bais ABRI Mayjen Zacky Anwar Makarim menegur keras Letjen Prabowo.
bersambung.........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar